Open Recruitment KIARA 2024

Open Recruitment KIARA 2024

 

Tentang Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)  

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri di Yogyakarta pada tanggal 2 Oktober 2002. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh 9 lembaga atau organisasi masyarakat sipil yang memiliki fokus dan perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan. 

Sejak awal berdiri, KIARA berkomitmen untuk memperjuangkan dan memperkuat pengelolaan sumber daya pesisir dan laut sebagai bentuk kedaulatan masyarakat yang tinggal secara turun temurun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar memperoleh pengakuan, perlindungan dan kesejahteraan hidup yang layak dari Pemerintah Republik Indonesia. 

Kami membuka kesempatan untuk bergabung sebagai :

Field Officer  

 

Tugas dan Tanggung Jawab: 

  • Berkoordinasi dengan Program Manajer, dan Project Officer untuk menjalankan program dan kegiatan yang akan dilakukan. 
  • Mengelola dan menjalankan kegiatan yang akan dilakukan pada target area di wilayah Jawa Tengah; 
  • Mendukung kegiatan pelatihan atau pertemuan; menghubungi komunitas, menyediakan perlengkapan teknis, dll. 
  • Memfasilitasi dan memastikan berjalannya aktivitas bersama pihak-pihak terkait 
  • Menyelesaikan penyampaian laporan mingguan dan bulanan. 
  • Memelihara basis data laporan internal melalui koordinasi dengan Program Manajer dalam hal penyerahan dokumen dan laporan secara tepat waktu dan lengkap termasuk Kerangka Acuan Kerja, Back to Office Report, Monitoring Tool, dan lain-lain. 
  • Menyusun rencana pemantauan dan secara berkala diperbaharui sesuai dengan jadwal kegiatan dan pelaksanaan program. 
  • Melakukan pengumpulan data secara teratur termasuk formulir pemantauan, formulir evaluasi, dan lain-lain, selama pertemuan internal atau kegiatan yang dilaksanakan oleh tim program untuk mengidentifikasi kemajuan kegiatan. 
  • Menjaga hubungan baik dengan mitra internal dan eksternal untuk mendapatkan keterlibatan mereka.  
  • Melakukan pemantauan setiap kegiatan, mengidentifikasi masalah selama pelaksanaan program dan memberikan saran serta tindakan perbaikan.  

 

Objektivitas  

  • Field Officer bertanggungjawab melakukan identifikasi, persiapan, dan pengelolaan aktivitas di lapangan sesuai dengan rencana kerja. Field Officer akan mengerjakan tugas-tugas teknis berupa implementasi di lapangan dan melaporkan kepada Project Manajer dan Project Officer. 
  • Field Officer berperan memfasilitasi, mengkoordinasi, dan berkolaborasi bersama masyarakat dan para pihak. 
  • Area cakupan kerja adalah Provinsi Jawa Tengah, di Kabupaten Kendal, Demak, dan Jepara.  

Kompetensi: 

  • Jenjang pendidikan S1 (ilmu sosial atau bidang terkait lainnya), atau memiliki kualifikasi yang setara. 
  • Memiliki pengalaman bekerja bersama masyarakat pesisir di wilayah Jawa Tengah, khususnya Kendal, Demak dan Jepara. 
  • Memiliki pengetahuan yang baik tentang isu lingkungan, perikanan kelautan serta dinamika sosial masyarakat pesisir. 
  • Memiliki kemampuan analitis, berpikir objektif dan kritis. 
  • Memiliki kemampuan manajemen waktu serta kemampuan komunikasi tertulis dan lisan yang baik. 
  • Memiliki kemampuan komputer yang baik, terutama MS Office, Excel, dan lainnya. 
  • Memiliki kemampuan interpersonal dan komunikasi yang baik serta mampu bekerja secara individu maupun tim. 
  • Pengalaman dan keterampilan sebelumnya dalam melakukan penelitian, dan/atau menggunakan program database untuk entri data, analisis, dan pelaporan merupakan keuntungan. 

 

Tenggat Waktu: 

  • Silakan kirimkan Resume dan Curriculum Vitae (CV) lengkap Anda dengan subjek “Field Officer KIARA” ke seknas@kiara.or.id
  • Batas pendaftaran hingga 24 Januari 2024 
  • Hanya kandidat terpilih yang akan dihubungi lewat telepon dan/atau e-mail untuk mengikuti proses seleksi selanjutnya. 

 

Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KIARA: Menjadi Alat Perampas Tanah dan Mengorbankan Warga Pesisir!

Siaran Pers 

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) 

www.kiara.or.id 

Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KIARA: Menjadi Alat Perampas Tanah dan Mengorbankan Warga Pesisir!

 

Jakarta, 12 Januari 2024 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” pada Kamis, 11 Januari 2024 di Ke:Kini yang berlokasi di Jalan Cikini Raya No. 45, Cikini, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Diskusi publik tersebut menghadirkan Susan Herawati selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA, Rizky Hakim selaku Koordinator Agrarian Resource Center (ARC) dan juga 2 perwakilan warga Pulau Rempang. 

 

Menurut Rizky Hakim, agenda diskusi yang mengangkat tema militerisme di pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi topik yang penting untuk diketahui publik. Dalam perkembangannya di Indonesia, militer sebagai salah satu lembaga negara yang menurut Harvey adalah bagian dari kekuatan koersif negara untuk mengamankan atau melancarkan proses akumulasi, justru merupakan aktor akumulasi kapital dan menjadi entitas yang terpisah dengan peran negara sebagai pemberi legitimasi atas proses akumulasi kapital. Militer sebagai bagian dari negara, dengan sifat koersifnya digunakan untuk mengamankan atau melancarkan proses akumulasi kapital dalam konteks neo-liberal sebagai akumulasi melalui penjarahan (Accumulation by Dispossesion, AbD).  

 

“Keterlibatan sebagai aktor akumulasi merubah militer menjadi kelas kapitalis, yang dalam prosesnya mengintervensi sejumlah lembaga negara untuk legitimasi atas akumulasi kapital yang dilakukannya. Salah satu contohnya terjadi di pesisir pantai Urutsewu yang merupakan lahan yang digunakan dan kuasai oleh masyarakat secara turun-temurun untuk kegiatan pertanian. Masyarakat memiliki bukti awal kepemilikan tanah (data fisik dan data yuridis) seperti Latter C ataupun Buku Tanah. Hanya saja, sejak tahun 1998 TNI/AD mengklaim lahan tersebut dalam bentuk pemetaan lahan sepihak. Di samping TNI/AD berupaya untuk mendapatkan legitimasi penguasaan lahan di Pesisir pantai Urutsewu dari sejumlah lembaga negara, pada tahun 2008 TNI/AD menerima permintaan dari salah satu korporasi untuk memanfaatkan lahan Pesisir pantai Urutsewu untuk kegiatan bisnis tambang pasir besi,” ungkap Rizky. 

 

Wilayah lain yang menjadi contoh militerisme adalah Pulau Rempang. Aparat TNI-Polri memaksa dan berhasil masuk ke wilayah tempat tinggal warga Rempang. “Di Pasir Panjang, TNI dan Polisi menjadi aktor yang digunakan untuk pemematokan lahan dan rumah warga. Sedangkan di Sembulang TNI dan Polisi bertugas mendampingi dan mengamankan PT MEG dalam pematokan lahan warga. Selain untuk pematokan lahan, terjadi juga tindakan represif dari aparat ke warga yang menolak pematokan lahan tersebut, bahkan anak sekolah juga menjadi korban.

Masuknya aparat militer dan polisi tersebut setelah Rempang dijadikan sebagai Proyek strategis nasional untuk pembangunan industri Rempang Eco-City. Proyek itu mencoba merampas tanah-tanah kami dan meminta kami pindah dari tanah nenek moyang kami,” jelas perwakilan warga Rempang. 

 

Merespon hal tersebut, Susan Herawati menyebutkan bahwa masuknya militerisme di pesisir juga disertai dengan implikasi seperti penguasaan, hingga kekerasan untuk mengintervensi dan mengintimidasi masyarakat pesisir yang menolak perampasan dan pengalihfungsian tanah di wilayah mereka. “Militer sebagai alat pertahanan negara seharusnya tegak lurus dalam tugas pokok untuk menjaga wilayah pertahanan negara. Akan tetapi militer acapkali keluar dari tugas pokok tersebut dan menginfiltrasi kehidupan masyarakat umum. Keluarnya militer dari barak digunakan sebagai alat untuk memuluskan penggusuran, relokasi, pengamanan di objek vital nasional, proyek strategis negara bahkan mengamankan masuknya perusahaan ke lahan-lahan masyarakat yang dijadikan sebagai lokasi tambang, pariwisata premium dan juga industri,” jelas Susan. 

 

KIARA mencatat bahwa salah satu kebijakan yang melegalisasi perampasan tanah untuk militerisme di pesisir dan pulau-pulau kecil adalah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). “Sejak tahun 2017 hingga 2022, KIARA mencatat bahwa telah terdapat 28 RZWP-3-K yang telah disahkan, dan terdapat 14 provinsi yang melegitimasi alokasi ruang untuk berbagai aktivitas militerisme dengan total luasan 2.580.132,76 ha. Besarnya luasan tersebut sangat jauh berbeda dengan pengakuan ruang-ruang pengelolaan masyarakat, seperti pemukiman nelayan hanya 1.227,03 ha,” tegas Susan. 

 

Militerisme juga saat ini dapat kita saksikan merasuk di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai Kementerian/Lembaga negara di Indonesia yang mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa posisi strategis di KKP saat ini diisi oleh personel TNI-Polri yang masih aktif. KIARA mencatat jabatan di KKP yang saat ini dipegang oleh personel TNI-Polri adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) KKP diisi oleh anggota Polri, Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) diisi oleh anggota Polri, dan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) diisi oleh anggota TNI AL Dari beberapa kasus kelautan dan perikanan yang ditangani KIARA, keberadaan para personel TNI-Polri ini tidak menghadirkan proses law enforcement yang jelas dan tegas untuk penyelamatan lingkungan pesisir dan laut dan keberpihakan pada kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir, tetapi membantu memuluskan berbagai investasi yang mengancam keberlanjutan lingkungan laut dan perairan.

 

KIARA mendesak pemerintah untuk menjadikan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai wilayah perlindungan masyarakat pesisir dan ruang mereka harus diakui karena mereka adalah right holders atas pesisir dan pulau-pulau kecil. “Sudah saatnya pengakuan atas kedaulatan pengelolaan masyarakat atas ruangnya diakui oleh pemerintah, bukan menerapkan militerisme sebagai alat untuk merampas ruang-ruang masyarakat dipesisir dan pulau-pulau kecil,” pungkasnya. (*) 

 

 

Informasi Lebih Lanjut 

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502 

Tahun Baru & Pemilu 2024, Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres & Cawapres

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

Tahun Baru & Pemilu 2024, Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres & Cawapres

 

Jakarta, 4 Januari 2024 – Menjalani awal tahun 2024 menandai bahwa puncak kontestasi Pemilihan Umum (PEMILU) 2024 akan segera terlaksana di 14 Februari 2024. Terdapat 3 kandidat yang telah resmi sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Pada Oktober 2023 ketiga kandidat tersebut telah mengeluarkan dokumen visi dan misi yang menjadi panduan mereka jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. 

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyebutkan bahwa KIARA telah melakukan review terhadap 3 dokumen visi dan misi ketiga kandidat tersebut. “KIARA melihat bahwa ketiga kandidat melalui dokumen visi misi tersebut masih terjebak dalam pusaran misi ekonomi biru/blue economy sebagaimana yang telah dijalankan pemerintah saat ini. Padahal konsep ekonomi biru yang dijalankan saat ini berasal dari cara pikir lembaga keuangan global, bukan seperti yang diungkapkan oleh Gunter Pauli sebagai penggagas aslinya,” ungkap Susan.

 

Berdasarkan dokumen visi misi ketiga kandidat tersebut, terdapat beberapa catatan KIARA yaitu sebagai berikut: pertama, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir khususnya nelayan, terutama hak atas pengakuan dan perlindungan ruang kelola darat dan lautnya sebagai satu kesatuan. “Evaluasi atas rezim Presiden Jokowi selama dua periode masa pemerintahannya terlihat sangat minim pengakuan atas ruang pengelolaan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini berbanding terbalik dengan akomodasi atas investasi terhadap ruang oleh rezim tersebut. Masyarakat adat dan komunitas lokal harus menghadapi realita  perampasan atas ruang pengelolaan mereka untuk berbagai industri dan investasi melalui kebijakan pusat maupun daerah. Hal tersebut bisa dilihat di Pulau Rempang, Pulau Wawonii, Gugus Kepulauan Spermonde, Pulau Sangiang hingga Pulau Pari dan Muara Angke sebagai wilayah yang paling dekat dengan istana,” jelas Susan.

 

Kedua, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan dan pengakuan perempuan yang berprofesi sebagai nelayan, baik produksi maupun pasca-produksi. “KIARA mencatat terdapat 3,9 juta perempuan yang terlibat dalam rantai produksi produksi perikanan, sedangkan KKP di tahun 2023 mencatat bahwa terdapat 3,6 juta perempuan nelayan yang menjadi penggerak rantai produksi perikanan, sedangkan yang telah menerima kartu Kusuka hanya sekitar 15 ribu perempuan nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa ada gap yang besar antar jumlah existing perempuan yang nelayan yang terlibat dalam rantai produksi perikanan dengan jaminan perlindungan melalui kartu kusuka. Hal ini juga menjadi indikator bahwa pengakuan perempuan atas identitas profesi nelayan juga masih sangat minim. Potret buruk krisis pengakuan identitas tersebut juga tidak ditangkap oleh kandidat Capres dan Cawapres dalam dokumen visi misi mereka,” tegas Susan. 

 

Ketiga, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya dijadikan sebagai obyek tempatnya masuknya industri, baik melalui konsep ekonomi biru (blue economy), seperti karbon biru (blue carbon), penangkapan ikan terukur, industri maritim dan jasa maritim, industri budidaya (komoditas perikanan unggulan), pariwisata, transisi energi, maupun industri SDA konvensional. “Berbagai industri yang dicanangkan melalui konsep blue economy dalam ketiga visi misi Capres Cawapres tersebut memperlihatkan bahwa cara pandang melihat pesisir dan pulau-pulau kecil masih terjebak dengan konsep ekstraktivisme dan bahkan bias darat. Pesisir dan pulau kecil masih dijadikan sebagai objek ekstraktivisme tanpa melihat secara holistik tentang relasi sosio-kultural antara masyarakat adat dan komunitas lokal dengan ruang pesisir dan pulau-pulau beserta ekosistem yang ada didalamnya,” jelas Susan.

 

Berdasarkan hal tersebut, KIARA berpandangan bahwa visi dan misi yang dibawa oleh ketiga kandidat hanya mengulang orientasi pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif. Terlebih lagi pembangunan yang esktraktif dan eksploitatif akan memberikan ruang kepada investasi dan penanaman modal asing  yang akan membuat masyarakat pesisir tergusur dari ruang hidupnya. 

 

Pada akhirnya, dari ketiga kandidat pemimpin bangsa tidak paham konsep utuh dari Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No 3 tahun 2010  di mana masyarakat pesisir harusnya memiliki hak untuk mengakses, hak untuk mengontrol dan memanfaatkan, hak untuk menjalankan tradisi kebernelayanan yang telah dijalan dari generasi ke generasi dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan masyarakat adat belum dijadikan sebagai pilar dan aktor utama sebagai right holders (pemilik hak utama) dalam kepastian perlindungan, pengelolaan, pemanfaatan atas ruang pesisir dan pulau kecil. Aktor utama yang dikedepankan masih pada industri dan pertumbuhan ekonomi oleh investasi korporasi. (*) 

 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502