Merampok Sumber Daya Laut; Poros Maritim Palsu. Catatan Kritis Sekretariat Nasional KIARA atas Terbitnya PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Merampok Sumber Daya Laut; Poros Maritim Palsu
Catatan Kritis Sekretariat Nasional KIARA atas Terbitnya PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut
Jakarta, 31 Mei 2023 – Pada tanggal 15 Mei 2023, Presiden Joko Widodo kembali menetapkan dan mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dengan adanya PP No. 26 Tahun 2023 semakin menunjukkan watak asli pemerintah dalam melihat sumber daya kelautan yang hanya bercorak ekstraktif dan eksploitatif tetapi dibungkus dengan dalih melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Menanggapi penetapan PP Pengolahan Hasil Sedimentasi di Laut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa PP ini adalah wujud nyata gagalnya konsep poros maritim yang digencarkan oleh Presiden Jokowi. “Inilah bukti kepalsuan dari poros maritim, karena PP ini hanya akan merampok sumber daya laut. Beban kerusakan lingkungan akan dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir yang sangat bergantung dengan sumber daya kelautan dan perikanan. Pemerintah hanya berorientasi untuk penambahan pemasukan negara yang mengharapkan peningkatan pendapatan negara, tapi disisi lain tidak menghitung secara mendalam bahwa akan terjadi kerusakan sumber daya kelautan yang akan terjadi jika PP ini dijalankan,” tegas Susan.
Rignolda Djamaluddin sebagai Ketua Presidium KIARA danjuga Direktur dari KELOLA menegaskan bahwa terdapat berbagai problematika mendasar dalam materiil PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Catatan KIARA terhadap PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut adalah sebagai berikut: Pertama, lahirnya PP No. 26 Tahun 2023 mencabut Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Jika dilihat dari terminologinya, Pemerintah Pusat menganggap bahwa pasir laut yang berada di wilayah pesisir merupakan hasil sedimentasi sehingga harus ada pengendalian untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut. “Telah jelas disebutkan dalam Pasal 1 bahwa PP ini hanya akan melegalkan penambangan pasir di laut dengan dalih pengendalian untuk mengurangi sedimentasi di laut,” tegas Susan.
Kedua, PP ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 yang diubah menjadi UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Dalam UU No. 27 Tahun 2007, sudah jelas melarang praktik-praktik pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bahkan terdapat Putusan MA No. 57 P/HUM/2022 terkait dengan RTRW Kab. Konawe Kepulauan yang juga dalam pertimbangannya melarang adanya pertambangan di pulau kecil,” tegas Eti Oktaviani yang merupakan anggota Presidium KIARA sekaligus Direktur LBH Semarang.
Ketiga, Pemerintah memandang pasir laut sebagai komoditas yang dapat dioptimalkan untuk kepentingan pembangunan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 dan Pasal 9. “Implementasi dari pengelolaan hasil sedimentasi di laut akan digunakan sebagai materi utama berbagai proyek reklamasi yang telah dilegalisasi melalui Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah disahkan di 28 provinsi. Jika dibedah secara merinci, 28 Perda RZWP-3-K akan memberikan ruang terhadap berbagai proyek reklamasi dengan total luasan 3.506.653,07 hektar area,” jelas Susan.
Keempat, pemanfaatan eksploitasi pasir laut akan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan untuk ekspor. “Ekspor pasir laut telah dilarang sejak tahun 2007, hal tersebut agar tidak mengulangi kesalahan yang sama karena eksploitasi pasir laut yang dilakukan semakin tidak terkendali dan lebih menguntungkan aktor-aktor tertentu. Bagaimana lagi dengan dibukanya keran ekspor untuk pasir laut, hal ini hanya akan menambah derita nelayan dan masyarakat yang akan terdampak sebagai pihak yang dikorbankan untuk kepentingan eksploitasi sumber daya kelautan, yaitu pasir laut,” jelas Susan.
Kelima, mekanisme sanksi di dalam PP No. 26 Tahun 2023 dilakukan dengan pendekatan sanksi administrasi. “Sanksi adminitrasi tidak akan membuat efek jera, melainkan akan memberikan waktu dan ruang bagi investor untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Hal tersebut telah terjadi di Pantai Minanga yang telah direklamasi dan pelaku usaha diberikan sanksi administrasi tetapi mereka tetap beroperasi hingga saat ini. Pemerintah memberikan sanksi yang tegas untuk memberikan efek jera,” jelas Susan.
KIARA mencatat bahwa PP No. 26 Tahun 2023 bertentangan dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 yang secara jelas melarang aktivitas pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil. KIARA memproyeksikan implementasi PP No. 26 Tahun 2023 akan bertentangan dengan Putusan MK No. 3 Tahun 2010 dan Putusan MA No. 57 P/HUM/2022. “Legalisasi eksploitasi pasir laut akan semakin mengancam keberlanjutan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang kini sedang berjuang melawan krisis iklim. Pulau-pulau kecil akan masif terancam tenggelam jika PP ini tidak dievaluasi dan dicabut. Pemerintah seharusnya menjamin kehidupan nelayan dan ruang-ruang produksinya serta keberlanjutan ekosistem pesisir, bukan merampok sumber daya alam mereka,” pungkas Susan. (*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502