Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KIARA: Menjadi Alat Perampas Tanah dan Mengorbankan Warga Pesisir!
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KIARA: Menjadi Alat Perampas Tanah dan Mengorbankan Warga Pesisir!
Jakarta, 12 Januari 2024 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” pada Kamis, 11 Januari 2024 di Ke:Kini yang berlokasi di Jalan Cikini Raya No. 45, Cikini, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Diskusi publik tersebut menghadirkan Susan Herawati selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA, Rizky Hakim selaku Koordinator Agrarian Resource Center (ARC) dan juga 2 perwakilan warga Pulau Rempang.
Menurut Rizky Hakim, agenda diskusi yang mengangkat tema militerisme di pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi topik yang penting untuk diketahui publik. Dalam perkembangannya di Indonesia, militer sebagai salah satu lembaga negara yang menurut Harvey adalah bagian dari kekuatan koersif negara untuk mengamankan atau melancarkan proses akumulasi, justru merupakan aktor akumulasi kapital dan menjadi entitas yang terpisah dengan peran negara sebagai pemberi legitimasi atas proses akumulasi kapital. Militer sebagai bagian dari negara, dengan sifat koersifnya digunakan untuk mengamankan atau melancarkan proses akumulasi kapital dalam konteks neo-liberal sebagai akumulasi melalui penjarahan (Accumulation by Dispossesion, AbD).
“Keterlibatan sebagai aktor akumulasi merubah militer menjadi kelas kapitalis, yang dalam prosesnya mengintervensi sejumlah lembaga negara untuk legitimasi atas akumulasi kapital yang dilakukannya. Salah satu contohnya terjadi di pesisir pantai Urutsewu yang merupakan lahan yang digunakan dan kuasai oleh masyarakat secara turun-temurun untuk kegiatan pertanian. Masyarakat memiliki bukti awal kepemilikan tanah (data fisik dan data yuridis) seperti Latter C ataupun Buku Tanah. Hanya saja, sejak tahun 1998 TNI/AD mengklaim lahan tersebut dalam bentuk pemetaan lahan sepihak. Di samping TNI/AD berupaya untuk mendapatkan legitimasi penguasaan lahan di Pesisir pantai Urutsewu dari sejumlah lembaga negara, pada tahun 2008 TNI/AD menerima permintaan dari salah satu korporasi untuk memanfaatkan lahan Pesisir pantai Urutsewu untuk kegiatan bisnis tambang pasir besi,” ungkap Rizky.
Wilayah lain yang menjadi contoh militerisme adalah Pulau Rempang. Aparat TNI-Polri memaksa dan berhasil masuk ke wilayah tempat tinggal warga Rempang. “Di Pasir Panjang, TNI dan Polisi menjadi aktor yang digunakan untuk pemematokan lahan dan rumah warga. Sedangkan di Sembulang TNI dan Polisi bertugas mendampingi dan mengamankan PT MEG dalam pematokan lahan warga. Selain untuk pematokan lahan, terjadi juga tindakan represif dari aparat ke warga yang menolak pematokan lahan tersebut, bahkan anak sekolah juga menjadi korban.
Masuknya aparat militer dan polisi tersebut setelah Rempang dijadikan sebagai Proyek strategis nasional untuk pembangunan industri Rempang Eco-City. Proyek itu mencoba merampas tanah-tanah kami dan meminta kami pindah dari tanah nenek moyang kami,” jelas perwakilan warga Rempang.
Merespon hal tersebut, Susan Herawati menyebutkan bahwa masuknya militerisme di pesisir juga disertai dengan implikasi seperti penguasaan, hingga kekerasan untuk mengintervensi dan mengintimidasi masyarakat pesisir yang menolak perampasan dan pengalihfungsian tanah di wilayah mereka. “Militer sebagai alat pertahanan negara seharusnya tegak lurus dalam tugas pokok untuk menjaga wilayah pertahanan negara. Akan tetapi militer acapkali keluar dari tugas pokok tersebut dan menginfiltrasi kehidupan masyarakat umum. Keluarnya militer dari barak digunakan sebagai alat untuk memuluskan penggusuran, relokasi, pengamanan di objek vital nasional, proyek strategis negara bahkan mengamankan masuknya perusahaan ke lahan-lahan masyarakat yang dijadikan sebagai lokasi tambang, pariwisata premium dan juga industri,” jelas Susan.
KIARA mencatat bahwa salah satu kebijakan yang melegalisasi perampasan tanah untuk militerisme di pesisir dan pulau-pulau kecil adalah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). “Sejak tahun 2017 hingga 2022, KIARA mencatat bahwa telah terdapat 28 RZWP-3-K yang telah disahkan, dan terdapat 14 provinsi yang melegitimasi alokasi ruang untuk berbagai aktivitas militerisme dengan total luasan 2.580.132,76 ha. Besarnya luasan tersebut sangat jauh berbeda dengan pengakuan ruang-ruang pengelolaan masyarakat, seperti pemukiman nelayan hanya 1.227,03 ha,” tegas Susan.
Militerisme juga saat ini dapat kita saksikan merasuk di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai Kementerian/Lembaga negara di Indonesia yang mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa posisi strategis di KKP saat ini diisi oleh personel TNI-Polri yang masih aktif. KIARA mencatat jabatan di KKP yang saat ini dipegang oleh personel TNI-Polri adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) KKP diisi oleh anggota Polri, Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) diisi oleh anggota Polri, dan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) diisi oleh anggota TNI AL Dari beberapa kasus kelautan dan perikanan yang ditangani KIARA, keberadaan para personel TNI-Polri ini tidak menghadirkan proses law enforcement yang jelas dan tegas untuk penyelamatan lingkungan pesisir dan laut dan keberpihakan pada kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir, tetapi membantu memuluskan berbagai investasi yang mengancam keberlanjutan lingkungan laut dan perairan.
KIARA mendesak pemerintah untuk menjadikan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai wilayah perlindungan masyarakat pesisir dan ruang mereka harus diakui karena mereka adalah right holders atas pesisir dan pulau-pulau kecil. “Sudah saatnya pengakuan atas kedaulatan pengelolaan masyarakat atas ruangnya diakui oleh pemerintah, bukan menerapkan militerisme sebagai alat untuk merampas ruang-ruang masyarakat dipesisir dan pulau-pulau kecil,” pungkasnya. (*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502