HGB & SHM Telah Terbit Dalam Pagar Laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan Legalisasi Privatisasi Laut Oleh ATR/BPN dan KKP
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
HGB & SHM Telah Terbit Dalam Pagar Laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan Legalisasi Privatisasi Laut Oleh ATR/BPN dan KKP
Jakarta, 21 Januari 2025 – Pada 10 Januari 2024, KKP telah melakukan penyegelan terhadap pagar laut yang berlokasi dan melintas di perairan 6 Kecamatan di Tangerang. Akan tetapi, hingga 20 Januari 2025 KKP belum berhasil untuk mengungkap pelaku dan pemilik pemagaran laut yang meresahkan nelayan kecil dan tradisional di 6 kecamatan tersebut. Padahal pemagaran laut tersebut telah merugikan nelayan kecil dan tradisional yang telah memanfaatkan perairan tersebut sebagai ruang produksi mereka dengan komoditas ikan, rajungan dan juga rebon.
Pasca terjadinya pemagaran laut sepanjang 30,16 km di perairan kabupaten Tangerang, pemagaran laut juga terjadi di perairan Kabupaten Bekasi yang mencapai 2 km, dan juga pemagaran laut yang terjadi di perairan Pulau C di perairan Jakarta Utara dengan jarak mencapai 500 meter. Dari ketiga lokasi tersebut, terdapat pola yang sama dan dengan menggunakan peralatan yang sama yaitu bambu yang disertai dengan pemberat.
Selain permasalahan tentang pagar laut di 3 tempat tersebut, ternyata disebagian perairan di Kabupaten Tangerang yang telah dipagari laut tersebut, tepatnya di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji telah diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) dan juga Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Menteri ATR/BPN saat ini telah membenarkan bahwa Kementerian ATR/BPN telah mengeluarkan HGB sebanyak 263 bidang laut dan SHM sebanyak 17 bidang dengan total mencapai ± 1 juta meter persegi atau 100 hektare (ha), dengan rincian sebagai berikut:
Aktor | Jumlah HGB |
PT Intan Agung Makmur | 234 bidang |
PT Cahaya Inti Sentosa | 20 bidang |
Perorangan (data belum dibuka ATR/BPN) | 9 bidang |
Sumber: Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (2025)
Dari hasil penelusuran KIARA pada situs BHUMI atrbpn milik Kementerian ATR/BPN, dengan berdasarkan garis pantai pada peta desa dari Badan Informasi Geospasial (BIG) maka terdapat persil-persil tanah di laut seluas ±515,77 ha atau lebih dari 5 juta meter persegi. Seluruh persil-persil tanah yang berada di atas laut tersebut posisinya ada di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakishaji, Kabupaten Tangerang. Luas hasil penelusuran ini 5 kali lipat dari pernyataan Menteri ATR BPN yang menyatakan hanya terdapat ± 1 juta meter persegi luas bidang tanah tersertifikat di atas laut. Proses yang berlangsung dari mulai pemagaran hingga pendaftaran tanah ini patut diduga merupakan proses komodifikasi dengan mengubah laut menjadi daratan, yang selanjutnya akan dilakukan privatisasi atas ruang daratan yang telah terbentuk oleh aktor dan pihak tertentu.
Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa ada dugaan kuat bahwa pemagaran laut yang ada di Kabupaten Tangerang tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan HGB dan SHM yang berada di dalam pagar laut tersebut. “Dari penelusuan yang telah dilakukan, PT Cahaya Inti Sentosa merupakan salah satu pemegang saham di PT Pantai Indah Kapuk Dua, sedangkan PT Intan Agung Makmur memiliki kantor utama yang berada digedung yang sama dengan PIK 2. Sehingga hal ini tidak dapat dipisahkan karena relasi yang sangat erat antara kedua perusahaan tersebut dengan PIK 2, bahkan hal ini diduga berkaitan dengan PSN PIK 2,” jelas Susan.
Selain itu, Susan menambahkan bahwa hasil penelusuran di Kecamatan Kramat dan juga Kecamatan Mauk, nelayan kecil menyebutkan bahwa pemagaran laut tersebut diduga untuk perluasan kawasan PIK 2 yang akan menimbun ataupun mereklamasi laut sebagai bagian dari perluasannya. “Temuan KIARA di lapangan mendapatkan informasi dari pengaduan langsung dari nelayan kecil. Informasi dan dugaaan tersebut didapatkan nelayan ketika proyek pemagaran laut ini sedang berjalan tahun lalu. Kami menduga bahwa hal ini adalah proyek besar karena membutuhkan pendanaan yang besar untuk dapat membuat pagar laut sepanjang 30,16 km. Pemagaran laut ini bukan sekedar pekerjaan sehari semalam, akan tetapi melibatkan berbagai pihak terkait. Saat hal ini mulai viral, maka seluruh pihak mengatakan ketidaktahuannya sebagai bentuk cuci tangan,” tegas Susan.
“Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan KIARA bahwa tidak ada perubahan yang signifikan yang disebabkan abrasi di wilayah pesisir Desa Kohod, sehingga dalil bahwa pemagaran laut ini untuk menanggulangi abrasi itu adalah kekeliruan. Penelusuran tersebut dilakukan sejak tahun 1985 hingga 2024, sehingga penerbitan HGB dan SHM di atas laut tersebut telah jelas bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang telah membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3). KIARA bersama jaringan masyarakat sipil lainnya telah menggugat HP3 tersebut dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi,” jelas Susan.
KIARA mencatat bahwa adanya HGB, HGU, SHM maupun perizinan lainnya yang diberikan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Investasi maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada perorangan maupun korporasi merupakan bentuk nyata dari hidupnya kembali HP3 atau neo-HP3. Kepemilikan hak individu maupun korporasi adalah neo-HP3 dan merupakan bentuk privatisasi laut atau saat ini disebut sebagai perampasan ruang laut (ocean grabbing). Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 UU No. 27 Tahun 2007 yang dibatalkan MK karena bertentangan dengan UUD 1945. KIARA menyebutkan bahwa atas pembatalan HP3, maka: 1) sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak boleh diprivatisasi, baik perorangan maupun kelompok/korporasi; 2) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 di laut oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, dan melanggar prinsip demokrasi ekonomi; 3) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 mengakibatkan wilayah perairan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar; dan 4) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 menyebabkan privatisasi laut yang berdampak pada pengusiran/marginalisasi nelayan kecil dan tradisional yang memanfaatkan laut sebagai ruang hidupnya.
KIARA menilai bahwa Menteri ATR/BPN telah melampaui kewenangannya untuk menerbitkan hak kepemilikan berupa HGB dan SHM di atas laut. “Pelaku maupun pihak yang terkait lainnya baik atasannya maupun menteri ATR/BPN yang diduga terlibat penerbitan HGB dan SHM ini harus ditindak diusut tegas dan transparan sehingga peristiwa hukum ini tidak terulang dimasa depan. Hal ini adalah tindak pidana penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan hak atas tanah di laut!” tegas Susan.
“KIARA melihat bahwa saat ini HP3 tersebut bertransformasi menjadi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (PKKPRL) yang menjadi alat dan semakin melegitimasi privatisasi laut dan perampasan ruang laut dari nelayan yang seharusnya menjadi right holders atas ruang pesisir, laut dan pulau kecil. Konflik yang diciptakan akibat PKKPRL ini telah nyata terjadi di Pulau Pari untuk pembangunan cottage apung dan dermaga dan Manado Utara yang ruang lautnya akan direklamasi menjadi darat. Sehingga sejauh ini kami menduga bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengerti tentang pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil dan seharusnya malu dan mundur dari Menteri karena melegitimasi perampasan ruang laut. Bahkan untuk menindak pemagaran laut saja KKP tidak berani mengungkapkan identitas pihak-pihak yang terkait maupun menindaknya ke jalur hukum,” tegas Susan.(*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502