Izinkan Proyek Deep Sea Mine Tailings Placement, KIARA: Laut Tercemar, Hidup Nelayan Hancur

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

Jakarta, 29 Juli 2020 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melancarkan kritik terhadap Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang memproses izin proyek penempatan tambang tailing ke dalam laut (deep sea mine tailings placement/DTSP) di Provinsi Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Proses izin itu dilakukan untuk empat perusahaan pertambangan nikel, yaitu: PT. Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT. QMB New Energy Material di Pulau Obi, yang berada di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara ; PT. Huayue Nickel Cobalt (HNC) dan PT Sulawesi Cahaya Mineral di Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan, jika Pemerintah benar-benar mengizinkan proyek DTSP tersebut, maka yang paling menderita adalah nelayan karena perairan yang merupakan kawasan tangkap akan hancur dan tercemar. “Proyek ini jelas-jelas akan menghancurkan ruang hidup nelayan tradisional atau nelayan skala kecil yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan di dua provinsi tersebut,” ungkapnya.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2020) mencatat, setidaknya ada 7.153 keluarga nelayan tangkap di Kabupaten Morowali yang akan terdampak proyek DTSP PT. Huayue Nickel Cobalt (HNC) dan PT Sulawesi Cahaya Mineral. Sementara itu, KIARA juga mencatat, sebanyak 3.016 nelayan tangkap di Pulau Obi juga akan terdampak proyek DTSP PT. Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT. QMB New Energy Material. Jumlah 3.016 nelayan terdiri dari 833 nelayan di kecamatan Obi Selatan, 491 nelayan di Kecamatan Obi, 348 nelayan di Kecamatan Obi Timur, dan 1.344 di kecamatan Obi Utara.

“Apa yang dapat dibanggakan dengan adanya investasi tambang nikel di Perairan Morowali dan Perairan Pulau Obi, jika laut tercemar dan ribuan kehidupan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil hancur?” tanya Susan.

Menurut Susan, jika perairan di perairan Morowali dan perairan di Pulau Obi tercemar dan hancur, ke mana 10.169 nelayan di dua lokasi tersebut harus menangkap ikan? “Inilah salah satu alasan kenapa proyek DTSP harus dibatalkan oleh Pemerintah, dalam hal ini oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.

Tak hanya itu, lanjut Susan, alasan lain kenapa proyek DTSP harus ditolak? Karena diantara alasan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi memproses izin proyek ini karena di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara adalah masih memiliki potensi gempa apabila dilakukan pembuangan limbah (damn tailing) di darat.

Membantah pandangan tersebut, Susan mengatakan bahwa Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi tidak membaca buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2017 oleh Pusat Studi Gempa Nasional Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang bekerja sama dengan sejumlah lembaga dan universitas di Indonesia seperti LIPI, AIPI, BMKG, BNPB, UGM, UI, ITB, dan lain sebagainya.

“Di dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia, dinyatakan bahwa potensi gempa tidak hanya ada di kawasan darat Morowali dan Pulau Obi, tetapi juga di kawasan lautnya. Alasan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi hanya mengada-ada demi mempermudah proses perizinan,” ungkap Susan.

Susan mendesak proyek DTSP untuk tidak diberikan izin karena hanya akan terus mengeksploitasi sumber daya alam dan memberikan dampak buruk bagi keberlanjutan lingkungan serta ribuan kehidupan nelayan. “Kami mendesak Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi untuk mencabut izin proyek DTSP ini,” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Dirjen Perikanan Tangkap KP Mundur, KIARA: Ini Pukulan Telak bagi Kebijakan Menteri Edhy Prabowo

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 16 Juli 2020 – Beberapa hari lalu, tepatnya Selasa (14/07/2020), Zulfikar Mochtar mengirimkan surat secara resmi mengenai pengunduran dirinya posisi Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia. Informasi ini membuat masyarakat, khususnya para pelaku perikanan di Indonesia kaget dan bertanya-tanya.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang merupakan representasi dari masyarakat bahari, yang terdiri dari nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir, menilai bahwa pengunduran diri Zulfikar Mochtar tidak terjadi di ruang kosong. “Ada persoalan serius di KKP sehingga, sosok semacam Zulfikar memutuskan untuk mengundurkan diri,” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

Susan Herawati, meneruskan bahwa keputusan mundurnya Zulfikar sangat terkait dengan sejumlah kebijakan yang telah, tengah, dan akan dikeluarkan oleh Menteri KP, Edhy Prabowo, khususnya kebijakan izin ekspor benih lobster sebagaimana terlampir dalam Peraturan Menteri KP No. 12 Tahun 2020, rencana revisi Permen 71 Tahun 2016 yang akan mengizinkan kembali penggunaan alat tangkap merusak semacam cantrang. Sebagaimana diketahui, kebijakan ekspor benih lobster dan Permen 71 Tahun 2016 ada di bawah tanggung jawab Dirjen Perikanan tangkap.

“Mundurnya Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI di tengah lahirnya kebijakan izin ekspor benih lobster dan rencana revisi Permen 71 Tahun 2016 merupakan perlawanan Zulfikar terhadap kebijakan Menteri KP. Ini pukulan telak bagi Edhy Prabowo,” tegas Susan.

Kaitan pengunduran diri Zulfikar Mochtar, khususnya dengan izin ekspor benih lobster, tambah Susan, sangat terang dan dapat dilihat oleh publik. Pasalnya, dalam proses ekspor benih lobster pada tanggal 12 dan 17 Juni 2020 lalu, ia tidak dilibatkan sehingga enggan berkomentar ketika dimintai keterangan. (Koran Tempo, 8 Juli 2020).

Dengan mundurnya Zulfikar Mochtar, Susan mendesak Menteri KP untuk mencabut Permen No. 12 Tahun 2020 dan tidak melakukan revisi terhadap Permen 71 Tahun 2016 yang melarang penggunaan alat tangkap merusak. “Jika tetap bersikukuh mencabut Permen No. 12 Tahun 2020 dan merevisi terhadap Permen 71 Tahun 2016, kami mendesak Edhy Prabowo untuk mundur dari kursi KKP,” katanya.

Tak hanya itu, Susan mengatakan, bahwa pengunduran diri Zulfikar Mochtar dari kursi Dirjen Perikanan Tangkap, menjadi penanda bahwa kebijakan ekspor benih lobster di lingkaran inti Menteri KP, tidak mendapatkan dukungan yang sangat kuat.

“Kebijakan ekspor benih lobster serta praktik ekspornya penuh dengan masalah. Tak didukung oleh masyarakat luas sekaligus tidak didukung oleh lingkaran A-1 Menteri KP,” pungkas Susan.

 

Informasi lebih lanjut

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

  KEBIJAKAN MENTERI KP TAK BERPIHAK KEPADA NELAYAN, KIARA SEGEL KANTOR KKP

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 13 Juli 2020 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang merupakan representasi dari masyarakat bahari, yang terdiri dari nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir, melakukan aksi damai untuk mempertanyakan komitmen atas arah kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang dinilai tidak berpihak kepada nelayan tradisional, nelayan, skala kecil, pembudidaya ikan, serta aktor perikanan rakyat lainnya. Aksi damai tersebut diartikulasikan dalam bentuk penyegelan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menjelaskan bahwa penyegelan kantor KKP merupakan simbol perlawanan dan ketidakpercayaan dari masyarakat bahari terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan maupun yang akan dikeluarkan oleh Menteri KP, Edhy Prabowo. “Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Menteri KP adalah Permen KP No.12 Tahun 2020 yang mengizinkan ekspor benih lobster ke luar negeri. Adapun kebijakan yang akan dikeluarkan adalah revisi Permen KP No. 71 Tahun 2016 yang akan mengizinkan kembali penggunaan alat tangkap merusak seperti cantrang di perairan Indonesia,” jelasnya.

Menurut Susan, dalam masa jabatannya yang belum genap satu tahun, Edhy Prabowo tidak bekerja untuk kedaulatan, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakat bahari sebagaimana dimandatkan oleh UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudiaya Ikan, dan Petambak Garam. Sebaliknya, ia malah bekerja untuk investor dan para pemain besar di sektor perikanan.

“Alih-alih menegakkan kedaulatan kemandirian, dan kesejahteraan masyarakat bahari, Edhy malah mengeluarkan kebijakan yang memperkaya para investor dan pengusaha besar perikanan. Hingga saat ini, kita tidak pernah tahu apa saja program dan capaian yang menjadi target KKP selama periode ini.” tegas Susan.

KIARA juga menyoroti kebijakan Edhy Prabowo yang mendorong eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan, sebagaimana yang terdapat dalam izin benih lobster dan izin penggunaan cantrang yang akan dikeluarkan. “Kami juga melihat, kebijakan Menteri KP tidak mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan,” tambahnya.

Kebijakan izin ekspor benih lobster dan akan melegalkan kembali penggunaan cantrang merupakan dua dari 18 kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Menteri Edhy. Susan mempertanyakan mengapa Edhy tidak merevisi sejumlah regulasi yang dikeluarkan oleh Menteri KP sebelumnya yang terbukti bertentangan dengan UU dan mengancam kehidupan masyarakat serta keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan.

“Diantara regulasi yang dikeluarkan oleh Menteri KP Periode 2014-2019 yang wajib direvisi adalah Permen KP No. 3 Tahun 2018 yang akan mengeksplotasi kawasan-kawasan inti konservasi serta Permen 25 Tahun 2019 yang mengizinkan reklamasi di seluruh pesisir Indonesia. Kenapa Edhy tak memprioritaskan untuk merevisi kedua Permen tersebut?” tanya Susan.

Tak hanya itu, KIARA mengecam pernyataan-pernyataan Edhy yang dianggap kontra produktif dan menjadi bola panas di masyarakat. Di antara pernyataan yang dimaksud adalah terkait permisifnya sikap Edhy terkait penjualan Pulau Malember di Sulawesi Barat. Edhy pernah berkata: “Mau dengan siapa saja, yang penting menguntungkan, kita akan kasih tempat.” Pernyataan lainnya yang disorot adalah terkait dengan isu cantrang. Edhy pernah berkata: “Bagaimana mungkin bisa ketarik karang itu, kan tidak masuk akal kalau cantrang merusak karang?”

“Pernyataan-pernyataan semacam itu menunjukkan bahwa Edhy Prabowo tidak memahami persoalan yang dihadapi oleh nelayan di lapangan sekaligus tidak pernah membaca hasil-hasil riset yang pernah dipublikasikan. Edhy tidak memiliki bagaimana masyarakat bahari memiliki relasi yang intim dengan sumber daya kelautan dan perikanan, ada tradisi dan budaya di dalamnya. Sayangnya, ini tidak dipahami.” imbuh Susan.

Lebih jauh, Susan mendesak Edhy untuk mundur dari posisinya sebagai Menteri KP jika tidak bisa bekerja untuk menjaga keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan sekaligus menegakkan kedaulatan, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakat bahari di Indonesia sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi dan UU No. 7 Tahun 2016. “Jika Edhy Prabowo tak bisa bekerja sebagaimana mandat konstitusi dan UU No. 7 Tahun 2016, sebaiknya Edhy mundur dari posisinya sebagai Menteri KP, biar nelayan dan perempuan nelayan saja yang memimpin KKP.” pungkasnya

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

 

MERESPON PENJELASAN ANIES, INI SEJUMLAH KECACATAN PROYEK REKLAMASI ANCOL VERSI KIARA

Siaran Pers

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 12 Juli 2020 – Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan belum lama ini memberikan penjelasan terkait keluarnya Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) Seluas ± 35 Ha (Lebih Kurang Tiga Puluh Lima Hektar) Dan Kawasan Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas ± 120 Ha (Lebih Kurang Seratus Dua Puluh Hektar). Penjelasan tersebut dapat diakses pada link youtube berikut http://youtu.be/Pw7EQE7NEbE.

Secara garis besar, Anies menjelaskan bahwa keputusannya yang mengizinkan reklamasi di perairan Ancol tidak melanggar hukum sebagaimana proyek reklamasi 17 pulau, dialokasikan untuk kepentingan publik, dapat mencegah Jakarta dari ancaman banjir, serta akan dibangun museum Nabi Muhammad yang akan menjadi magnet pariwisata, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di Benua Asia. Tak hanya itu, secara teknis, reklamasi di Ancol menggunakan material lumpur dari sungai-sungai yang telah dikeruk.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebut bahwa proyek reklamasi di perairan Ancol merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proyek 17 pulau, hal itu bisa dilihat dari rencana pembangunan 17 pulau, dimana PT Pembangunan Jaya Ancol menjadi salah satu perusahaan yang mendapatkan konsesi untuk membangun Pulau K.

“Reklamasi Ancol merupakan kelanjutan dari reklamasi 17 pulau, khususnya Pulau K. Bedanya, dahulu direncanakan seluas 35 hektar, sementara sekarang hanya 32 hektar. Ini kecacatan pertama,” kata Susan.

Tak hanya itu, Susan merespon pernyataan Anies yang menyebut reklamasi untuk kepentingan publik. Menurutnya, Anies harusnya mencabut seluruh izin proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Untuk 4 pulau yang sudah jadi, seluruhnya harus menjadi kawasan publik. “Jika Anies punya political will yang serius, harusnya 4 pulau yang sudah ada dijadikan kawasan publik. Bukannya sekarang baru sesumbar mau akan bangun pantai publik. Narasi yang dikeluarkan oleh Anies sangat menyesatkan. Ini kecacatan kedua,” tegas Susan.

Adapun untuk klaim proyek tersebut dapat mencegah banjir, Susan menilai hal tersebut merupakan alasan klise, dimana narasi banjir selalu diulang-ulang oleh beberapa gubernur DKI sebelumnya. “Jakarta bisa bebas banjir bukan dengan proyek reklamasi, tetapi dengan menyetop pembangunan gedung-gedung tinggi yang mengekstraksi air tanah. Ini kecacatan ketiga,” jelas Susan.

Saat merespon rencana pembangunan museum Nabi Muhammad, Susan menyebut hal ini merupakan taktik lama yang digunakan di banyak proyek reklamasi di provinsi Lain seperti reklamasi Pantai Losari di Makasar, Sulawesi Selatan. Tujuannya, untuk meredam protes dari masyarakat.

“Ada isu agama yang dimainkan oleh Anies dalam proyek reklamasi Ancol. Hal ini dilakukan untuk membungkam kritik dan protes dari masyarakat. Pengalaman di Pantai Losari masjid yang dibangun di tengah-tengah pulau reklamasi gagal total. Masjid itu tak jadi apa-apa sekarang. Adalah sangat bahaya jika agama jadikan alat legitimasi untuk proyek reklamasi. Ini kecacatan yang keempat,” imbuh Susan.

Untuk material lumpur yang menjadi bahan reklamasi, Susan menjelaskan, bahwa lumpur itu bersifat cair. Sementara reklamasi di kawasan perairan pasti membutuhkan material padat sebagai bahan urukannya. “Penjelasan Anies mengenai reklamasi dengan lumpur tidak make sense dan cenderung menyesatkan masyarakat. Ini kecacatan yang kelima,” katanya.

Lebih jauh, Susan menegaskan bahwa secara legal, proyek reklamasi ini yang diizinkan melalui Kepgub No. 237 Tahun 2020 tidak memiliki payung hukum. Tak ada payung hukum, baik dari perspektif darat, khususnya yang menggunakan Rencana Detail Tata Ruang. Proyek reklamasi Ancol tak ada dalam RDTR DKI Jakarta.

“Bahkan, jika dilihat dari perspektif hukum pesisir dan laut yang merujuk kepada UU No. 27 tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014, proyek ini tidak sesuai dengan UU yang sangat detail mengatur ruang pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil ini. Ini kecacatan proyek reklamasi Ancol yang keenam,” pungkas Susan. (*)

 

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

IZIN EKSPOR BENIH LOBSTER INSTAN UNTUK POLITISI,  KIARA: INI PRAKTIK KOLUSI

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 9 Juli 2020 – Sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan izin ekspor benih lobster melalui Permen KP No. 12 Tahun 2020, berbagai elemen masyarakat mempertanyakan arah dan tujuan kebijakan ini. Pasalnya, dari 30 lebih perusahaan ekspor yang diberikan izin, ternyata banyak politisi partai politik yang berada di balik sejumlah perusahaan tersebut, khususnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gelora, Partai Gerindra, dan Partai Golkar. 

Susan menilai bahwa banyaknya politisi partai politik yang terlibat dalam bisnis ekspor benih lobster menunjukkan adanya indikasi praktik kolusi yang telah dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Terlebih, Edhy pernah mengeluarkan pernyataan pada tanggal 6 Juli 2020 yang menyebut, jika ada tiga orang yang secara langsung berkorelasi dengannya apa itu suatu bentuk kesalahan? Apakah karena posisinya sebagai seorang menteri, lantas teman-temanya tak bisa berusaha? (Kompas, 6 Juli 2020).

Menurut Susan pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Menteri KP, Edhy Prabowo secara langsung sedang menunjukkan praktik kolusi yang sedang dijalankannya. Bagaimana tidak, dari sekian politisi yang berada di belakang perusahaan ekspor benih lobster, mayoritas adalah politisi Partai Gerindra.

“Pak Edhy Prabowo adalah Wakil Ketua Umum Bidang Keuangan dan Pembangunan Nasional DPP Partai Gerindra, sedangkan para politisi yang mendapatkan izin rata-rata juga dari Partai Gerindra. Apa ini bukan praktik kolusi?” tanya Susan.

Tak hanya itu, Susan juga mempertanyakan izin ekspor benih lobster yang dikeluarkan oleh Edhy Prabowo sangat kilat. “Izin yang terbit dalam waktu satu bulan menunjukkan KKP melanggar aturan sendiri yang telah ia buat,” tambahnya.

Susan menjelaskan, praktik panen berkelanjutan dan budi daya lobster itu tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu satu bulan. Butuh waktu kurang lebih 1-2 tahun untuk bisa berbudidaya lobster. “Dengan kata lain, izin ekspor benih lobster itu seharusnya baru bisa dilakukan 1-2 tahun kemudian, bukan dalam hitungan satu bulan,” ungkapnya.

Izin ekspor yang dipaksakan ini dikhawatirkan akan terus mendorong eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan secara tidak terkendali. Apalagi kuota panen ditargetkan oleh pemerintah sebanyak 500 juta benih per tahun. “Kebijakan jangka pendek ini akan berdampak buruk dalam jangka panjang bagi kehidupan nelayan dan keberlangsungan sumber daya perikanan di Indonesia,”  pungkasnya.

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

KIARA KAMPANYEKAN BAU BUSUK OLIGARKI DI BALIK PEMBAHASAN RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

Jakarta, 8 Juli 2020 – Di tengah ancaman penyebaran Covid-19 yang terus menerus memakan korban jiwa, Pemerintah Republik Indonesia dan DPR RI malah mengebut pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Hal ini merupakan hal yang sangat ironis. Kenapa RUU ini tetap dikebut pembahasannya? Ada kepentingan siapa di balik pembahasan ini?

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut bahwa dikebutnya pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah ancaman penyebaran pandemi Covid-19 menunjukkan Pemerintah dan DPR RI telah kehilangan hati nurani. Pada saat yang sama, percepatan pembahasan RUU ini mengindikasikan adanya bau busuk kepentingan oligarki yang akan mengeksploitasi sumber daya alam, baik di darat maupun di laut Indonesia.

“RUU ini disusun dan dibahas bukan untuk melindungi masyarakat dan keberlanjutan sumber daya alam Indonesia. Sebaliknya, RUU disusun untuk memanjakan kepentingan oligarki di Indonesia yang telah lama menguasai proses pembuatan kebijakan di negara ini,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

Atas dasar itu, KIARA menggelar kampanye penolakan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan cara menjajakan ikan-ikan yang telah lama mati dan memiliki bau yang tidak sedap. Bau ikan-ikan ini merupakan simbol kuatnya bau busuk oligarki yang berada di balik penyusunan dan pembahasan RUU Cipta Kerja,” jelasnya.

Lebih jauh, menurut Susan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja memiliki banyak kecacatan, baik dari aspek formil maupun materil. Secara hukum, RUU ini jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945. Tak hanya itu, RUU Omnibus Law Cipta Kerja memiliki bahaya jika disahkan karena hanya memberikan karpet merah kepada investasi, khususnya investasi asing yang akan mengeksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan. “Pada titik inilah, nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir tidak lepas dari ancaman RUU ini,” tambahnya.

Susan menjelaskan, diantara dampak yang akan dialami oleh masyarakat pesisir jika rancangan omnibus law disahkan adalah sebagai berikut: Pertama, nelayan-nelayan kecil maupun nelayan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 gross tonnage serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dipaksa harus mengurus perizinan perikanan tangkap. Tak hanya itu, rancangan omnibus law menyamakan nelayan kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar, yakni nelayan yang menggunakan perahu di atas 10 gross tonnage. Dengan disamakannya posisi nelayan kecil dengan nelayan besar, maka kewajiban perlindungan yang harus diberikan oleh negara kepada nelayan menjadi hilang.

Kedua, RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Dalam praktiknya, RZWP3K tidak menempatkan nelayan serta perempuan nelayan sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Tak hanya itu, RUU Omnibus Law juga hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan oligarki, investor asing, dan para pebisnis skala besar.

Dalam jangka panjang, RUU ini akan mendorong terjadinya krisis pangan di tengah-tengah masyarakat, khususnya pangan laut yang merupakan sumber protein hewani yang berasal dari ikan, yang sangat penting dan dibutuhkan oleh berbagai elemen masyarakat.

Atas dasar itu, Susan mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menghentikan pembahasan dan mencabut RUU Omnibus Law Cipta Kerja serta tidak pernah memasukannya kembali ke dalam program legislasi nasional. Pada saat yang sama, Susan mengajak masyarakat untuk terus menerus memantau perkembangan pembahasan RUU ini dan turun ke jalan untuk menghentikan pembahasannya.

“Kami meminta Pemerintah dan DPR RI untuk segera menghentikan pembahasan RUU yang akan mempertaruhkan masa depan sumber daya alam Indonesia. Kepada masyarakat, mari tetap kita kawal dan turun ke jalan,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Dokumentasi Foto-foto pada saat Aksi di Depan Gedung DPR / MPR RI 

Keterlibatan Politisi dalam Ekspor Benih Lobster, KIARA: Menteri Edhy Harus Di-reshuffle

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 6 Juli 2020 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) kembali melontarkan kritik terhadap kebijakan izin ekspor benih lobster yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, melalui Peraturan Menteri (Permen) No. 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia pada awal bulan Mei 2020.

Kritik ini disampaikan merespon temuan investigasi yang dilakukan oleh Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2020 yang bertajuk Pesta Benur Menteri Edhy. Di dalam investigasi tersebut, Majalah Tempo menyebut sejumlah nama politisi partai politik yang terlibat dan berada di balik sejumlah perusahaan yang ditetapkan sebagai eksportir benih lobster.

Menyikapi temuan tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyatakan bahwa sejak awal kebijakan izin ekspor benih lobster ini melalui Peraturan Menteri (Permen) No. 12 Tahun 2020 penuh dengan masalah, mulai dari kajian ilmiah, ketidakterbukaan penetapan perusahaan ekspor yang jumlahnya terus bertambah, ketiadaan partisipasi nelayan lobster dalam perumusan kebijakan ini. “Keterlibatan sejumlah nama politisi partai politik, menambah daftar masalah lainnnya dari kebijakan Menteri Edhy ini,” ungkap Susan.

Keterlibatan sejumlah nama politisi partai politik di balik perusahaan ekspor benih lobster membantah klaim Menteri Edhy yang selalu mengatasnamakan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan lobster, yang akan meningkat jika pintu ekspor benih lobster dibuka luas.

“Kesejahteraan nelayan lobster yang selalu diklaim akan meningkat, pasca dibukanya pintu ekspor semakin terbantah karena yang diuntungkan oleh kebijakan ini hanya perusahaan-perusahaan dan politisi yang ada di belakangnya,” tegas Susan.

Susan mengutip data Bea dan Cukai yang menyebut perusahaan eksportir hanya membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp15.000 per 60.000 ekor benih. “Jika perusahaan eksportir menjual benih Rp139.000 per ekor, dan membayar PNBP Rp15.000, maka alangkah besarnya angka keuntungan perusahaan ekspor dengan mendapatkan keuntungan Rp8.340.000.000. Pada titik inilah kebijakan ini hanya menjadikan benih lobster sebagai objek eksploitasi dari Kebijakan Menteri KP, Edhy Prabowo,” terang Susan.

Keterlibatan para politisi di balik perusahaan ekspor benih lobster merupakan ironi kebijakan publik yang seharusnya diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran nelayan, menjadi untuk sebesar-besar kemakmuran para pengusaha dan politisi. “Inilah ironi besar kebijakan publik KKP. Nelayan hanya menjadi korban eksploitasi, tetapi pengusaha dan politisi tetap menjadi aktor pertama penerima keuntungan kebijakan ini,” ungkapnya.

Lebih jauh Susan mendesak Menteri Edhy Prabowo untuk di-reshuffle dari kabinet karena terbukti tidak bekerja untuk kepentingan masyarakat, khususnya nelayan lobster. Sebaliknya ia bekerja untuk para pengusaha dan politisi.

“Edhy Prabowo sudah tak pantas duduk di kursi Menteri KP karena tidak bekerja untuk kepentingan masyarakat, khususnya nelayan lobster. Ia harus direshuffle dan diganti oleh Menteri yang memiliki keberpihakan terhadap nelayan di seluruh Indonesia,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Lampiran 1

Daftar politisi yang terlibat di balik perusahaan izin ekspor benih lobster

Nama Asal Partai/lembaga Nama Perusahaan
Fahri Hamzah Eks. politisi Partai Keadilan Sejahtera.

Sekarang menjadi petinggi Partai Gelora

PT. Nusa Tenggara Budidaya
Hashim Djojohadikusumo Petinggi Partai Gerindra PT Bima Sakti Mutiara
Rahayu  Saraswati Djojohadikusumo Anak Hashim Djojohadikusumo,

Politisi Partai Gerinda

PT Bima Sakti Mutiara
Iwan Darmawan Aras Politisi Partai Gerinda,

Wakil Ketua Komisi Infrastruktur DPR 2019 – 2024

PT Agro Industri Nasional
Eka Sastra Anggota Komisi Perindustrian DPR 2019 – 2024 Politisi Partai Golkar PT Agro Industri Nasional
Sakti Wahyu Trenggono Wakil Menteri Pertahanan PT Agro Industri Nasional
Eko Djalmo Asmadi Mantan Dirjen Pengawasan SDKP KKP PT Agro Industri Nasional
Sugiono Anggota Komisi Pertahanan DPR 2019 – 2024, Petinggi Partai Gerinda PT Agro Industri Nasional
Sudaryono Petinggi Partai Gerinda PT Agro Industri Nasional
Rauf Purnama Petinggi Partai Gerinda PT Agro Industri Nasional
Dirgayuza Setiawan Petinggi Partai Gerinda PT Agro Industri Nasional
Hariyadi Mahardika Petinggi Partai Gerinda PT Agro Industri Nasional
Simon Aloysius Mantiri Politisi Partai Gerinda PT Agro Industri Nasional

 

Soal Ekspor benih Lobster, KIARA: Pemilihan 26 Perusahaan Eksportir oleh KKP tidak Transparan

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 2 Juli 2020 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) kembali mempertanyakan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, yang mengizinkan ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri KP No. Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan. Salah satu poin yang disorot adalah ketiadaan transparansi pemilihan 26 perusahaan eksportir benih lobster oleh yang dilakukan KKP.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh KKP harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, terutama masyarakat bahari yang hidupnya sangat tergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan. Kebijakan pemberian izin ekspor benih lobster, khususnya pemilihan 26 perusahaan eksportir, dinilai oleh Susan tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tak ada unsur transparansi.

“Tak ada transparansi terkait izin ekspor benih lobster kepada 26 perusahaan eksportir. Apa dasar pemilihannya dan bagaimana rekam jejak perusahaan-perusahaan itu? masyarakat tak ada yang mengetahui hal itu,” ungkap Susan.

Selanjutnya, Susan menyampaikan kembali penilaian Ombudsman Republik Indonesia yang menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster tersebut. “Bahkan, Ombudsman menyebut bahwa izin ekspor benih lobster itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia. Menteri KP seharusnya mempertimbangkan penilaian tersebut,” kata Susan.

Susan mendesak Edhy Prabowo untuk segera membuka informasi secara detail 26 perusahaan yang mendapatkan izin melakukan ekspor benih lobster karena merekalah yang mendapatkan keuntungan paling besar dengan adanya Permen KP No. 12 Tahun 2020. Pada saat yang sama, negara hanya menerima PNBP sangat kecil sekali.

“Berdasarkan data Bea dan Cukai pada tanggal 12 Juni 2020, PNBP yang diperoleh negara hanya sebesar Rp.15.000 dari 60.000 ekor benih lobster yang diekspor. Angka yang sangat miris sekali. Jika negara hanya mendapatkan Rp.15.000 per 60.000 ekor, maka berapa yang didapatkan oleh nelayan? Fakta ini menunjukkan perusahaan ekspor lobster menang banyak,” imbuh Susan.

Berdasarkan hal itu, KIARA meminta Edhy Prabowo untuk membatalkan Permen KP No. 12 tahun 2020 karena dampak buruknya bagi nelayan, keberlanjutan ekosistem perairan, dan perekonomian negara sangat besar. “Ada mandat yang lebih penting dan harusnya dijalankan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, yaitu menjalankan mandat dari Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Itu yang lebih penting, namun sayangnya orientasi kebijakan Bpk. Edhy Prabowo hanya mengedepankan kepentingan segelintir orang yaitu eksportir ketimbang mendorong kedaulatan dan keberlanjutan laut Indonesia. Untuk itu, kami mendesak Menteri KP membatalkan Permen ini segera,” pungkas Susan. (*)

DAFTAR PERUSAHAAN YANG MENDAPATKAN IZIN EKSPOR BENIH LOBSTER OLEH KKP
1. PT Samudera Bahari Sukses
2. PT Natura Prima Kultur
3. PT Royal Samudera Nusantara
4. PT Graha Food Indo Pasific
5. PT Aquatic Lautan Rezeki
6. CV Setia Widata
7. PT Agro Industri Nasional
8. PT Alam Laut Agung
9. PT. Gerbang Lobster Nusantara
10. PT Global Samudera Makmur
11. PT Sinar Alam Berkilau
12. PT Wiratawa Mitra Mulia
13. UD. Bali Sukses Mandiri
14. UD. Samudera Jaya
15. PT. Elok Monica Grup
16. CV. Sinar Lombok
17. PT Bahtera Dama Internasional
18. PT Indotama Putra Wahana
19. PT Tania Asia Marina
20. CV Nusantara Berseri
21. PT Pelangi Maritim Jaya
22. PT Maradeka Karya Semesta
23. PT Samudera Mentari Cemerlang
24. PT Rama Putra Farm
25. PT Kreasi Bahari Mandiri
26. PT Nusa Tenggara Budidaya

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050