Ratna Sari Keliat: Mengharmonisasikan Manusia dan Hutan Mangrove
Masyarakat pesisir di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, telah melewati jalan panjang menolak ekspansi perkebunan sawit di atas hutan mangrove seluas 1.200 hektar. Perkebunan sawit membuat pendapatan nelayan menurun drastis dan merampas akses nelayan terhadap sumber penghidupan.
Sejak tahun 2012, KIARA bersama dengan KNTI Kabupaten Langkat berjuang mengembalikan fungsi hutan mangrove seperti semula. Perjalanan panjang membuahkan hasil, seluas 1.200 hektar lahan yang telah dikonversi menjadi kebun sawit kembali difungsikan sebagai hutan mangrove oleh nelayan di Langkat, Sumatera Utara. Sedikitnya 400 hektar lahan telah ditanami ratusan ribu mangrove, baik secara swadaya maupun mendapat bantuan dari pihak-pihak lain.
Hingga hari ini, penanaman secara berkala terus dilakukan bersama dengan nelayan dan perempuan nelayan di Kabupaten Langkat. Menariknya, perempuan nelayan memiliki peran penting dalam pengelolaan wilayah pesisir, khususnya Kabupaten Langkat.
Perempuan Penggerak
Suhu di Langkat, Sumatera Utara, mencapai 33 derajat celcius, panasnya udara tidak menghentikan langkah Ratna Sari Keliat untuk menaiki sampan menuju Desa Perlis. Sepanjang mata memandang, pohon mangrove berjajar rapi. Burung Kuntul Kecil (Egretta garzetta) terlihat dari kejauhan, konon sewaktu alih fungsi hutan mangrove terjadi, burung Kuntul Kecil ini seperti hilang ditelan bumi.
Ratna Sari Keliat, perempuan kelahiran Desa Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, telah hidup dekat dengan pesisir. Kehidupan nelayan dan dinamika yang dihadapi menjadi salah satu faktor yang menggerakkan hatinya untuk berjuang bersama nelayan.
“Dulu, saya sering mendengar nelayan mengeluh. Hasil tangkapan sulit, bahkan pernah ada yang hanya mendapatkan Rp 15.000 perhari. Dari situ saya sendiri sadar nelayan itu membutuhkan keberadaan hutan mangrove, mangrove pun butuh pengelolaan yang arif oleh manusia,” ujar Ratna.
Di sisi lain, Ratna terus menyaksikan banyaknya nelayan yang beralih profesi menjadi tukang ojek ataupun merantau ke Jakarta dan sampai ke negeri orang. Sebelum ada konversi hutan mangrove, lebih dari 10 orang warga menjadi pencari madu lebah. Namun, setelah hutan mangrove dibabat habis, para pencari lebah kehilangan mata pencaharian.
Kesadaran mulai tumbuh di hati Ratna, ia mulai merasakan apa yang dirasakan oleh nelayan dan perempuan nelayan. Sejak tahun 2015, Ratna mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Ia terus berupaya memastikan masyarakat terdidik dan memiliki pendapatan yang lebih pasti.
“Sewaktu mangrove ditebang, kami menangis. Habislah hidup kalau terus dibabat pohonnya, dari situ saya mulai berpikir bagaimana caranya mendorong nelayan untuk mandiri dan sejahtera. Kebetulan saya menjadi penghubung saat itu,” kata Ratna.
Berjejaring
Pada tahun 2015, Ratna menginisiasi dua kelompok perempuan nelayan yang bergabung di bawah payung PPNI, yaitu Tani Abadi Mangrove di Lubuk Kertang dan Mutiara Bahari di Perlis. Menginisiasi gerakan perempuan nelayan bukan perkara mudah, namun tantangan membangun kelompok yang baik diimbangi dengan upaya membangun komunikasi yang baik antara anggota adalah kebahagiaan tersendiri.
Kelompok yang dibina oleh Ratna digerakkan untuk terlibat aktif dalam mendorong kemandirian melalui pelatihan-pelatihan. Salah satunya adalah pelatihan mengolah mangrove bersama dengan Muara Tanjung/PPNI Serdang Bedagai dengan difasilitasi oleh KIARA dan Dompet Dhuafa.
Pasca, pelatihan kelompok perempuan nelayan yang dibina oleh Ratna mulai diakui dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah dengan fasilitas kapal dari Pemerintah Daerah untuk kelompok nelayan. Di sisi lain, perempuan nelayan mendapatkan fasilitas alat produksi.
“Ini salah satu bentuk upaya membantu saudara dan saudari saya, terlalu sering saya mendengar nelayan mengeluh kesulitan mendapatkan penghasilan. Ketika mereka mendapatkan fasilitas APBN/APBD, saya senang sekali,” cerita Ratna membanggakan capaian masyarakat.
Implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang adil menjadi harapan bagi 2,2 juta nelayan Indonesia. Ratna Sari Keliat pun mengharapkan implementasi UU tersebut dapat menghadirkan kesejahteraan nelayan yang ada di Langkat. Tak terkecuali bagi perempuan nelayan.
Mendorong Kemandirian
Ratna sadar jika ia bukan seorang nelayan, namun kepeduliannya mendorong dirinya untuk terlibat dalam mewujudkan cita-cita kemandirian perempuan nelayan. Saat ini, setidaknya lebih 5 produk mulai diproduksi oleh perempuan nelayan di Langkat. Dari produk yang dihasilkan, perempuan nelayan mulai mendapatkan pendapatan yang cukup.
“Hari ini, perempuan menjadi lebih mandiri, mereka memiliki pendapatan tambahan dan cukup untuk jajan anak-anak. Selain itu, perempuan nelayan di sini sudah memiliki posisi yang lebih baik dalam diskusi-diskusi pengambilan keputusan di kampung,” tambah Ratna.
Burung Kuntul Kecil yang sudah mulai datang ke hutan mangrove, menjadi penanda ekosistem di Langkat berangsur pulih. Ratna selalu percaya, mangrove dan manusia memiliki hubungan erat. Manusia menjaga pesisir dan sumber daya pesisir akan memberikan kebaikan kepada masyarakat. Hari ini, Ratna masih memiliki mimpi besar untuk perempuan nelayan. Ia berharap perempuan nelayan dapat diakui oleh negara, yang artinya perempuan memiliki posisi politis yang dilindungi oleh negara.
“Perempuan nelayan sudah berkontribusi banyak dalam memenuhi kebutuhan pangan bangsa, mencerdaskan generasi muda, dan menjaga pesisir menjadi lestari, maka selayaknyalah perempuan nelayan diakui oleh negara,” harap Ratna Sari Keliat.*** (SH)