Siaran Pers Bersama, 29 Desember 2015: Perempuan Nelayan Berperan Selamatkan Hutan Mangrove di Asia Tenggara

Siaran Pers Bersama

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan www.kiara.or.id

South East Asia Fish for Justice Network – www.seafishforjustice

 

Perempuan Nelayan Berperan Selamatkan Hutan Mangrove di Asia Tenggara

Jakarta, 29 Desember 2015. Di dalam Simposium bertajuk “Perempuan Nelayan dan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Berbasis Masyarakat” yang diselenggarakan oleh KIARA dan SEAFish for Justice di Hotel GranDhika, Jakarta, perempuan nelayan dari Kamboja, Malaysia, dan Indonesia bergantian mendesak hadirnya skema perlindungan dan pemberdayaan dari negara dan ASEAN.

Norng Limheang, perempuan nelayan dari Kamboja mengatakan, “Di Kamboja, kami melestarikan mangrove dan memanfaatkannya untuk wisata. 40% dari dana yang kami peroleh dialokasikan untuk aktivitas sosial, di antaranya memperbaiki jalan dan merawat kuil. Dalam konteks inilah, Negara harus hadir memberikan keberpihakan dan dukungannya kepada perempuan nelayan, mulai dari kebijakan, anggaran, dan implementasi di lapangan”.

Setali tiga uang, Jumiati dari Indonesia menambahkan, “Kepercayaan dan semangat gotong-royong merupakan kunci keberhasilan pelestarian ekosistem pesisir. Dari sinilah, kami mengembangkan hutan mangrove menjadi kawasan wisata. Di akhir tahun, kami mendapatkan sisa bagi hasil. Kami berharap pemerintah mempromosikan dan memamerkan wisata mangrove dan produk-produk olahannya, seperti makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan”.

Tak jauh berbeda, Siti Hajar dari Malaysia juga meminta pemerintah mengambil peran lebih dalam memajukan kepentingan perempuan nelayan.

Di dalam simposium ini, turut hadir utusan Kedutaan Besar Kamboja di Jakarta, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Terakhir, Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara akan diadakan esok hari di Plaza Blok-M Square, mulai pukul 09.00 – 16.00 WIB. Di dalam festival ini, produk-produk olahan mangrove, daur ulang sampah, dan pelatihan mengolah ikan akan disajikan. Ditunggu kehadirannya!  

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Jumiati, Ketua Dewan Presidium Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia
Norng Limheang dan Siti Hajar bisa dihubungi melalui nomor: +62 87886666530

 

Siaran Pers Bersama, 28 Desember 2015: Perempuan Nelayan dan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Berbasis Masyarakat

Siaran Pers Bersama

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan – www.kiara.or.id

South East Asia Fish for Justice Network – www.seafishforjustice.org

Simposium dan Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara

“Perempuan Nelayan dan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Berbasis Masyarakat”

Jakarta, 28 Desember 2015. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan SEAFish for Justice (South East Asia Fish for Justice Network) akan menyelenggarakan Simposium dan Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara bertajuk “Perempuan Nelayan dan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Berbasis Masyarakat” di Hotel Grandhika, Jakarta, pada tanggal 29-30 Desember 2015.

Simposium dan Festival ini diselenggarakan ralam rangka mewadahi kepentingan perempuan nelayan jelang pemberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: (1) Menggali peran perempuan nelayan dalam pengelolaan sumber daya pesisir yang berbasis masyarakat di Asia Tenggara; (2) Mempromosikan produk dari perempuan nelayan di Asia Tenggara untuk masyarakat luas; dan (3) Memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan ASEAN untuk melindungi dan memberdayakan perempuan nelayan di negara-negara Asia Tenggara dengan mengalokasikan anggaran khusus.

Seperti diketahui, dalam kehidupan rumah tangga masyarakat pesisir (nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir), perempuan terlibat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan berkontribusi sebagai manajer sumber daya yang kian langka. Perempuan juga menciptakan beberapa produk.

Selain itu, perempuan juga berpartisipasi dalam hampir semua kegiatan penangkapan ikan, termasuk memperbaiki alat tangkap, menyortir tangkapan ikan, dan pengolahan. Beberapa perempuan bahkan terlibat langsung dalam kegiatan memancing atau menangkap ikan baik di danau atau pun sungai. Menariknya, pemasaran hasil tangkapan ikan secara eksklusif menjadi wilayah kerja perempuan. Meskipun sangat aktif terlibat, perempuan sering ditinggalkan dan tidak dilibatkan dalam pendokumentasian. Akibatnya, perempuan tidak mendapatkan skema perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah.

Untuk itulah, KIARA dan SEAFish for Justice menjembatani perempuan nelayan di Asia Tenggara untuk menyampaikan pemikirannya kepada pemerintah masing-masing dan Sekretariat ASEAN. Harapannya, lahir kebijakan dan alokasi anggaran perlindungan dan pemberdayaan kepada perempuan nelayan.

Di dalam Simposium dan Festival ini, turut hadir perempuan nelayan dari 9 provinsi di Indonesia yang tergabung di dalam Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI),  kementerian/lembaga negara, organisasi masyarakat sipil tingkat nasional, regional dan internasional, serta perempuan nelayan dari Malaysia, Kamboja, Filipina, Vietnam, Laos, dan Thailand.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Susan Herawati
Ketua Panitia Simposium dan Festival: +62
Abdul Halim
Sekretaris Jenderal KIARA dan/atau Koordinator Regional SEAFish for Justice:+62 815 53100 259

Kabar Bahari: ASEAN Mesti Beri Pengakuan Politik kepada Perempuan Nelayan

Ada 9 janji Presiden Jokowi yang lazim dikenal dengan istilah Nawacita. Sembilan janji ini sudah dijalankan selama 1,5 tahun.

Di dalam Kabinet Kerja, Presiden Jokowi memandatkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk memerangi praktek pencurian ikan dan mengembalikan uang negara dari tangan mafia perikanan. Hasilnya, kebijakan moratorium menemukan sedikitnya 1.300an kapal terindikasi melakukan pelanggaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Tidak hanya itu, Presiden Jokowi juga menargetkan adanya kenaikan produksi hingga 19 juta ton, baik dari perikanan tangkap maupun budidaya. Pun demikian dengan garam, ia meminta kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menaikkan produksi barang asing ini sebanyak 3,2 juta ton. Bahkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, ditekankan keharusan untuk menghilangkan ketergantungan terhadap produk pangan impor.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2015) mencatat, kenaikan produksi perikanan sejak tahun 2010-2015 tidak memberikan peningkatan kesejahteraan kepada petambak garam. Setali tiga uang, panen garam rakyat justru dihargai Rp250 per kilogram, sementara ekspor garam terus bertambah. Anehnya, salah satu indikator keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan menggunakan Nilai Tukar Nelayan dan Nilai Tukar Pembudidaya.

Mengapa Nilai Tukar ini tidak relevan? Karena model ini hanya mempertentangkan penghasilan dan pengeluaran. Padahal, terdapat banyak aspek yang luput dari pola ini, yakni ancaman hilangnya wilayah tangkap, adanya dampak perubahan iklim, dan sistem permodalan yang dimonopoli tengkulak/toke.

KABAR BAHARI edisi November-Desember 2015 mengetengahkan Simposium dan Festival Perempuan Nelayan di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh KIARA bekerjasama dengan SEAFish for Justice di Jakarta, Indonesia, pada tanggal 29-30 Desember.

Selain itu, juga disajikan profil Dr. Dedi Supriadi Adhuri, pakar Antropologi di LIPI, yang aktif menyuarakan kepentingan masyarakat pesisir dan perempuan nelayan dari Malaysia dan Kamboja. Tak ketinggalan, juga disediakan resep masak ala pesisir. Selamat membaca dan semoga memberi manfaat

Ikuti informasi terkait Kabar Bahari edisi ASEAN mesti beri pengakuan politik kepada perempuan nelayan >>KLIK DISINI<<

Siti Hajar binti Abdul Aziz: Pionir Gerakan Perempuan Nelayan di Malaysia

Perempuan dari Suku Lio, di Kabupaten Ende telah secara turun-temurun berperan sebagai penyimpan hasil panen dan penjaga lumbung (lesu usu wuni kai kebo bela), serta pengelola dapur (tau jila lika banga waja).

Perempuan dari Serdang Berdagai, Sumatera Utara, telah puluhan tahun berjibaku melakukan penyelamatan mangrove secara swadaya. Lebih dari 10.000 batang mangrove ditanam untuk menjaga pesisir dan memastikan perekonomian keluarga nelayan tetap terpenuhi.

Perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam, perempuan bukan sekadar menjamin kebutuhan gizi keluarganya. Mereka juga berperan memastikan lingkungan dan ekosistem laut tetap lestari.
Di pesisir, perempuan nelayan berperan bukan hanya menjaga lingkungannya tetap terjaga, mereka juga berjwuang memberdayakan perempuan agar tetap mandiri dan sejahtera. Nyatanya, perjuangan memandirikan dan menyejahterakan perempuan nelayan pun dilakukan oleh perempuan nelayan dari Malaysia. Perempuan itu telah berbuat banyak untuk masyarakat pesisir di tempatnya, perjuangannya pun bukan tanpa arah, ia terus memastikan bagaimana perempuan bisa berdikari.

Ide organisasi

Namanya Siti Hajar binti Abdul Aziz, usianya beranjak 31 tahun dan berasal dari Malaysia. Suaminya adalah seorang nelayan dan bergabung di dalam kelompok Inshore Fishermen Welfare Association atau PIFWA. Kehidupan Siti Hajar pun kian dekat dengan pesisir.

“Di tempat saya, banyak juga perempuan ikut pergi melaut, jadi perempuan nelayan memang menjadi bagian penting di dalam kehidupan keluarga,” ungkap Siti Hajar binti Abdul Aziz.

Beranjak 10 tahun pernikahan Siti Hajar, ia mulai gundah melihat bagaimana kehidupan nelayan di daerahnya. Belajar dari pengalaman suaminya dalam berorganisasi, Siti Hajar mulai memahami jika perempuan pun semestinya turut berorganisasi. Ia mengibaratkan organisasi sebuah kendaraan untuk mencapai tujuan.

Tekad Siti Hajar untuk mendirikan dan terlibat dalam kelompok perempuan nelayan kian kuat. Pasalnya Siti Hajar terus menghadapi kesulitan yang dihadapi oleh nelayan di daerahnya. Cuaca buruk, angin kencang yang menyebabkan nelayan tidak bisa melaut secara otomatis membuat pendapatan nelayan turun drastis.

Nelayan di daerahnya pun harus berhadapan dengan maraknya pencemaran dan penangkapan ikan berlebih yang secara langsung membuat stok ikan semakin menurun. Di saat bersamaan, penggunaan trawl pun masih menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan di daerahnya.

Kondisi nelayan pun diperburuk dengan minimnya infrastruktur bagi nelayan, contohnya fasilitas dermaga yang kurang baik. Penurunan sumber pendapatan kian dirasa perempuan nelayan, karena seringkali suami mereka pulang tanpa hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Memperjuangkan hak

Belajar dari kondisi yang dihadapi, baik oleh nelayan maupun perempuan nelayan, Siti Hajar binti Abdul Aziz turut terlibat ketika PIFWANITA diinisiasi pada tahun 2013. PIFWANITA merupakan kelompok perempuan di bawah Inshore Fishermen Welfare Association – PIFWA.

PIFWANITA beranggotakan 40 orang perempuan dan Siti Hajar merupakan ketua terpilih pertama. Mimpi besar PIFWANITA adalah mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan nelayan yang mandiri dan sejahtera.

Perempuan nelayan harus kuat dan bergerak, mereka punya peran besar dan seharusnya didukung oleh semua unsur, seperti pemerintah, CSO, dan lembaga lainnya,” tambah Siti Hajar.

PIFWANITA memiliki beberapa program untuk menyejahterakan perempuan nelayan, di antaranya kampanye, pemberdayaan potensi pesisir berupa mangrove untuk diubah menjadi salah satu ekonomi alternatif keluarga nelayan. Selain itu, PIFWANITA juga terus menyuarakan penyelamatan pesisir dan lingkungan melalui penanaman mangrove.

Siti Hajar pun tidak lupa merangkul generasi muda untuk bergerak bersamanya menjaga pesisir, hal ini terlihat dari salah satu upaya PIFWANITA yang melakukan pendidikan kepada anak-anak dan generasi muda.

Sedari kecil anak-anak harus tahu manfaat pesisir, jika dewasa nanti mereka bisa mencintai pesisir dan terus menjaga keberlanjutannya,” jelas Siti Hajar.

Percaya

Siti Hajar selalu percaya satu hal, perempuan dan alam memiliki relasi integral atau tidak terpisah. Perempuan nelayan memiliki peran penting menjaga pesisirnya tetap lestari, namun pada saat bersamaan potensi yang dimliki oleh alam sepatutnya digunakan secara arif oleh nelayan.

Bersama dengan PIFWANITA, Siti Hajar mulai melirik segala bentuk produk berbahan dasar mangrove. Hal ini berdasarkan dari potensi yang dimiliki dan manfaat mangrove yang beragam. Siti Hajar mengolah mangrove menjadi kue, obat, teh dan lain-lain.

Kami sering diundang oleh pemerintah untuk menunjukkan produk-produk kami,” ucap Siti Hajar senang menceritakan pengalamannya.

Melalui Siti Hajarlah, pengetahuan manfaat mangrove terus digulirkan kepada khalayak umum di Malaysia. Mangrove yang selama ini hanya identik dengan tumbuhan yang tumbuh di pesisir ternyata memiliki beragam fungsi yang bisa dimaksimalkan. Di sisi lain, Siti Hajar dan PIFWANITA mulai mengembangkan pengolahan kerajinan tangan berbahan dasar kerang.

Siti Hajar pun secara intensif membangun komunikasi dengan Sahabat Alam Malaysia (SAM), anggota SEAFish for Justice, agar gerakan perempuan nelayan kian terorganisir.

Banyak rekan-rekan jaringan yang membantu PIFWANITA menjadi besar dan kuat, di antaranya kawan-kawan SAM dan masih banyak lagi. Karena peran jaringan itu penting sekali,” pesan Siti Hajar.

Gerakan perempuan nelayan melalui PIFWANITA didorong menjadi gerakan indepeden di mana perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh perempuan nelayan yang menjadi anggota. Namun, untuk mengembangkan sayap, Siti Hajar pun turut melibatkan instansi pemerintah, seperti Dinas Perikanan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Kehutanan.

Siti Hajar pun menjadi peserta aktif pada South East Asia Fisherwomen Symposium and Festival dengan tema “Women and Community Based Coastal Resource Management” yang diselenggarakan oleh KIARA dan SEAFish for Justice pada 29- 30 Desember 2015 di Jakarta.

Siti Hajar percaya perempuan nelayan merupakan agen perubahan di pesisir. Untuk itulah, selayaknya perempuan diakui oleh negara dan menjadi prioritas dalam program pemerintah. Siti Hajar pun percaya, perempuan nelayan adalah sosok yang kuat, mandiri dan selalu berjuang untuk kesejahteraan keluarga nelayan.*** (SH)

Symposium dan Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara

Symposium dan Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara

leaflet kegiatan-02

Symposium dan Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara

Symposium dan Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara

leaflet kegiatan-02

Siaran Pers KIARA dalam memperingati Hari Nusantara 13 Desember 2015

 

 

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

KIARA: Pemerintah Keliru Memaknai Makna Hari Nusantara

Jakarta, 13 Desember 2015. Pemerintah Republik Indonesia menyelenggarakan perayaan Hari Nusantara. Kegiatan yang diselenggarakan setiap tanggal 13 Desember 2015 ini dipusatkan di Banda Aceh, Aceh, dan mengundur peserta dari Prancis, Kanada, Australia, dan negara-negara lainnya.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, menegaskan, “Pemaknaan Hari Nusantara mengalami erosi. Pemerintah sebatas menyelenggarakan seremoni dan menghadirkan kapal-kapal asing memasuki pekarangan republik tanpa merenungi makna di balik upaya diplomatik bersejarah tersebut. Terlebih, anggaran yang dialokasikan untuk seremoni tahunan ini terbilang besar, yakni sekitar Rp. 223 miliar sejak tahun 2011”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2015) mencatat sedikitnya 16 pulau-pulau kecil yang diswastanisasi untuk kepentingan asing. Bahkan untuk kepentingan penyelamatan warga negara dari ancaman perubahan iklim, pemerintah justru mengabaikan fakta permasalahan yang dihadapi, tetapi justru mengusulkan skema Karbon Biru dan sesumbar menetapkan kawasan konservasi seluas 20 juta hektar yang menghilangkan akses masyarakat pesisir (nelayan, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, dan pelestari ekosistem pesisir).

Sementara itu, dalam rangka Hari Nusantara 2015, KIARA bekerjasama dengan Serikat Nelayan Indonesia menyelenggarakan perayaan Hari Nusantara di Kabupaten Tegal bersama 1.000 nelayan dan perempuan.

Pada tahun 2016, KIARA berharap pemerintah tidak lagi berhenti sebatas seremoni dalam peringatan Hari Nusantara. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam rangka menyejahterakan masyarakat pesisir, di antaranya memberikan jaminan perlindungan jiwa, akses kesehatan dan pendidikan, serta rumah tinggal yang layak dan bersih. “Tanpa kesungguhan pemerintah dalam pengelolaan anggaran untuk sebesar-besar masyarakat pesisir, maka cita-cita poros maritim dunia hanya ramai di tong kosong,” tutup Halim.***

 

Untuk informasi selanjutnya, dapat menghubungi:
Budi Laksana, Sekretaris Jenderal SNI : +62 813 1971 6775
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA : +62 815 53100 259

Siaran Pers KIARA dalam memperingati Hari Nusantara 13 Desember 2015

 

 

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

KIARA: Pemerintah Keliru Memaknai Makna Hari Nusantara

Jakarta, 13 Desember 2015. Pemerintah Republik Indonesia menyelenggarakan perayaan Hari Nusantara. Kegiatan yang diselenggarakan setiap tanggal 13 Desember 2015 ini dipusatkan di Banda Aceh, Aceh, dan mengundur peserta dari Prancis, Kanada, Australia, dan negara-negara lainnya.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, menegaskan, “Pemaknaan Hari Nusantara mengalami erosi. Pemerintah sebatas menyelenggarakan seremoni dan menghadirkan kapal-kapal asing memasuki pekarangan republik tanpa merenungi makna di balik upaya diplomatik bersejarah tersebut. Terlebih, anggaran yang dialokasikan untuk seremoni tahunan ini terbilang besar, yakni sekitar Rp. 223 miliar sejak tahun 2011”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2015) mencatat sedikitnya 16 pulau-pulau kecil yang diswastanisasi untuk kepentingan asing. Bahkan untuk kepentingan penyelamatan warga negara dari ancaman perubahan iklim, pemerintah justru mengabaikan fakta permasalahan yang dihadapi, tetapi justru mengusulkan skema Karbon Biru dan sesumbar menetapkan kawasan konservasi seluas 20 juta hektar yang menghilangkan akses masyarakat pesisir (nelayan, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, dan pelestari ekosistem pesisir).

Sementara itu, dalam rangka Hari Nusantara 2015, KIARA bekerjasama dengan Serikat Nelayan Indonesia menyelenggarakan perayaan Hari Nusantara di Kabupaten Tegal bersama 1.000 nelayan dan perempuan.

Pada tahun 2016, KIARA berharap pemerintah tidak lagi berhenti sebatas seremoni dalam peringatan Hari Nusantara. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam rangka menyejahterakan masyarakat pesisir, di antaranya memberikan jaminan perlindungan jiwa, akses kesehatan dan pendidikan, serta rumah tinggal yang layak dan bersih. “Tanpa kesungguhan pemerintah dalam pengelolaan anggaran untuk sebesar-besar masyarakat pesisir, maka cita-cita poros maritim dunia hanya ramai di tong kosong,” tutup Halim.***

 

Untuk informasi selanjutnya, dapat menghubungi:
Budi Laksana, Sekretaris Jenderal SNI : +62 813 1971 6775
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA : +62 815 53100 259

Dokumen FAO mengenai Perikanan dan Perubahan Iklim

[gview file=”http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2015/12/FAO_Fisheries_Climate_Change-1.pdf”]

Siaran Pers dan Deklarasi Bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta

Siaran Pers Bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta:

(KNTI, KIARA, LBH JAKARTA, WALHI JAKARTA, PBHI JAKARTA, Solidaritas Perempuan,  IHCS)

 

Hentikan Proyek Reklamasi Jakarta:

Merampas Laut Menggusur Rakyat

Jakarta, 2 Desember 2015. Seluruh Rakyat Muara Angke mulai dari laki-laki, perempuan, nelayan tradisional, pedagang ikan, tokoh masyarakat dan pemuda menyatakan deklarasi menolak proyek reklamasi Jakarta. Pernyataan penolakan ini merupakan sinyal besar bahwa reklamasi di Teluk Jakarta bukan hanya tidak dibutuhkan oleh nelayan dan masyarakat pesisir Teluk Jakarta, tetapi juga memiliki potensi dampak yang buruk terhadap kehidupan masyarakat. Mereka semua hanya akan menjadi penonton pembangunan tersebut dan kemudian terpinggirkan dari pembangunan yang tidak berkelanjutan dan patriarkis. Terutama bagi perempuan nelayan dan perempuan pesisir yang meskipun berperan sangat signifikan namun tidak diakui oleh Negara.

Gugatan yang diajukan oleh Nelayan dan masyarakat pesisir terhadap izin pelaksanaan Pulau G telah memasuki proses penting yang terkait penyampaian fakta-fakta kepada majelis hakim. Seluruh proyek reklamasi termasuk Pulau G telah disadari akan berdampak buruk kepada masyarakat dengan ancaman bencana di Teluk Jakarta. Namun Basuki Tjahaya alias Ahok selaku Gubernur Provinsi DKI Jakarta tidak bergeming dan justru mempercepat izin reklamasi tanpa diketahui ada izin lingkungan yang wajib untuk setiap kegiatan yang akan berdampak kepada masyarakat dan lingkungan hidup. Alhasil masyarakat yang kemudian dikorbankan.

Ditengah Konferensi Para Pihak dari Konferensi Perubahan Iklim, reklamasi merupakan proyek yang akan tetap mempercepat kerusakan lingkungan dan menambah beban perubahan iklim. Untuk itu Presiden Jokowi berkepentingan melakukan moratorium dan audit lingkungan hidup terhadap program reklamasi yang tersebar di lebih dari 10 kota pesisir di Indonesia. Upaya ini sebagai konsistensi sikap strategi diplomasi Indonesia di KTT perubahan iklim yang sedang berjalan. Karena tidak mungkin ada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berhasil jika pemerintah tutup mata dengan penghancuran ekosistem pesisir seperti yang tengah terjadi dengan reklamasi Jakarta.

Deklarasi ini sebagai upaya dari nelayan tradisional dan masyarakat pesisir Teluk Jakarta untuk memberikan tekanan bahwa proyek reklamasi Pulau G serta pulau-pulau lainnya harus dihentikan selamanya tidak hanya ditunda sementara. Klaim bahwa 80% masyarakat menerima adalah kebohongan yang nyata berdasarkan deklarasi 1000 masyarakat muara angke menolak reklamasi Jakarta. Proyek reklamasi tersebut hanya akan berujung kepada penurunan derajat kualitas hidup nelayan dan masyarakat pesisir.


 

Deklarasi Rakyat Muara Angke Menolak Reklamasi Teluk Jakarta

Kami Rakyat Muara Angke dan Warga Jakarta yang terdiri dari laki-laki, perempuan, nelayan tradisional, perempuan nelayan, pedagang ikan, tokoh masyarakat dan pemuda-pemudi menyatakan menolak proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Proyek Reklamasi yang ditetapkan oleh Rezim Orde Baru tidak didasarkan oleh kebutuhan masyarakat pesisir Teluk Jakarta tetapi hanya menjadi kepentingan properti pengeruk kekayaan alam.

Rakyat pesisir Teluk Jakarta akan terus dikorbankan oleh proyek reklamasi sebagai “pembangunan yang tidak lestari dan tidak berkelanjutan.

Proyek reklamasi hanya menguntungkan ekonomi bagi pengusaha properti dan penguasa yang zalim.

Reklamasi merugikan rakyat secara sosial dan mengancam pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup.

Untuk itu kami dari warga muara angke menyatakan menolak seluruh proyek reklamasi yang sedang berlangsung di Teluk Jakarta.

Kami juga mendesak baik kepada pemerintah pusat dan Pemerintah DKI Jakarta untuk menghentikan pembangunan proyek dan mengembalikan fungsi lingkungan hidup dengan tujuan kesejahteraan nelayan.

Jakarta-Muara Angke, 2 Desember 2015

Yang menyatakan:

Tokoh Masyarakat:

  1. Khafidin, H. Yusron, H. Yusuf, H. Suhari, H. Margono, H. Afandi,
  2. Rokhman, H. Susilo, Sukeri Ompong (Ketua RT/RW 011/11),

Ustad Tohir Ali Sadikin,

Organisasi Masyarakat Sipil:

DPP KNTI, KNTI Jakarta, LBH Jakarta, KIARA, WALHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, ICEL, IHCS.


 

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
M. Taher, Ketua KNTI Jakarta, 08131481482
Handika Febrian, LBH Jakarta, di 085691733221
Martin Hadiwinata, Tim Hukum KNTI, di 081286030453