Jakarta, 25 Juli 2016. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas terdakwa Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Sunny Tanuwidjaja, staf ahli Gubernur DKI Jakarta, hadir memberikan kesaksiannya pada Senin (25/7) ini.
Dalam kesaksiannya, Ahok mengungkapkan 2 hal sebagai berikut: pertama, yang berhak membatalkan reklamasi adalah presiden bukan menteri. Hal ini, menurut Ahok, karena dasar dari proyek reklamasi adalah Peraturan Presiden No. 52 Tahun 1995 yang tidak bisa dibatalkan oleh Peraturan Menteri; dan kedua, persoalan syarat kontribusi tambahan sebesar 15 persen. Menurut Ahok, tak satu pun pengembang yang keberatan terhadap syarat ini.
Namun, untuk kesaksian yang kedua, Ahok berbeda dengan pengakuan Sunny. Menurut ketarangan Sunny, ia pernah mendapat keluhan dari pengembang reklamasi terkait tambahan kontribusi sebesar 15 persen yang dimuat dalam Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
Terlepas dari dua kesaksian tersebut, untuk melegitimasi proyek reklamasinya, Ahok selalu berlindung di balik alasan-alasan yang tidak prinsipil. Padahal sejak awal, ia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 2338 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra yang merupakan anak perusahaan Agung Podomoro Land (APL). SK ini terbukti melanggar banyak aturan yang lebih tinggi di atasnya.
Di dalam SK No. 2238 Tahun 2014 tersebut, Ahok menyebut sejumlah peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum. Setidaknya ada 10 peraturan yang ditulis, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014; 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Oaerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014; 5) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak Cianjur; 6) Peraturan Oaerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030; 7) Keputusan Gubernur Nomor 138 Tahun 2000 tentang Tata Cam Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta; 8) Peraturan Gubernur Nomor 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta; dan 9) Keputusan Gubernur Nomor 1901/2009 tentang Pembentukan Tim Sementara Care taker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Padahal, dalam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) disebutkan bahwa SK Gubernur 2238 2014: 1) Melanggar Hukum karena tidak dijadikannya UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 2) Tidak adanya Rencana Zonasi sebagaimana diamanatkan Pasal 7 ayat 1 UU 27 Tahun 2007; 3) Proses penyusunan Amdal tidak partisipatif dan tidak melibatkan nelayan; 4) Reklamasi tidak sesuai dengan Prinsip pengadaan lahan untuk kepentingan umum sebagaimana UU 2/2012; 5) Tidak ada kepentingan umum dalam reklamasi, hanya kepentingan bisnis semata; 6) Menimbulkan dampak fisik, biologi, sosial ekonomi, dan infrastruktur; 7) menimbulkan kerusakan lingkungan dan berdampak kerugian bagi para penggugat (nelayan); dan 8) Mengganggu Objek Vital berupa PLTU, PLTGU karang, PLTGU Muara tawar, Pelabuhan Tanjung Priok yang terletak di sekitar proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta akan terganggu langsung ataupun tidak langsung.
Reklamasi akan menyebabkan meningkatnya suhu air laut 1-2 derajat yang tidak akan efektif untuk mendinginkan reaktor pembangkit listrik dalam PLTU, PLTGU karang, PLTGU Muara tawar. Padahal PLTU/PLTGU Muara Karang sebagai objek vital nasional menyuplai 45% kebutuhan listrik di Jakarta termasuk Istana Negara, Monas, Jl. Sudirman, termasuk juga menyuplai PLTGU Muara Tawar, Pelabuhan Tanjung Priok.
Selain itu, Majelis Hakim juga menyatakan SK Gubernur DKI No. 2238 Tahun 2014 bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan juga bertentangan dengan Asas-asas umum Pemerintahan yang baik (AUPB), yaitu asas kepastian hukum, asas tertib penyelengara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalistas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Sebagaimana diketahui, selain mengeluarkan SK No. 2238 Tahun 2014, Ahok juga mengeluarkan tiga SK, yaitu: 1) Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo, terbit pada tanggal 22 Oktober 2015; 2) Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci, terbit pada tanggal 22 Oktober 2015; 3) Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk, terbit pada tanggal 17 November 2015.
Selama ini dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta, Ahok selalu dicitrakan sebagai pihak bersih yang bebas dari korupsi. Padahal, jika membaca putusan PTUN tersebut, maka Ahok telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk memberikan keuntungan kepada korporasi. Untuk itu, tidak ada alasan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangkap Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Sementara itu, di dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.***
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Parid Ridwanudin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA di +62
Abdul Halim, Sekjen KIARA di +62 815 53100 259
Catatan Kaki: Dalam Pasal 2 Ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.