Kabar Bahari : Berlayar di Negeri Rentan Bencana

Sepanjang 2018, Indonesia berduka. Rentetan bencana alam terjadi

dan memakan korban yang tidak sedikit. Tidak terhindarkan, Indonesia terletak di Lingkaran Api Pasifik dimana bencana berada tepat di hadapan masyarakat Indonesia. Gempa dan tsunami yang terjadi di Palu dan Donggala sepatutnya menjadi pengingat bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Kita perlu menyadari kenyataan jika Indonesia sendiri berada di atas lempeng tektonik yang berpotensi menghasilkan gempa. Data dari Pusat Studi Gempa Nasional menyebutkan jumlah sesar aktif di Indonesia pun bertambah, pada tahun 2010 tercatat 81 sesar dan di tahun 2017 menjadi 295 sesar aktif. Lalu bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan potensi bencana yang tinggi. Ada beberapa hal yang menjadi fokus antisipasi bagi kita bersama. Pertama, negara harus menghentikan segala bentuk pembangunan yang bisa meningkatkan kerentanan seperti proyek reklamasi, tambang di pesisir, ekspansi lahan mangrove menjadi wilayah sawit atau tambak udang. Proyek Esktraktif dan Eksploitatif meningkatkan kerentanan bencana dan menempatkan masyarakat sebagai korban. Kedua, struktur bangunan yang ramah terhadap bencana. Ketiga, pemerintah perlu untuk membangun hutan mangrove di pesisir Indonesia. Keempat, sosialisasi tentang bencana dan jalur evakuasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat.

 Ikuti Infomasi Terkait Kabar Bahari >>

 

“BERKACA DARI KASUS KEPULAUAN RIAU, KPK HARUS PERIKSA SELURUH PROYEK REKLAMASI DI INDONESIA”

KIARA, 12 Juli 2019 –Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, Nurdin Basirun atas dugaan korupsi izin lokasi rencana megaproyek reklamasi Gurindam 12 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Padahal proyek reklamasi ini tidak masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016-2020.

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat total dana yang dibutuhkan untuk proyek ini mencapai Rp 886 miliar dan pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun rincian anggaran khusus yang dikucurkan untuk proyek reklamasi ini sebesar Rp 487,9 miliar pada 2018, Rp 179 miliar pada 2019, dan Rp 220 miliar pada 2020.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA meminta KPK mengusut tuntas praktik korupsi perizinan reklamasi di Provinsi Kepulauan Riau ini, mulai dari unsur pemerintah, pengembang, sekaligus sejumlah perusahaan yang terlibat dalam pertambangan pasir di kawasan ini. “Banyak pihak terlibat dalam kasus ini. KPK jangan membiarkan satu pihak pun lolos. Semuanya mesti disanksi, mulai dari Gubernur sampai dengan perusahaan pengembang dan penambang pasir,” ungkapnya.

Ironinya, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sedang mendorong pengesahan Peraturan Daerah (PERDA) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) untuk dibahas di Paripurna DPRD Kepri. Di dalam Draft Perda RZWP3K tersebut ada beberapa pihak yang mengajukan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi agar diakomodir di dalam RZWP3K.

Lebih lanjut, Susan menyebut sejumlah perusahaan yang selama ini terlibat dalam aktivitas reklamasi di Kepulauan Riau, yaitu: PT Guna Karya Nusantara, PT Mitra Tama Daya Alam Bintan, PT Bukit Lintang Karimun, PT Kim Jaya Utama, PT Indospora Bumi Persada, PT Yuliana Jaya, PT Combol Bahari Perkasa, PT Merak Karimun Lestari, dan PT Sarana Trans Sejahtera. “KPK harus memeriksa semua perusahaan ini,” pintanya.

Di sisi lain, KPK juga harus mengambil sikap tegas kepada oknum yang turut tertangkap tangan yaitu Edy Sofyan selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Kepri dan Budi Hartono sebagai Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Pemprov Kepri.

“KKP dan DKP adalah rumah bagi nelayan dan perempuan nelayan Indonesa. Dengan terlibatnya kepala Dinas Kelautan Perikanan Pemprov KEPRI dalam OTT ini sebenarnya menjadi preseden buruk bagi Indonesia. KKP sibuk menangkap pencuri ikan di laut Indonesia, pada saat bersamaan, kedaulatan kita juga dicuri dari dalam oleh oknum-oknum di dalam rumah kita sendiri. Laut dijual beli untuk kepentingan segelintir oknum, ini harusnya menjadi catatan bagi KKP khususnya” Tambah Susan.

Susan mengingatkan, praktik reklamasi di Kepulauan Riau bukanlah hal baru. Faktanya, telah sejak lama, sejumlah pihak di provinsi ini terlibat penjualan pasir untuk proyek reklamasi di Singapura. Sepanjang 24 tahun (1978-2002) praktik pengerukan pasir telah menimbulkan banyak kerugian, bukan saja aspek teritorial tapi juga ekonomi, perdagangan dan lingkungan hidup. “Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, kerugian yang dialami Indonesia mencapai 42,38 miliar dolar Singapura atau Rp237 triliun akibat penambangan pasir untuk reklamasi di Singapura,” ungkapnya.

Belajar dari kasus reklamasi Kepulauan Riau, Susan meminta KPK memeriksa seluruh proyek reklamasi di Indonesia yang tercatat lebih dari 40 lokasi di kawasan pesisir Indonesia. “Pada tahun 2018, KIARA mencatat proyek reklamasi tersebar di 41 kawasan pesisir Indonesia. Ada banyak persoalan dalam proyek ini, mulai dari penyuapan, pelanggaran hukum, perusakan lingkungan, penghilangan mata pencaharaian nelayan, pencemaran laut, dan lain sebagainya. Dengan kewenangannya, KPK harus memeriksa seluruh proyek ini,” tegasnya.

Penangkapan Gubernur Kepulauan Riau merupakan pesan kepada seluruh pemerintah daerah di Indonesia supaya tidak bermain-main dengan perizinan reklamasi yang saat ini massif diberikan. “Ini adalah pesan penting untuk seluruh kepala daerah supaya tidak mudah mengobral perizinan reklamasi,” pungkas Susan. (*)

 

LAMPIRAN 1. SEBARAN PROYEK REKLAMASI DI INDONESIA 

No Nama Lokasi Kota/Kabupaten Provinsi Luasan (Ha) Jumlah Keluarga

Nelayan Terdampak

 

1

Pesisir Pulau

Serangan

 

Denpasar

 

Bali

 

379

 

691

2 Teluk Benoa Badung Bali 700 260.387
 

 

3

Pesisir Pantai

kota Bandar Lampung

 

 

Lampung

 

Bandar Lampung

 

 

1.447

 

 

192.708

 

4

Teluk

Tangerang

 

Tangerang

 

Banten

 

9.000

 

1.800

5 Teluk Jakarta Jakarta Utara DKI Jakarta 5.153 25.000
 

6

 

Pantai Marina

 

Semarang

Jawa

Tengah

 

200

 

1.600

7 Pantai Gresik Jawa Timur Jawa Timur 2.000 12.000
 

8

Pantai Kenjeran  

Surabaya

 

Jawa Timur

 

320

 

2.753

 

9

Pesisir

Lamongan

 

Lamongan

 

Jawa Timur

 

62

 

22.730

 

 

 

10

Pesisir Surabaya (Perluasan Bandara

Djuanda)

 

 

 

Sidoarjo

 

 

 

Jawa Timur

 

 

 

4.000

 

 

 

1.113

 

11

Pantai Balikpapan  

Balikpapan

Kalimantan Timur  

484

 

1.800

 

12

Pesisir Pulau

Sebatik

 

Kalimantan Utara

Kalimantan

Utara

600  

20.322

 

13

 

Pantai Batam

 

Kepulauan Riau

Kepulauan

Riau

 

747

 

5.656

 

14

 

Pantai Bintan

 

Kepulauan Riau

Kepulauan Riau  

3

 

1.478

 

15

Pesisir Pulau

Karimun

 

Kepulauan Riau

Kepulauan

Riau

 

2

 

3.578

 

16

Pesisir Pulau Nipah  

Pulau Nipah

Kepulauan Riau  

10

 

100

 

17

Pantai

Kalumata

 

Ternate

Maluku

Utara

 

24

 

651

 

18

 

Pantai Swering

 

Ternate

Maluku Utara  

38,33

 

34.582

 

 

 

19

 

Pantai Daruba

 

Pulau Morotai

Maluku

Utara

 

17,5

 

596

 

 

20

 

 

Pantai Bima

 

Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara

Barat

 

 

46,25

 

 

1.266

 

 

21

 

Pantai Balauring

 

 

Lembata

Nusa

Tenggara Timur

 

 

1.875

 

 

175

 

 

22

 

 

Teluk Kupang

 

 

Kota Kupang

Nusa Tenggara

Timur

 

 

2.000

 

 

1.700

 

 

23

 

 

Pesisir Alok

 

 

Sikka

Nusa

Tenggara Timur

 

 

6

 

 

989

 

24

 

Pantai Sorong

 

Kota Sorong

Papua

Barat

 

25

 

40.554

 

25

Pantai

Manakarra

 

Kab. Mamuju

Sulawesi

Barat

 

12

 

20.454

 

26

Ajungan

Pantai Losari

 

Makasar

Sulawesi

Selatan

 

4.000

 

4.690

 

27

 

CPI Makasar

 

Makasar

Sulawesi Selatan  

4.500

 

4.690

 

28

 

Pantai Buloa

 

Makasar

Sulawesi

Selatan

 

250

 

109

 

29

Pantai Bulukumba  

Kab. Bulukumba

Sulawesi Selatan  

62,28

 

3.133

 

30

 

Pantai Toli-toli

 

Kab. Tolitoli

Sulawesi

Tengah

 

8,9

 

2.472

 

31

 

Teluk Palu

 

Kota Palu

Sulawesi

Tengah

 

200

 

2.000

 

32

 

Blok Donggala

 

Kab. Donggala

Sulawesi Tengah  

36.635

 

9.629

 

33

 

Pantai kalasey

 

Kab. Minahasa

Sulawesi

Utara

 

179,7

 

153

 

34

 

Pesisir Kema

Kab. Minahasa Utara Sulawesi Utara  

1.000

 

1.820

 

35

 

Teluk Manado

 

Kota Manado

Sulawesi

Utara

 

271,3

 

29.500

 

 

36

Pesisir Pantai Girian-

Tanjung Merah

 

 

Kota Bitung

 

 

Sulawesi Utara

 

 

534

 

 

14.144

 

 

 

37

Pantai Alar

Pondang

 

Minahasa Selatan

Sulawesi

Utara

 

1

 

 

38

Padang City

Bay

 

Kota Padang

Sumatera

Barat

 

62

 

16.000

 

39

 

Tanjung Carat

 

Kab. Banyu Asin

Sumatera Selatan  

2.918

 

530

 

40

 

Kuala Tanjung

 

Kab. Batubara

Sumatera Utara  

200

 

2.121

 

41

Pantai Olo Belawan  

Medan

Sumatera Utara  

50,17

 

1.689

 

 

Jumlah

 

79.348

 

747.363

 

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

 

Soal Kisruh Garam, Pemerintah Harus Kembali ke UU 7 Tahun 2016

KIARA, Jakarta, 5 Juli 2019 – Sejak satu pekan terakhir, menjelang panen garam rakyat tahun ini, masyarakat petambak garam, khususnya di Cirebon Jawa Barat mengeluhkan penumpukan garam rakyat di sejumlah gudang yang tidak terserap oleh pasar, meski harganya sudah sangat rendah, yaitu Rp300 per kg.
Waji, Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia mengatakan “Kondisi ini menggambarkan betapa tata kelola garam di Indonesia tak mengalami perbaikan. Setiap tahun, kami harus berhadapan dengan permasalahan harga, iklim, dan impor. Seakan-akan garam rakyat dibiarkan mati di tempat”.
Masyarakat patut mempersoalkan hal ini karena permasalah ini tak pernah bisa diselesaikan oleh pemerintah dari waktu ke waktu. Apalagi pemerintah Indonesia telah menetapkan kuota impor garam untuk tahun 2019 sebanyak 2,7 juta ton.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa tata kelola garam di Indonesia semakin hancur karena pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. “Inilah regulasi yang secara terang-terangan menghancurkan tata kelola garam nasional setelah sebelumnya Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 125 Tahun 2015,” ujarnya.
Susan menggarisbawahi dua persoalan mendasar dalam PP 9 Tahun 2018 yang menghancurkan tata kelola garam nasional, yaitu: pertama, pasal 5 ayat 3 mengenai volume dan waktu impor, sebagaimana tertulis: volume dan waktu pemasukan komoditas pergaraman ditetapkan berdasarkan hasil rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi perekonomian; dan kedua, pasal 6 persetujuan komoditas impor, sebagaimana tertulis: persetujuan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan untuk Bahan Baku dan bahan penolong industri sesuai rekomendasi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

“Dua pasal ini merupakan bentuk nyata liberalisasi garam nasional atas nama industri. PP 9 Tahun 2018 ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2016 Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam,” tegasnya.
Dalam hal tata kelola Garam, UU No. 7 Tahun 2016 memandatkan bahwa Pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman harus dilakukan melalui penetapan waktu pemasukan. “Dalam hal ini impor garam tidak boleh dilakukan berdekatan dengan musim panen garam rakyat karena akan berdampak terhadap turunnya harga garam di tingkat masyarakat,” tambah Susan.
“Tak hanya itu,” lanjut Susan “UU No. 7 Tahun 2016 memandatkan impor komoditas garam harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri terkait, dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Inilah dua hal yang dilanggar oleh PP 9 Tahun 2018.”
Menurut Susan, UU 7 Tahun 2016 telah mengatur persoalan tata garam nasional secara komprehensif, mulai dari perlindungan petambak garam sampai dengan pengendalian impor. “Namun Pemerintah pusat justru tidak menjadikan UU ini sebagai pedoman, malah membuat regulasi yang tidak menguntungkan masyarakat,” ungkapnya.
Sebagaimana tertulis di dalam Pasal 12 UU 7 Tahun 2016, Pemerintah dimandatkan untuk melindungi dan memberdayakan petambak garam dengan cara sebagai berikut:
1) penyediaan prasarana usaha perikanan dan usaha pergaraman; 2) kemudahan memperoleh sarana usaha perikanan dan usaha pergaraman; 3) jaminan kepastian usaha; 4) jaminan risiko penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan pergaraman;
5) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; 6) pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman; 7) jaminan keamanan dan keselamatan; 8) fasilitasi dan bantuan hukum; 9) pendidikan dan pelatihan; 10) penyuluhan dan pendampingan; 11) kemitraan usaha; 12) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; serta 13) penguatan kelembagaan.
“Pada masa yang akan datang, Indonesia harus berdaulat dalam urusan garam. Artinya pemerintah harus kembali kepada UU 7 Tahun 2016 sebagai aturan main dalam menata pergaraman nasional,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Kapan Nelayan Indonesia Sejahtera?

CATATAN KIARA TERHADAP KEPEMILIKAN PULAU-PULAU KECIL DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU

Oleh: Susan Herawati

Kepemilikan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah tragedi. Menunjukkan untuk kesekian kalinya kelemahan pemerintah di hadapan kuasa modal. Meski ada ribuan warga yang menghuni kepulauan tersebut, bahkan secara sah melalui proses peradilan memenangkan gugatan atas kuasa pengelolaan pulau- pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu, tak lantas membuat mata pemerintah terbuka.

Upaya melindungi segenap warga, baik atas nama kemanusiaan maupun hak dan legalitas tak menunjukkan pemihakan. Sebaliknya, seperti di banyak tempat, paradigma dan kebijakan publik pemerintah jauh dari upaya dan kesadaran tugas utama mereka sebagai bagian dari negara untuk mensejahterakan rakyat dan melindungi warganya dari penetrasi modal kapitalisme dalam banyak rupa dan wujudnya. Maka alih-alih menyelesaikan sengketa di ranah agrarian di wilayah Kepulaun Seribu dengan pemihakan kepada warga, pemerintah justru memberikan legitimasi terhadap kepemilikan pulau-pulau kecil ini. Tragedi nyata dimulai dari situ.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2018) mencatat, sebanyak 86 pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu telah dimiliki, baik oleh perorangan maupun lembaga tertentu (data terlampir).  Kepemilikan  pulau-pulau  kecil  ini memiliki  dampak  yang  sangat  serius bagi keberlangsungan hidup lebih dari 3.375 orang nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu.  Total  kapal  yang  digunakan  oleh  3.375  orang nelayan  sebanyak  1.380  unit, dimana  1.194 adalah  kapal-kapal  berukuran  0-5  GT  dan  186  berukuran  5-10  GT. Dengan  kata  lain,  seluruh  nelayan  di Kabupaten  Kepulauan  Seribu  merupakan nelayan tradisional.

Lalu apa dampak dari privatisasi pulau-pulau ini? Pertama: Terampasnya ruang hidup nelayan. Sebagaimana diketahui, nelayan adalah kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada sumberdaya kelautan dan perikanan. Privatisasi pulau-pulau, mendorong para investor untuk melakukan proteksi terhadap pulau dan perairannya atas nama keamanan. Padahal, kawasan itu adalah wilayah tangkapan nelayan sejak lama. Contoh yang paling nyata adalah sulitnya nelayan-nelayan di Pulau Pari untuk melintas dan mengakses sumber daya kelautan dan perikanan di Pulau Tengah serta kawasan perairannya, yang telah dimiliki oleh Hengky Setiawan. Sejak lama, Pulau dan kawasan perairannya adalah tempat nelayan mencari ikan.

Kedua, pulau yang telah dimiliki menjadi kawasan yang sangat privat. Dalam kondisi ini, pulau-pulau kecil yang telah dimiliki tertutup untuk masyarakat. Harga mahal dari kecenderungan watak kapitalisme harus dibayar mahal “wong cilik”.

Karena sedemikian tertutupnya, maka tak jarang ada sejumlah nelayan yang dikriminalisasi karena memasuki kawasan perairan pulau tersebut atau nelayan tersebut melawan kepemilikan pulau-pulau tersebut. Kriminalisasi ini jelas-jelas dialami oleh enam orang nelayan pulau pari yang kini harus berurusan dengan hukum karena mereka melawan kepemilikan Pulau Pari.

Dampak buruk terus dirasakan nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu dengan adanya proyek Pembangunan Kawasan Srategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang menetapkan Kepulauan Seribu menjadi salah satu kawasan KSPN. Kondisi pulau- pulau yang telah diprivatisasi ini dianggap menjadi prakondisi yang baik untuk kelancaran proyek KSPN ini.

Hilang  akses  pada  sumber  kehidupan  terutama  ekonomi  berdampak  faktual  pada kemiskinan.  Privatisasi  pulau-pulau  di  Kabupaten   Kepulauan  Seribu  juga  turut berkontribusi terhadap kemiskinan di kawasan ini. Data BPS tahun 2017 mencatat, Kabupaten    Kepulauan    Seribu    merupakan    kawasan    termiskin    di    Kawasan Jabodebatek,  dimana  hampir  3000  orang  hidup  dalam  kondisi  miskin.  Salah  satu penyebabnya   adalah   hilangnya   akses   dan   kontrol   terhadap   sumberdaya   alam, khususnya sumberdaya kelautan dan perikanan.

Pengabaian Konstitusi

Persoalan  ini  pernah  diliput  oleh  sejumlah  media  besar  pada  tahun  2006,  seperti Gatra  dan  beberapa  media lain.  Namun,  pada  tahun  2006  lalu,  Indonesia  belum memiliki perangkat hukum yang bersifat sektoral dan operasional, sehingga persoalan kepemilikan pulau-pulau ini miskin perspektif, selain dari menggunakan UUD 1945 yang sangat bersifat umum.

Namun hari ini, Indonesia memiliki sejumlah perangkat hukum yang sangat spesifik mengatur persoalan ini, diantaranya sebagai berikut: pertama, UU 27 Tahun 2007 dan revisinya UU 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam pasal 63 UU ini disebutkan: (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban  memberdayakan  masyarakat  dalam  meningkatkan  kesejahteraannya.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif

Kedua, putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang menyatakan: 1) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut; 2) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan   sehat;   3)   Masyarakat   pesisir   dan   pulau-pulau   kecil   memiliki   hak   untuk mendapatkan  manfaat  dari  sumberdaya  kelautan  dan  perikanan;  4)  Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun temurun.

Ketiga,  UU  No.  7  Tahun  2016  tentang  Perlindungan  dan  Pemberdayaan  Nelayan, Pembudidaya  Ikan,  dan  Petambak  Garam.  Di  dalam  pasal  3,  mandat  Pemerintah terhadap nelayan dinyatakan sebagai berikut:

  1. menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha;
  2. memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan;
  3. meningkatkan kemampuan dan kapasitas Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam; menguatkan kelembagaan dalam mengelola sumber daya Ikan dan sumber daya kelautan serta dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan;
  4. menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha;
  5. melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran; dan
  6. memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum

Saat   ini,   Pemerintah   provinsi   DKI   Jakarta   tengah   menyusun   RZWP3K   yang merupakan mandat dari UU 1 tahun 2014. Melalui RZWP3K, seharusnya pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan reorientasi terhadap penguasaan serta pengelolaan sumberdaya  kelautan  dan  perikanan  di  Kabupaten  Kepulauan  Seribu  yang  sesuai dengan mandat putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010. Inilah yang harus menjadi jangkar utama perumusan RZWP3K.

Namun, fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa RZWP3K disusun untuk melanggengkan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu. Dengan kata lain, pengaturan ruang laut melalui RZWP3K justru akan melegitimasi kepemilikan pulau-pulau yang selama terbukti meminggirkan kehidupan nelayan. Di dalam Rancangan RZWP3K, kawasan untuk pemukiman nelayan di Kepulauan Seribu tidak diberikan ruang. Selain itu, kawasan perikanan tangkap, hanya dialokasikan di beberapa titik, yaitu: Perairan kepulauan Seribu Utara, Perairan kepulauan Seribu Barat, Sebelah barat Pulau Pari, dan Pulau Putri bagian Timur. Adapun kawasan lainnya diperuntukkan untuk kepentingan pariwisata, konservasi, dan zona lainnya.

Jika menggunakan tiga perangkat hukum yang disebutkan di atas, maka rancangan RZWP3K ini tidak sejalan alias bertentangan. Karenanya penyusunan RZ harus dievaluasi total dan diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu khususnya juga di Kawasan pesisir di banyak wilayah lainnya di indonesia.

Tragedi

Secara umum masalah nelayan dan agrarian di wilayah pesisir tidak hanya menjadi beban Pemerintah Provinsi DKI, tapi juga menjadi beban ekonomi politik yang harus mendapat perhatian utama negara. Tentu, entah sejak kapan dan akan sampai kapan, kelompok nelayan laki-laki dan perempuan adalah kantung utama kemiskinan di indonesia.

Bijak untuk tidak memberantas nelayan miskin dengan menghilangkan akses kehidupan ekonomi politik mereka melainkan tentu saja akar dan masalah struktural kemiskinan nelayan yang harus diselesaikan. Jika tidak, dan masalah ini dibiarkan, kita tak ubahnya anak yang lalai pada ibu pertiwinya, bukankah kita adalah anak-anak dari nenek moyang pelaut? Haruskan nelayan mati kelaparan karena miskin di lautnya sendiri? Sungguh sebuah tragedi!(*)

*) Susan Herawati—Sekjend KIARA

Reklamasi Teluk Jakarta

KIARA: “Bukan Soal Izin, Tapi Nasib Ribuan Warga Teluk Jakarta Yang Terabaikan”

 

Jakarta, 24 Juni 2019 – Terlepas dari perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa  yang  salah  dalam  kasus  reklamasi  Teluk  Jakarta  pasca  keluarnya  932  Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk Pulau D. Yang tengah mengemuka hari ini dan kian ramai karena melibatkan  adu  opini  dan  lempar wacana  antara Gubernur  DKI Jakarta,  Anies  Baswedan,   dan   mantan   Gubernur   DKI  Jakarta,   Basuki  Tjahaya Purnama (Ahok), KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) menilai hal itu tidak relevan dan substantif. Baik Ahok maupun Anies keduanya berkontribusi pada reklamasi Teluk  Jakarta yang mengancam kehidupan  ribuan warga yang  tinggal di wilayah Teluk Jakarta.

 

KIARA berharap ada hal yang lebih substantif menyangkut nasib ribuan warga teluk Jakarta yang harus dipikirkan dalam kebijakan publik Provinsi DKI Jakarta. Lebih- lebih jika kembali ke belakang, warga Teluk Jakarta pernah memenangi gugatan atas Pemprov DKI melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

Hal   ini   disampaikan   oleh   Sekretaris   Jenderal   KIARA,   Susan   Herawati   untuk menanggapi  pernyataan  Anies  dan  Ahok  yang  mencari-cari  alasan  serta  mencari pembenaran atas kebijakan reklamasi Teluk Jakarta yang mereka buat. Sebelumnya, Anies  menyebutkan  bahwa  dasar  hukum  penerbitan  932  IMB  adalah  Peraturan Gubernur (Pergub) No. 206 Tahun 2016. Merespon hal ini, Ahok menyatakan bahwa Pergub  tersebut  belum  bisa  menjadi  syarat  penerbitan  IMB,  kecuali  jika  Peraturan Daerah DKI Jakarta sudah ada.

 

Menurut Susan, baik Anies maupun Ahok sama-sama berkontribusi pada nasib terkantung yang kini mengancam warga Teluk Jakarta yang harusnya mereka lindungi dan mendapat kesejahteraan.

 

“Ahok dan Anies bagaimanapun adalah bagian penting dari proyek reklamasi. Dua- duanya telah menerbitkan izin reklamasi Teluk Jakarta yang berdampak buruk bagi masa  depan  Teluk  Jakarta  serta  25  ribu  nelayan  yang  sangat  tergantung  dengan sumberdaya perikanan di perairan ini,” jelas Susan.

 

 

Susan menyebut, Ahok dan Anies sebenarnya memiliki kesempatan dan kewenangan untuk tidak melanjutkan proyek reklamasi di Jakarta yang telah dimulai pada tahun 1995  lalu.  Namun  hal  tersebut,  tidak  dilakukan  oleh  keduanya  dan  memilih  untuk melanjutkan kebijakan mengeruk Perairan Jakarta.

 

Karenanya Susan mendesak Anies untuk menghentikan proyek reklamasi. “Tak ada pilihan, reklamasi harus dihentikan secara total tanpa kecuali. Sebab itu menyangkut hak rakyat Teluk Jakarta yang bahkan telah dimenangkan oleh pengadilan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).” Tegas Susan.

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA di 082111727050

HENTIKAN SELURUH TAMBANG PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

KIARA, Jakarta, 29 Mei 2019 – Dalam rangka memperingati Hari Anti Tambang (HATAM) 2019, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak pemerintah untuk tidak melanjutkan seluruh proyek tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil karena terbukti menghancurkan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sekaligus menghancurkan kehidupan masyarakat pesisir yang sangat tergantung pada sumberdaya kelautan dan perikanan.

 

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, sampai dengan tahun 2018 telah terdapat lebih dari 1890 izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. IUP tersebut dialokasikan untuk berbagai jenis tambang mineral mulai dari nikel, timah, batu bara, tambang pasir, dan juga pasir besi. “Tak satu pun dari seluruh proyek tersebut memberikan dampak positif untuk kehidupan masyarakat pesisir, khususnya untuk nelayan” Kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

 

Berdasarkan hal tersebut, Susan mendesak pemerintah untuk menghentikan berbagai proyek tambang. “KIARA bersama seluruh masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya nelayan tradisional, meminta pemerintah untuk menghentikan lebih dari 1890 IUP di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegasnya.

 

Fakta-fakta di lapangan menunjukkan, ekspansi proyek tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil berbanding lurus dengan ekspansi krisis ekologis yang dialami oleh masyarakat pesisir di lebih dari 12 ribu desa pesisir dalam bentuk banjir dan longsor. Berdasarkan hal tersebut, Statistik Sumberdaya Pesisir dan Laut 2018 mencatat, di desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil telah terjadi bencana longsor sebanyak 737 kali dan banjir sebanyak 2.958 kali.

 

“Jika pemerintah tidak berhenti dan terus memberikan izin tambang kepada korporasi untuk menambang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan akan terus terdampak proyek destruktif ini,” ujar Susan.

 

Di sisi lain, KIARA melihat ancaman ekspansi dan eksploitasi tambang di pesisir malah dilegalkan melalui Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Salah satunya di RZWP3K Lampung, Off Shore Mining (Pertambangan di

 

 

Tengah Laut) yang dapat mengganggu jalur migrasi ikan. KIARA menilai RZWP3K menjadi peluang perampasan ruang hidup masyarakat bahari.

 

Selain mendesak pemerintah untuk menghentikan seluruh proyek tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, KIARA bersama dengan nelayan menggelar aksi di sejumlah aksi di pelbagai daerah. Di Jepara, Jawa Tengah, KIARA bersama dengan Forum Nelayan Jepara dan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) menggelar aksi memasang papan menolak tambang di lokasi pertambangan pasir besi. Di Palu, Sulawesi Tengah, KIARA bersama dengan Serikat Nelayan Teluk Palu, melakukan aksi untuk menutup PLTU Panau.

 

Ini adalah ekspresi perlawanan nelayan yang telah terdampak buruh oleh proyek tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. “Kenapa nelayan melawan Tambang? Jawabannya, karena proyek ini hanya menguntungkan sekelompok orang, melahirkan banyak krisis bagi masyarakat, serta tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hidup. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain menutup semua proyek tambang yang ada,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

KPK Harus Tangkap Mafia Pengadaan Kapal Nelayan

KIARA, Jakarta, 18 Mei 2019 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas dan menangkap mafia pengadaan kapal yang selama ini merugikan nelayan di Indonesia. Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, saat merespon penggeledahan yang dilakukan KPK terhadap kantor Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia serta Perusahaan swasta PT Daya Radar Utama di Tanjung Priok, Jakarta Utara, satu hari yang lalu.

Menurut Susan, target proyek pengadaan kapal yang menjadi program KKP telah menjadi persoalan serius sejak proyek Pengadaan kapal Inka Mina sepanjang tahun 2010-2014, dimana KKP memberikan bantuan kapal sebanyak 1.000 kapal kepada nelayan dengan total dana Rp 1,5 triliun. “Dalam pelaksanaannya, proyek ini penuh masalah, mulai dari salah peruntukan, spesifikasi kapal tidak memadai, hingga kesulitan operasional,” tuturnya.

Setelah kasus Inka Mina, pada 2016, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia memberikan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau Disclaimer atas laporan keuangan tahun buku 2016 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Di antara yang menjadi pertimbangan BPK adalah realisasi belanja barang per 31 Desember 2016 yang menjadi batas akhir tahun buku. Dalam laporan tersebut, realisasi belanja barang dilaporkan sebesar Rp4,49 triliun.

Menurut BPK, dalam realisasi belanja barang tersebut, sebesar Rp209,22 miliar dihabiskan untuk membayar proyek pembangunan kapal perikanan yang akan diberikan kepada nelayan. Akan tetapi, pembayaran untuk pembangunan kapal tersebut yang sudah dilakukan secara tuntas, pada pengerjaan fisiknya justru belum tuntas terlaksana. Dari berita acara serah terima yang dilakukan pada 31 Desember 2016, BPK mencatat, dari 756 kapal yang akan dibangun, baru 48 kapal yang berhasil diserahterimakan dari galangan kepada koperasi yang menjadi kelompok nelayan penerima bantuan kapal.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2017) mencatat, pada tahun 2016 KKP telah mengalokasikan dana mencapai Rp 4 triliun untuk pengadaan kapal berbagai ukuran. Untuk pembuatan 1.365 kapal ukuran 3 GT (gross tonage) disediakan anggaran Rp 291,19 miliar. Pembuatan 1.020 kapal dengan ukuran 5 GT sebesar Rp 435,19 miliar. Anggaran yang sama dialokasikan untuk membuat 720 kapal 10 GT.

Sekjen PPNI, Masnuah menambahkan jika nelayan tradisional sulit mengakses kapal bantuan karena diduga sudah ada penerima ‘siluman’ atau tidak jelas siapa penerima bantuan kapal. “KPK seharusnya turun dan menangkap para makelar kapal, karena banyak sekali penerima siluman yang tidak berhak mendapatkan bantuan tapi malah mendapatkan bantuan kapal. Tapi ini semua jadi hal yang tahu sama tahu. KKP pun tidak punya mekanisme monitoring, jadinya ya banyak orang mencuri” Ujar Masnuah.

 

 

KIARA melihat permasalahan serius dari pengadaan kapal karena sedari ada awal nelayan tidak dilibatkan dalam mekanisme pengadaan kapal. Nelayan menjadi subjek passif dan cenderung tidak memiliki posisi tawar dalam hal pengadaan kapal.

“Penilaian Disclaimer BPK terhadap buku keuangan KKP pada tahun 2016 yang lalu menjadi indikator kuat adanya persoalan serius dalam proyek pengadaan kapal yang harus segera diusut tuntas oleh KPK,” ujaranya.

Susan mengatakan, persoalan pengadaan kapal nelayan di KKP sejak 2010 sampai saat ini tak tersentuh hukum. Berdasarkan hal tersebut, KIARA mendesak KPK untuk membongkar mafia pengadaan kapal dan menangkap mereka karena merugikan negara sekaligus merugikan nelayan di seluruh Indonesia.

“KKP itu ibarat rumah nelayan baik laki-laki dan perempuan, jika rumahnya saja sudah ” pungkas Susan. (*)

 

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

“Masyarakat Indonesia Kutuk Penggusuran Kampung Nelayan Tambakrejo di Semarang”

Jakarta, 9 Mei 2019 – Pagi ni, duka menyelimuti kampung nelayan yang terletak di Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Jawa Tengah. Sebanyak 97 keluarga nelayan telah digusur oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang berjumlah lebih dari 100 orang. Penggusuran ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang beserta Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana dalam rangka normalisasi banjir kanal timur Kota Semarang sepanjang 6,7 km. Selain itu, penggusuran dilakukan dalam rangka meninggikan jembatan 1-1,5 meter dari sebelumnya.

Dalam penggusuran ini, lebih dari 50 anak-anak mengalami trauma, 2 orang istri nelayan pingsan dan kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mendapatkan intimidasi dari Satpol PP. Tak hanya itu, banyak warga dan mahasiswa yang dipukul, ditendang dengan tidak manusiawi.

Menanggapi peristiwa ini, Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA mengutuk penggusuran yang dilakukan secara sewenang-wenang dan menyengsarakan nelayan di Tambakrejo, Semarang. “Hari ini, masyarakat Indonesia ikut mengutuk penggusuran dan tindakan represif Satpol PP terhadap 97 keluarga nelayan di Tambakrejo. Ini adalah tindakan yang tidak manusiawi,” tegasnya.

Susan mengatakan, fakta ini menjelaskan bahwa nelayan tidak ditempatkan sebagai aktor utama dalam pembangunan di Indonesia. “Selama ini, nelayan selalu menjadi objek bahkan korban pembangunan infrastruktur. Sudah saatnya nelayan ditempatkan sebagai subjek penting pembangunan,” imbuhnya.

Sementara itu, Niko Wauran, Pengacara Publik LBH Semarang/Layar Nusantara, menyatakan bahwa penggusuran yang dilakukan oleh Pemkot Semarang dan BBWS Pemali Juana ini sangat tidak menghormati kesepakatan yang sebelumnya sudah dibuat oleh Pemkot Semarang, BBWS Pemali Juana dengan warga Tambakrejo yang dimediasi oleh Komnas HAM, pada 13 Desember 2018 lalu.

“Pemkot Semarang serta BBWS Pemali Juana telah melakukan penggusuran warga dari tempat tinggalnya yang telah dibangun oleh keringat mereka sendiri,” ungkapnya saat mendampingi warga di lokasi penggusuran.

Menurut Niko, kita tidak boleh membiarkan masyarakat Tambakrejo melawan sendiri. “Membiarkan saudara kita melawan sendiri kezhaliman sama saja dengan memperpanjang barisan perbudakan,” pungkasnya.

 

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821 1172 7050

Niko Wauran, Pengacara Publik LBBH Semarang, +62 857-9912-0425,

Memasuki Babak Baru Pemerintahan: Akankah Hak Pekerja Perikanan Tidak Terabaikan Lagi?

Jakarta, 30 April 2019. Setahun kembali berlalu namun kesejahteraan pekerja perikanan, baik itu dalam sektor perikanan tangkap maupun pengolahan, masih jauh dari standar yang ada.

Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan ataupun program strategis untuk membangun industri perikanan Indonesia, seperti yang tertuang di dalam Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional. Keinginan pemerintah dalam memajukan sektor perikanan Indonesia juga terlihat dalam salah satu pidato Presiden Joko Widodo di tahun 2014 dengan tujuannya untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘Poros Maritim Dunia’.

Akan tetapi, KIARA melihat industrialisasi di sektor perikanan yang dibangun oleh pemerintahan Indonesia selama beberapa tahun terakhir masih hanya berorientasikan pada keuntungan ekonomi yang di dapat dari sektor perikanan saja, namun tidak membangun kesejahteraan bagi pekerja-pekerjanya yang bekerja, baik itu dalam sektor perikanan perikanan tangkap maupun pengolahan. Jumlah buruh yang bekerja di sektor perikanan terhitung sebanyak 12 juta orang, namun yang tersertifikasi hanya 44.300 orang. Dengan latar belakang kebanyakan pekerja perikanan yang berasal dari masyarakat menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan yang rendah, pekerja perikanan ini begitu rentan akan pelanggaran hukum. Kerentanan pekerja perikanan ini menjadikan pelanggaran ketenagakerjaan yang ada di dalam sektor perikanan menjadi sangat massif dan terstruktur.

KIARA mencatat dalam laporan Kementerian Luar Negeri Indonesia, untuk periode 2010-2015, Pemerintah Indonesia membantu 2.368 nelayan Indonesia di luar negeri yang telah mengalami kejahatan terkait IUU. Kasus utama yang dialami oleh nelayan Indonesia adalah perselisihan perburuhan (1.148 kasus), penyelundupan manusia (833 kasus), perdagangan manusia (287 kasus), penangkapan ikan ilegal (94 kasus) dan penyalahgunaan narkoba (6 kasus). Beberapa kasus yang tercatat oleh pemerintah Indonesia ini hanya sebagian kecil dari banyaknya pelanggaran hak ketenagakerjaan dan hak asasi manusia yang diterima pekerja perikanan.

Meskipun kebijakan perburuhan telah disahkan, seperti UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 2 Tahun  2004  tentang  Penyelesaian  Perselisihan  Hubungan  Industrial,  UU  No  24

 

 

Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, namun ironisnya implementasi dari pemenuhan hak-hak pekerja masih sangat minim.

Sudah setahun lamanya sejak KIARA mendengar akan keinginan pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 (C188) sebagai bentuk upaya dalam memperbaiki kesejahteraan pekerja di sektor perikanan tangkap, namun dengan perselisihan antar kementerian yang bersangkutan terkait dengan isu pelanggaran hak pekerja di sektor perikanan tangkap, hal ini kemudian berdampak pada belum terealisasinya proses ratifikasi C188 ini. Karena itu, KIARA melihat pemerintah Indonesia selangkah lebih lambat dari pemerintah Thailand dalam upaya mensejahterakan pekerja perikanannya, sebagaimana saat ini Thailand menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah meratifikasi C188 di awal tahun 2019 ini.

Dengan berakhirnya pesta demokrasi pada 17 April 2019 lalu, Indonesia akan memulai babak baru pemerintahan. KIARA melihat siapapun pemerintah yang terpilih nantinya dapat memberikan angin baru dalam mensejahterakan pekerja yang ada di dalam sektor perikanan, baik itu dalam sektor perikanan tangkap maupun pengolahan. Untuk itu, KIARA mendesak pemerintahan yang nantinya akan terpilih untuk dapat:

  1. Menyelesaikan tumpang tindih kepentingan antar kementerian dan menyegerakan proses ratifikasi Konvensi ILO No. 188  Tahun  2007  mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO No. 199 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh perikanan;
  2. Memerintahkan kepada Menteri Ketenagakerjaan menghentikan praktek- praktek hubungan industrial outsourcing dan kerja kontrak yang ada di dalam sektor pengolahan perikanan yang hanya akan melanggengkan praktek perbudakan tanpa ada hubungan kerja seimbang antara pekerja dan pengusaha;
  3. Memperketat pengawasan terhadap industri perikanan yang banyak mempekerjakan pekerja perikanan di sektor perikanan tangkap;
  4. Memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menindak tegas pelaku usaha yang melanggar ketentuan hukum pidana perburuhan di Indonesia, seperti melakukan pemberangusan serikat buruh, tidak membayar upah kerja, membayar upah dibawah standar regional,

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Parid Ridwanuddin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, +62 857-1733-7640

Nibras Fadhlillah, Monitoring dan Evalusasi KIARA, +62 82226583640

Hari Bumi, KIARA Soroti Deforestasi Mangrove dan Sampah Plastik di Laut

Jakarta, 22 April 2019 – Pada hari Bumi Sedunia yang jatuh setiap pada tanggal 22 April, KIARA meminta negara untuk segera melakukan langkah konkrit untuk menjaga bumi dari kehancuran ekologi.

 

Salah satu dampak pilihan pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif adalah kenaikan suhu planet bumi. Pada tahun 2018, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencatat kenaikan suhu bumi yang mengalami peningkatan suhu sebesar 1,5 derajat celcius. Angka ini merefleksikan percepatan kenaikan suhu bumi dibandingkan dengan masa sebelum revolusi Industri. Dengan kata lain, dalam rentang waktu kurang dari lima abad, suhu bumi naik secara signifikan.

 

Di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, praktik pembangunan ekstraktif dan eksploitatif dapat dilihat dari massifnya pembangunan proyek properti seperti reklamasi, pertambangan, dan ekspansi perkebunan sawit yang menghancurkan kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, keberlanjutan ekologis sekaligus keberlanjutan kehidupan sosio-ekonomi masyarakat pesisir berada dalam keterancaman serius.

 

“Salah satu yang sangat terancam oleh pembangunan ekstraktif dan eksploitatif, seperti reklamasi dan pertambangan, adalah hutan mangrove di sepanjang 95.000 km pesisir Indonesia. Padahal, sebagai kawasan ekosistem esensial, hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi keberlanjutan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

 

Susan menguraikan, mangrove memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi fisik dan kimiawi. “Fungsi fisik mangrove adalah untuk melindungi pantai dari abrasi, penyangga proses rembesan air laut ke tanah, penjaga intrusi air laut, dan sebagai penahan sedimen secara terus-menerus,” tuturnya.

 

“Adapun fungsi kimia mangrove,” tambah Susan, “untuk penyerap karbondioksida sekaligus sebagai tempat daur ulang oksigen yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan hewan. Berdasarkan Catatan KIARA, satu hektar hutan mengrove mampu menyimpan karbondioksiada sebanyak 800-1.200 ton.”

 

 

 

Selain memiliki fungsi fisik dan kimiawi, keberadaan hutan mangrove juga memiliki fungsi sosial dan ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di desa pesisir. “Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, saat ini tercatat sebanyak 6.829 desa pesisir memiliki income dari praktik pemanfaatan hutan mangrove,” Kata Susan.

 

Namun, keberadaan hutan mangrove terus mengalami deforstasi. Pusat Data dan Informasi KIARA (2018), mencatat luasan hutan mangrove pada tahun 2014 sebesar 4,4 juta hektar. Namun, pada tahun 2017, luasannya hanya 3,5 juta hektar. “Penyebab utama deforestasi mangrove adalah ekspansi proyek reklamasi di seluruh pesisir Indonesia, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil, serta ekspansi perkebunan kelapa sawit yang saat ini telah memasuki kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah harus mengevaluasi seluruh proyek ini,” tegas Susan.

 

Selain menyoroti deforestasi mangrove, pada Hari Bumi, KIARA juga menyoroti persoalan sampah plastik yang telah mencemari laut Indonesia. Sebagaiman diketahui, Indonesia merupakan produsen sampah terbesar kedua di dunia setelah Cina. “Sampah plastic di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun, lebih dari 3,5 juta ton sampah platik di buang ke laut Indonesia. Meski sampah plastik di lautan Indonesia telah begitu mencemari, Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum memiliki strategi dan kebijakan khusus untuk menyelesaikan persoalan ini,” tutur Susan.

 

Tak hanya itu, pemerintah Indonesia terlihat tidak memiliki ketegasan terhadap perusahaan pembuat plastik yang telah banyak mengambil keuntungan dari bisnis plastik. “Dalam kasus sampah plastik yang telah mencemari laut Indonesia, seharusnya perusahaan pembuat plastik menjadi pihak yang paling pertama diminta pertanggungjawaban secara serius oleh pemerintah,” tegas Susan.

 

KIARA mengajak masyarakat pesisir di seluruh Indonesia untuk berhenti menggunakan plastik secara perlahan-lahan. Tak hanya itu, KIARA juga mengajak masyarakat untuk tidak menjadikan laut sebagai tong sampah plastik raksasa. “Pada hari bumi ini, KIARA mengajak masyarakat pesisir untuk menjaga laut dari sampah plastik dengan cara berhenti menggunakan plastik secara gradual. Mari berhenti menjadikan laut sebagai tong sampah raksasa,” pungkasnya. (*)

 

Informasi selanjutnya :

 

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, 082111727050