Tahun 2018, produksi perikanan dunia mencapai 170.9 juta ton yang terdiri dari 90.9 juta ton dari perikanan tangkap dan 80.0 juta ton dari perikanan budidaya. Sebelumnya, di tahun 2016 total produksi perikanan dunia hanya mencapai 167.2 juta ton, terdiri dari 93.4 juta ton perikanan tangkap dan 73.8 juta ton perikanan budidaya. Artinya dalam rentang waktu 2 tahun terjadi peningkatan produksi lebih dari 3 juta ton.
Namun, yang menjadi catatan adalah produksi perikanan tangkap mengalami penurunan lebih dari 3 juta ton, sedangkan perikanan budidaya mengalami peningkatan lebih dari 7 juta ton.
Dengan total populasi dunia saat ini sebanyak 7,4 milar jiwa, sektor perikanan tetap menempati
sektor yang sangat strategis. Setidaknya 151,2 juta ton produksi perikanan telah dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Adapun konsumsi rata-rata perikanan dunia tercatat sebanyak 20 kg/kapita/tahun. Sementara itu, sebanyak 19,7 juta ton produksi perikanan digunakan untuk kebutuhan non-konsumsi manusia atau untuk kepentingan konsumsi hewan dan lain sebagainya. Data ini menunjukkan bahwa ikan tidak hanya dibutuhkan oleh manusia, tetapi juga hewan sangat membutuhkannya.
Sebagai bagian penting dari masyarakat perikanan dunia, Indonesia memiliki peran penting, karena merupakan produsen perikanan terbesar dengan produksi perikanan tangkap sebanyak 6,109,783 ton. Angka produksi perikanan ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang tercatat sebanyak 6.016.525 ton. Peningkatan produksi perikanan tangkap tercatat sebanyak 93,258 ton dari tahun sebelumnya. Dalam konteks perikanan budidaya, Indonesia berhasil memproduksi 4.950.000 ton perikanan budidaya. Angka ini mengalami
peningkatan dari sebelumnya yang hanya mencapai 4.343.000 ton. Di dalam logika dagang, tingginya produksi perikanan Indonesia seharusnya memberikan manfaat secara ekonomi bagi 8.077.719 rumah tangga perikanan (nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat
pesisir) yang hidup di 12.827 desa pesisir di Indonesia. Namun faktanya, sampai saat ini, setelah empat tahun berlalu (2014-2018) Pemerintahan Jokowi-JK, kehidupan mereka masih jauh dari kata layak karena masih
harus bergulat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, rumah tangga perikanan atau masyarakat pesisir di Indonesia harus terus menghadapi sejumlah tantangan pembangunan yang tidak berpihak terhadap kehidupan mereka. Diantara tantangan pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat pesisir adalah perampasan ruang
laut yang massif terjadi di seluruh Indonesia.
Sepanjang tahun 2018, KIARA merekam dinamika isu kelautan dan perikanan yang diwarnai dengan kian jauhnya akses nelayan untuk hidup berdaulat, mandiri dan sejahtera akibat ketidakberpihakan pemerintah dalam penyusunan kebijakan pengelolaan kelautan dan perikanan. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya kesungguhan pemerintah untuk melibatkan nelayan dalam perumusan kebijakan.
Pada akhirnya nelayan terpasung hak-hak konstitusionalnya melalui kebijakan negara yang kontraproduktif seperti reklamasi, tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil, kriminalisasi serta kekerasan terhadap nelayan dan perempuan nelayan, praktik perampasan ruang hidup nelayan melalui konservasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan,
dan minimnya perlindungan dan pemberdayaan untuk masyarakat bahari di Indonesia.
Di awal tahun 2019, KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) menyampaikan Temuan Kelautan dan Perikanan sebagai evaluasi dan proyeksi bagi negeri bahari dalam menjalankan mandatnya sebagai negeri bahari. Catatan ini berangkat dari analisa kebijakan KIARA sepanjang tahun 2018 di tengah mimpi bersama untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Catatan ini dihimpun dengan tujuan untuk memberikan pandangan, kontrol, koreksi, dan perbaikan bagi kualitas kebijakan publik bagi pemerintah yang ditujukan untuk kehidupan masyarakat pesisir di seluruh Indonesia.
Download CATAHU 2018 pada link berikut :
KIARA – CATAHU 2018