KIARA: Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2021 Rugikan Nelayan, Tapi Untungkan Pelaku Industri Skala Besar
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id
Jakarta, 13 April 2021 – Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan lima bulan usai UU No. 11 Tahun 2020 disahkan. Selain menerbitkan PP No. 27 Tahun 2021, Pemerintah juga menerbitkan dua PP yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan, yaitu PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Tiga PP tersebut, akan melahirkan aturan turunan berupa 18 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan serta tiga Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan.
Menyikapi hal ini, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyebut bahwa ketiga PP tersebut perlu dikritisi oleh masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. “PP No. 27 Tahun 2021 misalnya, memuat banyak pasal dan ayat yang menguntungkan pelaku industri besar tetapi pada saat yang sama merugikan nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam” ungkapnya.
Susan merinci sejumlah pasal dan ayat dalam PP No. 27 Tahun 2021 yang merugikan kehidupan nelayan, perempuan nelayan dan petambak garam sebagai berikut:
Pertama, banyak pasal dan ayat yang memudahkan impor komoditas perikanan dan pergaraman yang akan merugikan nelayan dan petambak garam nasional tetapi menguntungkan pelaku industri skala besar atau pengusaha besar. Pada pasal 276 ayat 1 dan ayat 2 disebutkan bahwa penerbitan persetujuan impor komoditas perikanan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dilakukan berdasarkan neraca komoditas perikanan. Lalu, penyusunan neraca komoditas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan data dan informasi rencana usaha yang disampaikan pelaku usaha untuk periode 1 (satu) tahun.
“Pasal ini menunjukkan bagaimana impor komoditas perikanan dapat dilakukan oleh pemerintah, khususnya kementerian perdagangan untuk memenuhi kepentingan pelaku industri skala besar atau pengusaha besar. Hal ini juga berlaku untuk komoditas pergaraman,” jelas Susan.
Kedua, banyak pasal dan ayat yang mendorong pembukaan kawasan perikanan budidaya skala besar yang akan merampas kawasan hutan mangrove yang telah menjadi kawasan green belt serta dikelola oleh nelayan dan perempuan nelayan. Dalam Pasal 39 Ayat 1 dan ayat 2 disebutkan bahwa dalam rangka optimalisasi pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan di seluruh wilayah perairan Indonesia, Pemerintah Pusat menetapkan WPPNRI. WPPNRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. WPPNRI di perairan Laut; dan b. WPPNRI di Perairan Darat.
“Pembagian WPPNRI menjadi perairan laut dan Perairan darat menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya apakah yang dimaksud dengan WPPNRI Laut itu berada di laut dalam, sementara WPPNRI darat itu di laut dangkal? Atau WPPNRI darat ini untuk mengakomodasi kepentingan perikanan budidaya skala besar?” tanya Susan.
Selain itu, di dalam pasal 39 disebutkan mengenai sumber daya ikan berkelanjutan, tetapi di pasal-pasal lain didorong eksploitasi terhadap sumber daya pesisir, kelautan, dan pulau-pulau kecil seperti mengubah kawasan inti konservasi untuk kepentingan proyek eksploitasi sebagaimana yang dalam proyek strategis nasional. “Konsep sumber daya ikan berkelanjutan menjadi tidak jelas dan kabur karena di dalam PP ini didorong eksploitasi besar-besaran,”. tambah Susan.
Pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut menjadi bukti bahwa PP No. 27 Tahun 2021 tidak ditujukan untuk membangun kehidupan nelayan, perempuan nelayan, dan petambak Indonesia, tetapi melayani kepentingan pengusaha besar. Hal ini sejalan semangat UU Cipta Kerja. Alih-alih menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, UU ini malah mendorong eksploitasi sumber daya alam, khususnya di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dan merampas kehidupan nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.
“Pada titik inilah, pemerintah tidak berdiri menjalankan mandat konstitusi untuk mendorong sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam hal pengelolaan sumber daya alam,” pungkas Susan. (*)
Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, 0821-1172-7050