KIARA: MASYARAKAT PESISIR JAKARTA TERDAMPAK BANJIR PALING PARAH

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 4 Januari 2020 – Memasuki pergantian tahun 2019 ke tahun 2020, masyarakat Indonesia khususnya yang berada di bagian barat Pulau Jawa, harus berhadapan curah hujan yang sangat deras.

Curah hujan sangat deras di penghujung tahun 2019 melanda terutama di bagian barat Pulau Jawa. Akibatnya lebih dari 30 juta orang yang tinggal di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya harus merasakan dampak buruk banjir dan longsor di sejumlah titik.

Kerusakan Alam

Dampak buruk banjir di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya tidak serta merta alamiah. Pola pembangunan yang eksploitatif dan mengabaikan ekosistem menjadi pemicu utama terciptanya banjir di beberapa kawasan.

Di kawasan Bogor, khususnya di kawasan Puncak, lebih dari 5700 hektar hutan telah hilang dalam 16 tahun terakhir. Bersamaan di wilayah Jakarta, pembangunan gedung-gedung tinggi kian masif dan merampas ruang terbuka hijau, mengekstraksi air tanah, sehingga ikut memperburuk dampak banjir.

Eksploitasi Pesisir

Dampak banjir menjadi tak terkendali dengan buruknya kondisi alam kawasan pesisir Jakarta yang diakibatkan eksploitasi sumber daya pesisir Jakarta sejak lama.

Sekjend KIARA, Susan Herawati menyebut salah satu bentuk pembangunan kota yang eksploitatif tersebut adalah deforestasi ekosistem hutan mangrove untuk kepentingan proyek reklamasi dan pembangunan proyek perumahan elit.

Masih menurut Susan, dampak buruk banjir paling dirasakan oleh lebih dari 25.000 masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir Teluk Jakarta.

“Masyarakat pesisir di Teluk Jakarta, khususnya nelayan, harus menerima banjir kiriman dari kawasan Bogor dan daratan Kota Jakarta. Selain itu, mereka juga harus menghadapi banjir air rob dari laut,” ungkapnya.

Tidak Ada Perhatian Layak

Meski masyarakat pesisir Jakarta paling menderita akibat banjir, namun kondisi mereka tak mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah.

“Pemerintah harus memastikan masyarakat pesisir Jakarta mendapatkan pelayanan yang baik pasca banjir,” harap Susan.

KIARA mendesak pemerintah, baik Provinsi Jakarta maupun Nasional, kedepannya untuk tidak terjebak pada penyelesaian masalah banjir yang bersifat sloganistik seperti naturalisasi atau normalisasi.

“Harus menyelesaikan akar persoalannya, jangan lagi mengabaikan dampak buruk eksploitasi ekosistem yang dibutuhkan untuk menahan dampak lebih parah dari tiap musim banjir tiba.” tegas Susan.

Susan memaparkan masalah banjir terutama harus diselesaikan dengan meninggalkan pola pembangunan yang ekstraktif, yaitu: pertama, menyelesaikan masalah deforestasi di kawasan Bogor; kedua, melakukan moratorium permanen terhadap pembangunan gedung-gedung tinggi di daratan Jakarta sekaligus memperbaiki tata ruang dengan memprioritaskan ruang terbuka hijau; dan ketiga, menghentikan eksploitasi di kawasan pesisir Jakarta dengan cara menghentikan deforestasi ekosistem mangrove yang kini luasannya hanya 25 hektar saja. Tak hanya itu, Pemerintah diminta didesak untuk menghentikan proyek reklamasi karena tak sedikit pun berdampak mengantisipasi banjir.

“Jakarta adalah kota pesisir. Pembangunan wilayah ini wajib melihat daya tampung, daya dukung serta beban ekologis kota ini, termasuk di kawasan pesisirnya. Jika tidak diperhatikan, maka banjir dan berbagai bencana ekologis lainnya akan terus datang dengan tingkat ancaman yang semakin besar,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 821-1172-7050