“Maluku Utara Bukan Toilet” Hentikan Proyek Pembuangan Tailing dan Audit Seluruh Tambang

Jakarta, 12 Maret 2020

Dalam dua dekade terakhir, daratan dan perairan Maluku Utara tengah digempur habis-habisan oleh aktivitas industri ekstraktif, mulai dari pertambangan, perkebunan sawit, hingga hutan tanaman industri (HTI). Akibatnya, lahan pertanian dan perkebunan bagi petani, juga pesisir dan laut bagi  nelayan, terus tergerus di hadapan  ekspansi industri ektraktif tersebut.

Dalam sektor tambang, misalnya, terdapat setidaknya 313 jumlah izin tambang yang aktif berproduksi, yang tersebar di daratan Halmahera, serta pulau-pulau kecil seperi Pulau Pakal, Mabuli, Gee, Gebe, dan Kepulauan Obi.  Ini belum termasuk pabrik pengolahan dan permurnian (smelter dan PLTU), serta pabrik pengolahan baterei listrik yang semuanya beraktivitas di atas negeri rempah-rempah itu.

Eksploitasi habis-habisan oleh korporasi tambang yang terus berlangsung masif itu, telah membuat membuat daratan dan pesisir Maluku Utara sekarat. Penambangan telah mengupas vegetasi dan membongkar isi perut pulau, sehingga kerusakannya tak hanya wilayah daratan, tapi juga wilayah laut yang rentan tercemar material tambang. Penambangan juga telah menyebabkan alihfungsi lahan dalam skala besar, menghancurkan kawasan hutan, menghilangkan dan mencemari sumber air, bahkan tak sedikit warga akan tergusur, seperti rencana Harita Group yang mau merelokasi masyarakat Desa Kawasi di Halmahera Selatan. 

Fakta eksploitasi besar-besaran Maluku Utara di atas, berikut cerita penghancuran ruang hidup warga, diperparah dengan rencana pemerintah untuk membuang limbah tailing nikel di perairan kepulauan Obi, melalui proyek Deep Sea Tailing Placement atau ‘pembuangan limbah nikel ke laut dalam’ untuk pabrik hidrometalurgi.

Empat (4) perusahaan yang sudah dan tengah mengurus rekomendasi dan perizinan dari pemerintah, antara lain PT Trimegah Bangun Persada, anak perusahaan Harita Group, di Kepulauan Obi; dan PT QMB New Energy Material, PT Sulawesi Cahaya Mineral, dan PT Huayue Nickel Cobalt di Morowali, Sulawesi Tengah. PT Trimegah Bangun Persada sendiri telah mengantongi izin lokasi perairan dari Gubernur Maluku Utara, dengan No SK 502/01/DPMPTSP/VII/2019 pada 2 Juli 2019 lalu.

Proyek pembuangan tailing ini, secara tidak langsung tengah mematikan sumber penghidupan masyarakat kepulauan Obi, terutama bagi lebih dari 3000 keluarga nelayan perikanan tangkap yang menjadikan laut sebagai satu-satunya tempat mencari nafkah. Bahkan, proyek pembuangan limbah taliling ini berisiko besar bagi kesehatan masyarakat, baik karena terpapar secara langsung akibat beraktivitas di laut, maupun terpapar secara tidak langsung akibat mengonsumsi pangan laut (seafood). Kondisi serupa juga dialami ribuan petani di kepulauan Obi, sebab, lahan-lahan pertanian-perkebunan dan pemukiman sebagai ruang hidup tengah diobrak-abrik oleh 14 perusahaan tambang nikel, termasuk milik Harita Group.

Padahal, dalam Perda No 2 Tahun 2018  tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Maluku Utara, alokasi ruang perairan kepulauan Obi tidak dialokasikan untuk pembuangan limbah tailing, tetapi merupakan zona perikanan tangkap untuk ikan yang di permukaan hingga di dasar laut. Selain itu, perairan kepulauan Obi masuk dalam alur migrasi mamalia laut

Dengan demikian, dugaan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah memberikan surat rekomenasi pemanfaatan ruang laut, berikut kebijakan Gubernur Maluku Utara yang nekat menerbitkan izin lokasi perairan kepada anak perusahaan Harita Group tersebut, mencerminkan sikap dan posisi pemerintah yang secara terbuka menjadi pengabdi  korproasi, lalu secara sadar abai, bahkan “membunuh” sumber penghidupan masyarakat.

Seluruh kebijakan dan praktik buruk atas daratan dan perairan Maluku Utara yang terus berlangsung selama 1 x 24 jam setiap harinya, akan mencapai puncaknya ketika Rancangan Undang-Undang Omnibus Law (RUU CILAKA) disahkan, sebab, sebagian besar pasal-psal yang tercantum dalam RUU ini memprioritaskan kepentingan pengusaha, beberapa diantaranya seperti masa berlaku izin konsesi tambang sesuai dengan umur tambang, perusahaan tambang yang melakukan pengolahan dan pemurnian diberikan kelonggaran dalam membayar royalti, dan hilangnya sanksi pidana bagi pejabat yang dalam mengeluarkan izin bertentangan dengan UU Minerba.

Seluruh rancangan peraturan, UU, dan produk kebijakan tersebut, menunjukkan betapa pemerintah memfasilitasi pelanggengan industri ektraktif di Indonesia, dan pada akhirnya nasib masyarakat menjadi pengungsi di atas tanah sendiri, tanpa jaminan keselatan diri atau ruang hidup, tanpa suara untuk menentukan ataupun menolak aliran modal atas pembangunan di tempat kita menetap.

Untuk itu, kami yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Maluku Utara di Jakarta, mendesak:

 

  1. Mendesak Gubernur Maluku Utara untuk mencabut SK 502/01/DPMPTSP/VII/2019 yang diterbitkan pada 2 Juli 2019 lalu tentang Izin Lokasi Perairan PT Trimegah Bangun Persada
  2. Mendesak KKP untuk mencabut dan atau membatalkan rekomendasi pemanfaatan ruang laut di Perairan Kepulauan Obi bagi PT Trimegah Bangun Persada, dan tidak mengeluarkan rekomendasi baru untuk PT QMB New Energy Material, PT Sulawesi Cahaya Mineral, dan PT Huayue Nickel Cobalt di Morowali, Sulawesi Tengah.
  3. Mendesak KKP untuk segera lakukan evaluasi dan audit seluruh tambang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Maluku Utara, lakukan penegakan hukum, dan pulihkan kerusakan sosial-ekologis yang sudah terjadi.
  4. Mendukung gerakan penolakan RUU CILAKA yang terbukti sebagian besar pasalnya hanya untuk memenuhi kepentingan oligarki tambang.

 

Narahubung:

Hamdan Halil – Koordinator Lapangan – 081248399809

Agus Sena – Ketua Umum PB FORMALUT – 082121282186