Laut untuk Rakyat, tanpa Intervensi Politik

Oleh: Rosiful Amirudin *)

Selama berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun, orientasi pembangunan negeri ini selalu berpijak pada konsep daratan (kontinen). Cukup lama bangsa ini berpaling dari laut. “Orang darat” beramai-ramai menjadikan laut sebagai halaman belakang rumah. (Khudori dalam Opini bertajuk “Gus Dur dan Amnesia Kelautan”)

Sudah terlalu lama negara Indonesia sebagai negeri bahari memunggungi laut. Terlalu lama meninggalkan potensi kelautan dan perikanan Indonesia berujung pada kerugian negara yang besar. Praktik Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing di Indonesia bedasarkan Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengakibatkan negara merugi sampai dengan 5,2 miliar dolar AS per tahun dikarenakan adanya penangkapan ikan secara ilegal.

Nilai itu tidak saja dihitung dari total ikan tangkapan, tetapi juga potensi pendapatan dari pajak dan kerusakan ekosistem akibat penangkapan ikan secara ilegal. Hal ini diperburuk dengan maraknya penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, serta praktik-praktik transhipment atau alih muat di perairan Indonesia yang sesungguhnya praktik tersebut telah dilarang dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Di sisi lain, hingga hari ini Indonesia masih menghadapi tantangan besar lain seperti maraknya perbudakan serta pelanggaran administrasi perizinan perkapalan yang memperburuk kerugian negara.

Butuh upaya ekstra negara, untuk mengembalikan potensi kelautan dan perikanan untuk kemakmuraan rakyat Indonesia. Sektor perikanan dan kelautan selama ini tidak menjadi  fokus perhatian pemerintah, sehingga banyak sekali permaasalahan yang mengendap pada sektor ini.

Belum juga termasuk peningkatan kualitas hidup masyarakat yang menggantungkan kehidupan pada sektor laut. Pembangunan sumberdaya manusia menjadi faktor penting dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir yang selama ini menjadi masyarakat kelas dua. Kekayaan sektor laut Indonesia tidak menjamin masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor laut juga akan turut sejahtera, justru sebaliknya.

Dari 10.666 desa-desa pesisir di Indonesia yang menjadi ruang hidup masyarakat nelayan tradisional, pembudidaya ikan, petambak garam, perempuan nelayan, dan pelestari ekosistem pesisir merupakan wilayah yang rentan konflik agraria. Konflik agraria tersebut rata-rata disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral serta tidak komprehensif.

Mengembalikan kedaulatan perikanan dan kelautan RI menjadi salah satu agenda utama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Pengembalian kedaulatan Maritim Indonesia tidak sekedar menenggelamkan kapal asing yang melakukan pelaanggaran akan tetapi juga termasuk bagaimana memikirkan kelanjutan ekosistem dan sumberdaya laut benar-benar untuk jangka panjang.

Mengingat, penggunanan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan justru sangat merugikan ekosistem laut Indonesia. Tercatat, selama tahun 2016, Menteri Susi melakukan penenggelaman kapal sebanyak 115 kapal ilegal, yang sebagian besar berasal dari Vietnam. Menteri Susi juga memberlakukan moratorium perizinan usaha perikanan tangkap dan revisi peraturan usaha perikanan tangkap.

Beberapa bulan terakhir, konflik pasca-penerbitan Permen KP No. 2 Tahun 2015 mengenai Pelarangan Alat Tangkap yang tidak ramah lingkungan, menarik perhatian khalayak ramai. Alat tangkap yang tidak ramah lingkungan memang, selama ini, kerap bebas dari jerat hukum petugas keamanan. Minimnya penegakan hukum terhadap pelaku pengguna alat tangkap yang tidak ramah lingkungan berpengaruh kepada sumber daya ikan yang menjadi deplesi atau berkurang drastis. Sisi positif dari penerbitan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan ialah bagaimana sumberdaya laut dan ekosistem dasar laut benar-benar terpulihkan dari kerusakan serta keberlanjutannya untuk jangka panjang.

Banyaknya penolakan dari kalangan nelayan di sekitar Pantai Utara Jawa, menjadi tersendatnya berlakunya Peraturan Menteri tersebut. Penolakan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan Perikanan Susi Pudjiastuti juga tidak hanya dari kalangan nelayan, melainkan juga politisi partai politik pada tahun terakhir dalam masa perpanjangan berlakunya regulasi tersebut.

Moratorium dari implementasi Permen KP No. 2 Tahun 2015 menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa ini. Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, setidaknya terjadi 40 kasus konflik horizontal antara nelayan akibat pro dan kontra.

Implementasi Permen KP No.2 Tahun 2015 juga terhambat pada solusi yang ditawarkan oleh Pemerintah, khususnya pada penggantian alat tangkap kepada nelayan terdampak. Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat terdapat ada kekeliruan dalam pendistribusian alat tangkap oleh Pemerintah yang merupakan bagian dari solusi dari Permen KP tersebut. Banyaknya distribusi alat tangkap yang tidak tepat sasaran, serta lambatnya penggantian alat tangkap oleh pemerintah, menjadikan banyaknya nelayan yang memilih untuk menjadi pekerja perikanan di kapal domestik maupun non domestik.

Terdapat sebagian nelayan yang terdampak menyatakan persetujuannya berlakunya regulasi tersebut, asalkan solusi yang ditawarkan oleh pemerintah benar-benar terealisasi dengan baik supaya mereka dapat melaut kembali.  Keberlanjutan ekosistem untuk masa depan menjadi tanggung jawab bersama semua kalangan, bukan hanya pemerintah, melainkan juga nelayan juga berperan penting dalam menjaganya. Salah satu cara dalam praktik illegal fishing yakni praktik transhipment (olah muatan ditengah laut). Praktik tersebut menjadi modus para penjahat perikanan untuk menyelundupkan hasil tangkapannya. Larangan ini pun sebenarnya sudah dicantumkan pada pasal 41 (3) UU No. 45 Tahun 2009. “setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaraatkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk”.

Upaya untuk membenahi sektor perikanan dan kelauatan RI harus didukung oleh semua pihak. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah benar adanya untuk keberlanjutan yang jangka panjang. Walaupun pastinya banyak penolakan oleh sebagian kalangan masyarakat. Mengingat berbagai moratorium yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menjamin esok hari masyarakat Indonesia dapat mengkonsumsi ikan serta mendapatkan kemanfaatan secara ekonomi dalam waktu yang lama.

Permasalahan penggunaan cantrang atau alat tangkap, seharusnya tidak dibawa ke ranah politik  untuk kepentingan sementara dan kepentingan orang tertentu. Permasalahan alat tangkap ini menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk ribuan ABK kapal yang bergantung pada kapal-kapal di sepanjang Pantai Utara Jawa. Pada saat bersamaan, butuh kemauan negara untuk menyiapkan solusi komprehensif dan adil, salah satunya dengan memastikan bahwa setiap nelayan tradisional yang terdampak dari implementasi Permen KP No. 2 Tahun 2015 dapat tetap melaut dengan rasa aman.

Sudah terlalu lama kekayaan laut Indonesia hanya untuk segelintir orang, sudah waktunya kekayaan alam laut benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat luas pada umunya. Laut yang sehat untuk mewujudkan negara yang sejahtera dan kuat.

*) Penulis adalah Legal Officer Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Red: Agus Yulianto

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/06/15/orl4jr396-laut-untuk-rakyat-tanpa-intervensi-politik

Residents fight for land ownership on pari Island

Jakarta, Monday June 12,2017

Residents have been forced to leave Pari Island

PT Bumi Pari Asri claims to have right-to build certificates

Residents have no official certificates for their land

For tourists, pari Island is praised as one of the most beautiful destination in the thousand Island, Jakarta, with ist white sand shores and pristine water that hardly hides the splendor of the seabed.

But for locals, the island that the have lifed on for generation may son be a part of their history as a company has been forcing them to leave their homes.

Claiming rights to 90 percent of the island, PT Bumi Pari Asri has demanded that residents leave immediately, saying that they are not authorized to live there.

The company is planning to manage tourism activities on the island, which is already a popular weekend geteway for those living in Jakarta as well as local and foreign visitors.

The residents have challenged the company’s claims, saying they have been living on the island for decades and managing the beaches on their own.

The have built homestays and charged people for acces to the beaches, but the fees have gone to maintaining facilities on the island, they say.

Edi Priadi, a resident who has lived on the island since 1999, was sentenced to four mounths in jail in suit based on a claim that he was illegally occupying one of ist land plots.

The company then issued warnings to edi’s wife, dian astuti, or dering her to vacate their house.

“The warning ordered me to vacate the house or be imprisoned for four years,”Dian said.

Other residents said the were now forced to pay rent to the company to be able to stay in their homes.

Aapart from that, three fisherfolks are currently facing legal action for asking tourists to pay a Rp. 5.000 (37 US cents) per person entrance fee, a practice that resident have carried out for maintaining the island. The police have called the entrance fee an illegal levy.

Tigor Hutapea from The People’s Coalition For Fisheries Justice (KIARA) and activist with the save pari island coalition said the coalition had assisted 314 families to report the land ownership dispute to the Ombudsman in march.

During hearings of the ongoing case at the ombudsman, it has been revealed that in 2014, the North Jakarta National Land Agency (BPN North Jakarta) issued 80 right-tobuild (HGB)  and land ownership certificates to the company and some people who were not the residents of the island, without the residens’ consent.

Tigor added that the coalition had reported the case to the office of preship,” heidential Staff (KSP) and asked it to order the Agriculture and spatial planning ministry to review whether the certificates were issued in accordance with the proper procedures.

Land disputes in thousand Island have frequently occurred as most of the residents across the islands in the regency only hold girik (customary land appointments) certificates, Land and Building Tax (PBB) payment receipts, and a document regarding the sale and purchase of land (AJB) as evidence of land ownership.

On Pari Island, most of the resident only hold AJB  and PBB receipts.

Thousand Island regent Budi Utomo refused to take sides in the case, saying that he is not in the position to decide on the legality of land ownership claims. But he promised that he would try to keep the residents safe. “In principle, we don’t want the resident of Pari Island to be avicted,he said.

Budi also said the administration was set to issue 400 land certificates on other islands, to prevent similar cases.

Bumi pari asri spokesperson Endang Sofyan told news portal kbr.id  that the company did not have land certificates on the island but had been awarded the HGB certificates by a consortium of land owners.

He said the consortium’s purchases of land on the island occurred in the 1980s and now the company was only making use of the HGB licenses.

“[The land transaction] occurred many years ago. Now the residents have no evidence [of their ownership].”he said.

Sumber: The Jakarta Post, 12 Juni 2017.

Kasus PT Garam Bukti Gagalnya Perlindungan kepada Petambak

JAKARTA — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebutkan kasus dugaan penyalahgunaan importasi dan distribusi garam oleh PT Garam merupakan bentuk kegagalan melindungi petambak garam Indonesia.  Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati, Ahad (10/6), mengatakan tindakan penyalahgunaan izin tersebut jelas melanggar Peraturan Menteri Perdagangan 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Importasi Garam.

Susan menyatakan, sudah jelas tertuang di aturan itu bahwa importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain. “Dampaknya tiga juta petambak garam, baik laki-laki dan perempuan menjadi semakin sulit bersaing di pasar nasional dan semakin terpuruk,” katanya.

Tertangkapnya Direktur Utama PT Garam, Achmad Boediono pada Sabtu (10/6) oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal Polri kian memperjelas lemahnya perlindungan negara pada petambak garam Indonesia.  Pusat Data dan Informasi Kiara pada Agustus 2016 mencatat, permasalahan substansi yang dihadapi oleh petambak garam Indonesia adalah minimnya sarana dan prasarana di tambak garam dan buruknya akses air bersih dan sanitasi di tambak garam.

Selain itu, minimnya intervensi teknologi berbiaya murah untuk produksi dan pengolahan garam, besarnya peran tengkulak di dalam rantai distribusi dan pemasaran garam dan harga garam yang rendah. Menurut dia, kelima permasalahan yang dihadapi oleh petambak garam di atas semakin diperburuk dengan adanya ketentuan impor garam industri tidak dikenakan bea masuk melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam yang berlaku sejak Desember 2015.

Carut-marut pengelolaan garam butuh perhatian yang serius, butuh semua pihak melakukan evaluasi bersama terhadap pengelolaan garam Indonesia. Dalam hal ini salah satunya adalah Menteri Perdagangan yang mesti melakukan audit internal di kementeriannya. “Di sisi lain perlu langkah berani untuk mendorong Menteri Perdagangan agar segera mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam karena bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” ujar Susan.

Red: Andri Saubani

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/17/06/11/ordnyk-kasus-pt-garam-bukti-gagalnya-perlindungan-kepada-petambak

World Oceans Day 2017, saatnya Mengevaluasi Kebijakan Kelautan Pemerintahan Poros Maritim

Jakarta – Dalam momentum Hari Laut Sedunia (World Oceans Day) yang jatuh pada hari ini 8 Juni 2017, sejumlah kalangan kembali menyerukan evaluasi visi kelautan pemerintah. Pasalnya, hampir 3 tahun visi kelautan pemerintah yang bernama Poros Maritim Dunia masih dianggap jauh dari sasaran.

Ketua bidang Maritim dan Agraria Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Mahyuddin Rumata menegaskan bahwa laut banyak memiliki manfaat bagi kehidupan manusia. Maka dari itu, potensi dari laut perlu ditingkatkan seoptimal mungkin.

“Manfaat laut yang begitu besar, namun jika tidak dibarengi dengan semangat pengelolaan yang baik akan berdampak pada keberlangsungan hidup manusia,” ujar Yudi biasa disapa di Jakarta (8/6/17).

Saat ini, menurutnya banyak ditemukan sejumlah masalah terkait dengan perizinan, tata ruang laut, hak masyarakat di laut dan pengelolaan usaha perikanan. Sehingga hal tersebut mengurangi substansi visi maritim pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.

Pada tahun 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Kelautan Indonesia, menunjukkan sejumlah masalah dalam Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Kelautan.

Dalam kajian tersebut, dari 34 Provinsi di Indonesia, baru 5 Provinsi yang memiliki Perda Tata Ruang Laut/ Zonasi yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Maluku Utara. Dari 400 sekian Kabupaten/Kota, baru 15 dalam penyusunan (sebagian telah selesai)

Selain itu, Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) juga belum tertib.

“Ini dibuktikan dengan masih banyak keluhan hal tersebut. Persoalan lain adalah belum teridentifikasi dengan baik dan benar hak-hak masyarakat pesisir dalam pemanfaatan laut,” ulas Yudi.

Lebih lanjut, pria asal Maluku ini menyatakan sisi ego sektoral masih terbilang cukup tinggi di antara para stakeholder maritim. Sehingga, hal ini berdampak bagi sulit tercapainya cita-cita untuk membangun negara maritim.

“Lebih parahnya lagi, stakeholder terkait yang mengurusi laut AL, masing-masing sibuk dengan mengedepankan ego sektoralnya. Masing-masing saling menyerobot, seakan merebut kue santapan,” terangnya.

Maka dari itu, pihaknya mengimbau kepada pemerintah untuk mengevaluasi hal-hal tersebut guna tercapainya visi Poros Maritim Dunia.

Visi pemerintah sangat mungkin tidak tercapai jika presiden tidak melakukan evaluasi total terhadap tata kelola kelautan Indonesia, dengan memproteksi para pembantunya yang mengurusi laut,” pungkas Yudi.

Soal Reklamasi

Di momentum World Oceans Day ini, lagi-lagi soal reklamasi menjadi sorotan dari kebijakan pemerintah. Hal itu disampaikan oleh Deputi Advokasi, Hukum dan Kebijakan KIARA Parid Ridwanuddin, yang menyatakan bahwa dalam momentum ini pemerintah harus mengurungkan niatnya untuk melaksanakan reklamasi.

“Mari kita desak pemerintah untuk tidak mereklamasi serta menambang pesisir dan laut di Indonesia karena akan merusak lingkungan dan mengancam masa depan negeri bahari ini,” kata Parid di Jakarta (8/6).

Terutama soal reklamasi Teluk Jakarta yang dianggapnya jelas-jelas bertentangan dengan hukum. Sebanyak 17 pulau reklamasi, 3 di antaranya sudah diputuskan oleh PTUN untuk tidak dilanjutkan.

Namun hingga detik ini pemerintah masih mengklaim apa yang dilakukannya sudah sesuai. Bahkan Menko Maritim Luhut B Pandjaitan usai Lebaran ini akan menantang para penggugat reklamasi untuk beradu data dan hasil kajian ilmiah.

Padahal, di lain kesempatan, Menko Luhut juga pernah mengutarakan jika reklamasi dihentikan maka akan mendapat tuntutan dari investor.

“Proyek reklamasi telah membantah klaim pemerintah Jokowi-JK yang konon mencintai laut dan nelayan, ternyata lebih mengutamakan kepentingan investor,” pungkasnya.

(Adit/MN)

 

Sumber: http://maritimnews.com/world-ocean-day-2017-saatnya-mengevaluasi-kebijakan-kelautan-pemerintahan-poros-maritim/

Hari Nelayan 2017: Negara Wajib Lindungi dan Berdayakan Masyarakat Pesisir

JAKARTA, 6 April 2017 – Hari nelayan merupakan momentum penting untuk mendorong negara agar melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir. Pasalnya, Undang-Undang (UU) nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam telah disahkan oleh DPR RI serta Pemerintah pada tanggal 15 Maret 2016.

Namun, sejalan disahkannya Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam justru kasus perampasan ruang hidup nelayan dan pemiskinan terstruktur terjadi di pesisir Indonesia. Hingga hari ini, nelayan harus berhadapan dengan proyek pengurukan laut atau reklamasi yang terjadi di 16 wilayah pesisir (lihat lampiran) dan merampas ruang kehidupan bagi 107.361 lebih kepala keluarga. Proyek pengurukan laut ini berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir. Diantara dampak buruk yang dirasakan langsung adalah kriminalisasi dan hancurnya kehidupan sosial ekonomi.

Pada saat bersamaan, negara bertanggung jawab untuk memberikan solusi konkrit dan membenahi carut marut dari implementasi Permen 2 tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) salah satunya adalah cantrang. Kondisi ini diperburuk dengan ketidakjelasan negara menyikapi pelarangan penggunaan cantrang yang seharusnya berlaku efektif pada awal tahun 2017, namun kembali diperpanjang hingga Juni 2017.

Pada tahun 2016, Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat 30 kasus penangkapan nelayan yang terpaksa melaut di atas 12 mil agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ketidakpastian serta ketidaktegasan larangan tersebut menjadi dilema sendiri bagi nelayan pengguna cantrang. Solusi yang diberikan oleh Pemerintah tak kunjung mendapatkan respon positif dari nelayan. Dalam konteks ini, kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia harus bersikap tegas dalam mengimplementasikan kebijakan.

Perlindungan dan pemberdayaan masyarakat pesisir juga wajib dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk pengakuan politik bagi nelayan perempuan. Sampai saat ini, perempuan nelayan belum diakui sebagai subjek hukum. Bahkan UU No. 7 Tahun 2016, hanya memuat satu kata perempuan nelayan, yaitu pada Pasal 45 tentang peran perempuan nelayan dalam rumah tangga keluarga. Hal ini mengindikasikan bahwa negara mendomestifikasi perempuan nelayan dan memperkecil akses perempuan nelayan untuk mendapatkan fasilitas dari negara berupa perlindungan dan pemberdayaan. Dampaknya, perempuan nelayan semakin terbatas mengakses program-program pemerintah, salah satunya adalah asuransi nelayan.

Armand Manila, Pelaksana Sekretaris Jenderal KIARA mengungkapkan, “Sulitnya perempuan mengakses kartu nelayan disebabkan oleh minimnya pengetahuan pemerintah tentang definisi perempuan nelayan. Profesi nelayan hanya identik dengan laki-laki. Padahal perempuan terlibat mulai dari pra hingga pasca produksi. Kartu nelayan menjadi pengesahan identitas bagi perempuan nelayan. Bonusnya, mereka dapat mengakses berbagai program pemerintah.”

Undang-undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam secara jelas mengamanatkan pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat yang terdiri dari nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menegaskan, upaya perlindungan dan pemberdayaan masyarakat pesisir seharusnya tidak hanya dibatasi pada asuransi nelayan.  Hadirnya negara dalam melindungi dan memberdayakan perlu diwujudkan secara nyata dan berkelanjutan dalam bentuk kebijakan pembangunan yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama, bukan merampas ruang hidup mereka melalui proyek reklamasi, privatisasi, konservasi serta penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Berdasarkan fakta-fakta di atas sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian serius dan merumuskan solusi konkrit atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir.  Tidak ada hal lain yang harus dilakukan oleh pemerintah selain dari memastikan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat pesisir. “Oleh karena itu, negara wajib lindungi dan berdayakan masyarakat pesisir di seluruh wilayah di Indonesia,” tegas Arman Manila.

Penulis dan Editor: Danang J Murdono (danangjm@netralitas.com)

Sumber: http://www.netralitas.com/nasional/read/23342/hari-nelayan-2017-negara-wajib-lindungi-dan-berdayakan-masyarakat-pesisir

Negara Harus Lindungi Nelayan Masyarakat Pesisir

Jakarta, 6 April 2017 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendorong pemerintah agar dapat memberdayakan masyarakat pesisir secara optimal dalam rangka memperingati Hari Nelayan Nasional yang dirayakan setiap tanggal 7 April.

“Hari nelayan merupakan momentum penting untuk mendorong negara agar melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam telah disahkan oleh DPR RI serta Pemerintah pada tanggal 15 Maret 2016,” kata Pelaksana Sekretaris Jenderal Kiara Armand Manila di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, setelah disahkannya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, justru terjadi sejumlah kasus perampasan ruang hidup nelayan dan pemiskinan tersetruktur di berbagai kawasan pesisir Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa hingga hari ini, nelayan harus berhadapan dengan proyek pengurukan laut atau reklamasi yang terjadi di 16 wilayah pesisir dan dinilai merampas ruang kehidupan bagi 107.361 lebih kepala keluarga.

“Proyek pengurukan laut ini berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir. Di antara dampak buruk yang dirasakan langsung adalah kriminalisasi dan hancurnya kehidupan sosial ekonomi,” paparnya.

Pada tahun 2016, Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat 30 kasus penangkapan nelayan yang terpaksa melaut di atas 12 mil agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Rep: Edgar

Sumber: https://www.komoditas.co.id/negara-harus-lindungi-nelayan-masyarakat-pesisir/

Negara Harus Lindungi Nelayan Masyarakat Pesisir

Jakarta, 6 April 2017 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendorong pemerintah agar dapat memberdayakan masyarakat pesisir secara optimal dalam rangka memperingati Hari Nelayan Nasional yang dirayakan setiap tanggal 7 April.

“Hari nelayan merupakan momentum penting untuk mendorong negara agar melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam telah disahkan oleh DPR RI serta Pemerintah pada tanggal 15 Maret 2016,” kata Pelaksana Sekretaris Jenderal Kiara Armand Manila di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, setelah disahkannya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, justru terjadi sejumlah kasus perampasan ruang hidup nelayan dan pemiskinan tersetruktur di berbagai kawasan pesisir Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa hingga hari ini, nelayan harus berhadapan dengan proyek pengurukan laut atau reklamasi yang terjadi di 16 wilayah pesisir dan dinilai merampas ruang kehidupan bagi 107.361 lebih kepala keluarga.

“Proyek pengurukan laut ini berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir. Di antara dampak buruk yang dirasakan langsung adalah kriminalisasi dan hancurnya kehidupan sosial ekonomi,” paparnya.

Pada tahun 2016, Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat 30 kasus penangkapan nelayan yang terpaksa melaut di atas 12 mil agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Rep: Edgar

Sumber: https://www.komoditas.co.id/negara-harus-lindungi-nelayan-masyarakat-pesisir/

Unjuk Rasa, Poros Maritim Dituding Menistakan Nelayan

Jakarta, 6 April 2017 — Sejumlah nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan untuk Hari Nelayan 2017 mendatangi Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan di kawasan Gambir, Jakarta Pusat.

Mereka menuntut agar pemerintah, Khususnya KKP segera menepati janji untuk menjadikan nelayan sebagai aktor utama dalam perwujudan Poros Maritim dunia.

“Kami ingin menagih janji agar pemerintah bersungguh-sungguh menjadikan nelayan sebagai aktor utamanya, bukan hanya wacana tapi harus terlaksana,” kata Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Parid Ridwanudin di Depan Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Jakarta, Kamis (6/4).

Parid menyebut, sejak wacana Poros Maritim Dunia itu disebut-sebut dalam salah satu janji Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo, hingga saat ini program tersebut justru belum juga terlaksana. Kenyataanya, menurut Farid, justru nelayan semakin terpuruk dengan banyaknya program pembangunan tanpa pelibatan nelayan di dalamnya.

Dalam aksi unjuk rasa itu mereka membawa sejumlah spanduk di antaranya bertuliskan ‘Poros Maritim Gagal, Negara Menistakan Nelayan!; ‘Poros Bahari bukan Poros Maritim’; dan ‘Jangan Tunda Lagi Lindungi Nelayan’.

“Pembangunan memang banyak dilakukan, tapi sayangnya nelayan justru dideskreditkan padahal awal menjabat mereka (pemerintah) bilang akan menjadikan nelayan sebagai aktor utama,” kata Parid.

Misalnya kata Parid, pendeskreditan nelayan ini terjadi pada masyarakat pesisir di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di kawasan resort mewah Pantai Nihiwatu.

Setelah Pantai Nihiwatu resmi dibangun sebagai salah satu resort terbaik dan termahal di dunia, nelayan justru dilarang keras melalui kawasan itu karena dianggap akan menggangu keindahan dan objek wisata.

“Itu sama saja dengan perampasan ruang hidup nelayan, Pantai Nihiwatu dulu adalah milik nelayan, sekarang milik pengusaha,” kata dia.

Oleh karena itu, Parid menyebut tuntutan nelayan pada hari nelayan yang jatuh tepat tanggal 6 April hari ini adalah agar pemerintah menepati janji mereka dan melibatkan nelayan dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan yang diambil pemerintah.

Adapun, kegiatan aksi yang dilakukan oleh sejumlah nelayan ini dimulai sejak pukul 11.20 WIB siang di depan Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan dan akan berlanjut di depan Istana Kepresidenan dengan tuntutan yang sama. (asa)

Reportase: Tiara Sutari, CNN Indonesia

Sumber Berita: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170406122312-20-205419/unjuk-rasa-poros-maritim-dituding-menistakan-nelayan/

Solusi Palsu Salah Urus Air Jakarta

Jakarta, – Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) mengungkapkan, salah urus pengelolaan air Jakarta menyebabkan warga Jakarta kehilangan hak atas air. Swastanisasi air yang sudah berlangsung selama 20 tahun itu, membuat penguasaan air di Jakarta saat ini berada di tangan dua perusahaan swasta.

PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) menguasai pengelolaan air di wilayah Barat dan Utara Jakarta, sementara AETRA Air Jakarta (AETRA) menguasai pengelolaan air di wilayah Timur dan Selatan Jakarta. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Arman Manila mengatakan, putusan Gugatan Warga Negara tertanggal 24 Maret 2015 lalu, secara jelas menetapkan, Perjanjian Kerja Sama (PKS) privatisasi air Jakarta adalah perbuatan melawan hukum sekaligus melanggar norma hak atas air.

Sayangnya hingga kini tak ada tindakan apapun dari pemerintah untuk memutus perjanjian tersebut. “Hari ini dengan adanya privatisasi air Jakarta, masyarakatlah yang merasakan dampak langsung. Misalnya nelayan di Marunda Kepu harus menghabiskan uang sebesar 500 ribu rupiah untuk bisa mendapatkan air bersih,” kata Arman dalam acara diskusi “Membongkar Solusi Palsu Salah Urus Air Jakarta”, Selasa (21/3).

Ini, kata Arman, artinya negara salah urus dalam mengelola air Jakarta. “Terlebih lagi pemerintah menggelontorkan solusi palsu yaitu rencana proyek raksasa pembangunan tanggul dan reklamasi pantai utara Jakarta,” tegasnya.

Sementara itu, Sigit Budiono, dari KRUHA menyebutkan, alih-alih melaksanakan putusan pengadilan itu, pemerintah pusat justru mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi dengan mendasarkan alasan-alasan administratif tanpa melihat substansi putusan MK yang keluar satu bulan sebelumnya. “Saat ini warga Jakarta masih menunggu putusan MA, yang sudah kurang lebih dari satu tahun belum juga memutuskan bagaimana pelayanan air di Jakarta seharusnya di kelola,” ujarnya.

Sigit menegaskan, swastanisasi pengelolaan air ini menciptakan diskriminasi dan ketidakadilan akses bagi masyarakat miskin. Pelayanan yang buruk dan kualitas air yang rendah sangat berdampak khususnya bagi masyarakat miskin kota, terlebih lagi bagi perempuan yang paling banyak bersinggungan dengan penggunaan air untuk kebutuhan rumah tangga, seperti mencuci, memasak, ataupun untuk mandi anak.

Ketua Solidaritas Perempuan Jabotabek Elasari mengatakan, berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan Solidaritas Perempuan di 5 wilayah di Jakarta menunjukan fakta Jakarta masih menghadapi permasalahan krisis air yang mencakup kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Selain dihadapkan pada kondisi air yang keruh, berwarna, berbau, kotor dan/atau berasa, warga Jakarta masih dihadapkan pada rendahnya debit pasokan air serta kontinuitas ketersediaan.

“Keterlibatan operator swasta tidak menunjukkan manfaat dalam pengelolaan air, justru ancaman krisis air tetap terjadi,” tegasnya.

Karena itu, menjelang 20 tahun adanya kontrak kerjasama antara Palyja dan Aetra dengan PAM JAYA, pihak KMMSAJ mendesak kepada Mahkamah Agung untuk cermat dalam memeriksa perkara dan adil dalam memutuskan dengan mempertimbangkan amanat konstitusi serta pemenuhan hak asasi warga negara. “MA justru harus menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan warga,” tegas Matthew Michele Lenggu, selaku kuasa hukum warga, dari LBH Jakarta. (*)

 

Sumber: http://villagerspost.com/todays-feature/solusi-palsu-salah-urus-air-jakarta/

PTUN Kabulkan Gugatan KSTJ soal Pembatalan Reklamasi Pulau F, I dan K

Jakarta – Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan nelayan Teluk Jakarta dan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) mengenai pembatalan izin pelaksanaan Reklamasi Pulau F, I, dan K.

Hal tersebut sebagaimana yang tertera dalam tiga surat keputusan gubernur DKI Jakarta, yaitu: pertama, Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2268 Tahun 2015 Tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo Tertanggal 22 Oktober 2015; kedua, Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2269 Tahun 2015 Tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci Tertanggal 22 Oktober 2015; dan ketiga, Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2485 Tahun 2015 Tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk Tertanggal 17 November 2015.
“Memutuskan mengabulkan seluruh permohonan pihak penggugat. Mencabut SK Gubernur DKI Jakarta tentang Reklamasi Pulau K oleh PT Jaya Ancol,” kata majelis hakim PTUN Jakarta, Adhi Budhi Sulistyo di Gedung PTUN, Jakarta, (16/3).

Duduk sebagai anggota majelis yaitu Adi Budi Sulistyo dan Nani Juliani. Menurut majelis, penerbitan SK tersebut tidak sesuai dengan AMDAL. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sebagai bagian dari KSTJ menyambut gembira dibacakannya putusan ini.

“Dengan dikabulkannya gugatan pembatalan izin pelaksanaan reklamasi pulau F, I, dan K, masyarakat tahu bahwa proyek ini penuh masalah dilihat dari berbagai sisi, baik sisi hukum, sisi lingkungan, sisi ekonomi dan sisi sosial,” tegas Muhammad Armand Manila, Pelaksana Sekretaris Jenderal KIARA.

Izin Pelaksanaan Proyek Reklamasi Pulau F, I, dan K harus dibatalkan karena sejumlah pertimbangan berikut: 1) Melanggar Hukum karena tidak dijadikannnya UU 27 Tahun 2007 dan UU 1 Tahun 2014 sebagai Dasar; 2) Tidak adanya rencana Zonasi sebagaimana diamanatkan Pasal 7 ayat 1 UU 27 Tahun 2007; 3) Proses penyusunan Amdal tidak partisipatif dan tidak melibatkan nelayan; 4) Reklamasi tidak sesuai dengan Prinsip pengadaan lahan untuk kepentingan umum sebagaimana UU 2/2012; 5) Tidak ada kepentingan umum dalam reklamasi, hanya kepentingan bisnis semata; 6) Menimbulkan dampak fisik, biologi, sosial ekonomi, dan infrastruktur; 7) menimbulkan kerusakan lingkungan, dan berdampak kerugian bagi para penggugat (nelayan).

Selain itu, izin yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI itu bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan juga bertentangan dengan azas-azas umum Pemerintahan yang baik (AUPB), yaitu azas kepastian hukum, azas tertib penyelengara negara, azas kepentingan umum, azas keterbukaan, azas proporsionalistas, azas profesionalitas, dan azas akuntabilitas.

Azas kepastian hukum berarti bahwa izin reklamasi dalam SK Gubernur DKI tersebut di luar kewenangannya dan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, SK tersebut menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum bagi warga masyarakat pesisir Jakarta yang berprofesi sebagai nelayan serta tidak memberikan kepastian perlindungan lingkungan hidup.

Azas tertib penyelenggara negara, sambung Armand  adalah azas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

“SK tersebut tidak mengacu kepada peraturan perundangan, diantaranya: UU 27/2007, UU 1/2014, UU 32/2009, dan UU 30/2014. Azas kepentingan umum berarti bahwa SK izin reklamasi tidak mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif,” terangnya.

Selain itu, SK tersebut tidak memiliki izin lingkungan hidup, keputusan kelayakan lingkungan hidup, dan AMDAL sebagai bagian penting perlindungan lingkungan serta tidak mengakui adanya partisipasi dari masyarakat.

Sedangkan, azas keterbukaan berarti tidak ada upaya keterbukaan dalam SK tersebut untuk memberikan informasi yang benar dan jujur kepada masyarakat maupun melibatkan masyarakat di sekitar pesisir dan nelayan tradisional skala kecil dalam proses perumusan hingga terbitnya SK tersebut.

Masih kata Armand, azas proporsionalitas adalah azas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Dengan terbitnya SK tersebut, Pemprov DKI tidak menjalankan kewenangannya secara proporsional.

“Hal ini disebabkan karena SK Gubernur menimbulkan persoalan dimana masyarakat tidak dipenuhi hak asasinya berdasarkan konstitusi untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana diakui dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2,” bebernya.

Lebih lanjut, Armand menjelaskan azas profesionalitas, yaitu azas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi tidak dibuat dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, nyata-nyata Pemprov DKI tidak betindak profesional dalam membuat SK sehingga harus dicabut,” tandasnya.

Terakhir, azas akuntabilitas, yaitu azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelengagra negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bahwa sampai dengan gugatan yang diajukan oleh Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta ini diproses di PTUN, tak pernah sekalipun Pemprov DKI Jakarta mempertanggungjawabkan SK Gubernur tersebut.

Tak ada pengumuman atas keputusan yang diterbitkan Pemprov DKI Jakarta yang diterima oleh Penggugat (Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta dan Nelayan Tradisional Teluk Jakarta) yang terkena secara langsung akibat buruk keputusan izin reklamasi tersebut. Dengan demikian, semakin terang bahwa SK tersebut mengabaikan azas akuntabilitas.

“Dengan dibatalkannya izin pelaksanaan reklamasi pulau F, I, K, kita dapat menyebut hari ini sebagai hari anti reklamasi atau hari kemenangan nelayan Teluk Jakarta. Hari ini adalah hari anti reklamasi karena gugatan nelayan dan KSTJ dikabulkan,” ungkap Armand.

Dengan ini, maka pembangunan reklamasi pulau F, I, dan K dinyatakan ilegal dan melawan hukum. Oleh karena itu KSTJ menyatakan reklamasi Teluk Jakarta tidak dapat dilanjutkan.

ReP: (Adit/MN)

Sumber: http://maritimnews.com/ptun-kabulkan-gugatan-kstj-soal-pembatalan-reklamasi-pulau-f-i-dan-k/