Bukan Bangsa Kuli

Bukan Bangsa Kuli

Oleh Abdul Halim

Kami menggoyangkan langit, menggemparkan daratan, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.”

Itulah pidato Bung Karno (1901-1970), Presiden pertama Republik Indonesia saat hendak meletakkan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian di Bogor tanggal 27 April 1952.

Resonansi pidato ini masih relevan untuk direnungkan di tengah kondisi rakyat, khususnya nelayan dan pembudi daya tradisional, serta masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang kian dijauhkan dari cita-cita bersama pendirian republik; hidup sejahtera, adil, makmur, dan beradab.

Bung Hatta menambahkan, “(Sejahtera) pada dasarnya (berupa) perasaan hidup yang setingkat lebih tinggi dari kebahagiaan. Apabila ia merasa senang, tidak kurang suatu apa dalam batas yang mungkin dicapainya. Jiwanya tenteram, lahir dan batin terpelihara. Ia merasakan keadilan dalam hidupnya, tidak ada yang patut menimbulkan iri hatinya dan tidak ada gangguan dari sekitarnya. Ia terlepas dari kemiskinan yang mengancam.”

Bagaimana kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil? Kenaikan harga BBM jenis solar sebanyak dua kali; pertama, dari harga Rp 4.300 menjadi Rp 4.500 melalui Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu; dan kedua dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 lewat pengesahan Rancangan APBN Perubahan 2013 yang disepakati bersama oleh 338 suara wakil rakyat (Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP, dan PKB) dan Pemerintah di gedung DPR, Senayan, 17 Juni lalu, telah menimbulkan kekhawatiran 2,2 juta keluarga nelayan dan 3,5 juta pembudi daya tradisional atas kelangsungan pemenuhan hak-hak hidupnya. Sejatinya bukan BLSM (baca: balsem) yang mereka butuhkan.

Sulitnya mendapatkan BBM, apalagi di wilayah kepulauan seperti Aru (Maluku) dan Togean (Sulawesi Tengah), membuat biaya operasional melaut menjadi lebih mahal dikarenakan langkanya SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan) beserta pasokan BBM-nya, sementara hasil tangkapan ikan tidak cukup untuk menutupi semua biaya hidup.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah penduduk miskin di 10.666 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekitar 524 kabupaten/kota se-Indonesia mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 28,07 juta jiwa.

Campur Tangan Asing

Dalam tulisan berjudul Utang yang Memiskinkan di harian Kompas (13 Juli 2013), secara tepat Apung Widadi menyebut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK) sebagai kebijakan yang merugikan kepentingan nasional, akibat dana asing berbentuk utang dan hibah luar negeri yang mengintervensi.

Pusat Data dan Informasi Kiara (Juni 2013) mencatat proyek konservasi yang dilangsungkan di laut Indonesia didanai asing, di antaranya: (1) Pada periode 2004-2011, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap II) mencapai lebih dari Rp 1,3 triliun yang sebagian besarnya bersumber dari utang luar negeri Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB); dan (2) Pemerintah AS melalui lembaga USAid memberikan bantuan hibah kepada Indonesia senilai US$ 23 juta. Rencananya, dana hibah diberikan dalam jangka waktu empat tahun yang terdiri dari kawasan konservasi senilai US$ 6 juta dan penguatan industriliasasi perikanan senilai US$ 17 juta.

Dalam pelaksanaannya, program konservasi terumbu karang ini justru gagal/tidak efektif dan terjadi kebocoran dana berdasarkan Laporan BPK tentang Hasil Pemeriksaan Kinerja Perlindungan Ekosistem Terumbu Karang pada Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (Januari 2013). Sudah terbukti gagal, Kementerian Kelautan dan Perikanan malah ingin melanjutkan proyek Coremap III periode 2014-2019 dengan menambah utang konservasi baru sebesar US$ 80 juta dari Bank Dunia dan ADB.

Setali tiga uang, realisasi penggunaan dana hibah dari ACIAR Australia pada Ditjen Perikanan Budi Daya tahun 2010-2011 belum dilaporkan pada pihak Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (BPK, 2011). Padahal, sesuai PP No 10/2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah Pasal 2 Ayat (5) dinyatakan, “Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah harus memenuhi prinsip transparan; akuntabel; efisien dan efektif; kehati-hatian; tidak disertai ikatan politik; dan tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan Negara.” Inilah akar tercerabutnya kemandirian kita dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Koreksi Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Juni 2011 dalam putusan setebal 169 halaman mengenai Pengujian UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap UUD 1945 dimaknai sebatas urusan teknis berdasarkan draf revisi UU PWP-PPK dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, yakni mengubah pasal-pasal pengkaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) menjadi IPRP-2 (Izin Pemanfaatan Ruang Perairan Pesisir) dan IP-3 (Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir).

Ditambah lagi, keleluasaan pemberian izin kepada subjek hukum, baik individu atau badan hukum yang (akan) berakibat pada kian masifnya penggusuran dan kriminalisasi nelayan dan pembudi daya tradisional, serta masyarakat adat.

Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat sedikitnya 25 nelayan dan pembudi daya tradisional dikriminalisasi oleh aparat sepanjang Januari-Maret 2013. Usulan substansi RUU Perubahan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana diparipurnakan DPR dengan membentuk pansus tanggal 25 Juni 2013 lalu, harus dibuka ke publik agar tidak mengulangi kekeliruan terdahulu yang berpotensi merugikan keuangan negara dalam pembahasan peraturan perundang-undangan, dan mengesampingkan partisipasi aktif pemangku kepentingan utamanya, yakni nelayan dan pembudi daya tradisional, serta masyarakat adat.

Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi telah menjabarkan empat tolok ukurnya, yakni (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (ii) tingkat pemerataan sumber daya alam bagi rakyat; (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; dan (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Mengembalikan Daulat

Pengelolaan sumber daya laut yang lestari dan berkelanjutan sudah diterapkan sejak abad 16 oleh masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Kiara mencatat di antaranya Sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat, serta Ola Nua di Nusa Tenggara Timur. Model pengelolaan ini dilakukan secara swadaya (tanpa dipesan pihak luar) dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat, bahkan tidak membutuhkan dana utang.

Tindakan ini dilakukan masyarakat perikanan tradisional, karena mereka menyadari kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan sejahtera, adil, makmur, dan beradab. Apalagi mereka mendapati betapa besarnya manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya.

Berbeda dengan target perluasan kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektare tahun 2020 yang ditetapkan semau pemerintah semata-mata untuk mendapatkan pinjaman asing dan citra positif di level internasional, namun mengesampingkan partisipasi aktif nelayan tradisional dan masyarakat adat, serta mengubur kearifan lokal yang sudah dijalankan secara turun-temurun di Indonesia.

Praktik inferior ini harus dihentikan, karena kita bukan bangsa kuli. Apalagi secara geopolitik dan geo-ekonomi, laut Indonesia dengan sendirinya menjadi ruang perebutan pengaruh kekuatan maritim dunia, seperti Amerika Serikat, China, India, dan Jepang. Sudah saatnya memosisikan daulat rakyat sebagai subjek pembangunan kelautan Indonesia, Jalesveva Jayamahe.

Tentang penulis:
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

(Sumber: Sinar Harapan, 5 Agustus 2013)