PERINGATI HARI NELAYAN 2020, KIARA DESAK RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA DICABUT

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Hari Nelayan 2020

Jakarta, 06 April 2020 – Setelah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) membacakan Surat Presiden (Surpres) rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja pada Rapat Paripurna kedua dalam masa persidangan III Tahun 2019-2020, Kamis (02/04/2020) lalu, maka RUU ini resmi akan dibahas sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.

Pembahasan RUU Omnibus Cipta Kerja di tengah penyebaran Covid-19 yang mengancam seluruh lapisan masyarakat di Indonesia merupakan sebuah ironi. Alih-alih menyusun langkah-langkah serius dan terukur untuk menangani penyebaran Covid-19, DPR RI bersama Pemerintah malah menjadikan situsi saat ini sebagai kesempatan untuk membahas RUU Omnibus Law yang jelas-jelas akan merugikan masyarakat, khususnya keluarga nelayan di Indonesia. 

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menjelaskan bahwa pada hari nelayan 2020 ini, keberadaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja merupakan ancaman serius bagi kehidupan nelayan dan pelaku perikanan rakyat di Indonesia. “Lebih dari 2.2 juta nelayan dan 6 juta pelaku perikanan rakyat di Indonesia terancam oleh RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena isinya sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan mereka,” tegasnya.    

Lebih jauh, Susan memerinci tujuh ancaman RUU Omnibus Law Cipta Kerja bagi nelayan sebagai berikut: pertama, menyamakan nelayan skala kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar. Implikasinya nelayan-nelayan skala kecil dan nelayan tradisional, yang menggunakan perahu di bawah 10 GT serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, dipaksa harus mengurus perizinan perikanan tangkap sebagaimana nelayan skala besar. Pada titik ini, pengurusan izin penangkapan ikan akan semakin mempersulit kehidupan nelayan skala kecil dan nelayan tradisional di Indonesia.

Kedua, memberikan kemudahan izin bagi kapal-kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia, khususnya di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif. Dampaknya, nelayan skala kecil dan nelayan tradisional harus bersaing dengan kapal-kapal asing di laut Indonesia untuk menangkap ikan.

Ketiga, mendorong ekspansi pembangunan pelabuhan skala besar di kawasan pesisir Indonesia. Dampaknya, tak sedikit kawasan pemukiman nelayan serta kawasan tangkap nelayan yang akan dirampas atas nama pembangunan, investasi serta pertumbuhan ekonomi.

Keempat, mendorong perluasan kawasan konservasi laut di Indonesia yang telah mencapai 20 juta hektar pada tahun 2019. Ke depan, pemerintah akan terus memperluas proyek konservasi laut seluas 32 juta hektar sampai dengan tahun 2030. Dalam praktiknya, proyek ini terbukti tak bisa menjawab kebutuhan nelayan karena sifatnya top-down.

Kelima, mendorong massifnya impor ikan dan garam masuk ke Indonesia tanpa batas. Dengan demikian, RUU ini akan mendorong liberalisasi sektor perikanan di Indonesia. Dampaknya, kehidupan nelayan dan pelaku perikanan rakyat semakin sulit.

Keenam, mewajibkan nelayan untuk memperoleh izin pengelolaan dalam rangka melakukan pemanfaatan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan. RUU ini menyamakan nelayan dengan entitas bisnis besar yang akan melakukan aktivitas bisnis di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ketujuh, menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang tidak menempatkan nelayan sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan, tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan serta ekosistem laut, serta hanya memberikan kepastian hukum hanya untuk investor.

Berdasarkan kajian tersebut, Susan mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera mencabut RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena hanya akan memperparah kehidupan nelayan di Indonesia. Dalam pada itu, Pemerintah seharusnya menjalankan mandat utamanya untuk hadir melalui implementasi Undang-Undang 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

 “Yang dibutuhkan oleh nelayan adalah laut yang sehat dan bersih, bukan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. DPR RI dan Pemerintah harus segera mencabut RUU tersebut dan fokus melakukan penanganan terhadap penyebaran Covid-19,” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

HENTIKAN PEMBAHASAN OMNIBUS LAW!!

JAMIN KESELAMATAN RAKYAT, BUKAN URUS RUU CIPTA KERJA DI TENGAH WABAH CORONA

Pernyataan Sikap Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)

Rapat Paripurna DPR RI Periode 2019-2020 telah menghasilkan kesepakatan diteruskannya pembahasan RUU Cipta Kerja (“Omnibus Law”) oleh DPR melalui Badan Legislasi (Baleg). Hal ini disepakati oleh 302 anggota dewan yang hadir, baik secara langsung maupun melalui media virtual. Pembahasan Omnibus Law dilanjutkan menanggapi Surat Presiden (Surpres)/R06/Pres tertanggal 7 Februari 2020 tentang RUU Cipta Kerja.

Sikap DPR di atas memberi sinyal bahwa parlemen dan pemerintah tidak memiliki kepekaan atas permasalahan ekonomi dan sosial, bahkan atas situasi darurat kesehatan yang tengah dialami rakyat saat ini. Dengan memaksakan melanjutkan Omnibus Law pada masa darurat seperti sekarang ini, di saat kebijakan pyshical distancing berlaku, telah meresahkan rakyat. Keputusan ini mencederai semangat demokrasi, karena DPR dengan sengaja akan membatasi partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan. Sudah pasti publik tak bisa dengan efektif dan optimal memberikan masukan, mengawal substansi hingga terlibat dalam proses konsultasi di tengah situasi darurat saat ini.

Perlu dicatat, RUU Cipta Kerja telah banyak menuai penolakan dari berbagai kalangan. Tidak hanya merugikan buruh, namun juga petani, nelayan, dan masyarakat adat akibat memasukkan pasal-pasal dan kebijakan agraria secara serampang ke dalam RUU tersebut. Bahkan beberapa RUU yang telah ditolak publik September 2019 lalu, seperti RUU Pertanahan, RKHUP, RUU Minerba dan beberapa RUU berbahaya lainnya dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja.

Di bidang agraria, setidaknya terdapat 5 (lima) permasalahan pokok yang akan mengancaman keselamatan jutaan petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan di desa, yakni: Pertama, Omnibus Law akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia; Kedua, RUU akan mempermudah penggusuran dan perampasan tanah rakyat atas nama kepentingan pembangunan infrastruktur dan bisnis; Ketiga, RUU akan mempercepat arus konversi tanah pertanian demi kepentingan bisnis semata; Keempat, RUU memperbesar peluang kriminalisasi dan diskriminasi hak petani dan masyarakat adat; Kelima, RUU ini anti-reforma agraria dan keadilan sosial dengan kehendak mengubah UUPA 1960 sehingga sudah pasti bertentangan dengan Ideologi Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33.

Di negeri agraris ini, jutaan petani, nelayan, dan masyarakat adat menggantungkan hidup mereka dari tanah dan sumber agraria lain di pedesaan, pesisir dan pelosok-pelosok negeri. Jika RUU ini disahkan, nasib dan keberlangsungan hidup mereka akan terancam. Tanah-tanah dan sumber penghidupan mereka akan semakin mudah diambil-alih oleh korporasi dan kelompok pemodal besar.

Menurut pandangan kami, DPR dan Pemerintah harus menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya yang tidak sesuai dengan situasi sosial hari ini. Pemaksaan RUU akan lahirkan keresahan di tengah publik. Masyarakat yang KECEWA dengan penanggulangan wabah, tekanan ekonomi, ancaman PHK, represi di wilayah konflik agraria akan bertemu dengan kekecewaan masyarakat kepada DPR karena bersikukuh tetap melanjutkan RUU anti rakyat ini. Apabila diabaikan, gejolak ini akan memaksa mobilisasi massa secara besar-besaran. Petani, buruh, masyarakat adat, nelayan, mahasiswa, perempuan dan kelompok lainnya yang terancam dengan RUU ini seolah telah dipancing oleh Negara sendiri untuk melakukan mobilisasi. Situasi ini akan berdampak terhadap kebijakan dan usaha pemerintah dalam mencegah penyebaran wabah pandemi Covid-19 itu sendiri.

Ada banyak hal yang SEPATUTNYA dilakukan DPR dalam situasi krisis saat ini sebagai wujud tanggung jawab Konstitusi Negara, sebagaimana yang menjadi tujuan bernegara kita dalam Pembukaan UUD, yakni melindungi segenap warga negara.

 

Maka SEPATUTNYA:

          DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, karena kebijakan ini BUKANLAH jalan keluar bagi ekonomi Indonesia, apalagi bagi kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya RUU ini mengancam keselamatan hidup rakyat, buruh, petani, nelayan, masyarakat adat sehingga akan menimbulkan gelombang penolakan yang luas dari masyarakat sipil;

          DPR awasi kinerja pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid 19 untuk meminimalisir jumlah korban, mencegah menjalar lebih luas bahkan hingga ke desa-desa. Menyadari fasilitas dan tenaga kesehatan yang tidak memadai dan merata, DPR mesti meminta keterangan pemerintah atas situasi ini

          DPR sebaiknya mendorong dan memastikan agar pemerintah menggunakan kerangka peraturan perundang-undangan yang tepat. Penetapan Darurat Sipil yang dilemparkan pemerintah dan dibiarkan DPR adalah bukti bahwa pemerintah maupun parlemen telah abai dalam menggunakan kerangka hukum yang tepat untuk menanggulangi wabah virus serta dampak lanjutannya.

          DPR melakukan pengawasan anggaran penanggulangan bencana non alam virus Covid-19 ini sehingga benar-benar tepat sasaran, bermanfaat bagi perlindungan keselamatan rakyat atas penyebaran wabah ini. Apalagi wabah ini telah menyebabkan krisis ekonomi di tengah-tengah rakyat.

          DPR memastikan pemerintah menangani dampak meluas sosial-ekonomi dari wabah Covid-19 dengan memastikan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah selama status darurat Kesehatan.

          DPR mengawasi kinerja pemerintah dalam menuntaskan konflik agraria. Memastikan pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan (swasta dan BUMN) untuk menghentikan tindakan yang memperkeruh situasi agraria, yakni penggusuran, terror, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat di tengah situasi darurat saat ini. Lindungi hak-hak petani yang tengah mempersiapkan panen dan distribusi pangannya. 

Kewajiban menjaga situasi yang kondusif di saat krisis bukan hanya tugas rakyat, tapi juga tugas DPR dan Pemerintah! Oleh sebab rakyat yang ditekan dari berbagai aspek kehidupannya, dapat menekan balik Negara yang gagal jalankan fungsinya.

Demikian pernyataan ini kami buat agar menjadi perhatian bagi semua pihak

INDONESIA, 04 Maret 2020

 

Hormat Kami,

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)

  1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  3. Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I)
  4. Aliansi Petani Indonesia (API)
  5. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  6. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  7. Solidaritas Perempuan
  8. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
  9. Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
  10. Perkumpulan HuMa
  11. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
  12. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
  13. Elpagar, Kalimantan Barat
  14. FARMACI
  15. Forsda Kolaka, Sulawesi Tenggara
  16. Forum Komunikasi Petani Kendal (FPPK)
  17. Forum Masyarakat Labuhan Batu (FORMAL)
  18. Forum Nelayan Togean
  19. Forum Pelajar Mahasiswa Rakyat (FPMR), Tasikmalaya
  20. Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG)
  21. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
  22. Forum Perjuangan Rakyat Mojokerto
  23. Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (Hitambara)
  24. Kelompok Kajian dan Advokasi Tantular, Mojokerto
  25. Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM), Sumatra Utara
  26. LBH Cianjur
  27. LBH Progresif Toli-Toli
  28. LBH Serikat Petani Pasundan (LBH SPP)
  29. Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Sulawesi Selatan
  30. Lidah Tani, Blora
  31. Masyarakat Adat Moronene Hukaea Laeya, Bombana
  32. Organisasi Tani Jawa Tengah (Ortaja)
  33. Organisasi Tani Lokal Blongko dan Ongkaw 3, Minahasa Selatan
  34. Organisasi Tani Lokal Ratatotok, Minahasa Tenggara
  35. Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB)
  36. Pergerakan Petani Banten (P2B)
  37. Persatuan Petani Cianjur (PPC)
  38. Persatuan Petani Jambi (PPJ)
  39. Persatuan Petani Siantar Simalungun (SPSS)
  40. Persatuan Rakyat Salenrang Maros
  41. Puspaham, Kendari
  42. Rukun Tani Indonesia (RTI)
  43. SEPETAK Karawang
  44. Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP)
  45. Serikat Petani Badega (SPB), Garut
  46. Serikat Petani Batanghari (SPB), Jambi
  47. Serikat Petani Gunung Biru (SPGB), Batu
  48. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Kalimantan Barat
  49. Serikat Petani Lumajang (SPL)
  50. Serikat Petani Majalengka (SPM)
  51. Serikat Petani Pasundan – Ciamis (SPP Ciamis)
  52. Serikat Petani Pasundan – Garut (SPP Garut)
  53. Serikat Petani Pasundan – Pangandaran (SPP Pangandaran)
  54. Serikat Petani Pasundan – Tasikmalaya (SPP Tasikmalaya)
  55. Seikat Petani Serdang Bedagai (SPSB), Sumatra Utara
  56. Serikat Petani Sriwijaya (SPS)
  57. Serikat Rakyat Binjai Dan Langkat (Serbila)
  58. Serikat Tani Bengkulu (STaB)
  59. Serikat Tani Independen (Sekti), Jember
  60. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
  61. Serikat Tani Indramayu (STI)
  62. Serikat Tani Kambo Trigona, Palopo
  63. Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS)
  64. Serikat Tani Konawe Selatan (STKS)
  65. Serikat Tani Kontu Kowuna, Muna
  66. Serikat Tani Likudengen Uraso
  67. Serikat Tani Sigi (STS), Sulawesi Tengah
  68. Serikat Tani Tebo (STT), Jambi
  69. SITAS Desa, Blitar
  70. Sunspirit, NTT
  71. Wahana Tani Mandiri, NTT
  72. Perkumpulan Wallacea, Palopo
  73. Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR)
  74. Yayasan Tanah Merdeka
  75. Sajogyo Institute
  76. Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia
  77. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
  78. Greenpeace Indonesia
  79. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  80. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  81. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  82. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  83. Epistema Institute
  84. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
  85. Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU-KSN)
  86. Indonesia Centre for Enviromental Law (ICEL)
  87. FIAN Indonesia
  88. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  89. Perkumpulan Kediri Bersama Rakyat (KIBAR), Jatim
  90. Yayasan Bina Desa
  91. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
  92. Konfederasi Serikat Nasional
  93. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)