KSTJ dan 15 Nelayan Teluk Jakarta Gugat HGB Pulau D

Siaran Pers : Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ)

Pada hari selasa, 21 November 2017 Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) dan 15 Nelayan Teluk Jakarta menggugat Surat Keputusan Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara Nomor SK 1697/HGB/BPN-09.05/2016 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Nama PT Kapuk Naga Indah Atas Tanah Pulau D Seluas 312 Hektar ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Koalisi memohon agar pengadilan membatalkan atau menyatakan tidak sah Surat Keputusan Kepala Kantor Badan Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara Nomor 1697/HGB/BPN-09.05/2016. Secara garis besar ada 5 (lima) alasan mengapa kami mengajukan gugatan :

Pertama, Pemberian HGB dilakukan pada saat moratorium reklamasi berlangsung, pada saat pemberian HGB Kementerian Lingkungan Hidup masih menjatuhkan Sanksi Administratif paksaan pemerintah berupa penghentian sementara seluruh kegiatan PT Kapuk Naga Indah pada Pulau 2B (C) dan Pulau 2A (D) dipantai Utara Jakarta melalui SK Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan Nomor : SK. 354/MenLHK/Setjen/Kum.9/5/2016 tanggal 10 Mei 2016. Sudah seharusnya pemberian HGB juga tidak dapat diberikan.

Kedua, Pemberian HGB cacat hukum karena tidak memiliki Kajian Lingkungan Hidup Strategis, tidak memiliki Peraturan Daerah rencana Zonasi Wilyah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan tidak memiliki rencana tata ruang kawasan Strategis Pantai Utara sebagai dasar penting proses perizinan reklamasi dan pemamfaatan lahannya.

Ketiga, pemberian HGB hanya untuk kepentingan dan menguntungkan bisnis PT Kapuk Naga Indah (PIK), tidak ada kepentingan sosial atau kepentingan umum. Hal ini bertentangan dengan UU Pokok Agararia yang menyatakan keberadaan tanah difungsikan untuk kepentingan social.

Keempat, Pemberian HGB tidak didasarkan kepada UU No 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilyah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UU No 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan, sehingga akan berakibat kepada lingkungan ekosistem teluk Jakarta dan kehidupan nelayan.

Kelima, Pemberian HGB dilakukan secara pelayanan super cepat atau kilat dan akal-akalan, Koalisi mencatat bahwa permohonan HGB diajukan PT Kapuk Naga Indah pada tanggal 23 Agustus 2017 kemudian pada tanggal 23 Agustus 2017 atau pada hari itu juga secara langsung diterbitkan SK pemberian HGB yang ditandatangani oleh kepala BPN Jakarta Utara Kasten Situmorang, S.H. Koalisi juga menemukan akal-akalan dalam pertimbangan surat keputusan yang terbit tanggal 23 Agustus 2017, didalam surat keputusan tersebut terdapat alasan penerbitan didasarkan pemeriksaan fisik lokasi pulau D yang dilakukan pada tanggal 24 agustus 2017. Sangat aneh Surat Keputusan yang terbit pada tanggal 23 Agustus 2017 namun mencantumkan pemeriksaan fisik lokasi pada tanggal 24 Agustus 2017.

Sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, KSTJ telah mengajukan keberatan atas penerbitan HGB ke Menteri Agraria Tata Ruang namun tidak ada itikad baik dari kementerian. Kami juga sudah mengadu ke Ombudsman RI yang saat ini masih dalam proses pemeriksaan. Kami lakukan gugatan ini sebagai langkah hukum agar reklamasi dihentikan. Gugatan telah diterima dengan nomor register 249/G/2017/PTUN-JKT. Setelah ini kami menunggu jadwal persidangan.

Demikian rilis ini kami sampaikan untuk diberitakan. Terima kasih

Narahubung :

Nelson Simamora (081396820400 / LBH Jakarta)
Tigor Hutapea (081287296684 / KIARA)
Ohiyonghi M (085777070735 / ICEL)

KIARA AJUKAN LIMA TUNTUTAN DI HARI PERIKANAN SEDUNIA 2017

Siaran Pers
Hari Perikanan Sedunia
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Setiap tanggal 21 November, seluruh masyarakat pesisir di seluruh belahan dunia merayakan Hari Perikanan Sedunia. Perayaan ini dilakukan sebagai bentuk penegasan bahwa perikanan tangkap maupun budidaya bukan hanya sekedar sumber kesahatan, melainkan juga sumber protein dunia dan sumber kesejahteraan bagi puluhan juta masyarakat pesisir.

Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bersama seluruh anggota di Indonesia, mulai dari Aceh sampai dengan Maluku memperingati hari perikanan sedunia dengan beragam cara, mulai dari diskusi publik, audiensi dengan pemerintah daerah, makan ikan bersama, penelitian mengenai dampak pembangunan terhadap sektor perikanan, dan lain sebagainya.

Tak hanya diperingati di Indonesia, KIARA pun merayakan Hari Perikanan sedunia bersama dengan World Forum of Fisher Peoples di Kota New Delhi India. Di dalam forum ini perwakilan masyarakat pesisir yang berasal dari 50 negara hadir dan merayakan bersama.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan Sektor perikanan memberikan penghidupan bagi 75.385 juta orang yang bergantung baik di perikanan tangkap maupun budidaya. Data FAO menunjukkan, 84 persen orang yang bekerja di sektor perikanan tangkap dan budidaya tersebar di Asia sebanyak 65.752.000 jiwa, disusul 10 persen di Afrika sebanyak 595.800 jiwa, dan 4 persen berada di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia sebanyak 280.000 jiwa.

Tak hanya nelayan dan pembudidaya, perempuan nelayan/pembudidaya juga terlibat langsung di dalam aktivitas perikanan. Sekitar 47 persen dari jumlah perempuan nelayan bekerja di bagian pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan.

“Maka tidak bisa dipungkiri, sektor perikanan bukan lagi sektor pinggiran melainkan sektor utama yang mampu menyediakan banyak lapangan kerja di sektor sekunder, misalnya pengolahan ikan, perdagangan, dan pemasaran,” tegasnya.

Susan menambahkan, sebagai negara produsen sektor perikanan, Indonesia menempati urutan kedua dalam produksi perikanan tangkap setelah China, dengan total produksi 6.016.525 ton. Amerika Serikat menempati urutan ketiga dengan total produksi 4.954.467 dan Rusia 4.000.702. Dalam konteks perikanan Budidaya pun, Indonesia menempati urutan kedua setelah China dengan total produksi sebanyak 14.330.900 ton. Peringkat ketiga disusul oleh India dengan total produksi sebanyak 4.884.000 ton dan Vietnam dengan total produksi sebanyak 3.411.400.
Di tengah strategisnya sektor perikanan, Susan menyebutkan sejumlah persoalan besar yang masih harus dihadapi oleh masyarakat pesisir sebagai produsen ikan, yaitu: maraknya pembangunan reklamasi dan pertambangan pesisir, serta pusat-pusat pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil, pencemaran laut yang terus menerus terjadi, ancaman pencabuta subsidi perikanan, dan bekum diakuinya peran serta kontribusi perempuan nelayan.
Berdasarkan sejumlah persoaln tersebut, KIARA mengajukan tuntutan kepada pemerintah sebagai berikut: pertama, menjalankan mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; kedua, menghentikan perempasan ruang hidup dalam bentuk proyek reklamasi, pertambangan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pariwisata pesisir yang teah dan akan mengusir nelayan dari ruang kelolanya; ketiga, pemerintah harus segera menegakan hukum lingkungan, dimana para pelaku pencemaran laut harus dihukum dengan seberat-beratnya sebagaimana aturan yang tertera di dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup; keempat, memfasilitasi masyarakat nelayan tradisional untuk mendapatkan kepastian dalam menjalankan usaha perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran, serta perlindungan wilayah tangkapnya sesuai dengan mandat Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; kelima, menuntut pemerintah untuk segera mengakui keberadaan, peran dan kontribusi perempuan nelayan melalui pendataan sebaran, program dan alokasi anggaran khusus serta memberikan politik pengakuan.

Informasi lebih lanjut
Susan Herawati, Sekteraris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050
Tigor Hutapea, Deputi Hukum dan Kebijakan, +62 812-8729-6684
Parid Ridwanuddin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan, +62 857-17330-7640
Rosiful Amiruddin, Legal Officer, +62 821-3647-3070

Banjir dan Upaya Perlindungan Nelayan

Siaran Pers Bersama
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Lembaga Pengembangan Sumberdaya Nelayan (LPSDN)

Lombok, 19 November 2017. Banjir besar menerjang pemukiman masyarakat pesisir di Kabupaten Lombok Timur, Nusa tenggara barat sejak 18 November 2017. Perlindungan bagi masyarakat pesisir mutlak dibutuhkan masyarakat, termasuk bantuan terhadap usaha perikanan dan pergaraman rakyat yang rusak akibat banjir.

Banjir yang disebabkan intensitas hujan yang tinggi mengakibatkan Bendungan Pandandure di Kabupaten lombok timur melebihi kapasitas. Akses jalan dan jembatan terputus, beberapa rumah nelayan pun rusak dan ambruk. Nelayan dilokasi terjadinya bencana telah mengungsi.

Amin Abdullah, Koordinator LPSDN menuturkan “Kami butuh perhatian pemerintah, khususnya KKP. Kami harus mengungsi ke Kecamatan dan kami berharap pemerintah turun dan memfasilitasi kami dengan bantuan langsung berupa Sembako, pakaian layak pakai, dan obat-obatan”.

Masyarakat pesisir di Kabupaten Lombok timur mayoritas mengantungkan kehidupannya dalam usaha perikanan dan pergaraman. Namun, Banjir telah membuat tambak garam dan tambak bandeng masyarakat rusak parah. Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA menyampaikan bahwa “Perlindungan kepada nelayan, pembudi daya ikan dan Petambak garam pada masa bencana ini sangatlah di butuhkan dalam upaya membantu nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam
menghadapi permasalahan kesulitan melakukan usaha perikanan atau usaha pergaraman dalam situasi bencana banjir saat ini”.

Untuk itu, KIARA kembali mengingatkan pemerintah untuk secara maksimal memberikan upaya kebertahanan bagi masyarakat ditengah bencana karena sampai waktu yang belum di tentukan, masyarakat nelayan di instruksikan tidak dapat melaut pasca bencana alam yang terjadi.

Selain itu, Susan Herawati menuturkan, pentingnya kehadiran Dinas Kelautan dan perikanan
setempat dalam upaya pemulihan usaha perikanan dan pergaraman masyarakat yang rusak akibat Banjir. Hal ini seperti telah dimandatkan dalam UU no 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, pembudidaya ikan dan Petambak garam. Upaya preventif atau mitigasi juga diperlukan dalam menghadapi kemungkinan adanya curah hujan yang tinggi di masa yang akan datang, termasuk didalamnya jaminan perlindungan terhadap masyarakat pesisir.

Informasi Lebih Lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, 082111727050
Amin Abdullah, LPSDN Lombok Utara, 081805785720

KIARA: “Demi Masa Depan, Negosiasi Iklim Jangan Menjual Bumi”

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

KIARA: “Demi Masa Depan, Negosiasi Iklim Jangan Menjual Bumi”

Bonn, 9 November 2017. Pelaksanaan Conference of The Parties (COP)-23 United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bonn, Jerman, 6-17 November 2017 telah dimulai.  Kiara mengingatkan kembali kepada para delegasi dunia untuk mengakomodir  dan tidak mengorbankan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir dalam negosiasi yang akan dilakukan.  Dalam COP 23 ini, para delegasi dunia secara khusus berupaya memastikan kepentingan negaranya terakomodir dalam hasil pembahasan pengaturan rinci ‘Modality, Procedure, and Guidelines’ (MPGs) untuk pelaksanaan ‘Paris Agreement’.

Paris Agreement mewajibkan seluruh Negara Pihak untuk transparan dan bertanggung-gugat (accountable) dalam melakukan aksi terkait upaya adaptai dan mitigai perubahan iklim. Dimana Negara yang meratifikasi dituntut untuk menerapkan seluruh ketentuan transparansi dan akuntabilitas dalam melakukan aksi mitigasi, aksi adaptasi, penggunaan dukungan pendanaan, teknologi, dan pengembangan kapasitas. “Proses negosiasi yang akan dilakukan haruslah mensuarakan kepentingan masyarakat pesisir, apalagi peranan ekosistem pesisir dan laut Indonesia telah diakui baik dalam konvensi maupun Perjanjian Paris”, Ungkap Susan Herawari, Sekretarias Jenderal Kiara.  Susan juga kembali mengingatkan hal yang sama terkait negosiasi yang berkaitan dengan  Karbon Biru.

Kiara mengamati bahwa pasca Karbon biru diperkenalkan sebagai strategi potensial penuruan emisi, ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Dalam prosesnya, negara pendukung Karbon Biru menunjukkan dua ambiguitas mengemuka dalam diplomasi iklim internasional. Pertama, semata-mata hendak mengambil keuntungan dari kesempatan yang ada, tanpa berpegang pada upaya  menyelesaikan persoalan inti. Kedua, bersifat terbuka (serba membolehkan atau mengizinkan) terhadap hal-hal yang faktanya merugikan masyarakat lokal. Bertambahnya hutang luar negeri dan meluasnya ketidakterbukaan dalam proyek konservasi laut, seperti: COREMAP (Coastal and Marine Resources Management and Rehabilitation Program) dan CTI (Coral Triangle Initiative)—justru dianggap prestasi. Bahkan, pengusiran nelayan dari kawasan konservasi laut seolah lazim. Prinsip penyelamatan manusia ini masihlah belum secara rinci dan jelas terdapat di mekanisme Karbon Biru. Padahal negara mana pun tak akan bisa selamatkan warganya tanpa benar-benar memastikan terjaganya sumber daya alam dan terlindunginya hak-hak komunitas agar dapat terus mencari nafkah dan melanjutkan penghidupan.

Selama beberapa terakhir jumlah nelayan yang hilang dan meninggal akibat cuaca ekstrem terus meningkat. Di Indonesia, angka nelayan hilang di laut semakin meningkat setiap tahun. Pada tahun 2015,  Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat terdapat 109 nelayan meninggal. Angka ini meningkat pada tahun 2016 dimana terdapat 145 orang nelayan meninggal dan hilang di laut.

Untuk itu, para pemimpin dunia sudah saatnya berhati-hati, sekaligus lebih progresif dalam mengambil keputusan terkait perubahan iklim mengingat jumlah korban jiwa terus meningkat. Kebijakan yang ditawarkan “tambal-sulam,” menawarkan solusi dengan target tidak pernah tuntas tercapai; serta terdapat kebocoran baik indikasi korupsi (seperti dalam pelaksanaan COREMAP), juga tidak tepat sasaran sebagaimana proyek CTI (Coral Triangle Initiative).

“KTT Iklim seharusnya kembali kepada kebutuhan masyarakat yaitu aksi penyelamatan, termasuk mereka yang bermukim di pesisir dan pulau-pulau kecil dengan cara mengatasi laju peningkatan emisi serta melakukan penguatan di antaranya adalah dengan mendukung adaptasi, menyediakan asuransi dan informasi iklim. Hal ini lebih dibutuhkan oleh masyarakat pesisir daripada terus menjual laut melalui program karbon biru” tutup Susan Herawati.

Informasi Lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, di +6282111727050

3 Warga Pulau Pari Diputus Salah, Kiara: Negara Gagal Lindungi Hak-Hak Nelayan

JAKARTA . Pada hari Selasa, 7 November 2017 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutus vonis 6 bulan penjara kepada 3 nelayan Pulau Pari, yaitu Mustaqfirin alias Boby, Mastono Alias Baok, dan Bahrudin alias Edo karena dianggap bersalah melakukan pungutan liar kepada wisatawan di Pantai Perawan.

Majelis hakim menilai ketiga nelayan ini tidak berhak melakukan pemungutan biaya masuk. Ironinya, ketiga nelayan dituduh telah terbukti melanggar pasal 368 ayat 1 KUHP dengan unsur menguntungkan diri sendiri dan orang lain tanpa hak dan dilakukan memaksa orang.

Atas putusan hakim tersebut, Kolisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai bahwa negara telah gagal melindungi hak-hak nelayan dan warga pesisir Pulau Pari.

“Negara gagal memastikan perlindungan hak-hak nelayan Indonesi untuk mengelola wilayah pesisir dan pukau kecil. Negara juga gagal melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman privatisasi dan investasi korporasi,” kata Sekjen Kiara Susan Herawati melalui keterangan tertulis yang diterima beritatrans.com dan aksi.id di Jakarta, Rabu (8/11/2017).

Kiara menilai putusan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Putusan majelis hakim juga bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menegaskan bahwa masyarakat pesisir memiliki hak untuk mengelola dan mendapatkan manfaat dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Warga Pulau Pari telah berpuluh-puluh tahun menetap, membuka wisata dan mengelola secara mandiri. Uang hasil dari wisatawan digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pantai perawan sisanya untuk membayar petugas kebersihan, membangun mushola dan membantu anak yatim. Pengelolaan ini dilakukan mandiri tanpa keterlibatan pemerintah.

Pasal 4 huruf C dan D UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengakui pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan oleh masyrakat dengan tujuan tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan, dan meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya.

Bahkan Pasal 61 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menuntut Pemerintah untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional dan kearifan lokal dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

Putusan Makhamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 juga telah memberikan pengakuan hak bagi nelayan untuk berdaulat atas wilayah sendiri. Mandat dari putusan MK adalah Negara harus menjamin terpenuhinya 4 hak konstitusional nelayan Indonesia salah satunya hak untuk mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Presiden Joko Widodo yang menyampaikan laut sebagai masa depan bangsa tampaknya hanya menjadikan laut dan pesisir sebatas jargon semata. Kepulauan seribu masuk dalam proyek KSPN yang berarti masyarkat pulau-pulau kecil terancam oleh investasi,” kata Susan.

Berdasarkan kasus diatas Kiara mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan review terhadap proyek-proyek strategis nasional yang merampas hak-hak konstitusional nelayan.

“Pemerintah juga harus memastikan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dengan implemetasi UU No 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam melalui penyusunan panduan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang ditujukan kepada seluruh aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum,” tutup Susan.

Rep: aliy

Sumber: http://beritatrans.com/2017/11/08/3-warga-pulau-pari-diputus-salah-kiara-negara-gagal-lindungi-hak-hak-nelayan/

3 Warga Pulau Pari Diputus Salah, Kiara: Negara Gagal Lindungi Hak-Hak Nelayan

 

JAKARTA . Pada hari Selasa, 7 November 2017 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutus vonis 6 bulan penjara kepada 3 nelayan Pulau Pari, yaitu Mustaqfirin alias Boby, Mastono Alias Baok, dan Bahrudin alias Edo karena dianggap bersalah melakukan pungutan liar kepada wisatawan di Pantai Perawan.

Majelis hakim menilai ketiga nelayan ini tidak berhak melakukan pemungutan biaya masuk. Ironinya, ketiga nelayan dituduh telah terbukti melanggar pasal 368 ayat 1 KUHP dengan unsur menguntungkan diri sendiri dan orang lain tanpa hak dan dilakukan memaksa orang.

Atas putusan hakim tersebut, Kolisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai bahwa negara telah gagal melindungi hak-hak nelayan dan warga pesisir Pulau Pari.

“Negara gagal memastikan perlindungan hak-hak nelayan Indonesi untuk mengelola wilayah pesisir dan pukau kecil. Negara juga gagal melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman privatisasi dan investasi korporasi,” kata Sekjen Kiara Susan Herawati melalui keterangan tertulis yang diterima beritatrans.com dan aksi.id di Jakarta, Rabu (8/11/2017).

Kiara menilai putusan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Putusan majelis hakim juga bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menegaskan bahwa masyarakat pesisir memiliki hak untuk mengelola dan mendapatkan manfaat dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Warga Pulau Pari telah berpuluh-puluh tahun menetap, membuka wisata dan mengelola secara mandiri. Uang hasil dari wisatawan digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pantai perawan sisanya untuk membayar petugas kebersihan, membangun mushola dan membantu anak yatim. Pengelolaan ini dilakukan mandiri tanpa keterlibatan pemerintah.

Pasal 4 huruf C dan D UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengakui pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan oleh masyrakat dengan tujuan tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan, dan meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya.

Bahkan Pasal 61 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menuntut Pemerintah untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional dan kearifan lokal dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

Putusan Makhamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 juga telah memberikan pengakuan hak bagi nelayan untuk berdaulat atas wilayah sendiri. Mandat dari putusan MK adalah Negara harus menjamin terpenuhinya 4 hak konstitusional nelayan Indonesia salah satunya hak untuk mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Presiden Joko Widodo yang menyampaikan laut sebagai masa depan bangsa tampaknya hanya menjadikan laut dan pesisir sebatas jargon semata. Kepulauan seribu masuk dalam proyek KSPN yang berarti masyarkat pulau-pulau kecil terancam oleh investasi,” kata Susan.

Berdasarkan kasus diatas Kiara mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan review terhadap proyek-proyek strategis nasional yang merampas hak-hak konstitusional nelayan.

“Pemerintah juga harus memastikan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dengan implemetasi UU No 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam melalui penyusunan panduan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang ditujukan kepada seluruh aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum,” tutup Susan.

Rep: aliy

Sumber: http://beritatrans.com/2017/11/08/3-warga-pulau-pari-diputus-salah-kiara-negara-gagal-lindungi-hak-hak-nelayan/

3 Orang Nelayan Pulau Pari Divonis 6 Bulan Penjara, Catatan Merah Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Nelayan

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

3 Orang Nelayan Pulau Pari Divonis 6 Bulan Penjara, Catatan Merah Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Nelayan

 

Jakarta, 8 November 2017 – Pada hari Selasa, 7 November 2017 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutus vonis 6 (enam) bulan penjara kepada 3 nelayan Pulau Pari, yaitu Mustaqfirin alias Boby, Mastono Alias Baok dan Bahrudin alias Edo karena dianggap bersalah melakukan pungutan liar kepada wisatawan di Pantai Perawan. Majelis hakim menilai ketiga nelayan ini tidak berhak melakukan pemungutan biaya masuk.

Ironinya, ketiga nelayan dituduh telah terbukti melanggar pasal 368 ayat 1 KUHP dengan unsur menguntungkan diri sendiri dan orang lain tanpa hak dan dilakukan memaksa orang.

KIARA menilai putusan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Putusan majelis hakim juga bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang menegaskan bahwa masyarakat pesisir memiliki hak untuk mengelola dan mendapatkan manfaat dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Warga Pulau Pari telah berpuluh-puluh tahun menetap, membuka wisata dan mengelola secara mandiri. Uang hasil dari wisatawan digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pantai perawan sisanya untuk membayar petugas kebersihan, membangun mushola dan membantu anak yatim. Pengelolaan ini dilakukan mandiri tanpa keterlibatan pemerintah.

Pasal 4 huruf C dan D UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengakui pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dapat dilakukan oleh masyrakat dengan tujuan tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan dan meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya. Bahkan Pasal 61 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menuntut Pemerintah untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional dan kearifan lokal dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Putusan Makhamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 juga telah memberikan pengakuan hak bagi nelayan untuk berdaulat atas wilayah sendiri. Mandat dari putusan MK adalah Negara harus menjamin terpenuhinya 4 hak konstitusional nelayan Indonesia salah satunya hak untuk mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil.

KIARA menilai Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghasilkan dua catatan merah atas gagalnya Negara dalam memastikan perlindungan hak-hak nelayan Indonesia. Pertama, negara gagal melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman privatisasi dari investasi
dan korporasi. Kedua, Negara gagal mengakui dan melindungi hak-hak nelayan mengelola wilayah pesisir dan pulau kecil. Presiden Joko Widodo yang menyampaikan laut sebagai masa depan bangsa tampaknya hanya menjadikan laut dan pesisir sebatas jargon semata. Kepulauan seribu masuk dalam proyek KSPN yang berarti masyarkat pulau-pulau kecil terancam oleh investasi.

Berdasarkan kasus diatas KIARA mendesak kepada pemerintah Pertama untuk segera melakukan review terhadap proyek-proyek strategis nasional yang merampas hak-hak konstitusional nelayan. Kedua memastikan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dengan implemetasi UU No 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam melalui penyusunan panduan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang ditujukan kepada seluruh aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum.

Demikian pres rilis ini disampaikan untuk diberitakan.

Narahubung:
Susan Herawati / Sekjen KIARA (082111727050)
Tigor Hutapea / Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA (081287296684

KTT Iklim di Bonn, Jerman Dimulai. KIARA: Mempertanyakan Komitmen Jokowi untuk Pengurangan Emisi 29% pada 2030

Siaran Pers 
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id

KTT Iklim di Bonn, Jerman Dimulai. KIARA: Mempertanyakan Komitmen Jokowi untuk Pengurangan Emisi 29% pada 2030

 

Bonn, German, 6 November 2017. Pelaksanaan KTT Perubahan Iklim ke-23 di Bonn, German, pada tanggal 7 November – 17 November 2017 telah dimulai. Masyarakat pesisir mengingatkan Presiden Jokowi atas target pengurangan emisi hingga 29% di 2030 yang disampaikan pada KTT Iklim ke 21 di Paris.

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, Indonesia berada di peringkat ke-6 setelah Rusia dari 10 negara penghasil emisi gas rumah kaca. Total emisi yang dihasilkan Indonesia pertahun kira-kira 1,98 miliar ton.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan “Ambisi Jokowi untuk mengurangi emisi hingga 29% patut dipertanyakan, mengingat arah kebijakan hari ini malah memberikan kemudahan izin bagi industri ekstraktif seperti tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil yang jelas-jelas berkontribusi kepada meningkatnya emisi dan dirampasnya ruang hidup masyarakat pesisir.”

Pertambangan yang dilakukan pesisir dan pulau-pulau kecil sejatinya mempercepat proses penenggelaman pulau-pulau kecil di Indonesia. Saat ini, catatan Pusat Data dan Informasi KIARA menyebut setidaknya 20 wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hancur akibat industri ekstraktif tambang. “Jika tidak serius mencabut seluruh izin pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia,” seru Susan Herawati.

Masalah lain adalah hilangnya ruang pesisir akibat proyek2 reklamasi. Berdasarkan data KPK ada 28 titik lokasi reklamasi di Indonesia yg menutup ribuan hektar lahan pesisir produktif. Sikap pemerintah hingga saat ini mendukung reklamasi dengan yang penuh dengan pelanggaran hukum dan berdampak kepada ekosistem lingkungan. Presiden Jokowi Widodo harus menghentikan seluruh proyek-proyek reklamasi.

Proyek reklamasi di Indonesia jelas-jelas menghancurkan luasan wilayah mangrove sebagai ekosistem pesisir yang berjasa menyerap emisi karbon. Berdasarkan hasil penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, ekosistem mengrove mampu menyerap emisi karbon lebih besar dari hutan di daratan. “Mangrove berkontribusi terhadap penyerapan emisi karbon 10 kali lebih besar dari hutan tropis,” ungkap Susan Herawati.

Contoh yang paling nyata, tambah Susan, adalah Reklamasi Teluk Jakarta yang hanya menyisakan luasan mangrove tidak lebih dari 25 hektar. Padahal, sebelum adanya reklamasi sejak pada masa lampau, Teluk Jakarta memiliki luasan mangrove lebih dari 1000 ha.

“Sangat disayangkan. Pada forum-forum internasional, pemerintah selalu menjadikan isu laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai komoditas dagangan perubahan iklim dengan tujuan mendatangkan invetsor. Namun pada saat yang sama, pemerintah justru menjadi aktor utama perusakan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, masyarakat pesisir terus terancam kehidupannya,” tegas Susan Herawati.

Pertemuan KTT Perubahan Iklim ke-23 ini seyogyanya digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai momentum untuk mengevaluasi seluruh izin terhadap proyek-proyek yang merusak ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Jika tidak, maka dampak kerusakan akan terus meluas dan menggangu keberlanjutan livelihood masyarakat pesisir yang berjasa menyediakan pangan laut bagi bangsa Indonesia.

 

Info lebih lanjut
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA 082111727050

KTT Iklim di Bonn, Jerman Dimulai. KIARA: Mempertanyakan Komitmen Jokowi untuk Pengurangan Emisi 29% pada 2030

Siaran Pers 
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id

KTT Iklim di Bonn, Jerman Dimulai. KIARA: Mempertanyakan Komitmen Jokowi untuk Pengurangan Emisi 29% pada 2030

 

Bonn, German, 6 November 2017. Pelaksanaan KTT Perubahan Iklim ke-23 di Bonn, German, pada tanggal 7 November – 17 November 2017 telah dimulai. Masyarakat pesisir mengingatkan Presiden Jokowi atas target pengurangan emisi hingga 29% di 2030 yang disampaikan pada KTT Iklim ke 21 di Paris.

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, Indonesia berada di peringkat ke-6 setelah Rusia dari 10 negara penghasil emisi gas rumah kaca. Total emisi yang dihasilkan Indonesia pertahun kira-kira 1,98 miliar ton.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan “Ambisi Jokowi untuk mengurangi emisi hingga 29% patut dipertanyakan, mengingat arah kebijakan hari ini malah memberikan kemudahan izin bagi industri ekstraktif seperti tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil yang jelas-jelas berkontribusi kepada meningkatnya emisi dan dirampasnya ruang hidup masyarakat pesisir.”

Pertambangan yang dilakukan pesisir dan pulau-pulau kecil sejatinya mempercepat proses penenggelaman pulau-pulau kecil di Indonesia. Saat ini, catatan Pusat Data dan Informasi KIARA menyebut setidaknya 20 wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hancur akibat industri ekstraktif tambang. “Jika tidak serius mencabut seluruh izin pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia,” seru Susan Herawati.

Masalah lain adalah hilangnya ruang pesisir akibat proyek2 reklamasi. Berdasarkan data KPK ada 28 titik lokasi reklamasi di Indonesia yg menutup ribuan hektar lahan pesisir produktif. Sikap pemerintah hingga saat ini mendukung reklamasi dengan yang penuh dengan pelanggaran hukum dan berdampak kepada ekosistem lingkungan. Presiden Jokowi Widodo harus menghentikan seluruh proyek-proyek reklamasi.

Proyek reklamasi di Indonesia jelas-jelas menghancurkan luasan wilayah mangrove sebagai ekosistem pesisir yang berjasa menyerap emisi karbon. Berdasarkan hasil penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, ekosistem mengrove mampu menyerap emisi karbon lebih besar dari hutan di daratan. “Mangrove berkontribusi terhadap penyerapan emisi karbon 10 kali lebih besar dari hutan tropis,” ungkap Susan Herawati.

Contoh yang paling nyata, tambah Susan, adalah Reklamasi Teluk Jakarta yang hanya menyisakan luasan mangrove tidak lebih dari 25 hektar. Padahal, sebelum adanya reklamasi sejak pada masa lampau, Teluk Jakarta memiliki luasan mangrove lebih dari 1000 ha.

“Sangat disayangkan. Pada forum-forum internasional, pemerintah selalu menjadikan isu laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai komoditas dagangan perubahan iklim dengan tujuan mendatangkan invetsor. Namun pada saat yang sama, pemerintah justru menjadi aktor utama perusakan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, masyarakat pesisir terus terancam kehidupannya,” tegas Susan Herawati.

Pertemuan KTT Perubahan Iklim ke-23 ini seyogyanya digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai momentum untuk mengevaluasi seluruh izin terhadap proyek-proyek yang merusak ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Jika tidak, maka dampak kerusakan akan terus meluas dan menggangu keberlanjutan livelihood masyarakat pesisir yang berjasa menyediakan pangan laut bagi bangsa Indonesia.

 

Info lebih lanjut
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA 082111727050