Tolak Omnibus Law KIARA: Masyarakat Pesisir Wajib Menolak RUU Omnibus Law

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 4 Februari 2020 – Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin kini telah memasuki hari ke-100, terhitung sejak pelantikannya yang dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 2019 lalu. Salah satu hal penting yang didorong oleh Jokowi pada 100 hari pemerintahannya adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengajak masyarakat bahari di Indonesia, yang terdiri dari nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir, untuk menolak RUU Omnibus Law karena akan berdampak buruk terhadap kehidupan mereka.

“RUU ini disusun bukan untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir, tetapi disusun untuk melindungi kepentingan investor beserta segala kepentingannya yang akan mengeruk sumber daya alam, terutama sumber daya kelautan dan perikanan yang berada di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, masyarakat pesisir wajib menolaknya” tegasnya.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2020) mencatat, secara umum RUU Omnibus Law ini memiliki dua kelemahan mendasar, yaitu: pertama, dari sisi partisipasi publik; dan kedua, dari sisi substansi. Dari sisi partisipasi, RUU ini jelas-jelas tidak melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak, khususnya masyarakat pesisir yang terdiri dari nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir. Padahal, di dalam RUU Omnibus Law ‘Cilaka’ terdapat sejumlah pasal yang terkait dengan investasi atau kemudahan berusaha di kawasan laut. Jumlah pasalnya terhitung sebanyak 27 pasal dan 87 ayat, terhitung mulai dari Pasal 94 sampai dengan Pasal 121.

Selain itu, di dalam RUU Omnibus Law Cilaka disebutkan sejumlah kata yang terkait dengan laut, yaitu: kelautan sebanyak 3 kata; perikanan sebanyak 120 kata; pesisir sebanyak 31 kata; dan pulau-pulau kecil sebanyak 30 kata. Pada titik ini, RUU Omnibus Law Cilaka sesungguhnya akan memberikan dampak terhadap masyarakat pesisir, karena kemudahan berusaha yang diberikan untuk investor akan berada di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Sungguh sangat ironis, ketika Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto mengeluarkan Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019 yang menunjuk 127 orang menjadi anggota Satuan Tugas (Satgas) bersama Pemerintah dan Kadin untuk konsultasi publik RUU Omnibus Law. “Komposisi satgas ini, didominasi oleh pengusaha, politikus, dan sedikit akademisi. Dari sisi ini, aspek partisipasi publik dalam RUU Omnibus Law tidak ada karena tidak ada keterlibatan masyarakat pesisir yang akan terdampak,” kata Susan.

Dari sisi substansi, RUU Omnibus Law sangat penting untuk dikritisi karena disusun bukan untuk kepentingan masyarakat pesisir. Apa saja persoalan RUU ini dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir?

KIARA mencatat sejumlah dampak yang akan dialami oleh masyarakat pesisir jika RUU ini disahkan, diantaranya: pertama, nelayan-nelayan kecil maupun nelayan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 gross ton serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, dipaksa harus mengurus perizinan perikanan tangkap. Tak hanya itu, RUU ini menyamakan nelayan kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar, nelayan yang menggunakan perahu di atas 10 GT. “Padahal, nelayan kecil dan nelayan tradisional diperlakukan khusus oleh UU Perikanan, karena mereka ramah lingkungan serta tidak mengeksploitasi sumber daya perikanan,” tutur Susan.

Kedua, RUU ini menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Peisisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Sampai dengan akhir tahun 2019, sebanyak 22 Provinsi di Indonesia telah merampungkan pembahasan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Perda Zonasi). Artinya, ada 12 provinsi lainnya yang belum menyelesaikan pembahasan perda zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.

Fakta-fakta di lapangan membuktikan, dari 22 Perda Zonasi yang telah disahkan, ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak (rights-holder) utama, tak mendapatkan porsi yang adil. Dalam praktiknya, Perda Zonasi yang telah disahkan di 22 provinsi harus ditolak karena sejumlah alasan berikut: 1) Tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan; 2) Alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya; 3) Penyusunan Perda Zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis; 4) Dengan banyaknya mengakomodasi proyek tambang, Perda Zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut; 5) Mencampur-adukan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal-kapal besar.

“Dengan demikian, masa depan masyarakat pesisir, khususnya lebih dari delapan juta rumah tangga perikanan, akan terancam. Lebih jauh, tak ada alasan bagi masyarakat pesisir untuk menerima RUU Omnibus Law,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Evaluasi Tahun 2019 dan Proyeksi Tahun 2020 KIARA: Lima Tahun Poros Maritim Dunia, Perampasan Ruang Hidup Terus Terjadi

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

Jakarta, 28 Januari 2020 – Sejak digaungkan pada kampanye pemilihan Presiden tahun 2014, dan dimasukkan oleh Presiden Joko Widodo ke dalam Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2015-2019, poros maritim dunia menjadi arah baru penataan ruang laut sekaligus kebijakan perikanan nasional. Di dalam konsep poros maritim dunia, nelayan adalah aktor utama dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Namun, apa dampak yang dirasakan oleh masyarakat pesisir sepanjang lima tahun kebijakan poros matirim dunia?

Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, sepanjang lima tahun kebijakan poros maritim dunia, perampasan ruang hidup terus terjadi. Alih-alih menjadi aktor utama dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan, lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan harus berhadapan dengan ekspansi investasi yang terus merangsek ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sejumlah proyek pembangunan pariwisata yang didorong dalam skema Kawasan Strategis Pariwisata Nasional telah berdampak buruk bagi masyarakat yang tinggal di kawasan Mandalika NTB dan Labuan Bajo NTT. “KIARA mencatat lebih dari 4 ribu jiwa terdampak proyek pariwisata di Labuan Bajo. Sementara di Mandalika, lebih dari 45 ribu nelayan kehilangan ruang tangkapnya,” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

Lebih jauh, sebaran proyek reklamasi yang terus bertambah sejak tahun 2016 telah menyebabkan lebih dari 700 ribu keluarga nelayan kehilangan ruang tangkapnya. Proyek ini dipastikan akan terus bertambah pada waktu-waktu yang akan datang, karena pemerintah mendorong kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai lokus investasi baru. Tak hanya itu, proyek pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil telah terbukti merampas ruang hidup lebih dari 35 ribu keluarga nelayan.

Pada saat yang sama, sampai dengan akhir tahun 2019 Pemerintah Indonesia mendorong dan mempercepat penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di 22 Provinsi di Indonesia. Sisanya, ada 12 provinsi lainnya yang belum menyelesaikan pembahasan perda zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.

Namun, dari 22 peraturan zonasi yang telah disahkan, ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak utama tak mendapatkan porsi yang adil. Peraturan zonasi itu harus ditolak karena sejumlah alasan. Pertama. tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kedua, alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya.

Ketiga, penyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis. Keempat, dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek tambang, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut. Kelima, mencampuradukan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal-kapal besar.

“Dampak dari disahkannya RZWP3K adalah perampasan ruang hidup lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan secara sistematis dan dianggap legal. Pada titik ini, poros maritim dunia terbukti gagal melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir,” tegas Susan.

Kini, meski sudah tak menyebut lagi terminologi “Poros Maritim Dunia” pada periode kedua kepemimpinannya, Jokowi sesungguhnya masih melanjutkan semangat poros maritim dunia, yaitu menjadikan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai lokus investasi skala besar. Satu hal yang tidak mengherankan jika muncul gagasan untuk menyusun UU sapu jagad, yang dikenal dengan omnibus law.

Sepanjang 2014-2019 Jokowi menilai arus investasi di Indonesia terhalang oleh banyak serta tumpang-tindihnya aturan. Karena kondisi ini, negara-negara tetangga seperti Vietnam lebih dilirik untuk investasi. Berpijak dari pandangan tersebut, Jokowi akan menyederhanakan berbagai peraturan demi melayani kepentingan investasi. Penyederhanaan aturan demi melayani investasi ini yang menjadi semangat utama ombinus law.

Dalam konteks ini, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil akan menjadi lokus investasi baru. Akan banyak terjadi konflik dan perebutan ruang laut pada masa-masa yang akan datang. “Jika ruang-ruang di daratan telah habis karena telah dijadikan lokus investasi untuk perkebunan skala besar, tambang, properti, dan lain sebagainya, maka ruang laut diasumsikan sebagai wilayah tak bertuan dan oleh karenanya siap untuk diokupasi oleh kepentingan investasi skala besar.” kata Susan.

Pada titik inilah, keberadaan nelayan, perempuan nelayan, dan seluruh masyarakat pesisir lainnya hanya akan menjadi korban pembangunan, sebagaimana terjadi selama ini. Mereka adalah produsen utama perikanan di Indonesia yang membawa ikan dari laut ke meja makan kita, mereka adalah pahlawan protein bangsa, mereka adalah penjaga laut serta berbagai ekosistemnya.

“Jika keberadaan mereka terancam oleh ekspansi investasi, maka kita akan mengalami keterancaman yang sangat serius dalam hal kedaulatan pangan laut. Akhirnya, kita akan terasing dengan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang merupakan identitas penting bangsa ini,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050