Ini Sepuluh Syarat Menteri Kelautan dan Perikanan Pengganti Edhy Prabowo Versi KIARA

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 27 November 2020 – Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia menangkap dan menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus korupsi, masyarakat Indonesia memberikan desakan kepada Presiden Joko Widodo agar dapat memilih orang yang tepat untuk mengemban amanah sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) yang baru.

 

Menanggapi hal tersebut, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyampaikan sepuluh kriteria Menteri KP baru pengganti Edhy Prabowo yang layak menempati kursi KKP. “Syarat pertama adalah Menteri KP yang baru harus betul-betul berani mencabut sejumlah peraturan menteri yang bermasalah, khususnya Permen KP No. 12 Tahun 2020 yang memberikan izin ekspor benih lobster,” tegas Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

 

Syarat selanjutnya untuk Menteri KP yang baru adalah bukan delegasi partai politik maupun aktif sebagai pengurus atau fungsionaris partai politik di Indonesia. Tidak hanya itu, Menteri KP yang baru juga seharusnya tidak memiliki latar belakang sebagai pengusaha. “Syarat ini mutlak supaya menteri baru tidak terjebak pada konflik kepentingan,” kata Susan.

 

Susan juga menegaskan syarat menteri baru selanjutnya adalah orang yang tidak pernah terlibat dalam dalam praktik perusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). “Rekam jejak dalam isu lingkungan hidup dan hak asasi manusia merupakan syarat yang tak boleh ditawar-tawar,” imbuhnya.

 

KIARA juga mendesak menteri KP yang baru harus memiliki keberanian untuk menyelesaikan konflik agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun. “Konflik agraria di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terus meningkat akibat dari desain pembangunan ekonomi yang bercorak ekstraktif dan tidak ramah HAM. Menteri KP baru wajib berkomitmen untuk membereskan persoalan ini,” ungkap Susan.

 

Lebih jauh, KIARA mendesak Menteri KP yang baru untuk berkomitmen untuk menjalankan mandat UU No.7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; berani untuk memberikan pengakuan identitas politik perempuan nelayan di Indonesia yang jumlahnya hampir mencapai 3 juta orang; serta berkomitmen untuk menegakkan hukum terkait larangan penggunaan alat tangkap yang merusak sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri KP No. 71 Tahun 2016.

 

Terakhir, KIARA menyebut bahwa Menteri KP yang baru wajib untuk tidak memiliki konflik kepentingan dengan institusi lainnya, sekaligus memiliki keberanian untuk menolak UU Cipta Kerja dan berdiri bersama masyarakat untuk melawannya. “Supaya kasus korupsi ekspor lobster tidak terulang lagi, Menteri KP yang baru mesti betul-betul memiliki komitmen untuk bekerja untuk kepentingan masyarakat pesisir di Indonesia dan berkomitmen untuk melindungi dan memberdayakan mereka dengan kewenangan yang dimilikinya. KKP butuh nakhoda yang bisa membawa nelayan dan perempuan nelayan untuk berdaulat dan sejahtera, bukan makelar yang akan menjual habis sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia” pungkas Susan. (*)

 

 

Sepuluh syarat Menteri KP baru versi KIARA

 

  1. Berkomitmen mencabut berbagai Peraturan Menteri (Permen) yang bermasalah, salah satunya adalah Permen yang terkait ekspor benih lobster
  2. Bukan delegasi partai politik maupun tidak boleh aktif di partai politik
  3. Bukan dari kalangan perusahaan/pengusaha
  4. Bukan pelaku atau terlibat dalam praktik perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM
  5. Memiliki komitmen untuk menyelesaikan konflik agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
  6. Berani menjalankan mandat UU No.7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak garam
  7. Mendorong pengakuan identitas politik perempuan nelayan di Indonesia
  8. Berkomitmen untuk menegakkan kebijakan terkait larangan penggunaan alat tangkap yang merusak sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri KP No. 71 Tahun 2016
  9. Tidak memiliki konflik kepentingan dengan institusi lainnya
  10. Berani berdiri bersama masyarakat bahari menolak Omnibus Law (UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Menteri KKP Ditetapkan Sebagai Tersangka Korupsi PPNI: Sudah Saatnya KKP Merekonstruksi Kebijakan yang Berdaulat pada Nelayan dan Masyarakat Pesisir

Siaran Pers

Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)

 

Jakarta, 27 November 2020 – Pada tanggal 25 November pukul 23.45 WIB, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan tujuh orang tersangka kasus pemberi dan penerimaan dugaan suap benih lobster. Dari tujuh orang tersebut, beberapa diantaranya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan – Edhy Prabowo, dua Staff Khusus Menteri KP – Safri dan Andreau Pribadi Misata, Staff Istri Menteri KP – Ainuh Faqih, Amiril Mukminin, Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) – Siswadi, serta Suharjito sebagai Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP, pemberi suap).

 

Berdasarkan catatan KPK, Edhy Prabowo menerima suap dengan total Rp 4,8 Milliar, yang diberi dengan rincian Rp 3,4 Milliar dari PT ACK serta US$ 100.000 (setara Rp 1,41 Milliar) dari Suharjito (Direktur PT DPP). Tujuannya agar perusahaan Suharjito ditetapkan sebagai eksportir benih lobster melalui forwarder, PT Aero Citra Kargo (PT ACK). Perusahaan ini merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy Prabowo sebagai Menteri kelautan dan Perikanan. Sehingga, sejumlah perusahaan eksportir benih lobster harus menggunakan jasa PT ACK dengan tarif Rp 1.800 per benih.

 

Jika melihat dinamika yang terjadi pra dan pasca disahkannya Permen KP No.12 Tahun 2020, PPNI bersama KIARA telah mengingatkan serta mendesak KKP untuk tidak mengesahkan (pra) serta membatalkan (pasca) peraturan tersebut karena tidak disertai dengan kajian mendalam dari instansi terkait tentang status pemanfaatan benih dan lobster di WPPNRI yang sudah berwarna kuning dan merah, yang berarti sudah tidak layak untuk dieksploitasi. Desakan PPNI dan KIARA diperkuat dengan pernyataan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang telah mengingatkan bahwa kebijakan pemberian izin ekspor lobster ini terdapat banyak potensi kecurangan serta bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.

 

Fakta Temuan PPNI-KIARA

 

Untuk memenuhi syarat administrasi yang diberikan KKP, perusahaan pengekspor lobster melakukan praktik-praktik manipulatif dari sistem kemitraan dengan nelayan dan perempuan nelayan pembudidaya lobster. Dengan sistem kemitraan tersebut nelayan dan perempuan nelayan sangat dirugikan karena hanya dimanfaatkan untuk memenuhi syarat administrasi perusahaan.

 

Menyikapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal PPNI – Masnu’ah – menyebutkan bahwa “kebijakan ini sama sekali tidak menguntungkan dan hanya memanfaatkan nelayan dan perempuan nelayan pembudidaya lobster. Realita di lapangan, nelayan dan perempuan nelayan pembudidaya lobster hanya dijadikan alat untuk memuluskan langkah perusahaan untuk melengkapi persyaratan administrasi. Lebih jauh lagi, kebijakan ini juga terbukti tidak menguntungkan negara dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak. Negara hanya mendapatkan PNBP sebesar Rp250 dari 1000 benih lobster yang diekspor ke luar negeri” tegasnya.

 

Di lapangan terdapat sejumlah fakta yang sangat merugikan nelayan dan perempuan nelayan pembudidaya lobster, yaitu: pertama, perusahaan eksportir benih lobster membeli lobster ukuran konsumsi untuk dipindahkan ke keramba jaring apung (KJA) milik perusahaan dan diklaim sebagai keberhasilan dalam budidaya; kedua, perusahaan membeli lobster berukuran di atas 50 gram dari pembudidaya untuk dilepasliarkan di alam dan diklaim sebagai keberhasilan panen; ketiga, perusahaan juga mengklaim lahan KJA milik nelayan pembudidaya dan hasil panennya sebagai keberhasilan budidaya.

 

Masnu’ah mengatakan bahwa: “pihak yang diuntungkan hanyalah perusahaan yang mendapat rekomendasi ekspor. Bahkan, pihak yang paling diuntungkan adalah negara tujuan ekspor lobster, yaitu Vietnam. Hal tersebut karena Vietnam merupakan produsen utama budidaya lobster, dalam lalu lintas perdagangan lobster dunia. Setelah mencapai ukuran tertentu yang layak untuk dikonsumsi, Vietnam akan kembali menjual lobster tersebut dengan harga yang berpuluh-puluh lipat dan salah satu tujuan pasarnya adalah Indonesia.”

 

“Sampai kapan Indonesia hanya bergantung pada ekspor lobster tanpa berusaha membudidayakan lobster secara mandiri dan berbasis kepada masyarakat bahari. Dengan dianugerahi sumber daya perikanan yang melimpah, sudah saatnya Negara Indonesia menjadi aktor utama dalam pasar/perdagangan lobster global. Itu dapat terwujud jika pemerintah mendorong dan memberdayakan masyarakat dalam mengelola sumber daya perikanan yang ada di laut Indonesia. Toh itukan mandat dari UU No.7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak Garam yang ada di Indonesia”, tegas Masnu’ah.

 

Arah Kebijakan Tidak Jelas dan Pro-Korporasi

 

Pasca ditetapkannya Edhy Prabowo sebagai Menteri KKP, KKP telah semakin mendekat dengan investor dan pro kepentingan korporasi. Diawali dengan revisi Peraturan Menteri tentang ekspor lobster, pemberian izin penggunaan cantrang untuk beberapa kapal di laut Natuna, membuka impor garam serta ingin merevisi berbagai Peraturan Menteri KP yang salah satunya kembali melegalkan alat tangkap destruktif-eksploitatif.

 

Masnu’ah menambahkan bahwa regulasi yang tengah dibahas dan telah dikeluarkan oleh KKP di era Edhy Prabowo telah membuat satu kemunduran di sektor perikanan dan kelautan. Hal yang sama terkait tidak adanya transparansi ke publik terhadap arah kebijakan dan road map KKP di era menteri baru membuat langkah KKP semakin abu-abu dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat pesisir skala kecil. Hal tersebut bertentangan dengan semangat masyarakat bahari yang untuk tetap menjaga keberlangsungan sumber daya perikanan yang terkandung di laut Indonesia.

 

“Salah satu rencana revisi Permen KP yang digaungkan oleh KKP adalah terkait alat tangkap destruktif-eksploitatif. Rencana ini sangat memicu amarah kami sebagai nelayan dan perempuan nelayan kecil yang pernah sangat dirugikan dengan beroperasinya bom ikan, trawl, pukat dan sejenisnya. Basis-basis nelayan di berbagai tempat juga menolak adanya revisi peraturan menteri yang mengatur tentang menghidupkan kembali alat tangkap tersebut”, tegas Masnu’ah.

 

Masnu’ah juga menambahkan bahwa perempuan nelayan sangat terdampak terkait dengan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan KKP. “Sudah saatnya KKP mengubah arah dan orientasi kebijakannya untuk: pertama, segera mengutamakan keberlanjutan ekologi pesisir dan pulau-pulau kecil, kedua, mengakui dan menjalankan hak-hak masyarakat pesisir skala kecil dan tradisional yang telah di mandatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010, ketiga, memperkuat pengawasan dari implementasi Permen KP No. 71 Tahun 2016 dan membatalkan Permen KP No. 12 Tahun 2020. Sudah saatnya nelayan dan perempuan nelayan berpartisipasi aktif menjadi aktor utama dalam arah pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil!” tegas Masnu’ah. (*)

 

 

Informasi lebih lanjut:

Masnu’ah, Sekretaris Jenderal PPNI, +62 852-2598-5110