Siti Khodijah: Melangkah Menuju Kemandirian

Hidup dalam kegelapan, tanpa fasilitas listrik dari negara telah dijalani oleh 40.000 masyarakat pembudidaya udang di Bumi Dipasena selama 4 tahun lamanya. Beberapa petambak pernah membuat lelucon satir tentang kondisi petambak di Bumi Dipasena, di mana petambaklah yang bergantung pada udang dalam kehidupan sehari-hari, bukan udang yang bergantung pada manusia. Jika udang membutuhkan udara, barulah genset-genset dinyalakan dan para perempuan pembudidaya merasa bisa menikmati kehidupan.

Tanpa listrik, petambak di Bumi Dipasena terus melakukan ‘gerilya’ kemandirian dan kesejahteraan yang didorong secara swadaya. Mulai dari mengembangkan pola kemitraan yang adil dan lebih ‘memanusiakan manusia’ hingga memastikan fasilitas umum petambak, seperti ambulans.

Pada saat bersamaan, negara terus mendorong hasil produksi udang di tingkat nasional, yaitu 785.900 ton di tahun 2015. Tumpuan terbesar berada di Bumi Dipasena, di mana hasil produksi perbulan mencapai 20-30 ton per bulan. Besarnya produksi yang didorong, tentu akan berdampak bagi kehidupan perempuan. Namun, sudah sejauh mana negara memfasilitasi kebutuhan perempuan pembudidaya?

Dalam siklus berbudidaya, perempuan pembudidaya memiliki peran penting. Perempuan pembudidaya dapat bekerja selama 15 jam perhari, mulai dari mengurus kebutuhan keluarga, seperti memasak, mencuci baju, dan merapikan rumah. Sedangkan berkaitan dengan kegiatan berbudidaya, perempuan pembudidaya berkontribusi dalam memberikan pakan udang, memastikan kesehatan udang, hingga membantu ketika panen udang. Hal inilah yang muncul dan disepakati oleh peserta dalam Pelatihan Pengenalan Mangrove yang diadakan pada Mei 2015 di Sekretariat P3UW, Bumi Dipasena, Lampung.

Salah satu yang hadir adalah seorang perempuan dari Desa Bumi Dipasena Jaya, Siti Khotijah. Seorang perempuan yang hingga hari ini terus berjuang mendorong kemandirian dan kesejahteraan perempuan pembudidaya di Bumi Dipasena.

Kenangan Perahu Cadik

Sewaktu kecil, Siti Khotijah sering mendengar ayahnya bercerita tentang Perahu Cadik. Perahu yang sering dijumpai di perairan Madura dan merupakan salah satu simbol pesisir yang hari ini nyaris hilang.

“Bapak asli Madura, sedangkan ibu lahir di Lampung, tapi keturunan Jawa. Dulu waktu kecil sering mendengar cerita tentang perahu cadik. Katanya perahu itu ada sayap-sayapnya,” kenang Siti Khotijah.

Berdasarkan cerita dari bapaknya, perahu cadik merupakan salah satu upaya masyarakat dalam merancang kapal yang sesuai dengan kondisi alam sehingga nelayan tetap bisa melaut sekalipun ombak sedang tinggi. Sayap-sayap yang dimaksud oleh Siti Khotijah adalah bambu-bambu di samping kiri dan kanan sebagai penyeimbang. Kenangan inilah yang membuat Siti Khotijah selalu dekat dengan hal-hal yang berbau pesisir.

Di sisi lain, filosofi hidupnya menjadi seperti perahu cadik. Seberapa besar ombak yang dihadapi oleh Siti Khotijah, tidak akan menyurutkan perjuangan Siti Khotijah.

Siti Khotijah adalah anak ke-9 dari 11 bersaudara. Sedari kecil Siti Khotijah tidak pernah lelah berjuang untuk menjadikan pendidikan sebagai prioritas. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang tidak sedikit, di umur 8 tahun, Siti Khotijah sudah mulai membantu ibunya berjualan atau mengurus rumah.

“Banyak anak, banyak pengeluaran. Jadi kami harus bantu ibu dan bapak, dari situlah saya memahami kalau pendidikan itu mahal sekali. Tapi patut untuk diperjuangkan,” kata Siti Khotijah.

Namun, dengan kondisi keuangan yang tidak lagi memungkinkan, Siti Khotijah harus mengalah. Ia memberikan peluang pendidikan kepada adik-adiknya, karena itulah Siti Khotijah hanya mampu mengendapkan impiannya untuk merasakan duduk di bangku kuliah.

Belajar Hingga ke Negeri Cina

Menikah dengan salah satu petambak menjadi salah satu alasan Siti Khotijah pindah ke Bumi Dipasena. Ia dikaruniai dua orang anak, satu laki-laki dan perempuan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Siti Khotijah berjualan jajanan untuk anak-anak di sekolah. Jika sedang libur sekolah, maka ia beralih profesi sementara: berjualan sayur keliling desa.

Kegigihan Siti Khotijah pun terlihat sewaktu mengikuti beragam pelatihan yang diinisiasi oleh KIARA. Salah satunya adalah Pelatihan Gender dan Pengenalan Mangrove. Siti Khotijah memperlihatkan antusiasme dalam belajar dan memperkaya dirinya dengan ilmu.

“Pertama kali diperkenalkan mengenai organisasi, saya yakin PPNI adalah wadah yang baik untuk terlibat aktif dan belajar di dalamnya,” jelas Siti Khotijah.

Selain itu, Siti Khotijah pun terpilih menjadi Koordinator Baret PPNI-P3UW Lampung. Hal ini pun mendapat dukungan penuh dari kawan-kawan di Bumi Dipasena dan salah satunya adalah anggota Dewan Presidium PPNI, Erna Leka.

Semangat Siti Khotijah pun semakin menggebu, setelah terpilih menjadi Koordinator, ia mulai gencar memperkenalkan PPNI di daerahnya. Bahkan ia pernah diundang secara khusus untuk menjelaskan apa saja program PPNI dan bagaimana keterlibatannya selama ini di tingkat nasional.

“Saya belajar betul, bagaimana saya bisa berbicara dengan baik di depan umum, bagaimana saya mendorong kemandirian dan kesejahteraan perempuan, dan bagaimana saya belajar agar diri saya tidak cepat puas dengan ilmu yang saya miliki hari ini,” ujar Siti Khotijah.

Beberapa kali Siti Khotijah mendapatkan kesempatan baik untuk belajar dengan perempuan-perempuan nelayan lainnya, seperti hadir di dalam South East Asia Fisherwomen Symposium and Festival yang diadakan pada tanggal 29-30 Desember 2015. Dalam kesempatan tersebut, Siti Khotijah bisa bertemu dengan perempuan nelayan dari Malaysia, Kamboja, dan Filipina.

Membangun Kemandirian

Hari ini, Siti Khotijah masih terus memproduksi kerupuk udang. Pasca mengikuti studi banding di Sidoarjo, Siti Khotijah mulai mengkreasikan kerupuk udangnya dengan inovasi kemasan yang lebih menarik. Selain itu, kreasi produk pun mulai dikembangkan, salah satunya adalah membuat kemplang.

Namun, Siti Khotijah sadar, perjuangannya bukan sekadar berkutat di dalam aktivitas ekonomi. Siti Khotijah mulai paham bahwa ada negara sebagai payung besar bangsa ini dalam memastikan kesejahteraan dan kemandirian rakyatnya. Ia mulai berani melakukan pendekatan kepada aktor-aktor strategis yang dapat mewujudkan mimpinya, salah satunya adalah Bupati Tulang Bawang.

Perjalanan Siti Khotijah masih panjang, mimpi terbesarnya bersama PPNI adalah menolak anggapan buruk tentang perempuan yang selama ini hanya berkutat di ranjang, dapur, dan sumur. Perempuan terdidik akan menghasilkan 3 sampai 4 generasi yang hebat.

“Karena itu, saya berjuang dan belajar terus, kemandirian memang tidak bisa diraih instan. Tapi bukannya tidak mungkin untuk diraih. Terpenting, perempuan harus menjadi hebat,” tutup Siti Khotijah.*** (SH)

Siaran Pers 26 Agustus 2016

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id

Pemerintah Mesti Segera Implementasikan Skema Perlindungan dan Pemberdayaan kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam

Surabaya, 26 Agustus 2016. Sejak disahkan pada tanggal 15 Maret 2016, pemerintah didesak untuk menjalankan pelbagai skema perlindungan dan pemberdayaan kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Dengan mengimplementasikan UU ini, cita-cita kemakmuran nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam bisa dihadirkan negara di 10.666 desa pesisir. Hal ini mengemuka di dalam Lokakarya bertajuk “Mendorong Implementasi Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam” di Ruang Rapat Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerja sama dengan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel, Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), dan WALHI Jawa Timur.

Prof. Dr. H. Abdul A’la, M.Ag., Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel mengatakan, “UIN Sunan Ampel berkomitmen untuk terlibat di dalam upaya pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Dengan diselenggarakannya lokakarya ini, diharapkan negara lebih aktif menjalankan skema perlindungan dan pemberdayaan kepada ketiga profesi mulia tersebut. UIN Sunan Ampel melihat pendidikan bagi anak-anak pesisir adalah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan”.

Lokakarya ini dihadiri oleh berbagai organisasi masyarakat pesisir, seperti Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Jepara; Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu (KOMPI); Forum Nelayan Jepara, Serikat Nelayan Indonesia, dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia. Di samping itu, juga turut hadir LSM Layar Nusantara, WALHI Jawa Barat, WALHI Jawa Timur, dan akademisi dari Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, “Ada beberapa peraturan turunan pelaksana UU yang belum disusun (lihat Tabel 1) oleh Kementerin Kelautan dan Perikanan selama 5 bulan pasca disahkan. Hal ini penting untuk disegerakan agar mandat UU bisa dijalankan demi sebesar-besar kemakmuran nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam”.

Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi:

Rektorat UIN Sunan Ampel Surabaya di +62 31 841 0298Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259

Siaran Pers 26 Agustus 2016

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id

Pemerintah Mesti Segera Implementasikan Skema Perlindungan dan Pemberdayaan kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam

Surabaya, 26 Agustus 2016. Sejak disahkan pada tanggal 15 Maret 2016, pemerintah didesak untuk menjalankan pelbagai skema perlindungan dan pemberdayaan kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Dengan mengimplementasikan UU ini, cita-cita kemakmuran nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam bisa dihadirkan negara di 10.666 desa pesisir. Hal ini mengemuka di dalam Lokakarya bertajuk “Mendorong Implementasi Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam” di Ruang Rapat Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerja sama dengan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel, Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), dan WALHI Jawa Timur.

Prof. Dr. H. Abdul A’la, M.Ag., Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel mengatakan, “UIN Sunan Ampel berkomitmen untuk terlibat di dalam upaya pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Dengan diselenggarakannya lokakarya ini, diharapkan negara lebih aktif menjalankan skema perlindungan dan pemberdayaan kepada ketiga profesi mulia tersebut. UIN Sunan Ampel melihat pendidikan bagi anak-anak pesisir adalah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan”.

Lokakarya ini dihadiri oleh berbagai organisasi masyarakat pesisir, seperti Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Jepara; Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu (KOMPI); Forum Nelayan Jepara, Serikat Nelayan Indonesia, dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia. Di samping itu, juga turut hadir LSM Layar Nusantara, WALHI Jawa Barat, WALHI Jawa Timur, dan akademisi dari Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, “Ada beberapa peraturan turunan pelaksana UU yang belum disusun (lihat Tabel 1) oleh Kementerin Kelautan dan Perikanan selama 5 bulan pasca disahkan. Hal ini penting untuk disegerakan agar mandat UU bisa dijalankan demi sebesar-besar kemakmuran nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam”.

Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi:

Rektorat UIN Sunan Ampel Surabaya di +62 31 841 0298Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259

Perompakan di Laut Merebak, Susi Segera Koordinasi dengan TNI Angkatan Laut

JAKARTA, KOMPAS – Perompakan terhadap kapal nelayan rajungan kian merebak. Perampasan hasil tangkapan rajungan oleh oknum tak dikenal kerap berlangsung, antara lain di perairan Lampung. Pemerintah diharapkan menangani keamanan di lautan.

Keluhan tersebut disampaikan dalam aksi unjuk rasa sekitar 400 nelayan di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Selasa (23/8). Nelayan berasal dari sejumlah lokasi, antara lain dari Muara Angke (Jakarta), Tegal, Karawang, dan Cirebon.

Dalam aksinya, mereka meminta pemerintah menyelesaikan persoalan keamanan dalam menangkap rajungan di sekitar perairan Provinsi Lampung.

Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana mengemukakan, tercatat sedikitnya 86 kasus perampasan dalam kurun tiga bulan. Modus perampasan dilakukan oleh oknum bertopeng yang menggunakan senjata rakitan, misalnya pistol.

Beberapa lokasi yang rawan perompakan antara lain Pulau Sabira, Pulau Kelapa, hingga ke pesisir Lampung. Kerugian nelayan dari setiap perampasan mencapai Rp 25 juta per kapal.

“Kami sudah melaporkan ke sejumlah pihak, termasuk aparat keamanan, tetapi belum ada solusi. Kami meminta perompak ditumpas,” katanya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengemukakan, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Pangkalan TNI Angkatan Laut Lampung untuk mengamankan aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan dari Jawa. Pihaknya menyarankan agar nelayan juga aktif berkoordinasi dengan pihak pemda sehingga penanganan persoalan bisa lebih efektif.

Sementara itu, realisasi investasi sektor kelautan dan perikanan hingga Juli 2016 sebesar Rp 4,435 triliun. Investasi itu meliputi budidaya dan pengolahan, baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Adapun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor kelautan dan perikanan tercatat Rp 279,72 miliar per Agustus 2016.

Susi mengemukakan, PNBP kelautan dan perikanan diharapkan bisa melonjak sampai Rp 300 miliar hingga akhir tahun 2016.

Ia mengakui, PNBP memang sempat anjlok pada 2015, yakni hanya Rp 170 miliar. Hal itu karena pemerintah menghapuskan subsidi bahan bakar minyak untuk nelayan sebanyak 1,2 juta kiloliter atau senilai hampir Rp 1,2 triliun. Sebagai kompensasinya, pemerintah memberikan insentif sementara berupa pembebasan pungutan hasil perikanan (PHP).

Tahun ini, PNBP kembali membaik setelah PHP diberlakukan. Penerimaan itu diprediksi membaik setelah sejumlah kapal dalam negeri menjalani pengukuran ulang dan beroperasi.

Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim, pemerintah perlu membenahi mekanisme perizinan yang kini tersendat guna mendorong iklim usaha perikanan. Gerai perizinan yang minim membuat nelayan sulit mengurus perizinan, akibatnya kapal mangkrak.

Potensi belum dikelola

Wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, memiliki potensi perikanan laut. Produksi perikanan laut di daerah itu setidaknya mencapai 5.066,30 ton per tahun. Namun, potensi itu belum dikelola secara optimal karena keterbatasan alat tangkap dan belum ada pelabuhan perikanan.

Camat Paloh Usman menuturkan, panjang pantai di Paloh yang mencapai 63 kilometer menyimpan potensi perikanan laut. Namun, perikanan laut belum berkembang karena berbagai kendala.

“Nelayan di perbatasan belum memiliki alat tangkap yang memadai. Sebagian besar masih mengandalkan alat tangkap tradisional. Mereka juga masih menggunakan perahu tradisional,” kata Usman.

Dengan alat tangkap yang masih tradisional, nelayan hanya bisa mendapatkan ikan berkisar 10-20 kilogram per hari. Selain itu, dengan sarana transportasi menggunakan perahu tradisional, nelayan hanya bisa menangkap ikan di pesisir. Padahal, jika didukung dengan alat tangkap yang memadai dan transportasi yang lebih besar, hasil tangkapan mereka diperkirakan bisa meningkat 50 persen.

Sementara itu, sudah hampir 1,5 tahun fasilitas pendingin ikan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, beroperasi, tetapi belum optimal karena sejumlah kendala, dari keterbatasan listrik hingga pasokan ikan.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Nunukan Dian Kusumanto mengakui fasilitas pendingin yang berlokasi di Mansapa – sekitar 15 km dari Nunukan – ini belum optimal. Fasilitas pendingin berkapasitas 30 ton ini masih terkendala listrik.

Sumber: Kompas, 24 Agustus 2016. Halaman 18

Perompak Mulai Marak, Kegiatan Nelayan Terancam

Bisnis.com, JAKARTA –  Kelangsungan berusaha nelayan di sejumlah daerah tangkapan  tidak aman menyusul aksi perompakan yang baru-baru ini terjadi di sejumlah titik di kawasan perairan Indonesia.

Dalam tiga bulan terakhir, nelayan di Cirebon, Subang, hingga Karawang harus kocar-kacir menghadapi perompakan dan pencurian hasil tangkap nelayan.  “Ini membuat hasil tangkapan mereka anjlok,” ujar Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim di Jakarta, Selasa (23/8/2016).

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti segera mengatasi aksi perompakan yang baru-baru ini terjadi di sejumlah titik di kawasan perairan Indonesia.

“Upaya Menteri Susi Pudjiastuti dalam memastikan kedaulatan di perairan Indonesia kembali diuji,” kata Abdul Halim.

Menurut Abdul Halim, aksi perompakan yang terjadi dalam tiga bulan terakhir membuat nelayan di Cirebon, Subang, hingga Karawang kocar-kacir. “Hasil tangkapan mereka dicuri para perompak,” tuturnya.

Perompakan menggunakan kapal jenis “speed lidah” dan dikabarkan membawa senjata api berlaras panjang dalam melakukan aksi kriminalitas tersebut. “Nelayan dalam keadaan tertekan dan akhirnya harus merelakan hasil tangkapannya diambil oleh para perompak,” katanya.

Berdasarkan data dari Kiara, kasus perompakan itu telah merugikan setidaknya 250 nelayan yang menjadi korban dengan jumlah kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp10 miliar.

Untuk itu,  Kiara  menggelar aksi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan unjuk rasa bertajuk “Darurat Perompakan” pada 23 Agustus 2016.

Setelah dari KKP, para peserta aksi  dijadwalkan bakal melanjutkan demonstrasinya di depan kawasan Istana Merdeka, dan diperkirakan dihadiri sekitar ratusan orang.

Sebagaimana diwartakan, Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mencatat seratusan ton hasil tangkapan nelayan menjadi sasaran dan digondol perompak di perairan Lampung dan sekitarnya.

“Kalau dihitung pasti sudah ratusan ton yang digondol para perompak, kan sudah tiga bulan lebih perompak terus meneror,” kata ketua Serikat Nelayan Indonesia Kabupaten Cirebon Ribut Bachtiar di Cirebon, Senin (22/8).

Data yang dikumpulkan oleh Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon, ada sekitar 250 kapal lebih yang sudah menjadi korban perompakan di Perairan Lampung.

Sebelumnya, aparat Ditpolair Polda Lampung diberitakan menangkap tiga perompak yang meresahkan nelayan di perairan Pantai Timur Kuala Seputih Kabupaten Tulangbawang, Provinsi Lampung.

“Iya, kami menangkap lima orang perompak yang beroperasi di perairan Pantai Timur,” kata Kanit Tindak Subdir Gakum Polair Polda Lampung, AKP Resky Maulana, di Bandarlampung, Minggu (21/8).

Menurut dia, tersangka yang ditangkap berinisial, AR (36), SG (25), UD (20), TI (30), dan MM (26) kelimanya merupakan warga Kuala Seputih, Kabupaten Tulangbawang Provinsi Lampung.

Editor: Martin Sihombing

Sumber: http://industri.bisnis.com/read/20160823/99/577482/perompak-mulai-marak-kegiatan-nelayan-terancam

Susi Pudjiastuti akan Buat Tim Gabungan Atasi Perompakan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal berkoordinasi dengan aparat keamanan guna mengatasi aktivitas kriminal perompakan di laut Indonesia.

“KKP bakal mengoordinasikan terkait permasalahan perompakan yang terjadi di laut,” kata Menteri Susi dalam konferensi pers di kantor KKP, Jakarta, Selasa (23/8).

Menteri Susi memaparkan, selama ini ada masyarakat nelayan dari Cirebon dan Indramayu yang menangkap di Selat Karimata di Lampung, hasil tangkapannya dirompak oleh sejumlah pihak. Selain itu, ujar dia, pada hari ini juga ada ratusan orang nelayan yang mendatangi KKP dan menginginkan agar nelayan diberikan perlindungan saat menangkap ikan, serta agar hal tersebut diteruskan ke pihak berwajib.
“Sekjen KKP Sjarief Widjaja akan berangkat ke Lampung besok untuk berkoordinasi,” katanya.

Susi menuturkan, kunjungan itu juga dalam rangka membuat tim gabungan untuk mengamankan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengungkapkan bahwa kebanyakan dari nelayan yang mengalami nasib dirompak tersebut adalah nelayan rajungan.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti segera mengatasi aksi perompakan yang baru-baru ini terjadi di sejumlah titik di kawasan perairan Indonesia. “Upaya Menteri Susi Pudjiastuti dalam memastikan kedaulatan di perairan Indonesia kembali diuji,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim di Jakarta, Selasa (23/8).

Menurut Abdul Halim, dalam tiga bulan terakhir nelayan di Cirebon, Subang, hingga Karawang harus kocar-kacir menghadapi perompakan dan pencurian hasil tangkap nelayan. Perompakan terjadi, katanya, dengan menggunakan kapal jenis “speed lidah” dan dikabarkan membawa senjata api berlaras panjang dalam melakukan aksi kriminalitas tersebut. “Nelayan dalam keadaan tertekan dan akhirnya harus merelakan hasil tangkapannya diambil oleh para perompak,” katanya.

Berdasarkan data dari Kiara, kasus perompakan itu telah merugikan setidaknya 250 nelayan yang menjadi korban dengan jumlah kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp 10 miliar. Sebelumnya, aparat Ditpolair Polda Lampung diberitakan menangkap tiga perompak yang meresahkan nelayan di perairan Pantai Timur Kuala Seputih Kabupaten Tulangbawang, Provinsi Lampung. “Iya, kami menangkap lima orang perompak yang beroperasi di perairan Pantai Timur,” kata Kanit Tindak Subdir Gakum Polair Polda Lampung, AKP Resky Maulana, di Bandarlampung, Ahad (21/8). Menurut dia, tersangka yang ditangkap berinisial, AR (36 tahun), SG (25 tahun), UD (20 tahun), TI (30 tahun), dan MM (26 tahun) kelimanya merupakan warga Kuala Seputih, Kabupaten Tulangbawang Provinsi Lampung.

 

Red: Nur Aini
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/08/23/occos1382-susi-pudjiastuti-akan-buat-tim-gabungan-atasi-perompakan

Kiara akan gelar aksi ‘Darurat Perompakan’

Data sementara-darurat perompakanMenteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti diminta segera mengatasi aksi perompakan yang baru-baru ini terjadi di sejumlah titik di kawasan perairan Indonesia. Untuk itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) akan menggelar aksi unjuk rasa di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertajuk “Darurat Perompakan”, Selasa (23/8).

Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim di Jakarta, Selasa pagi.

Informasi dihimpun Antara, setelah dari KKP, para peserta aksi juga dijadwalkan akan melanjutkan demonstrasinya di depan kawasan Istana Merdeka. Aksi diperkirakan dihadiri oleh sekitar ratusan orang.

Berdasarkan data dari Kiara, kasus perompakan itu telah merugikan setidaknya 250 nelayan yang menjadi korban dengan jumlah kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp10 miliar.

Sebagaimana diwartakan, Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mencatat seratusan ton hasil tangkapan nelayan menjadi sasaran dan digondol perompak di perairan Lampung dan sekitarnya.

“Kalau dihitung pasti sudah ratusan ton yang digondol para perompak, kan sudah tiga bulan lebih perompak terus meneror,” kata ketua Serikat Nelayan Indonesia Kabupaten Cirebon Ribut Bachtiar di Cirebon, Senin (22/8).

Data yang dikumpulkan oleh SNI Cirebon, ada sekitar 250 kapal lebih yang sudah menjadi korban perompakan di Perairan Lampung.

Sumber: http://elshinta.com/news/75503/2016/08/23/kiara-akan-gelar-aksi-darurat-perompakan

Kiara akan gelar aksi ‘Darurat Perompakan’

Data sementara-darurat perompakanMenteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti diminta segera mengatasi aksi perompakan yang baru-baru ini terjadi di sejumlah titik di kawasan perairan Indonesia. Untuk itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) akan menggelar aksi unjuk rasa di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertajuk “Darurat Perompakan”, Selasa (23/8).

Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim di Jakarta, Selasa pagi.

Informasi dihimpun Antara, setelah dari KKP, para peserta aksi juga dijadwalkan akan melanjutkan demonstrasinya di depan kawasan Istana Merdeka. Aksi diperkirakan dihadiri oleh sekitar ratusan orang.

Berdasarkan data dari Kiara, kasus perompakan itu telah merugikan setidaknya 250 nelayan yang menjadi korban dengan jumlah kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp10 miliar.

Sebagaimana diwartakan, Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mencatat seratusan ton hasil tangkapan nelayan menjadi sasaran dan digondol perompak di perairan Lampung dan sekitarnya.

“Kalau dihitung pasti sudah ratusan ton yang digondol para perompak, kan sudah tiga bulan lebih perompak terus meneror,” kata ketua Serikat Nelayan Indonesia Kabupaten Cirebon Ribut Bachtiar di Cirebon, Senin (22/8).

Data yang dikumpulkan oleh SNI Cirebon, ada sekitar 250 kapal lebih yang sudah menjadi korban perompakan di Perairan Lampung.

Sumber: http://elshinta.com/news/75503/2016/08/23/kiara-akan-gelar-aksi-darurat-perompakan

Baru 0,97 Persen Perizinan Kapal yang Disetujui KKP, Kenapa Demikian?

Jakarta, 22 Agustus 2016. Walaupun sudah ada klaim perbaikan untuk pengurusan perizinan kapal perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), namun ditengarai hal itu tidak sepenuhnya terjadi. Karena di lapangan, hingga kini masih ditemukan fakta ketidakberesan dalam urusan perizinan kapal perikanan milik nelayan dan pengusaha.

Fakta tersebut diungkap Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Berdasarkan data KIARA sejak Juni 2015 hingga Juli 2016, ribuan perizinan kapal perikanan yang diajukan kepada KKP jumlahnya adalah 1.165 untuk SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), 2.274 untuk SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), dan 186 untuk SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan).

Tetapi, menurut Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim, pada kenyataannya, KKP baru mengeluarkan 265 izin saja. Dengan rincian: 214 untuk SIUP, 22 untuk pengajuan SIPI yang telah disetujui, dan 2 untuk pengajuan SIKPI yang telah disetujui per Agustus 2016.

“Dengan perkataan lain, hanya 18 persen pengajuan SIUP yang telah disetujui; 0,97 persen SIPI; dan 1,08 persen untuk SIKPI,” ucap dia kepada Mongabay, di Jakarta, akhir pekan ini.

Halim menjelaskan, minimnya jumlah izin kapal perikanan yang disetujui berimplikasi terhadap upaya memandirikan usaha perikanan nasional. Terlebih lagi, fakta tersebut mengindikasikan lemahnya fungsi kelembagaan dalam menjalankan prosedur perizinan kapal perikanan, yakni KKP dan Kementerian Perhubungan.

Menurut Halim, di dalam Peraturan Menteri No.30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia dan Peraturan Menteri No. 11 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimum Gerai Perizinan Kapal Penangkap Ikan Hasil Pengukuran Ulang, disebutkan bahwa jumlah hari yang dibutuhkan untuk mengurus kelengkapan dokumen kapal perikanan (SIUP, SIPI, SIKPI, dan Buku Kapal Perikanan) maksimal selama 37 hari atau 1 bulan 1 pekan.

“Tapi, kenyataannya itu tidak. Karena prosesnya bisa sangat lama,” sebut dia.

Dari hasil penelusuran KIARA di lapangan, lambatnya proses perizinan dirasakan sejumlah nelayan dan pengusaha di Tuban, Kendal, dan Rembang. Ketiga daerah tersebut letaknya ada di Pulau Jawa. Halim menduga, jika di Pulau Jawa saja sudah bermasalah, apalagi di luar Pulau Jawa.

Deputi Pengelolaan Program dan Evaluasi KIARA Susan Herawati memaparkan, setelah dia terjun langsung ke tiga daerah tersebut, memang didapati bahwa di sana proses perizinan masih sangat lambat. Bahkan, jika ingin proses dipercepat, maka pemilik kapal harus mengeluarkan biaya lebih.

“Biaya lebih itu dikeluarkan untuk membayar calo yang dipakai untuk mengurus perizinan. Calo-calo tersebut diduga berhubungan langsung dengan pegawai KKP di daerah yang mengurus perizinan. Ini berbahaya,” tutur dia.

Untuk biaya yang dikeluarkan tersebut, Susah mengatakan, ditemukan jumlah yang berbeda di tiga daerah. Namun, rerata jumlahnya antara Rp1 juta hingga Rp5 juta. Jumlah tersebut, dinilai tidak sepadan karena biaya perizinan itu berbeda antara satu kapal dengan kapal yang lain, disesuaikan dengan ukuran kapalnya.

“Ini yang ada dipukul rata. Jadi, jika perizinan ingin cepat, maka harus pakai calo dengan biaya seragam tersebut. Jadi tak peduli kapalnya beda ukuran, tapi biayanya sama,” tandas dia.

Sementara itu, nelayan asal Rembang, Jawa Tengah Sammy Soendoro mengatakan, kalau Pemerintah sungguh-sungguh berpihak kepada kepentingan nelayan dan kemandirian usaha perikanan nasional, maka sudah seharusnya perizinan kapal perikanan dipermudah.

“Prosesnya terbuka, dan memakan waktu yang lebih singkat memakai sistem daring (online). Apalagi ada dua kementerian yang terkait langsung, sehingga dibutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah agar semangat perubahan yang diinginkan oleh masyarakat perikanan sejalan,” papar dia.

Pusat Data dan Informasi KIARA pada Agustus ini menemukan fakta, KKP tidak secara jelas menyampaikan status dan keterangan penolakan pengajuan perizinan kapal perikanan. Setidaknya ada 3 jenis penolakan yang disampaikan, yakni (1) Tidak ada alasan; (2) Masih memerlukan verifikasi antara data kapal di atas kertas dengan kondisi riil; dan (3) belum memiliki kelengkapan dokumen kapal.

“Ketidakterbukaan pemerintah di dalam perizinan kapal perikanan berdampak serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan rakyat. Bahkan sebagiannya sudah menghentikan operasional kapal sejak 1-2 tahun terakhir. Imbasnya, para ABK menganggur atau beralih profesi,” jelas Halim.

Selain itu, praktek suap-menyuap/korupsi yang melibatkan oknum birokrasi juga rentan terjadi di dalam pengurusan perizinan kapal perikanan. KIARA mencatat, dana sebesar Rp5-20 juta dikeluarkan oleh pemilik kapal untuk‘melicinkan’ proses perizinan.

“Padahal, praktek ini tidak perlu terjadi apabila pelayanan pemerintah mudah, terbuka, dan memakan waktu yang lebih singkat memakai sistem daring (online),” pungkas Halim.

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengumumkan jumlah pengusaha dan kapal yang mendapatkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Dari informasi yang dirilis resmi, ada 312 perizinan yang resm dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.

Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar di Jakarta, Rabu (22/6/2016) menjelaskan, seluruh perizinan yang dikeluarkan tersebut, menjadi bukti keseriusan KKP untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap. Karena, dengan dikeluarkannya izin, maka nelayan dan pengusaha bisa berproduksi kembali.

Seluruh perizinan tersebut diberikan kepada pengusaha yang memiliki kapal di atas 30 gros ton (GT) sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19/Permen-KP/2016. Selanjutnya, pemilik izin diberikan kewenangan sesuai izinnya untuk melakukan produksi di lautan wilayah pengelolaan penangkapan (WPP) RI.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2016/08/22/baru-097-persen-perizinan-kapal-yang-disetujui-kkp-kenapa-demikian/

Siaran Pers Kiara 19 Agustus 2016

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id

 

Hanya 0,97% dan Membuka Praktek Korupsi, Pemerintah Mesti Terbuka mengenai Pelayanan Perizinan Kapal Perikanan

Jakarta, 19 Agustus 2016. Sejak Juni 2015 hingga Juli 2016, ribuan perizinan kapal perikanan yang diajukan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebanyak 1.165 untuk SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), 2.274 untuk SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), dan 186 untuk SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan).

Pada perkembangannya, KKP telah mengeluarkan 265 izin dengan rincian: 214 untuk SIUP, 22 untuk pengajuan SIPI yang telah disetujui, dan 2 untuk pengajuan SIKPI yang telah disetujui per Agustus 2016. Dengan perkataan lain, hanya 18 persen pengajuan SIUP yang telah disetujui; 0,97 persen SIPI; dan 1,08 persen untuk SIKPI.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan, “Minimnya jumlah izin kapal perikanan yang disetujui berimplikasi terhadap upaya memandirikan usaha perikanan nasional. Terlebih lagi, fakta tersebut mengindikasikan lemahnya fungsi kelembagaan dalam menjalankan prosedur perizinan kapal perikanan, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan”.

Di dalam Peraturan Menteri No. 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Peraturan Menteri No. 11 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimum Gerai Perizinan Kapal Penangkap Ikan Hasil Pengukuran Ulang, jumlah hari yang dibutuhkan untuk mengurus kelengkapan dokumen kapal perikanan (SIUP, SIPI, SIKPI, dan Buku Kapal Perikanan) selama 37 hari atau 1 bulan 1 pekan.

Sammy Soendoro, nelayan asal Rembang, Jawa Tengah, mengatakan, “Jika pemerintah sungguh-sungguh berpihak kepada kepentingan nelayan dan kemandirian usaha perikanan nasional, maka sudah seharusnya perizinan kapal perikanan dipermudah, prosesnya terbuka, dan memakan waktu yang lebih singkat memakai sistem daring (online). Apalagi ada 2 kementerian yang terkait langsung (KKP dan Kementerian Perhubungan), sehingga dibutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah agar semangat perubahan yang diinginkan oleh masyarakat perikanan sejalan”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2016) menemukan fakta, Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak secara jelas menyampaikan status dan keterangan penolakan pengajuan perizinan kapal perikanan. Setidaknya ada 3 jenis penolakan yang disampaikan, yakni (1) Tidak ada alasan; (2) Masih memerlukan verifikasi antara data kapal di atas kertas dengan kondisi riil; dan (3) belum memiliki kelengkapan dokumen kapal.

“Ketidakterbukaan pemerintah di dalam perizinan kapal perikanan berdampak serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan rakyat. Bahkan sebagiannya sudah menghentikan operasional kapal sejak 1-2 tahun terakhir. Imbasnya, para ABK menganggur atau beralih profesi,” tambah Halim.

Selain itu, praktek suap-menyuap/korupsi yang melibatkan oknum birokrasi juga rentan terjadi di dalam pengurusan perizinan kapal perikanan. KIARA (Agustus 2016) mencatat, dana sebesar Rp. 5-20 juta dikeluarkan oleh pemilik kapal untuk ‘melicinkan’ proses perizinan. Padahal, praktek ini tidak perlu terjadi apabila pelayanan pemerintah mudah, terbuka, dan memakan waktu yang lebih singkat memakai sistem daring (online).***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Sammy Soendoro, Nelayan asal Rembang, Jawa Tengah di +62 812 2502 489
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259