Mangrove Biologi, Ekologi, Rehabilitasi dan Konservasi

Mangrove adalah kehidupan, ini adalah nilai penting bagi masyarakat bahari Indonesia.
Bapak Rignolda Djamaludin secara khusus menuliskan buku bertajuk “Mangrove Biologi, Ekologi, Rehabilitasi, dan Konservasi” sebagai bentuk perlawanan atas masifnya pengerusakan mangrove yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Jika ingin mendownload buku ini silahkan hubungi admin KIARA di seknas@kiara.or.id

Salam Keadilan Perikanan !

 

KIARA: Soal Natuna Sudah Selesai, Saatnya Bicara Kedaulatan Bahari Indonesia

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 16 Januari 2020 – Kapal asing Tiongkok sudah menjauh dari perairan Natuna, Kepulauan Riau. Tensi diplomatik antara Indonesia dan China sudah tidak panas seperti sebelumnya. Namun apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia guna menegakkan kedaulatan di perairan yang berbatasan dengan laut China Selatan itu?

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa kasus yang baru saja terjadi di Perairan Natuna seharusnya dijadikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai momentum penegasan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dimana batas-batas telah ditentukan oleh hukum laut internasional atau United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS).

“Kasus Natuna harus dijadikan momentum penting untuk meneguhkan batas negara kepulauan sekaligus menyatakan perang kembali terhadap praktik IUU Fishing. Point pentingnya bukan pencitraan dan gagah-gagahan.” tegas Susan Herawati.

Menurut Susan, hal ini bisa dijadikan pelajaran dan landasan kebijakan agar ke depan kasus Natuna tidak terluang di kawasan perbatasan Indonesia yang lain.

“Jadi ke depan pemerintah Indonesia harus merumuskan agenda penguatan dan perlindungan nelayan beserta kawasan tangkapnya dari kejahatan IUU Fishing ke dalam konsep pertanahan nasional di laut.” ujar Susan. “Jadikan nelayan sebagai ujung tombak penjaga keamanan dan kedaulatan perairan Indonesia dan lindungi mereka dan ruang tangkapnya.”imbuhnya.

Jika nelayan tidak diperkuat, tambah Susan, saat pihak keamanan laut Indonesia sedang tidak berpatroli di Perairan seperti dalam kasus Natuna, maka kapal-kapal asing akan datang kembali dan mengambil sumber daya alam.

“Di dalam wacana pertahanan, pendekatan keamanan dengan militer saja tidak cukup. Nelayan di Natuna perlu menjadi bagian penting dalam wacana pertahanan, khususnya dalam konteks pemanfaatan sumber daya perikanan yang ada di Natuna” katanya.

Maksimalkan Sumber Daya Laut

Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, setidaknya terdapat 7.066 keluarga nelayan yang sangat tergantung kepada sumber daya perikanan. Pada saat yang sama, potensi sumber daya perikanan di Natuna berdasarkan potensi sumber daya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2011 sebesar 504.212,85 ton per tahun. Berdasarkan catatan BPS Provinsi Kepulauan Riau (2019), Kabupaten Natuna telah memproduksi perikanan tangkap sebanyak 87.248,25 ton dengan nilai ekonomi sebesar Rp1.752.206.424.

“Dengan kata lain, banyak sekali potensi sumber daya perikanan yang tidak termanfaatkan oleh nelayan. Jika potensinya sebesar 504.212,85 ton per tahun, dan hasil tangkapannya sebanyak 87.248,25 ton, maka produksi perikanannya tidak mencapai 50 persen,” jelas Susan.

Salah satu alasan kenapa sumber daya perikanan belum termanfaatkan karena, jumlah kapal penangkap ikan tidak berbanding lurus dengan jumlah keluarga nelayan. Berdasarkan catatan BPS Kabupaten Natuna, jumlah kapal penangkap ikan hanya berjumlah 1.133 perahu tanpa motor, 159 perahu motor tempel, dan 2.921 kapal motor. Dengan demikian totalnya, terdapat 4.213 perahu penangkap ikan yang beroperasi di perairan Natuna. “Pemerintah harus memastikan setiap keluarga nelayan memiliki alat produksi, berupa perahu penangkap ikan untuk memanfaatkan sumber daya perikanan di perairan Natuna,” desak Susan.

Jika nelayan di Natuna dapat memanfaatkan sumber daya perikanan, maka mereka akan menjadi bagian penting dalam upaya menegakan kedaulatan laut.

“Tak hanya itu, nelayan juga akan menjadi penjaga kawasan perairan tangkapnya dari kapal-kapal asing yang setiap saat bisa mencuri kekayaan sumber daya perikanan Indonesia di Natuna,” pungkasnya. (*)

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

KIARA: MASYARAKAT PESISIR JAKARTA TERDAMPAK BANJIR PALING PARAH

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 4 Januari 2020 – Memasuki pergantian tahun 2019 ke tahun 2020, masyarakat Indonesia khususnya yang berada di bagian barat Pulau Jawa, harus berhadapan curah hujan yang sangat deras.

Curah hujan sangat deras di penghujung tahun 2019 melanda terutama di bagian barat Pulau Jawa. Akibatnya lebih dari 30 juta orang yang tinggal di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya harus merasakan dampak buruk banjir dan longsor di sejumlah titik.

Kerusakan Alam

Dampak buruk banjir di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya tidak serta merta alamiah. Pola pembangunan yang eksploitatif dan mengabaikan ekosistem menjadi pemicu utama terciptanya banjir di beberapa kawasan.

Di kawasan Bogor, khususnya di kawasan Puncak, lebih dari 5700 hektar hutan telah hilang dalam 16 tahun terakhir. Bersamaan di wilayah Jakarta, pembangunan gedung-gedung tinggi kian masif dan merampas ruang terbuka hijau, mengekstraksi air tanah, sehingga ikut memperburuk dampak banjir.

Eksploitasi Pesisir

Dampak banjir menjadi tak terkendali dengan buruknya kondisi alam kawasan pesisir Jakarta yang diakibatkan eksploitasi sumber daya pesisir Jakarta sejak lama.

Sekjend KIARA, Susan Herawati menyebut salah satu bentuk pembangunan kota yang eksploitatif tersebut adalah deforestasi ekosistem hutan mangrove untuk kepentingan proyek reklamasi dan pembangunan proyek perumahan elit.

Masih menurut Susan, dampak buruk banjir paling dirasakan oleh lebih dari 25.000 masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir Teluk Jakarta.

“Masyarakat pesisir di Teluk Jakarta, khususnya nelayan, harus menerima banjir kiriman dari kawasan Bogor dan daratan Kota Jakarta. Selain itu, mereka juga harus menghadapi banjir air rob dari laut,” ungkapnya.

Tidak Ada Perhatian Layak

Meski masyarakat pesisir Jakarta paling menderita akibat banjir, namun kondisi mereka tak mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah.

“Pemerintah harus memastikan masyarakat pesisir Jakarta mendapatkan pelayanan yang baik pasca banjir,” harap Susan.

KIARA mendesak pemerintah, baik Provinsi Jakarta maupun Nasional, kedepannya untuk tidak terjebak pada penyelesaian masalah banjir yang bersifat sloganistik seperti naturalisasi atau normalisasi.

“Harus menyelesaikan akar persoalannya, jangan lagi mengabaikan dampak buruk eksploitasi ekosistem yang dibutuhkan untuk menahan dampak lebih parah dari tiap musim banjir tiba.” tegas Susan.

Susan memaparkan masalah banjir terutama harus diselesaikan dengan meninggalkan pola pembangunan yang ekstraktif, yaitu: pertama, menyelesaikan masalah deforestasi di kawasan Bogor; kedua, melakukan moratorium permanen terhadap pembangunan gedung-gedung tinggi di daratan Jakarta sekaligus memperbaiki tata ruang dengan memprioritaskan ruang terbuka hijau; dan ketiga, menghentikan eksploitasi di kawasan pesisir Jakarta dengan cara menghentikan deforestasi ekosistem mangrove yang kini luasannya hanya 25 hektar saja. Tak hanya itu, Pemerintah diminta didesak untuk menghentikan proyek reklamasi karena tak sedikit pun berdampak mengantisipasi banjir.

“Jakarta adalah kota pesisir. Pembangunan wilayah ini wajib melihat daya tampung, daya dukung serta beban ekologis kota ini, termasuk di kawasan pesisirnya. Jika tidak diperhatikan, maka banjir dan berbagai bencana ekologis lainnya akan terus datang dengan tingkat ancaman yang semakin besar,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 821-1172-7050

KIARA: Wacana Ekspor Benih Lobster Berdampak Negatif Bagi Perekonomian Nasional

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

Jakarta, 18 Desember 2019 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo untuk menghentikan wacana ekspor benih lobster yang berasal dari Indonesia ke luar negeri. Alasannya, hal itu akan mendorong eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Indonesia semakin tidak terkendali.

Pada saat bersamaan KIARA juga menilai KKP belum menjalankan mandat UndangUndang No 7 tahun 2016 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan,
Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

“Wacana kebijakan ekspor benih lobster tidak masuk akal dan tidak strategis di tengah maraknya penyelundupan.” Ujar Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati.

Susan menerangkan, guna memuluskan kebijakan rencana ekspor lobster, Edhy Prabowo juga mewacakan akan merevisi Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia alih-alih menambal skema transisi pemberdayaan ekonomi paska larangan ekspor lobster.

“Seharusnya Menteri KP tegas memberantas praktik penyelundupan benih-benih lobster Indonesia sampai ke akar-akarnya. Membuka wacana ekspor benih lobster hanya akan semakin membuat suasana di masyarakat kontraproduktif,” tegas Susan.

Susan menilai, larangan ekspor benih lobster yang selama ini telah dijalankan oleh KKP patut diapresiasi karena berhasil menyelamatkan devisa negara dalam jumlah yang sangat besar. Berdasarkan catatan Pusat Data dan Informasi KIARA (2019), KKP telah menyelamatkan benih lobster sebanyak 6.669.134 ekor, terhitung sejak tahun 2014-2018. Adapun jumlah uang yang diselamatkan hampir mencapai nilai
635,59 miliar Rupiah (tabel 1).

Tabel 1. Data pencegahan ekspor benih lobster dan jumlah uang yang diselamatkan

Tahun

  2014 2015 2016 2017 2018 Jumlah
Ekor 140 545.935 1.346.484 2.237.240 2.539.317 6.669.134
Nilai (miliar) 0,02 27,3 71,7 71,7 464,87 635,59

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (2019), diolah dari data Pencegahan masuk dan keluarnya Sumber Daya Ikan illegal tahun 2014-2018 KKP

Namun pada saat bersamaan, pasca diterbitkannya larangan ekspor benih lobster melalui Permen No 56 tahun 2016, KKP tidak memiliki skema transisi yang jelas.
Hal ini menimbulkan sebagian besar pembudidaya lobster harus beralih profesi dari nelayan ke profesi lain.

KIARA menilai dalam membangun keberlanjutan sumberdaya perikanan harus memastikan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk perekonomian Indonesia,
khususnya untuk masyarakat bahari sebagai aktor utama perikanan. Bukan justeru sebaliknya membuka keran ekspor benih lobster yang jelas akan berdampak bagi
keberlanjutan sumberdaya perikanan sekaligus perekonomian Indonesia.

“Daripada terus membangun wacana ekspor benih lobster yang kontraproduktif, seharusnya dalam tiga bulan pertama masa kerjanya, Edhy Prabowo memastikan
keberlanjutan sumberdaya perikanan Indonesia terpelihara, baik ketegasan hukum dalam pemberantasan penyelundupan mau pun pemberdayaan ekonomi nelayan.”
pungkas Susan Herawati. (*)

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050