Masyarakat Tambakrejo Bangkit dan Lawan Ketidakadilan

KIARA, Jakarta, 10 Mei 2019 – Kota Semarang mendapakan Perhargaan Pembangunan Daerah 2019 dari Bappenas dengan kategori perencanaan dan pencapaian terbaik tingkat kota. Namun faktanya, pembangunan kota ini menggusur 97 masyarakat nelayan di Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Pemimpin daerah yang menerima penghargaan seharusnya malu, karena 97 KK Tambakrejo yang digusur oleh Pemprov menunjukkan wajah asli pola pembangunan merampas. Semarang menjadi wajah kota tanpa kemanusiaan.

Selain dari pada itu, Komnas HAM sangat tidak menghormati kesepakatan yang sebelumnya sudah disepakati bersama masyarakat Tambakrejo pada tanggal 13 Desember 2018 bertempat di Kantor Pemerintah Kota Semarang, Jl. Pemuda No. 148, Sekayu, Semarang terkait pelaksanaan tugas dan wewenang Komnas HAM sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 76 ayat (1), Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pada tanggal 9 Mei 2019, Pemerintah Kota Semarang beserta Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang berjumlah lebih dari 100 orang melakukan penggusuran paksa terhadap 97 masyarakat nelayan di Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Aparat setempat juga melakukan tindakan kriminalisasi terhadap warga, mahasiswa dan kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.

Satu hari setelah aktivitas penggusuran yang dilakukan terhadap 97 warga Desa Tambakrejo oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), suasana duka yang mendalam masih sangat terasa di kawasan penggusuran. Tidak sedikit korban penggusuran yang masih bertahan diantara reruntuhan puing-puing rumah mereka dengan harapan dapat merebut kembali apa yang menjadi hak mereka. Disaat yang bersamaan, masih belum banyak bantuan yang didapat korban pasca aktivitas penggusuran yang dilakukan pada 9 Mei 2019 lalu.

Dalam hal ini, KIARA bersama masyarakat Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang berkoordinasi untuk membuat dapur umum, MCK dan mushola darurat untuk warga korban penggusuran paksa sebagai bentuk dukungan terhadap tindakan represif yang dilakukan pihak aparatur setempat. Rumah Pak Rohmadi selaku RT Kampung Tambakrejo menjadi gudang logistik untuk bantuan korban penggusuran.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan “masyarakat harus melawan dan bangkit atas ketidakadilan yang dialami, bangkit melawan perampasan ruang hidup, hak untuk hidup dan hak untuk mencari sumber penghidupan”. Menurut Susan, kita tidak boleh membiarkan ketidakadilan terus-menerus menggerogoti masyarakat pesisir. “Kita harus menegakkan payung hukum dan menegakkan keadilan terutama keadilan untuk masyarakat pesisir di seluruh Indonesia,” pungkasnya. Info lebih lanjut: Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821 1172 7050

Perundingan RCEP Akan Berdampak Buruk Bagi Masyarakat Pesisir

KIARA, Jakarta, 25 Februari 2019 – Indonesia tengah menjadi tuan rumah perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) ke-25 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali pada tanggal 19-28 Februari 2019. RCEP adalah bentuk kerjasama ekonomi dan perdagangan di kawasan ASEAN dengan enam Negara mitra ekonominya, yakni: China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan New Zealand. RCEP diarahkan agar menjadi pasar perdagangan bebas terbesar di dunia. Isu yang dirundingkan dalam RCEP tidak hanya mencakup perdagangan barang dan jasa, tetapi juga mencakup perlindungan investasi dan mekanisme penyelesaian sengketanya, E-Commerce, Government Procurement, Perlindungan hak kekayaan Intelektual. Di dalam sektor perikanan, RCEP mendorong liberalisasi jasa perikanan tangkap, dimana negera-negara yang terlibat dalam RCEP akan melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Hal ini tentu akan berdampak terhadap eksploitasi sumber daya perikanan Indonesia. Pada saat yang sama, jutaan nelayan tradisional di Indonesia yang tergantung kepada sumber daya perikanan harus bersaing dengan kapal-kapal besar penangkap ikan negara-negara pihak RCEP. “Perundingan RCEP tidak akan memberikan dampak baik sedikitpun bagi kehidupan 8 juta orang nelayan tradisional di Indonesia. Sebaliknya, ini merupakan ancaman yang sangat serius bagi kedaulatan masyarakat,” tegas Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA. Selain akan meliberalisasi jasa perikanan tangkap, RCEP juga akan memuluskan investasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya sektor pariwisata bahari. Pemerintah Indonesia saat ini tengah menggenjot investasi di bidang pariwisata dengan nama Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di 10 kawasan, dimana 7 dari kawasan itu berada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kuta Mandalika, Labuan Bajo, Morotai, Wakatobi, dan Kepulauan Seribu. Pemerintah Indonesia menempatkan sektor pariwisata sebagai bagian penting dalam pertumbuhan ekonomi, dengan menargetkan pada akhir 2019, mendapatkan devisa sebesar Rp280 triliun. Proyek ini karena terbukti merampas ruang hidup masyarakat pesisir. di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, sebanyak 312 keluarga berkonflik dengan sebuah perusahaan pariwisata dan terancam dikriminalisasi. Di Mandalika, NTB, lebih dari 300 keluarga nelayan diusir dari kawasan pesisir dan kehilangan wilayah tangkapan, sementara itu di Labuan Bajo, lebih dari 1700 keluarga nelayan kehilangan ruang tangkapan. Fakta- fakta ini akan terus terjadi di tempat lain di Indonesia, yang akan dijadikan kawasan pariwisata. “Melalui RCEP, investasi pariwisata semakin diperkuat. Untuk kepentingan pemerintah akan banyak melakukan deregulasi guna menyesuaikan dengan kepentingan investasi. Dalam hal ini, masyarakat pesisir tetap akan menjadi korban,” tutur Susan. Susan meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan perundingan RCEP karena tidak akan memberikan apa-apa bagi masyarakat pesisir di Indonesia. “KIARA meminta Pemerintah Indonesia untuk menghentikan perundingan RCEP karena tak memiliki dampak baik bagi kehidupan masyarakat pesisir,” pungkasnya.

Info lebih lanjut : Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Terdampak Perubahan Iklim, Ribuan Nelayan Demak Alami Kerugian Ekonomi

KIARA, Jakarta, 31 Januari 2019 – Krisis iklim yang ditandai dengan berbagai bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia terus terjadi. Di kawasan pesisir dan pulau- pulau kecil, dampak buruk krisis iklim sangat dirasakan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya, dalam bentuk cuaca buruk dan gelombang tinggi. Dampaknya, tak sedikit nelayan yang harus berhenti melaut demi menghindari bahaya yang lebih besar. Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, ribuan nelayan di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah telah berhenti melaut sepanjang tiga pekan ini. Berdasarkan data Bada Pusat Statistik Jawa Tengah tahun 2017, jumlah nelayan tangkap di Kabupaten Demak itu ada 3.486 keluarga. “Dari angka itu, sebanyak 1.336 nelayan tangkap di Kecamatan Wedung tidak bisa melaut sejak tanggal 10 Januari 2019. Dampaknya, kehidupan perekonomian ribuan keluarga nelayan pun terancam,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Selain persoalan tak bisa melaut akibat krisis iklim, ribuan nelayan di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak juga menghadapi permasalahan abrasi pantai. KIARA menemukan fakta-fakta di lapangan menunjukkan setiap tahun 1 hektar tanah di kawasan pantai di Kecamatan Wedung hilang akibat krisis iklim. “KIARA mencatat abrasi telah mengancam ruang hidup nelayan,” tambah Susan.

Dalam kondisi ini, Susan mendesak Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk segera melaksanakan mandat Undang- Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. “Salah satu mandat penting dari UU No. 7 Tahun 2016 adalah melindungi nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran,” katanya.

Susan menambahkan, UU No. 7 Tahun 2016 dengan sangat jelas menyebutkan persoalan perubahan iklim sebagai salah satu tantangan utama nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam. Berdasarkan hal itu, UU ini memandatkan pemerintah untuk menyediakan informasi penting terkait dampak perubahan iklim, seperti cuaca buruk, gelombang tinggi, dan bencana alam lainnya. “Jika satu orang nelayan mengalami kerugian akibat tidak melaut, paling sedikit 300 ribu rupiah, maka berapa ratus juta kerugian ekonomi nelayan dalam tiga pekan ke belakang? Persoalan ini harus segera disikapi oleh pemerintah dengan memberikan asuransi sebagaimana dimandatkan oleh pasal 30 ayat 1-6,” tegas Susan.

Menurut catatan KIARA, selama ini asuransi yang dimandatkan UU No. 7 tahun 2016 tidak diberikan kepada nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam yang berhak. “Skema pemberian asuransi ini masih bersifat top-down. Kami mencatat, asuransi yang diberikan pemerintah tidak diberikan kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam yang jelas-jelas terdampak perubahan iklim,” tutur Susan.

Susan meminta Pemerintah, khususnya KKP untuk segera turun ke Kabupaten Demak, khususnya Kecamatan Wedung, untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh nelayan dan pembudiaya ikan. “Pemerintah harus hadir untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh nelayan Demak,” pungkasnya. (*)

Informasi  lebih lanjut:  Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050