Ratna Sari Keliat: Mengharmonisasikan Manusia dan Hutan Mangrove

Masyarakat pesisir di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, telah melewati jalan panjang menolak ekspansi perkebunan sawit di atas hutan mangrove seluas 1.200 hektar. Perkebunan sawit membuat pendapatan nelayan menurun drastis dan merampas akses nelayan terhadap sumber penghidupan.

Sejak tahun 2012, KIARA bersama dengan KNTI Kabupaten Langkat berjuang mengembalikan fungsi hutan mangrove seperti semula. Perjalanan panjang membuahkan hasil, seluas 1.200 hektar lahan yang telah dikonversi menjadi kebun sawit kembali difungsikan sebagai hutan mangrove oleh nelayan di Langkat, Sumatera Utara. Sedikitnya 400 hektar lahan telah ditanami ratusan ribu mangrove, baik secara swadaya maupun mendapat bantuan dari pihak-pihak lain.

Hingga hari ini, penanaman secara berkala terus dilakukan bersama dengan nelayan dan perempuan nelayan di Kabupaten Langkat. Menariknya, perempuan nelayan memiliki peran penting dalam pengelolaan wilayah pesisir, khususnya Kabupaten Langkat.

Perempuan Penggerak

Suhu di Langkat, Sumatera Utara, mencapai 33 derajat celcius, panasnya udara tidak menghentikan langkah Ratna Sari Keliat untuk menaiki sampan menuju Desa Perlis. Sepanjang mata memandang, pohon mangrove berjajar rapi. Burung Kuntul Kecil (Egretta garzetta) terlihat dari kejauhan, konon sewaktu alih fungsi hutan mangrove terjadi, burung Kuntul Kecil ini seperti hilang ditelan bumi.

Ratna Sari Keliat, perempuan kelahiran Desa Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, telah hidup dekat dengan pesisir. Kehidupan nelayan dan dinamika yang dihadapi menjadi salah satu faktor yang menggerakkan hatinya untuk berjuang bersama nelayan.

Dulu, saya sering mendengar nelayan mengeluh. Hasil tangkapan sulit, bahkan pernah ada yang hanya mendapatkan Rp 15.000 perhari. Dari situ saya sendiri sadar nelayan itu membutuhkan keberadaan hutan mangrove, mangrove pun butuh pengelolaan yang arif oleh manusia,” ujar Ratna.

Di sisi lain, Ratna terus menyaksikan banyaknya nelayan yang beralih profesi menjadi tukang ojek ataupun merantau ke Jakarta dan sampai ke negeri orang. Sebelum ada konversi hutan mangrove, lebih dari 10 orang warga menjadi pencari madu lebah. Namun, setelah hutan mangrove dibabat habis, para pencari lebah kehilangan mata pencaharian.

Kesadaran mulai tumbuh di hati Ratna, ia mulai merasakan apa yang dirasakan oleh nelayan dan perempuan nelayan. Sejak tahun 2015, Ratna mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Ia terus berupaya memastikan masyarakat terdidik dan memiliki pendapatan yang lebih pasti.

Sewaktu mangrove ditebang, kami menangis. Habislah hidup kalau terus dibabat pohonnya, dari situ saya mulai berpikir bagaimana caranya mendorong nelayan untuk mandiri dan sejahtera. Kebetulan saya menjadi penghubung saat itu,” kata Ratna.

Berjejaring

Pada tahun 2015, Ratna menginisiasi dua kelompok perempuan nelayan yang bergabung di bawah payung PPNI, yaitu Tani Abadi Mangrove di Lubuk Kertang dan Mutiara Bahari di Perlis. Menginisiasi gerakan perempuan nelayan bukan perkara mudah, namun tantangan membangun kelompok yang baik diimbangi dengan upaya membangun komunikasi yang baik antara anggota adalah kebahagiaan tersendiri.

Kelompok yang dibina oleh Ratna digerakkan untuk terlibat aktif dalam mendorong kemandirian melalui pelatihan-pelatihan. Salah satunya adalah pelatihan mengolah mangrove bersama dengan Muara Tanjung/PPNI Serdang Bedagai dengan difasilitasi oleh KIARA dan Dompet Dhuafa.

Pasca, pelatihan kelompok perempuan nelayan yang dibina oleh Ratna mulai diakui dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah dengan fasilitas kapal dari Pemerintah Daerah untuk kelompok nelayan. Di sisi lain, perempuan nelayan mendapatkan fasilitas alat produksi.

Ini salah satu bentuk upaya membantu saudara dan saudari saya, terlalu sering saya mendengar nelayan mengeluh kesulitan mendapatkan penghasilan. Ketika mereka mendapatkan fasilitas APBN/APBD, saya senang sekali,” cerita Ratna membanggakan capaian masyarakat.

Implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang adil menjadi harapan bagi 2,2 juta nelayan Indonesia. Ratna Sari Keliat pun mengharapkan implementasi UU tersebut dapat menghadirkan kesejahteraan nelayan yang ada di Langkat. Tak terkecuali bagi perempuan nelayan.

Mendorong Kemandirian

Ratna sadar jika ia bukan seorang nelayan, namun kepeduliannya  mendorong dirinya untuk terlibat dalam mewujudkan cita-cita kemandirian perempuan nelayan. Saat ini, setidaknya lebih 5 produk mulai diproduksi oleh perempuan nelayan di Langkat. Dari produk yang dihasilkan, perempuan nelayan mulai mendapatkan pendapatan yang cukup.

Hari ini, perempuan menjadi lebih mandiri, mereka memiliki pendapatan tambahan dan cukup untuk jajan anak-anak. Selain itu, perempuan nelayan di sini sudah memiliki posisi yang lebih baik dalam diskusi-diskusi pengambilan keputusan di kampung,” tambah Ratna.

Burung Kuntul Kecil yang sudah mulai datang ke hutan mangrove, menjadi penanda ekosistem di Langkat berangsur pulih. Ratna selalu percaya, mangrove dan manusia memiliki hubungan erat. Manusia menjaga pesisir dan sumber daya pesisir akan memberikan kebaikan kepada masyarakat. Hari ini, Ratna masih memiliki mimpi besar untuk perempuan nelayan. Ia berharap perempuan nelayan dapat diakui oleh negara, yang artinya perempuan memiliki posisi politis yang dilindungi oleh negara.

Perempuan nelayan sudah berkontribusi banyak dalam memenuhi kebutuhan pangan bangsa, mencerdaskan generasi muda, dan menjaga pesisir menjadi lestari, maka selayaknyalah perempuan nelayan diakui oleh negara,” harap Ratna Sari Keliat.*** (SH)

ABK Kapal FV Hua Li 8 Akan Dilindungi

JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Indonesia mengupayakan agar empat warga negara Indonesia yang menjadi anak buah kapal berbendera tiongkok, FV Hua Li 8, dapat dikembalikan ke Tanah Air. Kapal yang menjadi buronan Interpol itu ditangkap TNI Angkatan Laut di Belawan pada 22 April lalu.
Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa, saat dihubungi di jakarta, Rabu (27/4), mengemukakan, Pemerintah Indonesia terus berkoordinasi dengan Interpol dan Pemerintah Argentina terkait penangkapan dan Penahanan Kpal FV Hua Li 8. Kpal tersebut tengah diburu beberapa negara antara lain Argentina.
Kapal FV Hua Li 8 diawaki 29 orang, Empat ABK diantaranya warga negara Indonesia dan 25 ABK lain warga negara Tiongkok. Kapal berbobot 1.275 gros ton dengan panjang 65,02 meter itu memuat 102 ton cumi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), ABK Indonesia masuk kualifikasi korban. Definisi korban menurut UU TPPO  adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
Mas Achmad menambahkan, ABK Indonesia merupakan korban karena telah mengalami penderitaan psikis atas perlakuan ABK asal Tiongkok. Disamping menderita secara mental  karna tak diperhatikan kesejahteraannya, ABK Indonesia itu tidak pernah berlabuh dan mengalami penderitaan fisik karena bekerja melebihi batas, yakni 3 hari berturut-turut tanpa istirahat. Mereka menderita secara ekonomi adalah upah yang dijanjikan tak diberikan sepenuhnya dan sosial karena tidak pernah bertemu keluarga selama bekerja.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan, Pemerintah wajib menyelamatkan empat ABK yang bekerja di kapal itu. (LKT)
Sumber : EKONOMI KOMPAS, Kamis, 28 April 2016 Hal. 17

Kabar Bahari: Reklamasi 17 Pulau Buatan di Teluk Jakarta

KB 20Ahok keukeuh megaproyek reklamasi pantai di Teluk Jakarta akan terus dilanjutkan meski pelbagai penolakan berdasarkan fakta lapangan, akademis, dan bahkan kewarasan spiritualitas telah disampaikan oleh warga ibukota.

Fakta lapangan menunjukkan bahwa: pertama, megaproyek reklamasi pantai di Teluk Jakarta, termasuk pembangunan 17 pulau buatan dan tanggul laut raksasa, bertolak belakang dengan spirit poros maritim dunia yang diresonansikan oleh duet Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Kedua, sedikitnya 52 ribu rumah tangga nelayan di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang dipastikan bakal tergusur oleh proyek properti berinvestasi dalam dan luar negeri ini.

Ketiga, dihilangkannya hak konstitusional warga Jabodetabek sekadar untuk menikmati ombak di Teluk Jakarta dengan membayar ratusan ribu rupiah kepada pengusaha wisata.

Tiga pelanggaran megaproyek (properti) Ahok juga dipertegas dengan adanya pengabaian terhadap ketentuan perundang-undangan. Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010 mengenai Uji Materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia 1945.

Ikuti informasi terkait buletin kabar bahari >> KLIK DISINI <<

Siaran Pers KIARA, 27 April 2016: Negara Mesti Berperan Menghadirkan Usaha Budidaya Udang yang Adil dan Bersemangatkan Gotong-royong

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan – KIARA

www.kiara.or.id

NEGARA MESTI BERPERAN MENGHADIRKAN USAHA BUDIDAYA UDANG YANG ADIL DAN BERSEMANGATKAN GOTONG-ROYONG

Jakarta, 27 April 2016. Konflik Kemitraan Inti-Plasma kembali terjadi di Kawasan Pertambakan Udang PT. Centralpertiwi Bahari pada pertengahan April 2016. Konflik ini disebabkan oleh tidak ketidaktransparanan implementasi perjanjian kemitraan. Hal ini memicu pengusiran 66 petambak udang di Desa Bratasena Mandiri dan Adiwarna, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan bahwa, “Kemitraan Inti-Plasma tidak lagi relevan apabila pemerintah (baca: Kementerian Kelautan dan Perikanan) membiarkan konflik akibat ketidakadilan perjanjian kerja sama dan ketidakterbukaan pelaksanaannya berujung pada dihilangkannya hak-hak konstitusional pembudidaya ikan. Apa yang terjadi di Bratasena merupakan pengulangan dari pengalaman pahit pembudidaya udang Bumi Dipasena yang telah bangkit”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2011) mencatat bahwa, penghilangan hak-hak konstitusional pembudidaya udang dalam pelaksanaan kemitraan inti-plasma disebabkan oleh: (1) perjanjian kerja sama memberikan kewenangan monopoli kepada perusahaan (inti) dalam penyediaan sarana dan prasarana budidaya udang; (2) perantara perusahaan dalam mendelegasikan KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari perbankan, seperti BRI dan BNI, tidak transparan sejak awal kemitraan inti-plasma dimulai. Bahkan terindikasi kuat bahwa perusahaan memperbanyak jumlah petambak sebagai kreditur, padahal sesungguhnya nominalnya tidak mencukupi. Hal ini berdampak terhadap penundaan pelaksanaan aktivitas budidaya udang, sementara saldo hutang bulanan dan biaya-biaya lain yang diperoleh dari perusahaan terus berjalan; dan (3) penentuan harga jual udang ditetapkan secara sepihak tanpa disertai dengan adanya informasi pasar yang bisa diakses secara reguler. Akibatnya, pembudidaya udang senantiasa merugi, meski panen dalam jumlah besar.

“Disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dapat dijadikan sebagai momentum untuk mengganti pola kemitraan inti-plasma. Buktinya, pasca konflik dengan PT. Aruna Wijaya Sakti (anak perusahaan PT. Central Proteina Prima), pembudidaya udang di Bumi Dipasena bangkit secara ekonomi, politik, dan sosial melalui skema usaha budidaya udang yang mandiri, transparan, adil, dan menyejahterakan. Hal ini dikarenakan tidak ada monopoli usaha dan pembudidaya udang terlibat secara gotong-royong dari hulu ke hilir melalui pelbagai program pengembangan masyarakat yang diinisiasi oleh Perhimpunan Petambak dan Pengusaha Udang Wilayah Lampung (P3UW, Koperasi Petambak Bumi Dipa, dan PT. Bumi Dipa,” tambah Halim.

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang mengamanahkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk penjaminan ketersediaan sarana usaha perikanan dan pengendalian harga sarana usaha perikanan, sarana pengolahan, dan pemasaran, meliputi induk, bibit, benih, pakan, obat ikan, geoisolator, air bersih, instalasi penanganan limbah, laboratorium kesehatan ikan, pupuk, alat pemanen, kapal pengangkut ikan hidup; bahan bakar minyak dan sumber energi lainnya, pompa air, kincir angin, dan keramba jaring apung (Pasal 21 ayat [1-7]).

“Gotong-royong sudah mendarah daging di dalam kehidupan 3,8 juta (KKP, 2014) masyarakat pembudidaya udang di Indonesia. Nyatanya, Bumi Dipasena bisa bangkit. Oleh karena itu, untuk menghindari konflik kemitraan inti-plasma, sudah semestinya pemerintah mengedepankan pola gotong-royong berbasis koperasi, bukan monopoli ala perusahaan berbasis kemitraan inti-plasma,” ujar Halim.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

Siaran Pers KIARA, 27 April 2016: Negara Mesti Berperan Menghadirkan Usaha Budidaya Udang yang Adil dan Bersemangatkan Gotong-royong

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan – KIARA

www.kiara.or.id

NEGARA MESTI BERPERAN MENGHADIRKAN USAHA BUDIDAYA UDANG YANG ADIL DAN BERSEMANGATKAN GOTONG-ROYONG

Jakarta, 27 April 2016. Konflik Kemitraan Inti-Plasma kembali terjadi di Kawasan Pertambakan Udang PT. Centralpertiwi Bahari pada pertengahan April 2016. Konflik ini disebabkan oleh tidak ketidaktransparanan implementasi perjanjian kemitraan. Hal ini memicu pengusiran 66 petambak udang di Desa Bratasena Mandiri dan Adiwarna, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan bahwa, “Kemitraan Inti-Plasma tidak lagi relevan apabila pemerintah (baca: Kementerian Kelautan dan Perikanan) membiarkan konflik akibat ketidakadilan perjanjian kerja sama dan ketidakterbukaan pelaksanaannya berujung pada dihilangkannya hak-hak konstitusional pembudidaya ikan. Apa yang terjadi di Bratasena merupakan pengulangan dari pengalaman pahit pembudidaya udang Bumi Dipasena yang telah bangkit”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2011) mencatat bahwa, penghilangan hak-hak konstitusional pembudidaya udang dalam pelaksanaan kemitraan inti-plasma disebabkan oleh: (1) perjanjian kerja sama memberikan kewenangan monopoli kepada perusahaan (inti) dalam penyediaan sarana dan prasarana budidaya udang; (2) perantara perusahaan dalam mendelegasikan KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari perbankan, seperti BRI dan BNI, tidak transparan sejak awal kemitraan inti-plasma dimulai. Bahkan terindikasi kuat bahwa perusahaan memperbanyak jumlah petambak sebagai kreditur, padahal sesungguhnya nominalnya tidak mencukupi. Hal ini berdampak terhadap penundaan pelaksanaan aktivitas budidaya udang, sementara saldo hutang bulanan dan biaya-biaya lain yang diperoleh dari perusahaan terus berjalan; dan (3) penentuan harga jual udang ditetapkan secara sepihak tanpa disertai dengan adanya informasi pasar yang bisa diakses secara reguler. Akibatnya, pembudidaya udang senantiasa merugi, meski panen dalam jumlah besar.

“Disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dapat dijadikan sebagai momentum untuk mengganti pola kemitraan inti-plasma. Buktinya, pasca konflik dengan PT. Aruna Wijaya Sakti (anak perusahaan PT. Central Proteina Prima), pembudidaya udang di Bumi Dipasena bangkit secara ekonomi, politik, dan sosial melalui skema usaha budidaya udang yang mandiri, transparan, adil, dan menyejahterakan. Hal ini dikarenakan tidak ada monopoli usaha dan pembudidaya udang terlibat secara gotong-royong dari hulu ke hilir melalui pelbagai program pengembangan masyarakat yang diinisiasi oleh Perhimpunan Petambak dan Pengusaha Udang Wilayah Lampung (P3UW, Koperasi Petambak Bumi Dipa, dan PT. Bumi Dipa,” tambah Halim.

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang mengamanahkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk penjaminan ketersediaan sarana usaha perikanan dan pengendalian harga sarana usaha perikanan, sarana pengolahan, dan pemasaran, meliputi induk, bibit, benih, pakan, obat ikan, geoisolator, air bersih, instalasi penanganan limbah, laboratorium kesehatan ikan, pupuk, alat pemanen, kapal pengangkut ikan hidup; bahan bakar minyak dan sumber energi lainnya, pompa air, kincir angin, dan keramba jaring apung (Pasal 21 ayat [1-7]).

“Gotong-royong sudah mendarah daging di dalam kehidupan 3,8 juta (KKP, 2014) masyarakat pembudidaya udang di Indonesia. Nyatanya, Bumi Dipasena bisa bangkit. Oleh karena itu, untuk menghindari konflik kemitraan inti-plasma, sudah semestinya pemerintah mengedepankan pola gotong-royong berbasis koperasi, bukan monopoli ala perusahaan berbasis kemitraan inti-plasma,” ujar Halim.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

Visi Pemerintah Diuji Pemprov DKI Jakarta Belum Terima Surat Penghentian Reklamasi

JAKARTA, KOMPAS – Konsistensi visi maritim pemerintah tengah diuji melalui polemik reklamasi Teluk Jakarta saat ini. Keputusan pemerintah terkait reklamasi tersebutnya nantinya berdampak sangat besar terhadap masyarakat pesisir, tak hanya di Jakarta, tetapi juga seluruh wilayah Indonesia.

“Jakarta sebagai episentrum akan menjadi pertaruhan besar. Sebab, akan dijadikan contoh bagi para pengembang ataupun pemerintah daerah di sejumlah wilayah (lain) yang bersiap melakukan reklamasi,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dalam diskusi di Jakarta, Senin (25/4).

Pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini dalam proses penghentian sementara reklamasi Teluk Jakarta. Penyelarasan aturan hingga audit lingkungan akan dilakukan komite gabungan lintas kementerian dan instansi yang dibentuk pemerintah pusat. Komite ini nantinya akan memberi rekomendasi terkait kelanjutan reklamasi di Teluk Jakarta.

Meski demikian, hingga Senin, sepekan sejak pemerintah pusat memutuskan moratorium reklamasi Teluk Jakarta, produk hukum yang menjadi dasar penghentian kegiatan reklamasi di lapangan belum terbit. Pemprov DKI dan pengembang masih menanti kepastian terkait keputusan tersebut.

Sebelumnya diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, di Nusa Dua, Bali, Kamis pekan lalu, menyatakan telah menandatangani surat penghentian sementara reklamasi Teluk Jakarta pada 20 April (Kompas, 22/4).

Akan tetapi, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, Senin siang, menegaskan belum menerima surat itu. “Saya belum menerima suratnya. Yang pasti, kalau ada perintah moratorium, kami tindak lanjuti. Namun, kami belum terima (surat),” ujarnya di Balai Kota Jakarta.

Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Penataan Ruang dan Lingkungan Oswar Mungkasa menambahkan, tanpa dasar hukum jelas, Pemprov DKI tak bisa menghentikan reklamasi. Pengembang yang telah mengantongi izin prinsip, izin pelaksaan, dan izin lain tetap bisa jalan sebelum ada produk hukum penghentian.

“Kami tak bilang bahwa reklamasi tak ada masalah. Namun, kalau (reklamasi) ada masalah, masalahnya di mana, seperti apa, dan bagaimana solusinya? Selama belum ada produk hukum yang mendasari penghentian, Pemprov DKI tidak bisa serta-merta meminta pengembang berhenti,” kata Oswar.

Seluruh Indonesia

Menurut data Kiara, ada 30 daerah yang melakukan reklamasi di seluruh Indonesia. Sebanyak 10 daerah telah jadi, 7 sedang berlangsung, dan 13 akan melakukan reklamasi.

Menurut Halim, ada empat daerah yang paling mungkin terpengaruh keputusan reklamasi Teluk Jakarta, yakni reklamasi Teluk Benoa di Bali, reklamasi pesisir di Kota Semarang, Manado dan Palu.

Proyek-proyek reklamasi ini, tambah Halim, sangat ironis mengingat salah satu visi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah menempatkan laut sebagai halaman depan negara untuk memberi kemakmuran bagi semua pihak.

“Reklamasi Teluk Jakarta hanya bermotif ekonomi. Karena itu, komite gabungan jangan hanya fokus pada penyelarasan aturan semata, tapi benar-benar kembali pada bagaimana lingkungan itu dilestarikan dan nelayan disejahterakan,” kata Halim.

Secara terpisah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan akan terus memantau berbagai penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI. Pemantauan khususnya dilakukan terhadap penggusuran warga di Luar Batang, Jakarta Utara, dan warga pesisir yang terkena dampak reklamasi.

Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh menjelaskan, sebaiknya sebelum menggusur, pemerinah melakukan langkah-langkah pra kondisi supaya anak-anak siap dengan perubahan. Selain itu, juga harus diperhatikan hak interaksi anak-anak yang bisa mendukung tumbuh kembang anak.

Sumber: Kompas, 26 April 2016. Halaman 28

Bantuan Kapal Ikan Sektor Hilir Menggeliat

JAKARTA – Pembagian 3.500 kapal penangkap ikan dapat menggeliatkan kembali pelaku bisnis di bidang pengolahan dan pemasaran produk perikanan yang kini masih terkendala aneka perizinan.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, pengoperasian 3.500 kapal akan mengisi pasokan bahan baku ke sektor hilir. Pengusaha dan nelayan penerima kapal bantuan dapat bermitra dalam bentuk permodalan dan bagi hasil.

Namun, potensi ini, katanya, dapat menjadi celah bagi pengusaha yang sebelumnya terindikasi terlibat dalam illegal, unreported, unregulated  (IUU) fishing. “Mereka ini jadi punya peluang menerbitkan usaha baru dan menutupi nama mereka agar kembali exist,” katanya dalam diskusi bertajuk Paradoks Republik Maritim, Senin (25/4).

Halim menjelaskan, para pengusaha tersebut memiliki sertifikat ekspor. Selain itu, mereka juga memiliki kapal angkut berukuran di atas 250 gros ton (GT) – syarat minimal untuk mengekspor lewat pelabuhan.

Selain menjadi peluang bisnis, Halim menambahkan, keberadaan 3.500 kapal juga dapat menjadi ancaman bagi para pengusaha. Para pemain baru di berbagai wilayah pengelolaan perikanan (WPP) itu akan beririsan dengan pemain-pemain lama.

“Kalau ini tidak diatur bukan tidak mungkin nanti bisa menimbulkan konflik lagi di lapangan.”

Seperti diberitakan sebelumnya, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) mulai menggelar tender pengadaan 3.500 kapal pada akhir pekan lalu. Proses lelang sebanyak 14 tahap akan dipungkasi dengan penandatanganan kontrak pada 25 Mei.

Pengadaan proyek kapal menelan dana Rp2,1 triliun. Dari hasil revisi terakhir, kapal penangkap ikan yang dibangun sebanyak 3.445 unit. Rinciannya, kapal 3 GT sebanyak 1.510 unit, kapal 5 GT 1.020 unit, kapal 10 GT 690 unit. Selain itu, kapal 20 GT 200 unit dan kapal 30 GT 25 unit. Komposisi kapal 10 GT dikurangi 50% dari rencana awal dan dialihkan ke kapal 3 GT.

Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pembangunan seluruh kapal selesai pada November 2016. Selanjutnya, kapal dibagikan kepada ratusan koperasi nelayan di seluruh Indonesia.

Abdul Halim pesimistis proyek dapat selesai tepat waktu. Dia membandingkan dengan pengadaan 1.000 kapal dalam program Inka Mina sepanjang 2010-2014 yang tidak tuntas.

Lebih dari itu, Halim mencemaskan utilitasi 3.500 kapal setelah dibangun. Dia menilai perencanaan proyek tidak didahului dengan kajian matang sehingga berpotensi kontraproduktif dengan visi pemberdayaan nelayan.

Sumber: Bisnis Indonesia, 26 April 2016. Halaman 31.

Pemerintah Buka Gerai Perizinan

JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah berencana meresmikan gerai perizinan kapal ikan di sejumlah wilayah. Hal itu diharapkan memangkas proses perizinan yang dikeluhkan sangat lamban.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Mohammad Abduh Nur Hidajat, di Jakarta, Selasa (19/4), mengemukakan, gerai perizinan ini berada di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari.

Gerai itu dibentuk bersama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perhubungan.

“Sejauh pemilik kapal sudah mengukur ulang kapal dan lengkap dokumennya, bisa kami proses izin usaha perikanan dan izin penangkapan ikan,” katanya.

Persoalan lambannya izin kini menjadi momok bagi pelaku usaha penangkapan ikan di sejumlah wilayah.

Proses perizinan kapal yang seharusnya tuntas dalam 14 hari molor hingga 10 bulan. Padahal, nelayan telah membayar pungutan hasil perikanan setiap tahun di muka sebagai salah satu syarat memperoleh izin.

Akibat lambannya proses perizinan, waktu penangkapan ikan yang didapat menjadi berkurang.

Lambannya proses perizinan di Kementerian Kelautan dan Perikanan bersumber dari banyaknya kapal ikan dalam negeri yang melakukan manipulasi ukuran kapal sehingga perlu pengukuran ulang. Adapun pengukuran ulang kapal merupakan kewenangan Kementerian Perhubungan.

Sebelumnya, percepatan perizinan tengah dilakukan dengan membuka gerai pengukuran ulang kapal di Jawa Tengah.

Transparansi

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengemukakan, gerai perizinan harus bisa menerapkan transparansi dalam prosedur perizinan. Dengan demikian, semua pihak yang terkait bisa melakukan verifikasi terhadap tahapan perizinan, dokumen, dan kepastian proses selesai.

Keberadaan gerai perizinan harus mendorong perizinan satu pintu dan diharapkan memutus biaya tinggi perizinan dan pungutan liar, di samping memangkas proses perizinan.

Selama ini persoalan transparansi dan juga pungutan liar menjadi masalah utama dalam hal perizinan. Masyarakat masih butuh diyakinkan bahwa proses yang dilalui tidak memunculkan pungutan yang tidak semestinya.

Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto mengemukakan, Presiden telah berkomitmen untuk memudahkan proses perizinan melalui perizinan satu pintu.

Oleh karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan harus mampu membuktikan proses perizinan penangkapan ikan tuntas dalam 14 hari sesuai dengan ketentuan.

Ia menambahkan, tidak semua kapal lokal bermasalah. Untuk itu, ia berharap proses pengukuran ulang kapal jangan diperpanjang.

Sumber: Kompas, 20 April 2016.

Perikanan Perlindungan Nelayan Perlu Dikonkretkan

Perlindungan Nelayan Perlu Dikonkretkan

JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah diharapkan segera merumuskan skema perlindungan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Hal itu menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, di Jakarta, Minggu (24/4), mengemukakan, terdapat tiga subyek hukum yang mendapatkan skema perlindungan dan pemberdayaan berdasarkan UU No 7 Tahun 2016.

Menurut Halim, program konkret yang harus dijalankan untuk nelayan dan mendesak adalah jaminan asuransi jiwa dan kesehatan. Berdasarkan data Kiara tahun 2015, 230 jiwa nelayan hilang dan meninggal di laut.

Ia mencontohkan, sebagai perbandingan, nelayan di Malaysia diberi perlindungan antara lain dengan kemudahan pemberian kartu nelayan.

Dengan menggunakan kartu itu, pemerintah akan lebih mudah memeriksa subyek penerima bantuan serta mengevaluasi program. “Program perlindungan nelayan dan pembudidaya harus disandingkan dengan kesiapan sistem hulu ke hilir,” ujar Halim.

Penyediaan Akses

Adapun untuk pembudidaya, program yang paling mendesak adalah penyediaan listrik, akses menuju tambak, serta pakan yang reguler dan murah. Sementara untuk petambak garam antara lain dibutuhkan penyediaan akses ke tambak, penerangan, dan transportasi yang murah untuk aktivitas pemasaran garam.

Program prioritas perlindungan nelayan tersebut perlu ditunjang dengan alokasi anggaran dan sinkronisasi program prioritas lintas kementerian atau lembaga negara.

Pada 2016, alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan Rp 13,8 triliun. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, 80 persen alokasi anggaran ditujukan bagi pemangku kepentingan. Meskipun demikian, tahun ini pihaknya berencana berhemat Rp 2,9 triliun.

Menurut Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik, asuransi nelayan adalah unsur penting dalam kepastian usaha perikanan. “Kami mendukung pemerintah untuk terus meningkatkan akses masyarakat nelayan terhadap asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),” ujarnya.

Ditargetkan tahun ini 1 juta nelayan mendapatkan asuransi dari BPJS. Sebelumnya, pemerintah menyatakan komitmen membayar premi asuransi bagi nelayan kapal di bawah 10 gros ton (GT) serta pembudidaya ikan dan petambak skala kecil. Pada 2016 telah dialokasikan anggaran asuransi tahap pertama senilai Rp 250 miliar untuk 1 juta nelayan kecil.

Sumber: Kompas, 25 April 2016. Halaman 18

Siaran Pers Bersama: Masyarakat Pesisir Aceh Dorong Implementasi Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam

Siaran Pers Bersama

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh

BEM Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Unsyiah

 

Masyarakat Pesisir Aceh Dorong Implementasi Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam

Banda Aceh, 15 April 2016. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dalam Perspektif Undang-Undang Pemerintahan Aceh” di Banda Aceh, Aceh. Diskusi yang dihadiri oleh Panglima Laot Lhok dari Lhoknga, Lampuuk, dan Kuala Gigieng Lambada, nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, LSM, akademisi, dan mahasiswa ini terselenggara atas kerja sama BEM Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala dengan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Dalam diskusi ini, salah satu rekomendasi yang dihasilkan dan akan disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) adalah penyusunan Qanun mengenai Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Ardiansyah, Ketua BEM Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala mengatakan, “Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam merupakan instrumen hukum yang dapat digunakan untuk mendesak hadirnya negara dalam memfasilitasi hadirnya rasa aman, nyaman, dan lebih sejahtera kepada ketiga pahlawan republik ini. Di sinilah pentingnya kami merayakan Hari Nelayan Nasional 2016 dengan mendiskusikan UU tersebut”.

Senada dengan itu, Rahmi Fajri, Sekretaris Jenderal KuALA menegaskan bahwa, “Undang-Undang ini mengamanahkan kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun perencanaan perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota (Pasal 11). Perencanaan ini memuat kebijakan dan strategi perlindungan dan pemberdayaan, terdiri dari jangka pendek, menengah, dan panjang”.

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam tengah menunggu pencatatan Lembaran Negara oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-Undang ini bertujuan untuk: (a) menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha; (b) memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan; (c) meningkatkan kemampuan dan kapasitas Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam; menguatkan kelembagaan dalam mengelola sumber daya Ikan dan sumber daya kelautan serta dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan; (d) menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha; (e) melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran; dan (f) memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum (Pasal 3).

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menambahkan bahwa, “Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam ini berlaku untuk nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam yang berkewarganegaraan dan berkedudukan di Indonesia. Tak hanya itu, UU ini juga berlaku bagi keluarga Nelayan dan Pembudi Daya Ikan yang melakukan pengolahan dan pemasaran (Pasal 5)”.Lebih dari itu, kegiatan pemberdayaan diwajibkan memperhatikan keterlibatan dan peran perempuan dalam rumah tangga Nelayan, rumah tangga Pembudi Daya Ikan, dan rumah tangga Petambak Garam (Pasal 45).

Oleh karena itu, pembahasan Rancangan Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara/Daerah Tahun 2017 sudah semestinya mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan Rencana Perlindungan dan Pemberdayaan tersebut (Pasal 59).***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Ardiansyah, Ketua BEM Fakultas Kelautan dan Perikanan Unviersitas Syiah Kuala di +62 853 7316 5855
Rahmi Fajri, Sekretaris Jenderal KuALA di +62 852 7591 3546
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259