Hari Nusantara 2022. KIARA: Ironi Bangsa Bahari, Pemerintah Obral Murah Pulau-Pulau di Indonesia
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Hari Nusantara 2022.
KIARA: Ironi Bangsa Bahari, Pemerintah Obral Murah Pulau-Pulau di Indonesia
Jakarta, 13 Desember 2022 –Indonesia memperingati hari nusantara setiap tanggal 13 Desember dan menjadikan hari ini sebagai momentum kemenangan bangsa dan kedaulatan bangsa atas ruang hidupnya (baca: laut). Namun, ironi bangsa bahari terus menciderai makna dari hari nusantara itu sendiri dengan maraknya penjualan pulau-pulau di Indonesia.
Pada 23 November 2022, publik dunia disuguhkan dengan berita dilelangnya Gugus Kepulauan Widi, yang berlokasi di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Lelang tersebut akan dilakukan secara online di Sotheby’s Concierge Auctions. Penawar diharuskan melakukan deposit sebesar US$ 100.000 untuk membuktikan keseriusan. Website Sotheby’s berbasis di Amerika Serikat dan fokus pada penjualan serta bisnis tanah dan properti.
Kepulauan Widi dengan luas 130,16 km² dikelola oleh PT Leadership Island Indonesia (PT LII). Dasar hukum pengelolaan Kepulauan Widi adalah nota kesepahaman antara Gubernur Maluku Utara (KH. Abdul Gani Kasuba), Bupati Halmahera Selatan (Muhammad Kasuba), serta perwakilan PT LII (Natalia Nari Cahterine, CEO) yang ditandatangani di 2015. Nota kesepahaman 3 belah pihak tersebut berisi bahwa PT LII diberikan hak untuk mengelola Kepulauan Widi selama 35 tahun, dan setelah itu akan ditinjau kembali.
Modus operandi yang digunakan dalam penjualan Kepulauan Widi tersebut adalah PT LII akan melakukan pelelangan akuisisi sahamnya secara online melalui situs Sotheby’s Concierge Auctions. Sehingga pemegang saham baru hasil akuisisi dapat langsung mengelola gugus Kepulauan Widi secara penuh.
Menyikapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa praktik penjualan pulau seperti yang terjadi di Kepulauan Widi merupakan bentuk pengkhianatan kepada konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan salah satu aturan turunannya yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA).
“Sudah jelas disebutkan dalam UUD 1945, di Pasal 33 ayat (3) bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan negara harus mempergunakannya untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Artinya, tujuan pengelolaan sumber daya alam, terutama dalam konteks ini kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, adalah untuk kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran individual satu orang atau sekelompok orang. Sangat mengecewakan bagi seluruh nelayan jika korporasi bisa mengelola pulau-pulau kecil hanya berdasarkan nota kesepahaman, sedangkan nelayan lokal bersama masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil masih dihalang-halangi untuk mendapatkan hak atas tanahnya,” tegas Susan.
Susan menambahkan bahwa di dalam UU Pokok Agraria juga disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik, dan hak pakai atas tanah di Indonesia. “UU PA dengan semangat nasionalisme jelas memandatkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang memiliki hak milik dan hak pakai di seluruh tanah dan kepulauan Indonesia. Hal itu juga dipertegas dalam UU No. 1 Tahun 2014 perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tegas Susan.
KIARA juga mengecam aktor-aktor yang terlibat sehingga terciptanya nota kesepahaman dan yang memberikan ruang kepada PT LII untuk mengelola Gugus Kepulauan Widi secara privat. “KIARA juga mengecam pertemuan awal Desember yang dilakukan oleh Direktorat Toponimi dan Batas Daerah Kemendagri yang memfasilitasi pertemuan antara Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dengan PT. Leadership Islands Indonesia (LII), di Kota Ternate yang menghasilkan Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Pemprov Maluku Utara, Pemkab Halmahera Selatan dan PT. LII, berisi kesepakatan untuk mempedomani dan mencermati tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak terkait pengembangan dan pengelolaan pariwisata di kawasan cagar alam Kepulauan Widi,” tegas Susan.
KIARA mencatat bahwa gugus perairan Kepulauan Widi merupakan wilayah tangkap nelayan tradisional yang berada di Kabupaten Halmahera Selatan. “Karakteristik nelayan tradisional adalah memanfaatkan wilayah perairan di pulau-pulau kecil untuk melakukan penangkapan ikan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan serta menangkap ikan sesuai dengan kebutuhannya saja. Dan menggunakan daratan pulau-pulau kecil untuk beristirahat, memperbaiki alat tangkap dan berlindung ketika gelombang tinggi sewaktu melaut. Sudah jelas pemanfaatan ruang nyatanya telah ada di perairan Kepulauan Widi untuk melakukan penangkapan ikan dan hal tersebut sesuai Perda No. 2 Tahun 2018,” jelas Susan.
KIARA berharap Pemerintah Pusat untuk memberantas dan menindak tegas penjualan pulau-pulau kecil dengan berbagai modus operandi seperti yang dilakukan oleh PT LII. “KIARA berharap tidak terjadi lagi privatisasi yang berkedok ecotourism seperti yang terjadi di Pulau Pari – Kepulauan Seribu DKI Jakarta, Pulau Sangiang – Banten dan kasus yang terakhir Kepulauan Widi. Pemerintah harus menjalankan mandat dari konstitusi UUD 1945, UU PA, UU PWP3K serta Putusan MK No. 3 Tahun 2010 untuk mengedepankan hak atas pengelolaan ruang di pesisir dan pulau-pulau kecil kepada nelayan tradisional, masyarakat lokal, tradisional dan adat,” pungkas Susan. (*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502