Reklamasi Teluk Jakarta, Pengembang Diberi Waktu 120 Hari
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (11/5), resmi menyegel atau menghentikan sementara kegiatan reklamasi di Pulau C, D, dan G, Teluk Jakarta, hingga 120 hari mendatang. Perusahaan pengembang bisa beraktivitas kembali jika telah melengkapi dan memperbaiki dokumen lingkungan serta konstruksi yang tak ramah lingkungan.
Penyegelan itu dipimpin San Afri Awang, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan sekaligus Ketua Tim Evaluasi Reklamasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Awang didampingi Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan KLHK; dan Ilyas Asaad, Staf Ahli Menteri LHK Bidang Kelembagaan Pusat dan Daerah.
Pemerintah melarang seluruh kegiatan konstruksi dan perluasan reklamasi di ketiga pulau tersebut. kegiatan yang diperbolehkan hanya yang terkait paksaan pemerintah untuk perbaikan manajemen lingkungan dan pengawasan/pengendalian dampak lingkungan.
Di Pulau C dan D, penyegelan dilakukan karena pengembang PT Kapuk Naga Indah (KNI), yang merupakan anak perusahaan Agung Sedayu Group, tak memisahkan kedua pulau itu dengan kanal. Kedua pulau yang masih terus diperluas dengan menguruk laut itu kini kondisinya menyatu menjadi satu daratan luas.
KLHK memberi waktu 90 hari kepada PT KNI untuk membangun kanal dengan membongkar batas kedua pulau agar bisa dilewati air dan lalu lintas perahu warga.
Dibatalkan
Terkait Pulau E yang menjadi bagian dari dokumen lingkungan Pulau C dan D, Awang menyatakan agar rencana reklamasi pulau ini dibatalkan. Saat ini, proses pembuatan Pulau E belum berjalan dan dalam dokumen lingkungan yang direvisi disebutkan, reklamasi Pulau E, yang konsesinya juga dipegang PT KNI, harus dibatalkan.
Saat penyegelan Pulau G di kawasan Muara Karang, Jakarta Utara, Rasio mengatakan, reklamasi Pulau G oleh pengembang PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan Agung Podomoro Land), dilakukan tanpa koordinasi dengan pengelola PLTU Muara Karang.
“PLTU Muara Karang, yang menyuplai listrik warga Jakarta, membutuhkan aliran air untuk pendingin. Pembangunan yang berjalan jangan mengganggu kegiatan di tempat lain, apalagi ini obyek vital nasional,” katanya.
Pemerintah juga memaksa pemrakarsa kegiatan reklamasi melengkapi dokumen lingkungan terkait sumber material urukan. KLHK menemukan semua pengembang tak bisa menyebutkan detail lokasi pengambilan material urukan serta kelengkapan dokumen lingkungan penambangan pasir laut.
Penanggung jawab kegiatan reklamasi di sejumlah pulau itu menyebutkan, sumber pasir laut berasal dari perairan Serang, Banten. Manajer Lingkungan PT KNI Kosasih Wirahadikusumah mengatakan, pihaknya menggunakan lima menyuplai pasir.
“Banyak sekali yang menawarkan (pasir laut) dari Serang, tetapi kami periksa setiap penawaran agar dilengkapi izin penambangan galian C dari daerah,” ujarnya. Namun, ia mengakui, pihaknya tak mengecek dokumen lingkungan dari para penyuplai itu.
Manajer Proyek PT Muara Wisesa Samudera (MWS) Andreas mengatakan, pihaknya akan mempelajari dahulu surat keputusan Menteri LHK yang menghentikan kegiatan di lokasinya.
Rasio mengatakan, pihaknya akan menjatuhkan sanksi lebih berat berupa pembekuan hingga pencabutan izin lingkungan jika paksaan pemerintah tak dijalankan. “Penyegelan ini pun akan dilakukan di pulau lain. Ini sedang kami siapkan,” katanya.
Pelaksanaan tak sesuai
Menanggapi langkah KLHK ini, Kepala Biro Penataan Kota dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Vera Revina Sari mengatakan, PT KNI dan PT MWS telah mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI.
“Izin pelaksanaan reklamasi dikeluarkan ketika sudah ada amdal. Artinya, secara administratif, pengembang Pulau C, D, dan G tak ada masalah. Dokumen perencanaan dan amdal tak masalah. Namun, pelaksanaannya bisa jadi tak sesuai atau menyimpang,” kata Vera.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui dinas penataan kota menyegel kegiatan konstruksi bangunan di atas Pulau D. PT KNI dianggap melanggar karena belum mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Izin pemanfaatan ruang, termasuk IMB, di pulau buatan ini tak bisa diterbitkan karena belum ada panduan rancang kota atau urban design guidelines.
Aktivis lingkungan dan perwakilan warga menganggap penyegelan pulau oleh KLHK itu hanya formalitas, tanpa menyentuh substansi. “Yang dipersoalkan hanya administratif belaka, tanpa diikuti penindakan terhadap pemegang kuasa. Padahal, pengabaian aturan terjadi dengan berdirinya pulau tersebut,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim, Rabu.
Ribuan nelayan dan warga pesisir menolak proyek ini karena mengganggu penghidupan mereka. “Karena itu, bukan hanya penyegelan, mestinya juga pencabutan izin hingga pembongkaran pulau,” ujarnya.
Sumber: Kompas, 12 Mei 2016. Halaman 1 dan 15