Memperkuat Eksistensi Masyarakat Adat Pesisir di Tengah Geliat Pembangunan
Memperkuat Eksistensi Masyarakat Adat Pesisir di Tengah Geliat Pembangunan
Interaksi masyarakat adat pesisir dengan sumberdaya kelautan dalam kurun waktu yang relatifl ama, berhasil menciptakan praktik kearifan lokal yang dipertahankan secara turun-temurun. Namun kebijakan dan program pembangunan, yang dinilai bias darat, perlahan-lahan meminggirkan mereka dari ruang hidup dan ruang kelolanya. Sehingga, penguatan dan revitalisasi kelembagaan masyarakat adat pesisir perlu segera dilakukan.
Penilaian tersebut disampaikan dalam Lokakarya Masyarakat Adat di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang digelar di Manado. Kegiatan itu dihadiri komunitas masyarakat adat pesisir dari beberapa daerah, seperti Aceh, Nusa Tenggara Timur ,Nusa Tenggara Barat dan Maluku.
Susan Herawati, Sekretaris Jendral Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai, lokakarya itu merupakan momentum untuk membahas hak tenur masyarakat adat pesisir dalam mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan. Pembahasan terkait hak tersebut menjadi penting karena maraknya praktik perampasan ruang hidup dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Menurut catatan Kiara, saat ini setidaknya terdapat penolakan reklamasi di 42 wilayah pesisir dan tambang di 26 kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ancaman terhadap ruang hidup dan ruang kelola masyarakat adat pesisir juga hadir lewat proyek konservasi laut yang telah mencapai 20 juta hektar, serta ekspansi perkebunan kelapa sawit lebih dari 600 ribu hektar.
“Selama ini pengelolaan sumberdaya perikanan hanya dilihat sebagai pengelolaan komoditas semata. Padahal ,didalamnya ada isu ruang hidup dan isu hak asasi manusia yang perlu dilindungi negara,”terangSusan,Senin(04/03/2019).
Lokakarya Masyarakat Adat di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diselenggarakan di Manado, Sulut pada awal Maret 2019.
Persoalan lain adalah luputnya pembahasan mengenai masyarakat adat pesisir dalam sejumlah peraturan maupun perundang-undangan dinegara ini. Susan mencontohkan, dalam UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, tak ada definisi atau penjelasan mengenai masyarakat adat pesisir. Padahal, kekhasan masyarakat adat pesisir harusnya jadi pembeda dari nelayan kecil dan nelayan tradisional.
Begitu pula perumusan RUU Masyarakat Adat yang dianggap terlampau bias darat dan mengesampingkan eksistensi masyarakat adat dipesisir. Dia juga melihat adanya kerancuan dalam RUU Keanekaragaman Hayati, yang berpotensi memisahkan masyarakat adat dengan ruang kelolanya.
“(RUU Keanekaragaman Hayati) tidak melihat tradisi dan adat-istiadat. Apalagi istilah konservasi yang digunakan negara berbeda dengan yang digunakan masyarakat adat pesisir, ”terang Susan.
PerbedaanKonsep
Dipaksakannya konsep pembangunan darat disektor kelautan dan perikanan, diyakini menjadi sebab luputnya agenda perlindungan masyarakat adat pesisir. Dampaknya, masyarakat adat pesisir tidak lagi menjadi pelaku utama pembangunan didaerah masing-masing. Mereka malah sering dituduh eksplotatif dan jadi obyek kriminalisasi.
“Peminggiran-peminggiran selalu terjadi, kriminalisasi, tidak boleh tangkap ini-tangkap itu. Sehingga wadah lokal musnah karena tekanan dari atas yang mementingkan lembaga non adat. Kemudian, mulai hilang instrumen yang asli, lokal, manusiawi, dan komprehensif,” terang Bona Beding, Koordinator Forum Masyarakat Adat Pesisir.
Padahal, masyarakat adat pesisir memiliki pemaknaan tersendiri mengenai sumberdaya laut. Sebab, bagi mereka, laut adalah subyek bukan obyek. Sehingga, ia bukan semata-mata menjadi tempat memanfaatkan sumberdaya tapi juga menjadi bagian tak terpisahkan, misalnya melalui nilai-nilai luhur.
“Laut itu mama. Dia melahirkan dan membesarkan. Sehingga, kata berburu tidak tepat. Kami hanya mengambil yang sudah dilahirkan dan dibesarkan oleh mama,” ujar Bona.
Bona Beding menyampaikan pemaparan dalam Lokakarya Masyarakat Adat Pesisir di Manado, Maret 2019.
Forum Masyarakat Adat Pesisir diinisasi pada akhir 2017 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pertemuan awal dihadiri perwakilan komunitas adat dari beberapa daerah, seperti Aceh, Sumatera Utara, Riau, Lamalera, Sulawesi Utara, Maluku, Lombok, Kupang dan Papua.
Melalui forum itu, masyarakat adat pesisir diharap dapat menjadi pelaku utama pembangunan disektor kelautan dan perikanan. Serta, menghadirkan negara untuk menjamin hak konstitusional masyarakat adat pesisir.
“Yang menjadi perhatian kami, kenapa forum ini dilahirkan, karena negara coba menggeneralisir laut dalam bahasa tata ruang dan pengelolaan dilaut,” terang Rignolda Djamaluddin, Direktur Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumberdaya Alam (Kelola).
Pada kenyataannya, menurut dia, sebelum negara membuat regulasi, masyarakat adat pesisir sudah membangun komunitas dengan karakter masing-masing. Mereka juga telah mempertahankan nilai lintas generasi dalam interaksi dengan sumberdaya alam.
“Bahwa komunitas itu telah berkembang secara majemuk, itu urusan dinamika sosial. Masyarakat adat pesisir menuntut negara untuk mengenal kehidupan mereka. Jangan sampai negara membuat regulasi, tapi masyarakat adat pesisir dianggap tidak ada,” ujar Rignolda.
Lemahnya pengetahuan mengenai nilai-nilai tersebut, sering kali menimbulkan kesalahan interpretasi pada praktik-praktik tradisional masyarakat adat pesisir. Rignolda mencontohkan Mane’e, tradisi penangkapan ikan masyarakat pulau Kakorotan, yang kini lebih dikenal sebagai obyek wisata.
“Mane’e cukup teruji oleh masyarakat pulau Kakorotan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas. Sekarang, praktik itu lebih dikenal sebagai obyek pariwisata, bukannya pola pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal,” jelasnya.
RekomendasiLokakarya
Lokakarya Masyarakat Adat di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, melahirkan sejumlah rekomendasi, diantaranya inventarisasi komunitas adat peisisir, fokus advokasi serta identifikasi kebijakan yang berpotensi mengancam kedaulatan masyarakat adat pesisir.
Arman Manila, Direktur Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) memaparkan, untuk menjaga atau merevitalisasi kedaulatan ruang hidup dan ruang kelola masyarakat adat pesisir, diperlukan intervensi sistem tenurial yang dianggap terlampau bias darat.
“Ruang hidup bisa didapat tapi ruang kelola tidak. Contohnya, kita memiliki pohon kelapa, tapi tanahnya milik orang lain. Berarti kita hanya sebagai pemangku pohon kelapa, tapi tidak punya hak kepemilikan tanah. Ini yang perlu diperhatikan,” terang Arman.
Kemudian, inventarisasi masyarakat adat pesisir harus memperhatikan praktik penangkapan tradisional, serta kearifan lokal yang diatur hukum adat. Selain itu, penting pula identifikasi regulasi yang menimbulkan persoalan diwilayah penangkapan tradisional dan praktik kearifan lokal.
“Ini menjadi penting, karena kedepannya akan banyak kebijakan yang masuk diwilayah laut dan pesisir,” pungkas Arman.