Jawa Tengah Segera Tenggelam, Akankah Pemerintah Hanya Diam
Kejadian alam atau persoalan lingkungan sudah mempunyai kedekatan tersendiri bagi beberapa daerah salah satunya Provinsi Jawa Tengah, persoalan lingkungan di Jawa Tengah dalam catatan tahunan Lembaga Bantuan Hukum Semarang terdapat 139 persoalan lingkungan, lebih dari setengahnya 101 bencana banjir dan longsor serta 9 persoalan kekeringan. Namun perlu kita ketahui krisis iklim yang terjadi bukan semata-mata kejadian alam yang alamiah, tetapi ada sebab-sebab lokal yang harus diminta pertanggunga jawabannya.
Hal tersebut disinggung dan diperbincangkan secara lebih mendalam oleh pemateri pada talkshow Festival Bahari 2024 yang bertajuk “Menghadapi Perubahan Iklim dan Upaya Penguatan Sistem Pangan Lokal” di Soegijapranata Chatolic University (SCU), BSB City, Kota Semarang, pada Rabu 11/12.
“Sebenernya krisis iklim itu dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti, hujan yang tidak nentu, kemarau panjang, cuaca yang semakin, yang menjadi persoalan apakah itu diidentifikasikan sebagai krisis iklim atau hanya kondisi alamiah. Hal tersebut tentunya bukan terjadinya secara alamiah begitu saja, tetapi adanya percepatan-percepatan dan tindakan-tindakan dari negara dan pemilik modal yang memperparah kondisi itu,” ucap Cornelius Gea dari LBH Semarang.
Sependapat dengan Widi Handayani dari Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan SCU, dengan antusiasnya Widi bercerita ketika ia berkunjung ke museum Sangiran bahwa memang perubahan iklim itu bukan terjadi secara natural tetapi terjadi secara organic. Adapun dampaknya untuk sektor perikanan yaitu, kematian kerang, terjadinya migrasi ikan, dan berdampak pada penurunan ekspor diakibatkan oleh perubahan iklim.
“Penurunan ekspor diakibatkan oleh perubahan iklim, terutama dengan adanya peningkatan suhu di laut. Dampaknya pada biota laut seperti kematian kerang dan terjadinya migrasi ikan, tentu ini akan menimbulkan kesulitan untuk nelayan tradisional khususnya,” kata Widi.
Kebijakan Pemerintah Tak Lagi Melirik Krisis Iklim
Anggota Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim Abdurrahman Sandriyanie menjelaskan, kebijakan-kebijakan atau regulasi pemerintah mengenai persoalan iklim seringkali lebih menuju ke arah infrastruktur dibanding perubahan iklim itu sendiri.
“Sekitar 45 regulasi yang membahas tentang iklim lebih banyak ke infrastruktur dan kita belum mempunyai satu payung yang menurut kita efektif. Sementara, regulasi yang kita punya masih tahap teknikalisasi hanya sebatas pengertian. Proyek-proyek yang mengatasnamakan iklim, tetapi malah menghancurkan pengetahuan masyarakat tentang iklim tersebut serta banyaknya proyek-proyek PSN yang merampas ruang hidup masyarakat,” jelas Abdur.
Hal itu ditambahkan oleh Susan Herawati Sekretaris Jendral KIARA, ia berpendapat bahwa sampai kapanpun pemerintah tidak akan jalan beriringan bersama masyarakat kecil termasuk warga pesisir. Mereka akan bersama kita jika kita sudah mencapai yang mereka inginkan, dengan pola-pola mereka yang mengatasnamakan iklim, lingkungan, pasti tidak lepas dari perampasan ruang secara halus maupun paksa dan adapun penanggulangan yang dilakukan namun tidak efektif.
“Untuk melakukan gerakan jangan menunggu dari pihak pemerintah, mau sampai Firaun bangkit pun mereka tidak akan tergerak. Pemerintah itu akan datang kalau kita itu sukses, mereka mau terbangun ketika organisasi itu sudah besar, saya percaya bahwa sistem perlawanan harus masuk ke dalam politik, masalahnya di Indonesia ini butu modal dan pastinya mahal. Parahnya lagi, setiap ganti pemerintah terus ganti pemikiran,” ungkap Susan.
Upaya Masyarakat di Balik Krisis Iklim
Ditengah-tengah penyampaian materi Cornelius Gea juga menambahkan bahwa sebenarnya masyarakat lokal yang terdampak mempunyai cara atau pengetahuannya sendiri dalam bertahan dan beradaptasi ditengah-tengah perubahan iklim, namun seringkali hal itu tidak dilirik oleh pemerintah negara bahkan terabaikan begitu saja.
“Sebenernya masyarakat kampung,masyarakat lokal, mereka mempunyai pengetahuan sendiri untuk mengatasi atau beradaptasi terhadap krisis iklim ini. Sayangnya itu gak pernah dipakai sebagai pengetahuan penting bagi negara untuk menciptakan solusi-solusi yang ketika menghadapi krisis iklim,” tambah Cornelius.
Talkshow ini pun tak lepas dari keterlibatan masyarakat pesisir maupun para nelayan, Festival Bahari mengundang warga terdampak sekaligus aktivis perempuan yang sudah cukup lama bahkan sejak kecil merasakan perubahan-perubahan keadaan laut yaitu Mas’nuah yang aktif di Organisasi Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari atau Persaudaraan Nelayan Indonesia.
Ia menekankan agar masyarakat pesisir menguatkan pengorganisasian dan perekonomian, dengan organisasi yang kuat serta jaringan-jaringan yang luas dapat membantu masyarakat dalam menghadapi konflik yang dihadapi serta ekonomi yang cukup juga terhindar dari penyuapan dari pihak yang merugikan masyarakat.
“Kemandirian menjadi kunci utama dalam sebuah gerakan, membentuk organisasi kalau tidak diimbangi dengan ekonomi yang baik itu juga otomatis gerakannya tidak akan hidup, dan tentunya organisasi yang kuat agar memperkuat juga prinsip solidaritas kita serta perbanyak jejaring. Apalagi kita dihadapkan ancaman, tantangan tambang, akramasi, dan lain sebagainya, maka saya selalu ingat bahwa dalam pergerakan jangan sampai kita lapar agar tidak gampang dibayar,” kata Mas’unah dengan nada yang menggebu-gebu.
Susan Herawati dalam hali ini menegaskan agar pemerintah tidak perlu susah payah memikirkan dan memberi solusi kepada masyarakat jika tidak ada keterlibatan masyarakat dan pada akhirnya, mereka hanya mementingkan dirinya sendiri.
“Mereka berbicara tentang umat dengan solusi yang tidak wise sebenarnya, apa pun solusi yang digulirkan untuk menghadapi krisis iklim itu semuanya palsu. Tidak berbasis pada pengetahuan lokal. Misalnya, banjir kok solusinya tanggul laut, tol laut, dan lain sebagainya, masyarakat lebih tahu cara menyelamatkan dirinya sendiri, jadi jangan ajari mereka, tapi tanyalah mereka,” tegas Susan.
Dapat kita garis bawahi bahwa upaya dalam krisis iklim ini perlu adanya keterlibatan masyarakat pesisi ataupun masyarakat terdampak dalam penanganan krisis iklim. Tentunya tidak lepas dari akademisi dan LSM sebagai penyambung lidah yang mempunyai jiwa kritis, memiliki perspektif lebih untuk mendukung warga yang menjadi korban iklim atau perampasan ruang tidak lebih membaca kebijakan-kebijakan diatas kertas saja.
Penulis: Dimas Saputra
Editor: Musfarayani