Rencana Zonasi, Legalkan Perampasan Ruang Hidup Masyarakat Pesisir

Manado, 6 Maret 2019 – Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) melegalkan perampasan ruang hidup masyarakat pesisir di 34 Provinsi di Indonesia. RZWP3K merupakan mandat yang tertulis dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat sampai awal tahun 2019, sebanyak 17 Provinsi di Indonesia telah menetapkan peraturan daerah (Perda) zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Sisanya sebanyak 16 provinsi masih dalam tahap penyusunan. Ironinya, di dalam perda zonasi di 17 provinsi terdapat proyek pembangunan yang merampas ruang hidup masyarakat pesisir.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, menyatakan bahwa rencana zonasi yang ada di seluruh provinsi di Indonesia pada praktiknya melegalkan perampasan ruang hidup masyarakat pesisir.

Susan memberikan contoh perampasan ruang hidup yang dilegalkan oleh Perda Zonasi di Provinsi Jawa Tengah. “Perda Zonasi Jawa Tengah melegalkan proyek reklamasi di Semarang, PLTU di pantai utara dan pantai selatan, dan tambang di hampir seluruh pesisir Kota dan Kabupaten Jawa Tengah. Dalam pada itu, proses penyusunannya tidak melibatkan masyarakat secara aktif,” tuturnya.

Pada saat yang sama, Rignolda Djamaluddin, Direktur KELOLA menambahkan, Perda Zonasi Provinsi Sulawesi Utara melegalkan proyek reklamasi di seluruh pantai Kota Manado, pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus di Bitung dan konservasi yang mengusir nelayan di Taman Nasional Bunaken. “Perda Zonasi Sulawesi Utara disahkan hanya untuk membungkus proyek perampasan ruang hidup nelayan yang telah ada. Pada saat yang sama, Perda ini memasukan beragam rencana baru perampasan ruang hidup masyarakat pesisir,” tegasnya.

Akibat penetapan Perda Zonasi di 17 provinsi ini, kehidupan lebih dari empat juta nelayan tradisional di Indonesia terdampak buruk. Tak hanya itu, lebih dari 700 komunitas masyarakat adat pesisir dengan berbagai kekayaan budayanya, tengah dan akan terus terancam. “Tak sedikit komunitas masyarakat adat pesisir yang tak bisa menangkap ikan di laut mereka. Pesisir dan laut telah diprivatisasi dan diswastanisasi melalui Perda Zonasi ini,” ungkap Arman Manila, Direktur JPKP.

KIARA menyerukan, negara seharusnya menghentikan berbagai pembahasan Perda Zonasi yang masih dibahas 16 provinsi sekaligus mengevaluasi Perda Zonasi yang telah disahkan di 17 provinsi. Negara harus menjamin keberlanjutan kehidupan

masyarakat pesisir sekaligus melindungi ruang hidupnya, sebagaimana dimandatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3 tahun 2010.

Selain memiliki Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010, Indonesia telah menyepakati Dokumen VGSSSF atau Voluntary Guidelines For Securing Sustainable Small-Scale Fisheries in The Context of Food Security And Poverty Eradication (Petunjuk Sukarela untuk Menjamin Perikanan Skala Kecil yang Berkelanjutan dalam Konteks Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan). Dokumen ini memandatkan seluruh negara, termasuk Indonesia, untuk menjamin hak pengelolaan perikanan skala kecil yang telah dipraktikkan oleh masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat pesisir.

Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki kepentingan untuk melindungi masyarakat pesisir yang telah mengelola dan melestarikan sumber daya perikanan selama ini. “Jika ruang hidup mereka terus dirampas, maka masa depan masyarakat pesisir berada dalam keterancaman serius,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Rignolda Djamaluddin, Direktur KELOLA, +62 813-5460-1480
M. Arman Manila, Direktur JPKP, +62 821-8945-6000