KIARA: Kebijakan impor pangan Pemerintah hancurkan kedaulatan dan percepat krisis pangan
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id
Jakarta, 24 Mei 2021 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyampaikan kritik tajam kepada Pemerintah Indonesia yang memilih kebijakan impor pangan, yang jumlahnya terus mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Diantara komoditas yang terus diimpor dari negara lain adalah garam, dan sejumlah komoditas lainnya.
Pusat Data dan Informasi KIARA (2021) menyebut, impor garam secara kumulatif pada empat bulan pertama (kuartal) tahun 2021 tercatat sebanyak 379.910 ton atau naik 19,60 persen dibandingkan kuartal pertama tahun 2020 yang tercatat hanya sebanyak 317.642 ton. Realisasi impor tersebut naik 275 persen dari Februari 2021 yang hanya sebanyak 79.929 ton. Jika dibandingkan dengan periode yang sama dengan tahun sebelumnya, impor garam naik 54,02 persen, di mana pada Maret 2020 komoditas ini hanya 194.608 ton.
Menanggapi fakta ini, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan nasional. “Jika pemerintah Indonesia terus memilih impor sebagai kebijakan pemenuhan pangan nasional, maka kebijakan tersebut akan menghancurkan kedaulatan pangan sekaligus mempercepat krisis pangan dalam waktu dekat,” tegasnya.
Menurut Susan, impor garam di Indonesia semakin terus mengalami kenaikan dan tidak bisa ditinggalkan karena pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. “PP ini tidak berpihak terhadap kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan petambak garam Indonesia. Sebaliknya PP tersebut semakin mempermudah impor komoditas perikanan dan pergaraman yang selama ini hanya menguntungkan segelintir orang yakni pengimpor,” jelas Susan.
Selanjutnya, impor garam semakin dipermudah dengan disahkannya UU No. 11 tahun 202 tentang Cipta Kerja. Pada pasal 37 ayat 1 UU Cipta Kerja disebut bahwa Pemerintah Pusat mengendalikan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman. Lalu, pasal ini dijabarkan dalam PP No. 27 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perikanan dan Kelautan dan Perikanan pasal 289 yang menyebut tidak ada batasan waktu impor garam.
Menurut Susan, UU Cipta Kerja dan PP 27 tahun 2021 tetap mengizinkan impor garam, meskipun di Indonesia sedang berada pada musim panen garam. Pemerintah tinggal menyusun neraca pergaraman nasional di tingkat Kementerian Perekonomian. “UU Cipta Kerja dan PP 27 tahun 2021 semakin memperburuk masa depan kedaulatan pangan nasional, khususnya pergaraman Indonesia. Indonesia akan menjadi negara importir garam terbesar dan tergantung kepada negara lain,” imbuhnya.
Bagaimana dengan Nasib Petambak Garam Nasional?
Tingginya angka impor garam kuartal pertama tahun 2021 ini tak lepas dari keputusan Pemerintah Indonesia melalui rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 25 Januari 2021 lalu yang akan mengimpor garam sebanyak 3,07 ton.
Jika dilihat tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2017 pemerintah Indonesia telah mengimpor garam dari Australia sebanyak 2,29 juta ton. Lalu, pada tahun 2018, impor garam dari Australia mengalami peningkatan menjadi 2,6 juta ton. Pada tahun 2020, impor garam dari Australia tercatat sebanyak 2,22 juta ton.
Adapun dari China, pada tahun 2019, Pemerintah Indonesia mengimpor garam sebanyak 568 ton. Pada tahun 2020 impor garam dari China meningkat menjadi 1,32 ribu ton. Sementara itu, impor garam dari India tercatat sebanyak 719,55 ribu ton pada 2019. Pada tahun 2020 tercatat hanya 373,93 ribu ton.
“Angka-angka impor itu akan semakin besar jika datanya kita tarik semakin jauh ke belakang. Poin utamanya, sejak lama pemerintah Indonesia siapapun presidennya tidak memiliki perhatian untuk memperkuat petambak garam nasional,” ungkap Amin Abdullah, Dewan Presidium Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI).
Amin membantah klaim pemerintah yang menyebut produksi garam nasional tidak memadai untuk mejawab kebutuhan garam industri. Baginya, para petambak garam Indonesia telah mampu membuat garam berkualitas tinggi untuk kebutuhan industri. Bahkan pada saat musim hujan, mereka bisa memproduksi garam dengan jumlah ratusan ton.
Impor garam yang terus berulang setiap tahun membuktikan Pemerintah Indonesia telah gagal membangun kedaulatan pangan serta tak berpihak kepada petambak garam nasional. “Kebijakan impor garam ini menunjukkan politik pangan Pemerintah Indonesia yang hanya menguntungkan importir besar garam dan negara asing seperti Australia, China dan India,” kata Amin.
Amin mengkhawatirkan, kebijakan impor garam yang telah disahkan oleh UU Cipta Kerja dan PP 27 tahun 2021 ini akan terus membuat jumlah petambak garam semakin menyusut. Menurutnya, pada tahun 2012, jumlah petambak garam di Indonesia tercatat sebanyak 30.668 orang. Namun, di dalam dokumen statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir Indonesia tahun 2020, jumlah petambak tercatat hanya sebanyak 19.503 orang.
“Dalam waktu kurang dari 10 tahun, lebih dari 10 ribu orang yang tidak lagi berprofesi sebagai petambak garam akibat kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak berpihak kepada mereka. Pada masa yang akan datang, jumlah petambak garam di Indonesia akan terus menurun akibat kebijakan impor yang tidak menguntungkan kehidupan petambak garam,” pungkas Amin. (*)
Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050
Amin Abdullah, Dewan Presidium Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI), +62 818-0578-5720