Hari Nusantara 2021 KIARA: Potret Kehidupan Nelayan Tradisional Semakin Terancam Akibat Regulasi Pemerintah Pusat

Siaran Pers

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Hari Nusantara 2021 KIARA: Potret Kehidupan Nelayan Tradisional Semakin Terancam Akibat Regulasi Pemerintah Pusat

 

Jakarta, 13 Desember 2021 – Disetiap tanggal 13 Desember, masyarakat Indonesia
memperingati Hari Nusantara. Hari Nusantara memiliki makna yang mendalam bagi
penegasan dan pengakuan kedaulatan laut Indonesia. Kedaulatan Indonesia atas ruang
lautnya dicetuskan melalui Deklarasi Djuanda, deklarasi yang menyatakan kepada
dunia bahwa wilayah laut Indonesia adalah termasuk wilayah laut sekitar, diantara dan
di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa pada Hari Nusantara
2021, kehidupan nelayan yang menjaga dan meneruskan semangat Deklarasi Djuanda
saat ini semakin terancam dan tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
“KIARA mencatat hingga hari ini banyak nelayan dan perempuan nelayan menghadapi
ragam ancaman akibat dari berbagai regulasi yang tengah dan telah disusun oleh
Pemerintah Pusat yang tidak berpihak terhadap nelayan tradisional-kecil, khususnya
Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan dan Peraturan
Menteri,” ungkapnya.

Susan menjelaskan, salah satu sumber masalah regulasi yang dimaksud adalah UU No.
11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, atau yang lebih dikenal dengan omnibus law atau
UU CK. Narasi nelayan di dalam UU CK menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak
lagi mengakui identitas politik dari nelayan tradisional dan menempatkan statusnya
sama dengan pelaku usaha perikanan dalam skala yang lebih besar.

“UU Cipta Kerja merevisi ketentuan mendasar yang melekat pada nelayan kecil,
sehingga tidak ada ketentuan yang jelas antara nelayan kecil dengan nelayan besar.
Kriteria yang jelas terhadap nelayan kecil sangat penting karena terkait perlakuan
khusus untuk mereka, seperti berhak mendapat subsidi, modal, dan sebagainya dari
pemerintah. Nelayan kecil juga tidak diwajibkan memiliki izin karena menggunakan
alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan. Hal ini berpotensi menimbulkan
konflik baru karena nelayan besar juga dapat menikmati perlakuan khusus yang selama
ini hanya diberikan terhadap nelayan kecil,” tegas Susan.

UU CK memiliki berbagai regulasi turunannya. Salah satunya adalah PP No. 85 Tahun
2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. PP ini akan memungut tarif PNBP praproduksi (sebelum berlayar/melaut) sebesar 5% kepada para pelaku perikanan yang
ukuran kapalnya mulai dari 5 gross ton (GT). PP ini juga mengakomodir kepentingan
untuk melakukan eksploitasi dan perampasan ruang secara terstruktur melalui tarif atas
jenis PNBP yang berasal dari reklamasi dan tambang pasir.

“Seharusnya, negara menargetkan pungutan PNBP perikanan ini kepada para pelaku
perikanan skala besar, yang menggunakan kapal di atas 10 GT. Nelayan tradisional dan
nelayan kecil yang menggunakan kapal di bawah 10 GT sudah seharusnya dibebaskan
dari pungutan PNBP. Terkait dengan reklamasi dan tambang pasir yang hari ini seolaholah dilegalkan melalui PNBP menambah penderitaan nelayan yang terjadi di pesisir
dan pulau-pulau kecil. Salah satu contohnya adalah perampasan wilayah tradisional
nelayan dan kriminalisasi yang terjadi akibat pertambangan pasir di perairan
Spermonde untuk menyuplai kebutuhan reklamasi Makassar New Port,” tegas Susan.

Regulasi turunan lainnya yang saat ini sedang disusun oleh Pemerintah Pusat dalam hal
ini Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah Rancangan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) tentang Penangkapan Ikan Terukur. Rancangan
Kepmen KP tersebut akan membatasi penangkapan ikan di perairan Indonesia dengan
sistem kuota tangkapan ikan (catch limit). Di dalam rancangan tersebut, 11 WPP-NRI
akan dibagi menjadi tiga (3) zona yaitu 1). zona fishing industry (di 6 WPP-NRI); 2).
zona nelayan lokal (di 4 WPP-NRI); dan 3). zona spawning and nursery (di 1 WPPNRI).

Susan menjelaskan, “rancangan regulasi ini hanya akan memfasilitasi kepentingan
investasi perikanan skala industri dalam target mengenjot PNBP semata. Selain itu juga
akan melanggengkan ketidakadilan, serta mendorong nelayan tradisional dan atau
nelayan skala kecil berkompetisi dengan kapal-kapal besar di perairan Indonesia.
Bagaimana mungkin di dalam rancangan Kepmen KP ini ada sistem konsesi hingga 20
tahun seperti yang terjadi di industri ekstraktif pertambangan? Sistem konsesi akan
sangat berdampak bagi ekosistem perikanan karena akan melegalkan privatisasi
penguasaan sumber daya perikanan dalam jangka waktu panjang bagi pemilik modal
besar dan/atau oligarki disektor perikanan”.

Berbagai regulasi yang tengah dan telah disusun, imbuh Susan, tidak berujung pada
perlindungan ruang hidup lebih dari 2,5 juta nelayan di Indonesia yang sangat
bergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan. KKP seharusnya merumuskan
kebijakan yang berpihak bagi kehidupan nelayan tradisional-kecil yang jumlahnya lebih
dari 90 persen dari seluruh pelaku perikanan di Indonesia. Regulasi tersebut akan
semakin memperburuk keberlanjutan dan kelestarian ekosistem serta sumber daya
kelautan dan perikanan di tengah terjadinya krisis iklim di Indonesia.

“Alih-alih melindungi kehidupan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, KKP
justru melindungi kepentingan bisnis para investor yang ingin menguasai sumber daya
kelautan dan perikanan Indonesia. Pada titik inilah regulasi yang tengah dan telah
disusun oleh KKP harus dievaluasi secara mendasar dan mendalam. Sangat perlu untuk
ditegaskan ulang bahwa nelayan tradisional-kecil adalah rights holder (pemegang hak)
sumber daya kelautan dan perikanan, Artinya, negara khususnya para pemangku
kebijakan mengkhianati Deklarasi Djuanda yang menjadikan laut sebagai lading
investasi tanpa mempertimbangkan relasi nelayan dan perempuan nelayan yang
holistik” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati,  Sekretaris Jenderal KIARA, 0821-1172-7050

Fickerman,  Staff Program KIARA, +62 823-6596-7999

Muhammad AK,  Deputi Advokasi dan Program KIARA, +62 821-9174-8798

Nibras Fadhlillah,  Monitoring dan Evaluasi KIARA, +62 822-2658-3640