Asuransi Nelayan Harus Transparan
JAKARTA, KOMPAS – Program asuransi untuk 1 juta nelayan senilai Rp 175 miliar yang digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2016 harus tepat sasaran. Untuk itu, penentuan nelayan penerima asuransi harus transparan dan disosialisasikan ke sentra-sentra nelayan.
Demikian benang merah pernyataan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim dan Wakil Sekretaris Jenderal Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Niko Amrullah secara terpisah, di Jakarta, Selasa (2/8).
Tahun 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan menganggarkan Rp175 miliar untuk program asuransi bagi 1 juta nelayan. Asuransi diberikan untuk nelayan pemilik kapal berukuran 5-10 gros ton yang memiliki kartu nelayan. Jumlah nelayan di Indonesia terdata sekitar 2,7 juta orang. Program asuransi nelayan dengan dana Rp 175 miliar merupakan salah satu implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang perlindungan nelayan.
Skema asuransi berupa santunan untuk nelayan yang mengalami kecelakaan kerja dalam aktivitas penangkapan ikan, yakni kematian mendapatkan santunan senilai Rp200 juta, cacat tetap Rp100 juta, dan biaya pengobatan Rp20 juta.
Sementara untuk aktivitas di luar penangkapan ikan, nelayan yang mengalami kematian juga mendapat asuransi Rp160 juta, cacat tetap Rp100 juta, serta biaya pengobatan Rp20 juta. Penentuan nelayan penerima bantuan diajukan oleh dinas kelautan dan perikanan.
Halim mengemukakan, dinas kelautan dan perikanan perlu terbuka dan menghindari praktik diskriminasi dalam penentuan nelayan penerima asuransi. Untuk hal itu, nelayan penerima asuransi perlu diumumkan secara terbuka dengan berbasis daring.
Ia menambahkan, ada indikasi kartu nelayan bisa dimiliki oleh masyarakat non-nelayan. Oknum tersebut memiliki kedekatan dengan birokrasi sehingga bisa memperoleh kartu nelayan. Hal ini dikhawatirkan membuat penerbitan kartu nelayan disalahgunakan oknum tertentu untuk mendapatkan skema asuransi sehingga bantuan tidak sampai ke nelayan.
Sementara itu, Niko mengingatkan, pemerintah masih lemah soal data. Hal itu tecermin, antara lain, dari persoalan impor ikan yang bersumber dari data produksi perikanan.
Gerak cepat
Niko menambahkan, pemerintah harus bergerak cepat dan akurat dalam pendataan calon penerima manfaat asuransi nelayan agar program tersebut segera bisa dinikmati nelayan, khususnya yang terkena dampak cuaca ekstrem di tengah gejala La Nina. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah KNTI Jawa Timur Misbachul Munir mengungkapkan, program asuransi nelayan hingga kini belum tersosialisasikan di wilayah Jawa Timur, seperti Surabaya, Gresik, Banyuwangi, Pamekasan, Kepulauan Sumenep, Madura, dan sekitarnya.
Sehari sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjelaskan, program asuransi nelayan akan bertahap. Asuransi tidak berlaku untuk nelayan yang mengalami kecelakaan karena menangkap ikan menggunakan bom ikan.
Asuransi diberikan untuk pemilik kapal dan bukan anak buah kapal. Adapun anak buah kapal besar sudah selayaknya mendapatkan asuransi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau asuransi lain yang dikelola perusahaan atau perorangan pemilik kapal.
Sumber: Kompas, 3 Agustus 2016. Halaman 18