Siaran Pers KIARA, 27 April 2016: Negara Mesti Berperan Menghadirkan Usaha Budidaya Udang yang Adil dan Bersemangatkan Gotong-royong
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan – KIARA
www.kiara.or.id
NEGARA MESTI BERPERAN MENGHADIRKAN USAHA BUDIDAYA UDANG YANG ADIL DAN BERSEMANGATKAN GOTONG-ROYONG
Jakarta, 27 April 2016. Konflik Kemitraan Inti-Plasma kembali terjadi di Kawasan Pertambakan Udang PT. Centralpertiwi Bahari pada pertengahan April 2016. Konflik ini disebabkan oleh tidak ketidaktransparanan implementasi perjanjian kemitraan. Hal ini memicu pengusiran 66 petambak udang di Desa Bratasena Mandiri dan Adiwarna, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan bahwa, “Kemitraan Inti-Plasma tidak lagi relevan apabila pemerintah (baca: Kementerian Kelautan dan Perikanan) membiarkan konflik akibat ketidakadilan perjanjian kerja sama dan ketidakterbukaan pelaksanaannya berujung pada dihilangkannya hak-hak konstitusional pembudidaya ikan. Apa yang terjadi di Bratasena merupakan pengulangan dari pengalaman pahit pembudidaya udang Bumi Dipasena yang telah bangkit”.
Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2011) mencatat bahwa, penghilangan hak-hak konstitusional pembudidaya udang dalam pelaksanaan kemitraan inti-plasma disebabkan oleh: (1) perjanjian kerja sama memberikan kewenangan monopoli kepada perusahaan (inti) dalam penyediaan sarana dan prasarana budidaya udang; (2) perantara perusahaan dalam mendelegasikan KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari perbankan, seperti BRI dan BNI, tidak transparan sejak awal kemitraan inti-plasma dimulai. Bahkan terindikasi kuat bahwa perusahaan memperbanyak jumlah petambak sebagai kreditur, padahal sesungguhnya nominalnya tidak mencukupi. Hal ini berdampak terhadap penundaan pelaksanaan aktivitas budidaya udang, sementara saldo hutang bulanan dan biaya-biaya lain yang diperoleh dari perusahaan terus berjalan; dan (3) penentuan harga jual udang ditetapkan secara sepihak tanpa disertai dengan adanya informasi pasar yang bisa diakses secara reguler. Akibatnya, pembudidaya udang senantiasa merugi, meski panen dalam jumlah besar.
“Disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dapat dijadikan sebagai momentum untuk mengganti pola kemitraan inti-plasma. Buktinya, pasca konflik dengan PT. Aruna Wijaya Sakti (anak perusahaan PT. Central Proteina Prima), pembudidaya udang di Bumi Dipasena bangkit secara ekonomi, politik, dan sosial melalui skema usaha budidaya udang yang mandiri, transparan, adil, dan menyejahterakan. Hal ini dikarenakan tidak ada monopoli usaha dan pembudidaya udang terlibat secara gotong-royong dari hulu ke hilir melalui pelbagai program pengembangan masyarakat yang diinisiasi oleh Perhimpunan Petambak dan Pengusaha Udang Wilayah Lampung (P3UW, Koperasi Petambak Bumi Dipa, dan PT. Bumi Dipa,” tambah Halim.
Sebagaimana diketahui, Undang-Undang mengamanahkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk penjaminan ketersediaan sarana usaha perikanan dan pengendalian harga sarana usaha perikanan, sarana pengolahan, dan pemasaran, meliputi induk, bibit, benih, pakan, obat ikan, geoisolator, air bersih, instalasi penanganan limbah, laboratorium kesehatan ikan, pupuk, alat pemanen, kapal pengangkut ikan hidup; bahan bakar minyak dan sumber energi lainnya, pompa air, kincir angin, dan keramba jaring apung (Pasal 21 ayat [1-7]).
“Gotong-royong sudah mendarah daging di dalam kehidupan 3,8 juta (KKP, 2014) masyarakat pembudidaya udang di Indonesia. Nyatanya, Bumi Dipasena bisa bangkit. Oleh karena itu, untuk menghindari konflik kemitraan inti-plasma, sudah semestinya pemerintah mengedepankan pola gotong-royong berbasis koperasi, bukan monopoli ala perusahaan berbasis kemitraan inti-plasma,” ujar Halim.***
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA
di +62 815 53100 259