PERNYATAAN SIKAP
ALIANSI MASYARAKAT UNTUK KEDAULATAN (AMUK) BAHARI
Aliansi Masyarakat Untuk Kedaulatan (AMUK) Bahari yang terdiri dari sejumlah Organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyatakan penolakan terhadap tata ruang pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, yang bernama Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
AMUK Bahari terdiri dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Bina Desa, Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonsia (PPNI), Komunitas Nelayan Tradisional Dadap, Komunitas Nelayan Tradisional Muara Angke, Forum Peduli Pulau Pari (FP3), Forest Watch Indonesia (FWI), Solidaritas Perempuan Jabodetabek, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Indonesia Human Right Commision for Social Justice (IHCS), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Paguyuban Nelayan Bayah, Gerak Lawan , Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia), Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FKNSDA) dan LBH-Rakyat Banten.
Alasan utama mengapa RZWP3K harus ditolak adalah karena RZWP3K melegitimasi sekaligus melanggengkan perampasan ruang hidup masyarakat pesisir di Indonesia melalui sejumlah proyek pembangunan, diantaranya: reklamasi, pertambangan pasir dan migas, industri pariwisata berbasis utang, konservasi berbasis utang, perkebunan kelapa sawit, dan pembangan infrastruktur untuk pelabuhan serta industri maritim.
Sampai dengan pertengahan tahun 2019, RZWP3K telah disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil di 21 provinsi. Sejauh ini pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan Menteri No. 23/PERMEN-KP/2016 aktif mendorong Perda Zonasi tersebut, namun hasilnya ada 13 provinsi lainnya yang masih membahas dan mendiskusikan Rancangan Perda Zonasi ini. Baik Perda yang telah disahkan maupun Perda yang tengah dibahas di sejumlah provinsi terbukti menciptakan permasalahan bagi masyarakat, yakni dirampasnya ruang hidup untuk masyarakat pesisir. Hal ini dapat dibaca di
dalam Perda Zonasi Provinsi Lampung No. 1 Tahun 2018, yang mengalokasikan pemukiman nelayan hanya seluas 11,66 Ha.
Tak beda dengan Perda Zonasi Lampung, Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Selatan No. 13 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2018 – 2038, hanya mengalokasikan ruang seluas 37 Ha untuk pemukiman yang didiami oleh 9.715 keluarga nelayan.
Sementara itu, lebih dari 25 ribu nelayan di DKI Jakarta terancam digusur. Raperda RZWP3K DKI Jakarta mengalokasikan pemukiman non-nelayan seluas 70 Ha di wilayah Penjaringan, khususnya di kawasan elit Pantai Mutiara.
Pada saat yang sama, Muara Angke, yang asalnya Kawasan pemukiman nelayan akan dijadikan Kawasan pelabuhan, dan juga pembangunan break water banyak meresahkan masyarakat . Lebih jauh, pemukiman nelayan di Kamal Muara dialokasikan untuk Kawasan Industri maritim. Perda Zonasi DKI Jakarta akan menjadi menjadi alat legitimasi untuk proyek Reklamasi Teluk Jakarta.
Senada dengan itu, draft Perda RZWP3K Provinsi Banten akan melegalkan proyek tambang di laut dan Kawasan pesisir kecamatan Tirtayasa yang mencangkup Desa Lontar, Pulau Tunda dan Bayah. Perampasan ruang pun dialami oleh masyarakat di Pesisir Kelurahan Dadap dan Pulau Sangiang. Draft Perda RZWP3K semakin mempertajam konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan pengembang reklamasi.
Di tempat lain, penyusunan draft Perda RZWP3K provinsi Kalimantan Timur menyimpan beragam masalah. Pada proses perumusan draft Perda disusun tanpa partisipasi warga dan cacat prosedur. Sejumlah analisis menunjukkan bahwa draft Perda RZWP3K Kalimantan Timur akan menjadi pintu masuk bagi industri ekstraktif seperti tambang semen. AMUK Bahari melihat kawasan mangrove akan dihilangkan alokasi ruangnya. Berkurangnya kawasan mangrove akan berdampak bagi kehidupan nelayan dan perempuan nelayan, serta meningkatkan kerentanan bencana di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berangkat dari berbagai temuan di atas, dapat disimpulkan pengaturan ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia melalui Perda RZWP3K terbukti tidak berpihak kepada masyarakat, merampas ruang
hidup masyarakat pesisir yang telah lama hidup di kawasan tersebut selama berpuluh-puluh tahun.
Kehadiran Perda RZWP3K seharusnya menguatkan posisi masyarakat pesisir dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan. Kenyataannya, baik Perda yang telah disahkan maupun yang tengah dibahas, ternyata melemahkan masyarakat bahkan melegalkan perampasan ruang hidup masyarakat.
Berpijak pada fakta-fakta yang disebutkan diatas, AMUK Bahari menuntut pemerintah pusat dan seluruh pemerintah daerah di Indonesia untuk melakukan sejmlah hal berikut:
- Menghentikan seluruh pembahasan Rancangan Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil hingga seluruh perampasan ruang hidup berupa proyek reklamasi, penambangan pasir dan migas, industri pariwisata berbasis utang, konservasi berbasis utang, perkebunan kelapa sawit, dan pembangan infrastruktur untuk pelabuhan serta industri maritim, di dalam Perda tersebut dikeluarkan.
- Mengevaluasi seluruh Perda Zonasi yang telah disahkan di 21 Provinsi dan membatalkan seluruhnya karena di dalamnya banyak pasal yang melgitimasi perampasan ruang hidup masyarakat
- Meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menghentikan rencana zonasi baik yang sudah di ttetapkan maupuan dalam proses penyusunan yang memuat proyek esktraktif dan eksploitatif yang dapat menyebabkan masyarakat bahari kehilangan ruang hidupnya
- Meminta kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk tidak menerbitkan sekaligus mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil yang merampas ruang hidup masyarakat bahari, menyebabkan terampasnya ruang hidup masyarakat
- Menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 3 Tahun 2010 di dalam menata ruang di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Putusan ini telah memberikan rambu-rambu penting dalam menata tata ruang kawasan pesisir, laut, dan pulau- pulau kecil, yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama.
- Bersihkan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dari seluruh proyek yang bersifat ekstraktif dan
- Menjalankan mandat UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,
dengan cara menyediakan skema pelindungan dan pemberdayaan dalam aturan turunannya, Baik Peraturan dan atau Keputusan Presiden, Peraturan dan atau Keputusan Menteri, sampai dengan Peraturan Daerah.
- Memberikan pengakuan politik kepada perempuan nelayan atas jasa dan kontribusi mereka dalam perekonomian keluarga nelayan di Indonesia.
Demikian tuntutan ini kami sampaikan kepada Pemerintah Pusat, yaitu Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, beserta Wakil Presiden Republik Indonesia, Bapak KH Ma’ruf Amin, Kementerian Kelautan dan Perikanan sekaligus kepada seluruh Gubernur di 34 di seluruh Indonesia. Batalkan Ranperda Zonasi yang masih dibahas serta Evaluasi seluruh Perda Zonasi yang telah disahkan.
Jakarta, 16 Juli 2019
Tertanda
AMUK Bahari
KIARA, JATAM, WALHI Jakarta, LBH Jakarta, YLBHI, PPNI, ICEL, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, IHCS, Komunitas Nelayan Tradisional Dadap, Komunitas Nelayan Tradisional Muara Angke, Forum Peduli Pulau Pari, FWI, Solidaritas Perempuan Jabodetabek, Paguyuban Nelayan Bayah, Gerak Lawan, KRuHA, FPPI, FKNSDA dan LBH-Rakyat Banten.
Narahubung:
Buyung (Nelayan Pulau Pari) |
0858 9269 4416 |
Jai (Nelayan Dadap, Tanggerang) |
0896 4673 1011 |
Rois (Nelayan Muara Angke) |
0815 7315 4866 |
Fikerman Saragih |
0823 6596 7999 |
Ayu Eza |
0821 1134 0222 |
Sandi Saputra |
0813 8039 9658 |
Seny Sebastian |
0853 8733 3124 |