PERINGATAN HARI BUMI 2020 KIARA: HENTIKAN LEGALISASI PENGHANCURAN LAUT MELALUI RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 22 April 2020 – Laut merupakan entitas ekologis yang sangat penting di planet bumi. Kondisi lautan yang sehat dan bersih merupakan kunci keseimbangan kehidupan yang harus terus dijaga. Tak hanya itu, laut yang sehat dan bersih adalah ‘bank’ pangan serta sumber protein penting bagi lebih dari 7 miliar manusia yang hari ini mendiami bumi. 

Namun, keberlanjutan ekosistem laut sedang mengalami keterancaman yang sangat serius, yang dibuktikan oleh hilangnya kandungan oksigen (deoksigenasi) di dalam laut dunia akibat krisis iklim yang disebabkan oleh aktivitas destruktif manusia. Fakta deoksigenasi, telah dilaporkan oleh sebuah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu International Union for the Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2019 lalu.

Di Indonesia, ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, juga mengalami keterancaman serius, yang dibuktikan dengan maraknya proyek reklamasi pantai lebih dari 40 titik. Pada saat yang sama, ekspansi proyek pertambangan nikel, pasir laut, dan juga batu bara, juga menghancurkan masa depan lautan Indonesia.  

Kehancuran ekosistem lautan Indonesia, akan semakin parah jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja disahkan oleh Pemerintah dan DPR RI, mengingat RUU ini hanya menempatkan laut sebagai target invetasi, dalam arti objek eksploitasi atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Dalam peringatan hari bumi 2020 yang setiap tahun diperingati dan dirayakan pada tanggal 22 April, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghentikan penghancuran ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang akan dilegalisasi oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

“Kami mendesak Pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang kini dilakukan oleh DPR RI untuk dihentikan. Selain itu, kami meminta Presiden Jokowi untuk mencabut Surat Presiden yang telah ia kirimkan kepada DPR RI,” tegas Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati.

Menurut Susan, melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sangat-sangat terancam. Ia memberikan contoh, di dalam RUU Omnibus Law yang merevisi pasal 26A UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, disebutkan: “Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.”

“Pasal tersebut menghilangkan syarat-syarat penting, terutama pertimbangan sosial, ekologis, dan juga budaya. Dengan demikian, perlindungan ekosistem pesisir laut, dan pulau-pulau kecil, akan semakin masif dengan disahkannya RUU ini,” ungkap Susan.

Meski di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja menyebutkan pasal mengenai konservasi laut, tambah Susan, namun hal tersebut menunjukkan kebingungan pemerintah. Selain karena konsepnya top-down dan berbasis utang luar negeri, konservasi laut adalah proyek ditujukan untuk melayani kepentingan korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya genetik, salah satunya untuk kepentingan industri farmasi.

Tak hanya itu, kawasan-kawasan konservasi laut yang selama ini telah ditetapkan justru dijadikan kawasan pariwisata skala besar dengan nama Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). “Bagaimana mungkin konservasi laut akan disandingkan dengan eksploitasi laut? Pasal-pasal yang mengatur eksploitasi pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil jauh lebih banyak dari pasal konservasi laut,” tutur Susan.

Dengan demikian, RUU Omnibus Law Cipta Kerja hanya akan memperparah kehancuran ekosistem lautan Indonesia di masa depan yang merupakan bagian penting dari planet bumi. “Atas dasar itu kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menolak RUU ini,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Ironi Himbauan Makan Ikan dan Nasib Keluarga Nelayan di Tengah Covid 19

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Himbauan Presiden untuk banyak menkonsumsi ikan sebagai upaya melawan covid-19 terasa ambigu di tengah nasib keluarga nelayan yang semakin kesulitan secara ekonomi.

Jakarta, 17 April 2020 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak hanya memberikan himbauan kepada masyarakat untuk mengkonsumsi ikan di tengah ancaman penyebaran Covid-19. Lebih jauh, Jokowi didesak untuk melakukan langkah-langkah nyata menyelamatkan jutaan rumah tangga nelayan dan pelaku perikanan rakyat di Indonesia yang terdampak penyebaran Covid-19.

Desakan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati untuk menanggapi pernyataan Jokowi awal pekan lalu, yang meminta Menteri Kelautan dan Perikanan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang ada di berbagai daerah dalam rangka meningkatkan imunitas tubuh dengan cara makan ikan yang sehat.

“Bagaimana mungkin nelayan bisa melakukan aktivitas menangkap ikan, sementara pada saat yang sama mereka harus berhadapan dengan ancaman serius penyebaran Covid-19?” tanyanya.

Selain menghadapi ancaman penyebaran Covid-19, tambah Susan, persoalan lainnya yang dihadapi oleh keluarga nelayan adalah menurunnya pendapatan serta naiknya harga bahan-bahan pokok yang menjadi kebutuhan dasar konsumsi harian. “Daripada menghimbau masyarakat makan ikan untuk meningkatkan kekebalan tubuh, Jokowi lebih baik mendorong KKP untuk melihat langsung kondisi nelayan di lapangan. Negara harus hadir untuk mereka,” tegasnya.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2020) mencatat sejumlah dampak buruk yang dialami nelayan di Indonesia setelah penyebaran Covid-19 sebagai berikut: pertama, hilangnya kesempatan untuk pergi melaut karena ketiadaan modal sejak pra-produksi; kedua, penurunan pendapatan karena terputusnya supply chain usaha perikanan; ketiga, ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (pangan) akibat semakin naiknya harga kebutuhan bahan pokok pangan; keempat, tinggi angka kriminalitas yang dialami oleh nelayan karena sulitnya kehidupan ekonomi;  kelima, tingginya angka kekerasan yang dialami oleh perempuan nelayan; dan keenam, absennya pemerintah untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan keluarga nelayan di tengah-tengah penyebaran covid-19.

 

Menurut Susan, berbagai dampak buruk yang dialami oleh nelayan di atas, menunjukkan bahwa keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat lainnya di Indonesia merupakan kelompok masyarakat yang sangat rawan.

“Itu hal ambigu karena selama ini keluarga nelayan menempati posisi paling bawah dalam struktur kemiskinan dan ketimpangan nasional jauh sebelum ada Covid-19. Kini kerawanan mereka semakin parah karena sampai saat ini pemerintah tidak memiliki peta jalan (roadmap) yang jelas untuk menangani penyebaran Covid-19 ini,” terang Susan.

Selain itu, Susan meminta Presiden Jokowi untuk tidak menambah persoalan baru dengan mendorong percepatan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya kelompok nelayan di Indonesia. “Di dalam situasi seperti sekarang, Pemerintah wajib mengutamakan keselamatan masyarakat pesisir, bukan menghimbau makan ikan atau mendorong pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja,” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

PERINGATI HARI NELAYAN 2020, KIARA DESAK RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA DICABUT

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Hari Nelayan 2020

Jakarta, 06 April 2020 – Setelah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) membacakan Surat Presiden (Surpres) rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja pada Rapat Paripurna kedua dalam masa persidangan III Tahun 2019-2020, Kamis (02/04/2020) lalu, maka RUU ini resmi akan dibahas sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.

Pembahasan RUU Omnibus Cipta Kerja di tengah penyebaran Covid-19 yang mengancam seluruh lapisan masyarakat di Indonesia merupakan sebuah ironi. Alih-alih menyusun langkah-langkah serius dan terukur untuk menangani penyebaran Covid-19, DPR RI bersama Pemerintah malah menjadikan situsi saat ini sebagai kesempatan untuk membahas RUU Omnibus Law yang jelas-jelas akan merugikan masyarakat, khususnya keluarga nelayan di Indonesia. 

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menjelaskan bahwa pada hari nelayan 2020 ini, keberadaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja merupakan ancaman serius bagi kehidupan nelayan dan pelaku perikanan rakyat di Indonesia. “Lebih dari 2.2 juta nelayan dan 6 juta pelaku perikanan rakyat di Indonesia terancam oleh RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena isinya sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan mereka,” tegasnya.    

Lebih jauh, Susan memerinci tujuh ancaman RUU Omnibus Law Cipta Kerja bagi nelayan sebagai berikut: pertama, menyamakan nelayan skala kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar. Implikasinya nelayan-nelayan skala kecil dan nelayan tradisional, yang menggunakan perahu di bawah 10 GT serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, dipaksa harus mengurus perizinan perikanan tangkap sebagaimana nelayan skala besar. Pada titik ini, pengurusan izin penangkapan ikan akan semakin mempersulit kehidupan nelayan skala kecil dan nelayan tradisional di Indonesia.

Kedua, memberikan kemudahan izin bagi kapal-kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia, khususnya di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif. Dampaknya, nelayan skala kecil dan nelayan tradisional harus bersaing dengan kapal-kapal asing di laut Indonesia untuk menangkap ikan.

Ketiga, mendorong ekspansi pembangunan pelabuhan skala besar di kawasan pesisir Indonesia. Dampaknya, tak sedikit kawasan pemukiman nelayan serta kawasan tangkap nelayan yang akan dirampas atas nama pembangunan, investasi serta pertumbuhan ekonomi.

Keempat, mendorong perluasan kawasan konservasi laut di Indonesia yang telah mencapai 20 juta hektar pada tahun 2019. Ke depan, pemerintah akan terus memperluas proyek konservasi laut seluas 32 juta hektar sampai dengan tahun 2030. Dalam praktiknya, proyek ini terbukti tak bisa menjawab kebutuhan nelayan karena sifatnya top-down.

Kelima, mendorong massifnya impor ikan dan garam masuk ke Indonesia tanpa batas. Dengan demikian, RUU ini akan mendorong liberalisasi sektor perikanan di Indonesia. Dampaknya, kehidupan nelayan dan pelaku perikanan rakyat semakin sulit.

Keenam, mewajibkan nelayan untuk memperoleh izin pengelolaan dalam rangka melakukan pemanfaatan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan. RUU ini menyamakan nelayan dengan entitas bisnis besar yang akan melakukan aktivitas bisnis di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ketujuh, menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang tidak menempatkan nelayan sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan, tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan serta ekosistem laut, serta hanya memberikan kepastian hukum hanya untuk investor.

Berdasarkan kajian tersebut, Susan mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera mencabut RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena hanya akan memperparah kehidupan nelayan di Indonesia. Dalam pada itu, Pemerintah seharusnya menjalankan mandat utamanya untuk hadir melalui implementasi Undang-Undang 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

 “Yang dibutuhkan oleh nelayan adalah laut yang sehat dan bersih, bukan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. DPR RI dan Pemerintah harus segera mencabut RUU tersebut dan fokus melakukan penanganan terhadap penyebaran Covid-19,” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

HENTIKAN PEMBAHASAN OMNIBUS LAW!!

JAMIN KESELAMATAN RAKYAT, BUKAN URUS RUU CIPTA KERJA DI TENGAH WABAH CORONA

Pernyataan Sikap Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)

Rapat Paripurna DPR RI Periode 2019-2020 telah menghasilkan kesepakatan diteruskannya pembahasan RUU Cipta Kerja (“Omnibus Law”) oleh DPR melalui Badan Legislasi (Baleg). Hal ini disepakati oleh 302 anggota dewan yang hadir, baik secara langsung maupun melalui media virtual. Pembahasan Omnibus Law dilanjutkan menanggapi Surat Presiden (Surpres)/R06/Pres tertanggal 7 Februari 2020 tentang RUU Cipta Kerja.

Sikap DPR di atas memberi sinyal bahwa parlemen dan pemerintah tidak memiliki kepekaan atas permasalahan ekonomi dan sosial, bahkan atas situasi darurat kesehatan yang tengah dialami rakyat saat ini. Dengan memaksakan melanjutkan Omnibus Law pada masa darurat seperti sekarang ini, di saat kebijakan pyshical distancing berlaku, telah meresahkan rakyat. Keputusan ini mencederai semangat demokrasi, karena DPR dengan sengaja akan membatasi partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan. Sudah pasti publik tak bisa dengan efektif dan optimal memberikan masukan, mengawal substansi hingga terlibat dalam proses konsultasi di tengah situasi darurat saat ini.

Perlu dicatat, RUU Cipta Kerja telah banyak menuai penolakan dari berbagai kalangan. Tidak hanya merugikan buruh, namun juga petani, nelayan, dan masyarakat adat akibat memasukkan pasal-pasal dan kebijakan agraria secara serampang ke dalam RUU tersebut. Bahkan beberapa RUU yang telah ditolak publik September 2019 lalu, seperti RUU Pertanahan, RKHUP, RUU Minerba dan beberapa RUU berbahaya lainnya dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja.

Di bidang agraria, setidaknya terdapat 5 (lima) permasalahan pokok yang akan mengancaman keselamatan jutaan petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan di desa, yakni: Pertama, Omnibus Law akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia; Kedua, RUU akan mempermudah penggusuran dan perampasan tanah rakyat atas nama kepentingan pembangunan infrastruktur dan bisnis; Ketiga, RUU akan mempercepat arus konversi tanah pertanian demi kepentingan bisnis semata; Keempat, RUU memperbesar peluang kriminalisasi dan diskriminasi hak petani dan masyarakat adat; Kelima, RUU ini anti-reforma agraria dan keadilan sosial dengan kehendak mengubah UUPA 1960 sehingga sudah pasti bertentangan dengan Ideologi Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33.

Di negeri agraris ini, jutaan petani, nelayan, dan masyarakat adat menggantungkan hidup mereka dari tanah dan sumber agraria lain di pedesaan, pesisir dan pelosok-pelosok negeri. Jika RUU ini disahkan, nasib dan keberlangsungan hidup mereka akan terancam. Tanah-tanah dan sumber penghidupan mereka akan semakin mudah diambil-alih oleh korporasi dan kelompok pemodal besar.

Menurut pandangan kami, DPR dan Pemerintah harus menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya yang tidak sesuai dengan situasi sosial hari ini. Pemaksaan RUU akan lahirkan keresahan di tengah publik. Masyarakat yang KECEWA dengan penanggulangan wabah, tekanan ekonomi, ancaman PHK, represi di wilayah konflik agraria akan bertemu dengan kekecewaan masyarakat kepada DPR karena bersikukuh tetap melanjutkan RUU anti rakyat ini. Apabila diabaikan, gejolak ini akan memaksa mobilisasi massa secara besar-besaran. Petani, buruh, masyarakat adat, nelayan, mahasiswa, perempuan dan kelompok lainnya yang terancam dengan RUU ini seolah telah dipancing oleh Negara sendiri untuk melakukan mobilisasi. Situasi ini akan berdampak terhadap kebijakan dan usaha pemerintah dalam mencegah penyebaran wabah pandemi Covid-19 itu sendiri.

Ada banyak hal yang SEPATUTNYA dilakukan DPR dalam situasi krisis saat ini sebagai wujud tanggung jawab Konstitusi Negara, sebagaimana yang menjadi tujuan bernegara kita dalam Pembukaan UUD, yakni melindungi segenap warga negara.

 

Maka SEPATUTNYA:

          DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, karena kebijakan ini BUKANLAH jalan keluar bagi ekonomi Indonesia, apalagi bagi kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya RUU ini mengancam keselamatan hidup rakyat, buruh, petani, nelayan, masyarakat adat sehingga akan menimbulkan gelombang penolakan yang luas dari masyarakat sipil;

          DPR awasi kinerja pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid 19 untuk meminimalisir jumlah korban, mencegah menjalar lebih luas bahkan hingga ke desa-desa. Menyadari fasilitas dan tenaga kesehatan yang tidak memadai dan merata, DPR mesti meminta keterangan pemerintah atas situasi ini

          DPR sebaiknya mendorong dan memastikan agar pemerintah menggunakan kerangka peraturan perundang-undangan yang tepat. Penetapan Darurat Sipil yang dilemparkan pemerintah dan dibiarkan DPR adalah bukti bahwa pemerintah maupun parlemen telah abai dalam menggunakan kerangka hukum yang tepat untuk menanggulangi wabah virus serta dampak lanjutannya.

          DPR melakukan pengawasan anggaran penanggulangan bencana non alam virus Covid-19 ini sehingga benar-benar tepat sasaran, bermanfaat bagi perlindungan keselamatan rakyat atas penyebaran wabah ini. Apalagi wabah ini telah menyebabkan krisis ekonomi di tengah-tengah rakyat.

          DPR memastikan pemerintah menangani dampak meluas sosial-ekonomi dari wabah Covid-19 dengan memastikan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah selama status darurat Kesehatan.

          DPR mengawasi kinerja pemerintah dalam menuntaskan konflik agraria. Memastikan pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan (swasta dan BUMN) untuk menghentikan tindakan yang memperkeruh situasi agraria, yakni penggusuran, terror, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat di tengah situasi darurat saat ini. Lindungi hak-hak petani yang tengah mempersiapkan panen dan distribusi pangannya. 

Kewajiban menjaga situasi yang kondusif di saat krisis bukan hanya tugas rakyat, tapi juga tugas DPR dan Pemerintah! Oleh sebab rakyat yang ditekan dari berbagai aspek kehidupannya, dapat menekan balik Negara yang gagal jalankan fungsinya.

Demikian pernyataan ini kami buat agar menjadi perhatian bagi semua pihak

INDONESIA, 04 Maret 2020

 

Hormat Kami,

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)

  1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  3. Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I)
  4. Aliansi Petani Indonesia (API)
  5. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  6. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  7. Solidaritas Perempuan
  8. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
  9. Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
  10. Perkumpulan HuMa
  11. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
  12. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
  13. Elpagar, Kalimantan Barat
  14. FARMACI
  15. Forsda Kolaka, Sulawesi Tenggara
  16. Forum Komunikasi Petani Kendal (FPPK)
  17. Forum Masyarakat Labuhan Batu (FORMAL)
  18. Forum Nelayan Togean
  19. Forum Pelajar Mahasiswa Rakyat (FPMR), Tasikmalaya
  20. Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG)
  21. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
  22. Forum Perjuangan Rakyat Mojokerto
  23. Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (Hitambara)
  24. Kelompok Kajian dan Advokasi Tantular, Mojokerto
  25. Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM), Sumatra Utara
  26. LBH Cianjur
  27. LBH Progresif Toli-Toli
  28. LBH Serikat Petani Pasundan (LBH SPP)
  29. Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Sulawesi Selatan
  30. Lidah Tani, Blora
  31. Masyarakat Adat Moronene Hukaea Laeya, Bombana
  32. Organisasi Tani Jawa Tengah (Ortaja)
  33. Organisasi Tani Lokal Blongko dan Ongkaw 3, Minahasa Selatan
  34. Organisasi Tani Lokal Ratatotok, Minahasa Tenggara
  35. Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB)
  36. Pergerakan Petani Banten (P2B)
  37. Persatuan Petani Cianjur (PPC)
  38. Persatuan Petani Jambi (PPJ)
  39. Persatuan Petani Siantar Simalungun (SPSS)
  40. Persatuan Rakyat Salenrang Maros
  41. Puspaham, Kendari
  42. Rukun Tani Indonesia (RTI)
  43. SEPETAK Karawang
  44. Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP)
  45. Serikat Petani Badega (SPB), Garut
  46. Serikat Petani Batanghari (SPB), Jambi
  47. Serikat Petani Gunung Biru (SPGB), Batu
  48. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Kalimantan Barat
  49. Serikat Petani Lumajang (SPL)
  50. Serikat Petani Majalengka (SPM)
  51. Serikat Petani Pasundan – Ciamis (SPP Ciamis)
  52. Serikat Petani Pasundan – Garut (SPP Garut)
  53. Serikat Petani Pasundan – Pangandaran (SPP Pangandaran)
  54. Serikat Petani Pasundan – Tasikmalaya (SPP Tasikmalaya)
  55. Seikat Petani Serdang Bedagai (SPSB), Sumatra Utara
  56. Serikat Petani Sriwijaya (SPS)
  57. Serikat Rakyat Binjai Dan Langkat (Serbila)
  58. Serikat Tani Bengkulu (STaB)
  59. Serikat Tani Independen (Sekti), Jember
  60. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
  61. Serikat Tani Indramayu (STI)
  62. Serikat Tani Kambo Trigona, Palopo
  63. Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS)
  64. Serikat Tani Konawe Selatan (STKS)
  65. Serikat Tani Kontu Kowuna, Muna
  66. Serikat Tani Likudengen Uraso
  67. Serikat Tani Sigi (STS), Sulawesi Tengah
  68. Serikat Tani Tebo (STT), Jambi
  69. SITAS Desa, Blitar
  70. Sunspirit, NTT
  71. Wahana Tani Mandiri, NTT
  72. Perkumpulan Wallacea, Palopo
  73. Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR)
  74. Yayasan Tanah Merdeka
  75. Sajogyo Institute
  76. Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia
  77. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
  78. Greenpeace Indonesia
  79. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  80. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  81. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  82. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  83. Epistema Institute
  84. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
  85. Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU-KSN)
  86. Indonesia Centre for Enviromental Law (ICEL)
  87. FIAN Indonesia
  88. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  89. Perkumpulan Kediri Bersama Rakyat (KIBAR), Jatim
  90. Yayasan Bina Desa
  91. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
  92. Konfederasi Serikat Nasional
  93. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

KIARA PERTANYAKAN URGENSI SURPRES OMNIBUS LAW CIPTA KERJA DI TENGAH ANCAMAN COVID-19

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Di tengah kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan akibat penyebaran Covid-19, DPR agendakan sidang paripurna membahas Surat Presiden (Surpres) Omnibus Law Cipta Kerja. Publik mempertanyakan urgensi Surpres tersebut.

Jakarta, 02 April 2020 – Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, mempertanyakan urgensi Surpres Omnibus Law Cipta Kerja yang dibacakan pada sidang paripurna DPR ditengah kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan akibat penyebaran Covid-19 yang terus menginfeksi banyak orang di Indonesia.

“Pemerintah dan DPR RI telah kehilangan hati nuraninya. Pada saat banyak orang terinfeksi dan meninggal akibat Covid-19, mereka malah membacakan Surpres Omnibus Law Cipta Kerja sebagai tanda RUU ini akan dipercepat pembahasannya. Apa urgensinya bagi masyarakat?” katanya.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak DPR RI untuk mencabut Surat Presiden (Surpres) Omnibus Law Cipta Kerja yang dibahas pada Rapat Paripurna kedua dalam masa persidangan III Tahun 2019-2020. Rapat tersebut digelar pada hari ini, Kamis (02/04/2020).   

Menurut Susan, Pemerintah dan DPR seharusnya lebih memfokuskan diri untuk merealisasikan sejumlah langkah penting dalam menangani penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia yang telah membunuh 1600 orang itu. “Korban Covid-19 terus bertambah dan tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan, DPR dan Pemerintah seharusnya fokus membahas upaya pencegahan,” tegasnya. 

Susan menambahkan, Covid-19 juga memberikan ancaman serius bagi kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pelaku perikanan rakyat lainnya. Oleh karena itu, upaya penanganan pencegahan penyebaran Covid-19 juga harus diprioritaskan untuk masyarakat pesisir.

“Nelayan dan pelaku perikanan rakyat lainnya adalah masyarakat yang rentan terkena Covid-19. Sudah saatnya DPR dan Pemerintah memberikan perhatian serius bagi mereka yang memiliki kerentanan tinggi,” ungkapnya.

Di tengah situasi dan kondisi yang kini semakin sulit akibat penyebaran Covid-19, KIARA mengajak seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir untuk terus mengawasi kerja-kerja DPR dan Pemerintah. Pada saat yang sama Pemerintah dan DPR didesak untuk tidak menggunakan situasi saat ini sebagai kesempatan untuk membahas agenda-agenda yang akan merugikan rakyat.

“KIARA mendesak DPR dan pemerintah untuk tidak menggunakan situasi seperti saat ini sebagai kesempatan untuk bersidang membahas agenda yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

COVID-19 DAN KERENTANAN HIDUP KELUARGA NELAYAN INDONESIA

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 1 April 2020 – Ancaman Covid-19 ini dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tak terkecuali keluarga nelayan yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia serta masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya perikanan.

“Masih minimnya perlindungan dari negara, keluarga nelayan dan pelaku sektor perikanan rakyat lainnya kini menjadi kelompok yang paling rentan menghadapi persebaran Covid-19 di Indonesia.” ujar Sekjend KIARA, Susan Herawati.

Karenanya pemerintah diharapkan untuk segera memberikan perhatian kepada keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat lainnya yang rentan terdampak penyebaran Covid-19. “Pemerintah wajib mengalokasikan dana perlindungan khusus untuk keluarga nelayan yang pendapatannya menurun akibat penyebaran Covid-19,” tegas Susan Herawati.

Tak hanya itu, Susan mendesak pemerintah untuk menunda pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2020 yang akan diselenggarakan di 270 daerah di Indonesia, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. “Anggaran Pilkada serentak 2020 di 270 daerah sebesar Rp9.936.093.923.393 harus dialihkan untuk dana perlindungan khusus keluarga nelayan dan pelaku perikanan lainnya di Indonesia,” imbuhnya.

Lebih jauh, KIARA mendesak Pemerintah untuk segera melakukan penyemprotan disinfektan di desa-desa pesisir demi mencegah penyebaran covid-19 semakin meluas. “Kami mencatat, setidaknya ada 12.827 desa pesisir di Indonesia, tempat tinggal nelayan yang harus segera mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam menangani penyebaran Covid-19.” ujar Susan.

Susan menjelaskan, setidaknya dua dampak yang harus ditanggung oleh keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat akibat penyebaran Covid-19, yaitu: pertama, tertular Covid-19 dengan cepat; dan kedua, lumpuhnya kehidupan ekonomi dalam bentuk menurunnya pendapatan karena terputusnya rantai dagang (supply chain) ikan dari nelayan sebagai produsen kepada masyarakat luas sebagai konsumen. “Dua ancaman ini harus dihadapi oleh keluarga nelayan di Indonesia,” tambahnya. 

 

Fakta Lapangan

Berbagai fakta di lapangan menunjukkan, banyak keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat di Indonesia telah merasakan dampak buruk persebaran Covid-19. Di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, nelayan terpaksa harus menjual hasil tangkapan mereka kepada masyarakat dengan harga yang sangat murah atau turun lebih dari 50 persen dari harga biasanya. Hal ini terjadi karena banyak pabrik pengolahan yang ditutup demi mengikuti anjuran pemerintah dalam rangka mencegah penularan Covid-19.

Sugeng Trianto, salah seorang nelayan di Kendal menyatakan, harga ikan biasanya dibeli oleh pabrik berkisar Rp. 40.000/kg, kini dijual kepada masyarakat umum hanya berkisar Rp. 15.000 sampai dengan Rp. 20.000/kg. Tak hanya itu, produk olahan kelompok nelayan, berupa keripik kerang yang normalnya seharga Rp. 15.000 kini hanya dijual Rp. 5000/bungkus.  Kondisi ini semakin memperpanjang kesulitan yang dialami nelayan. Sebelumnya, nelayan di Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Kendal baru, saja melewati musim paceklik.

“Situasi semakin sulit dengan meningkatnya harga sembako yang dijual di pasar. Harga-harga kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan. Sementara pendapatan nelayan terus turun pasca massifnya penyebaran Covid-19,” tutur Sugeng.

Hal serupa terjadi di Muara Angke, Jakarta. Setelah ditetapkan sebagai episentrum Covid-19, tempat pelelangan ikan (TPI) di Muara Angke sepi dan akan ditutup sampai dengan waktu yang belum diketahui waktunya. Akibatnya, banyak nelayan di kawasan ini memutuskan untuk tidak melaut.

Menurut Rois, nelayan Muara Angke, apa yang terjadi saat ini semakin menyulitkan kehidupan nelayan, ditambah lagi dengan meningkatnya harga sembako yang dijual di pasar setelah massifnya penyebaran Covid-19 di DKI Jakarta. Kondisi nelayan Muara Angke semakin sulit mendapatkan supply logistik harian.

“Kami harus menghitung perbedaan pemasukan dan pengeluaran yang sangat besar. Jika kami memaksakan diri untuk melaut, lebih banyak pengeluarannya daripada pemasukan dari menjual ikan. Harga ikan saat ini benar-benar jatuh. Kehidupan nelayan semakin sulit,” ungkap Rois. 

Dampak penyebaran Covid-19 juga dirasakan betul oleh kelompok nelayan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Setelah Jakarta ditetapkan sebagai episentrum Covid-19, pariwisata di Pulau Pari ditutup sampai batas waktu yang belum ditentukan. Perekonomian masyarakat yang tergantung kepada pariwisata laut mulai melemah. Karena supply pangan mereka sangat tergantung dari Jakarta, masyarakat semakin khawatir jika stok pangan utama mereka di Pulau Pari mulai menipis. Pada saat yang sama, penyebrangan perahu akan segara ditutup untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Terkait dengan harga ikan, Asmania, perempuan nelayan asal Pulau Pari, menyatakan, saat ini harga ikan menurun drastis. Ia menyebut harga cumi laut yang biasanya dijual Rp80.000, kini hanya Rp40.000 ribu. Sementara itu, harga cumi karang yang biasanya dijual Rp50.000 menjadi Rp20.000 saja.

“Hari ini banyak pengepul ikan yang menolak hasil tangkapan nelayan akibat ditutupnya TPI di Muara Angka. Bahkan, banyak ikan yang dikembalikan lagi ke nelayan karena ikannya tidak laku dijual,” kata Asmania.

Asmania menambahkan, hari ini masih terdapat beberapa nelayan yang masih mencari ikan di laut untuk dikeringkan dan dikonsumsi sendiri oleh keluarganya. Namun, sudah banyak nelayan yang benar-benar tidak bisa melaut karena minimnya pemasukan dan perbekalan yang mereka miliki.

Dampak penyebaran Covid-19 juga dirasakan oleh nelayan di Serdang Bedagai Sumatera Utara, khususnya pada terhadap wisata mangrove. Sutrisno, Ketua Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN) yang juga pendiri wisata mangrove di Serdang Bedagai, menjelaskan hari ini sekitar 90% pengunjung berkurang. Demi mendukung program social distancing yang diberlakukan oleh Pemerintah, dia menutup kawasan wisata mangrove, terhitung sejak dua pekan yang lalu sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Penutupan kawasan wisata ini berdampak kepada kehidupan nelayan dan pengelola wisata mangrove. Pendapatan menjadi menurun drastis.

Sutrisno menuturkan, mengenai harga ikan yang biasa diekspor, khususnya ke Korea Selatan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan. Harga gurita sekarang hanya Rp20.000 ribu/kg dan kepitingan atau rajungan sekitar Rp40.000/kg. “Sebelum menyebarnya Covid-19, harga gurita bisa mencapai Rp50.000/kg, sedangkan harga kepiting dan rajungan bisa mencapai Rp60.000 – 65.000/kg,” terangnya.

Menurut Sutrisno, saat ini, permasalahan yang muncul bukan pada aktivitas nelayan untuk melaut, tetapi daya beli masyarakat terhadap berbagai produk perikanan yang turun signifikan. Hal ini terjadi akibat banyaknya TPI yang ditutup dan minimnya pembeli yang keluar rumah untuk menjalankan social distancing. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Rois, Nelayan Muara Angke Jakarta, +62 857-1181-1943

Sutrisno, Nelayan Serdang Bedagai Sumatera Utara, +62 812-6451-6204

Sugeng Trianto, Nelayan Kendal, +62 813-9162-1917

Asmania, Perempuan Nelayan Pulau Pari Jakarta, +62 878-8504-2731