PNBP Perikanan Tangkap KKP 1,2 T. KIARA: Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional Belum Berdaulat dan Sejahtera.
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
PNBP Perikanan Tangkap KKP 1,2 T,
KIARA: Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional Belum Berdaulat dan Sejahtera.
Jakarta, 5 Januari 2023 – Pada akhir Desember 2022, tepatnya 26 Desember, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) KKP mencapai Rp.1,79 triliun. Nilai tersebut terdiri dari Rp.1,1 triliun dari sumber daya perikanan, Rp.611,8 miliar dari non-SDA, dan Rp.44,3 miliar dari Badan Layanan Umum (BLU). Khususnya, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP menyebut bahwa capaian PNBP sektor perikanan tangkap sebesar Rp.1,26 triliun.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa klaim keberhasilan peningkatan PNBP Perikanan Tangkap KKP tersebut harus disertai dengan keterbukaan data yang digunakan secara detail, terutama nilai produksi perikanan tangkap laut serta jenis armada kapal yang digunakan, apakah kapal di bawah 10 GT, antara 10 sampai 30 GT dengan kewenangan pemerintah daerah provinsi, atau di atas 30 GT dengan kewenangan pemerintah pusat.
“Transparansi data secara terbuka, rinci dan menyeluruh sangat dibutuhkan oleh seluruh pihak untuk memberikan input kepada KKP, terutama dalam hal PNBP sektor KKP. Berapa volume dan nilai produktivitasnya serta aktor pelakunya? Sehingga data tersebut terbuka dan tranparan kepada publik, bukan data sementara maupun data sangat sementara,” ungkap Susan.
Selanjutnya, Susan menyampaikan kepada KKP untuk tidak terjebak dalam euforia PNBP karena hasil akhir dari PNBP tersebut harus kembali kepada nelayan tradisional untuk pemberdayaan dan perlindungan nelayan. “Data yang diungkapkan oleh Dirjen DJPT, jika ditelaah dan dilihat dari Laporan Kinerja DJPT Triwulan I-III, kami melihat bahwa terdapat perbedaan. Berdasarkan Laporan Kinerja DJPT Triwulan I-III tersebut, total realisasi jumlah produksi perikanan tangkap di laut sebesar 5,69 juta ton, sedangkan data yang disampaikan oleh Dirjen Perikanan Tangkap sebesar 5,96 juta ton. Hal tersebut perlu dikoreksi oleh DJPT KKP sehingga tidak ada kekeliruan data yang diterima masyarakat,” tegas Susan.
KIARA masih menyoroti berbagai kendala yang dialami oleh nelayan tradisional dalam melakukan produktivitasnya serta klaim keberhasilan PNBP. Pertama, nelayan masih kesulitan dalam akses BBM. Akses tersebut dalam hal ketersedian BBM di pesisir dan pulau-pulau kecil hingga kenaikan harga BBM yang tidak disertai dengan kenaikan harga ikan yang dijual ole nelayan.
Kedua, nelayan masih berjuang dalam mempertahankan ruang produksinya dari industri ekstraktif yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa contoh diantaranya adalah privatisasi pulau tengah yang berdampak dilarangnya nelayan untuk melintas dan melakukan aktivitas produksinya di perairan Pulau Tengah, Gugusan Pulau Pari. Privatisasi Pulau Pari dan Pulau Sangiang oleh korporasi industri pariwisata. Masuk dan beraktivitasnya cantrang di wilayah perairan tradisional nelayan Pulau Masalembu yang merusak ruang produksi nelayan tradisional Masalembu, alih fungsi perairan tangkap nelayan menjadi pelabuhan pertambangan nikel di Desa Sukarela Jaya, Pulau Wawonii, serta berbagai hal lainnya yang belum tereskpos ke publik.
Ketiga, krisis dan bencana iklim yang tengah dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Banjir rob tengah terjadi di Teluk Jakarta, pantai utara jawa (pantura), pulau-pulau kecil NTT (Pulau Flores, Pulau Alor, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Timor dan Pulau Rote), pesisir Pallameang Kab. Pinrang Sulawesi Selatan dan lain sebagainya.
Keempat, KKP hanya fokus terhadap upaya peningkatan PNBP di sektor perikanan dan kelautan, sedangkan pertumbuhan perekonomian nelayan tradisional masih belum dirasakan oleh nelayan itu sendiri. “Jika melihat data jumlah kapal yang beroperasi di Indonesia, didominasi oleh nelayan tradisional dan kecil hingga kapal di bawah 30 GT, seharusnya pemerintah memprioritaskan pertumbuhan dan peningkatan perekonomian nelayan tradisional dan kecil, bukan memberikan karpet merah terhadap investasi dan ekstraksi sumber daya perikanan kepada korporasi perikanan tangkap,” jelas Susan.
“Peningkatan perekonomian masyarakat bahari khususnya nelayan tradisional melalui perlindungan ekologi dan ruang produksi nelayan, pemberdayaan dan peningkatan kapasitas serta alat produksi nelayan seharusnya menjadi fokus utama yang diprioritaskan KKP. Tidak mengutamakan investasi yang akan mengeruk dan meminggirkan nelayan tradisional atas nama peningkatan PNBP. Pemerintah sudah saatnya kembali menjalankan mandat konstitusi terutama untuk menyejahterakan nelayan sebagai rightholder dan tuan atas laut dan pulaunya,” pungkas Susan. (*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502