TATA RUANG LAUT UNTUK SIAPA?

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

TATA RUANG LAUT UNTUK SIAPA?
Membaca Perampasan Ruang Hidup dalam Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)

 

21 Perda Zonasi telah diterbitkan, tapi ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak (rightholder) utama sebagaimana amanah konstitusi, tak mendapatkan porsi yang memadai.

KIARA, Jakarta, 20 Juni 2019 – Sampai dengan pertengahan tahun 2019, sebanyak 21 Provinsi di Indonesia telah merampungkan pembahasan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Perda Zonasi). Perda ini merupakan mandat UU No. 1 Tahun 2014 revisi terhadap UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan demikian, tinggal 13 Provinsi yang belum menyelesaikan pembahasan perda zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.

“Proyek infrastruktur skala besar mendominasi perda tersebut, industri dikedepankan sambil menutup mata pada nasib nelayan kecil yang harusnya jadi subjek utama sebagaimana di amanatkan konstitusi paska revisi UU HP3.” Tutur Sekjend KIARA, Susan Herawati dalam diskusi publik “Tata Ruang Laut Untuk Siapa?” Di Bakoel Koffie Cikini (20/6).

Ia menjelaskan, fakta berbagai proyek pembangun infrastruktur dengan cara reklamasi, proyek pertambangan, industri pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, konservasi, dan sejumlah proyek lainnya diberikan ruang yang sangat luas dalam perda zonasi tersebut.

Di dalam Perda Zonasi Provinsi Lampung No. 1 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Lampung Tahun 2018-2038 misalnya, KIARA mencatat luasan zona wisata alam bentang laut sebesar 23.911,12 ha; zona wisata alam bawah laut sebesar 680,32 ha; zona wisata alam pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil 347,87 ha; dan wisata olah raga air seluas 912,50 ha. Untuk zona pertambangan, Perda ini mengalokasi ruang seluas 12.585,53 ha, untuk zona industri seluas 2.549,10 ha. Namun untuk pemukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 11,66 ha saja.

“Padahal jumlah nelayan di Provinsi Lampung tercatat sebanyak 16.592 keluarga. Mereka sama sekali tak mendapat prioritas kebijakan kesejahteraan dalam perda zonasi.”

Tak hanya di Provinsi Lampung, di Provinsi Kalimantan Selatan ditemukan hal serupa. Di dalam Perda Zonasi No. 13 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2018 – 2038, KIARA mencatat, zona pariwisata seluas 10.094 ha; zona pelabuhan seluas 188.495 ha; zona pertambangan seluas 100.086 ha; zona Kawasan Strategis Nasional latihan militer seluas 187.946 ha. Sementara itu, zona pemukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 37 ha untuk 9715 keluarga nelayan.

Hal serupa dapat dibaca dalam Perda Zonasi Kalimantan Utara No. 4 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Utara Tahun 2018-2038. Di dalam Perda ini zona pertambangan dialokasikan seluas 8.909,70 ha; zona zona pariwisata seluas 4.971,51 ha; zona pelabuhan seluas 36.049,28 ha; zona konservasi seluas 29.918,80. Sementara itu alokasi untuk pemukiman nelayan seluas 106 ha bagi 7.096 keluarga nelayan.

Masih menurut Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, tiga Perda Zonasi tersebut menggambarkan betapa masyarakat pesisir, khususnya nelayan, dipinggirkan bahkan ruang hidupnya dirampas melalui Perda Zonasi. “perampasan ruang hidup nelayan kecil sangat nyata dan terang-terangan, belum tampak orientasi pembangun oleh pemerintah daerah mau pun pusat yang konkrit dan strategis mendukung kesejahteraan nelayan secara berkelanjutan,” katanya.

“Dari berbagai kajian yang dilakukan KIARA selama ini,” tambah Susan, “penataan ruang laut melalui Perda Zonasi, sesungguhnya tak diperuntukkan untuk masa depan kehidupan nelayan dan ekosistem pesisir serta laut. Sebaliknya, diperuntukkan bagi kepentingan modal yang ingin mengkavling, mengkomodifikasi serta mengkomersialisasi sumberdaya pesisir, kelautan, dan perikanan.”

Menurut Susan, tak sedikit nelayan di Indonesia mengalami kesulitan untuk mengakses laut hanya gara-gara di kawasan tersebut terdapat proyek reklamasi, pertambangan, atau kawasan pariwisata.

Akibatnya, nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan hasil tangkapan ini.

“Ini adalah fakta yang kami temukan di sejumlah tempat, diantaranya di Kepulauan Seribu, dan juga di Mandalika, Lombok. Bahkan tak sedikit nelayan yang dikriminalisasi sebagaimana yang dialami oleh Waisul, nelayan Dadap, yang mengkritik keberadaan Pulau C,” tuturnya.

Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) memandatkan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak mendasar. Di dalam Putusan MK No. 3 Tahun 2010, MK memandatkan sebagai berikut: 1) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut; 2) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat; 3) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya kelautan dan perikanan; 4) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun temurun.

Sudah delapan tahun usia putusan ini. Namun tanda-tanda perbaikan kebijakan yang berpihak terhadap masyarakat pesisir sekaligus ruang hidupnya tidak terlihat. Fakta-fakta di lapangan membuktikan, perampasan ruang hidup masyarakat pesisir terus massif terjadi.

“Hari ini sudah ada 21 Perda Zonasi yang disahkan dan nyaris semua RZWP3K yang sudah disahkan menyimpan celah perampasan ruang hidup masyarakat pesisir. Pemerintah harus jujur melihat peruntukan laut harus sebesar-besarnya kedaulatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir Indonesia. Artinya, RZWP3K bermasalah harus berani untuk kita analisa bersama dan lawan,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050