Tahun Baru & Pemilu 2024, Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres & Cawapres

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

Tahun Baru & Pemilu 2024, Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres & Cawapres

 

Jakarta, 4 Januari 2024 – Menjalani awal tahun 2024 menandai bahwa puncak kontestasi Pemilihan Umum (PEMILU) 2024 akan segera terlaksana di 14 Februari 2024. Terdapat 3 kandidat yang telah resmi sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Pada Oktober 2023 ketiga kandidat tersebut telah mengeluarkan dokumen visi dan misi yang menjadi panduan mereka jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. 

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyebutkan bahwa KIARA telah melakukan review terhadap 3 dokumen visi dan misi ketiga kandidat tersebut. “KIARA melihat bahwa ketiga kandidat melalui dokumen visi misi tersebut masih terjebak dalam pusaran misi ekonomi biru/blue economy sebagaimana yang telah dijalankan pemerintah saat ini. Padahal konsep ekonomi biru yang dijalankan saat ini berasal dari cara pikir lembaga keuangan global, bukan seperti yang diungkapkan oleh Gunter Pauli sebagai penggagas aslinya,” ungkap Susan.

 

Berdasarkan dokumen visi misi ketiga kandidat tersebut, terdapat beberapa catatan KIARA yaitu sebagai berikut: pertama, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir khususnya nelayan, terutama hak atas pengakuan dan perlindungan ruang kelola darat dan lautnya sebagai satu kesatuan. “Evaluasi atas rezim Presiden Jokowi selama dua periode masa pemerintahannya terlihat sangat minim pengakuan atas ruang pengelolaan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini berbanding terbalik dengan akomodasi atas investasi terhadap ruang oleh rezim tersebut. Masyarakat adat dan komunitas lokal harus menghadapi realita  perampasan atas ruang pengelolaan mereka untuk berbagai industri dan investasi melalui kebijakan pusat maupun daerah. Hal tersebut bisa dilihat di Pulau Rempang, Pulau Wawonii, Gugus Kepulauan Spermonde, Pulau Sangiang hingga Pulau Pari dan Muara Angke sebagai wilayah yang paling dekat dengan istana,” jelas Susan.

 

Kedua, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan dan pengakuan perempuan yang berprofesi sebagai nelayan, baik produksi maupun pasca-produksi. “KIARA mencatat terdapat 3,9 juta perempuan yang terlibat dalam rantai produksi produksi perikanan, sedangkan KKP di tahun 2023 mencatat bahwa terdapat 3,6 juta perempuan nelayan yang menjadi penggerak rantai produksi perikanan, sedangkan yang telah menerima kartu Kusuka hanya sekitar 15 ribu perempuan nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa ada gap yang besar antar jumlah existing perempuan yang nelayan yang terlibat dalam rantai produksi perikanan dengan jaminan perlindungan melalui kartu kusuka. Hal ini juga menjadi indikator bahwa pengakuan perempuan atas identitas profesi nelayan juga masih sangat minim. Potret buruk krisis pengakuan identitas tersebut juga tidak ditangkap oleh kandidat Capres dan Cawapres dalam dokumen visi misi mereka,” tegas Susan. 

 

Ketiga, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya dijadikan sebagai obyek tempatnya masuknya industri, baik melalui konsep ekonomi biru (blue economy), seperti karbon biru (blue carbon), penangkapan ikan terukur, industri maritim dan jasa maritim, industri budidaya (komoditas perikanan unggulan), pariwisata, transisi energi, maupun industri SDA konvensional. “Berbagai industri yang dicanangkan melalui konsep blue economy dalam ketiga visi misi Capres Cawapres tersebut memperlihatkan bahwa cara pandang melihat pesisir dan pulau-pulau kecil masih terjebak dengan konsep ekstraktivisme dan bahkan bias darat. Pesisir dan pulau kecil masih dijadikan sebagai objek ekstraktivisme tanpa melihat secara holistik tentang relasi sosio-kultural antara masyarakat adat dan komunitas lokal dengan ruang pesisir dan pulau-pulau beserta ekosistem yang ada didalamnya,” jelas Susan.

 

Berdasarkan hal tersebut, KIARA berpandangan bahwa visi dan misi yang dibawa oleh ketiga kandidat hanya mengulang orientasi pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif. Terlebih lagi pembangunan yang esktraktif dan eksploitatif akan memberikan ruang kepada investasi dan penanaman modal asing  yang akan membuat masyarakat pesisir tergusur dari ruang hidupnya. 

 

Pada akhirnya, dari ketiga kandidat pemimpin bangsa tidak paham konsep utuh dari Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No 3 tahun 2010  di mana masyarakat pesisir harusnya memiliki hak untuk mengakses, hak untuk mengontrol dan memanfaatkan, hak untuk menjalankan tradisi kebernelayanan yang telah dijalan dari generasi ke generasi dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan masyarakat adat belum dijadikan sebagai pilar dan aktor utama sebagai right holders (pemilik hak utama) dalam kepastian perlindungan, pengelolaan, pemanfaatan atas ruang pesisir dan pulau kecil. Aktor utama yang dikedepankan masih pada industri dan pertumbuhan ekonomi oleh investasi korporasi. (*) 

 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502