KIARA: Proyek Tanggul Jakarta Akal-Akalan Investor
/in Galeri, Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraKIARA: Proyek Tanggul Jakarta Akal-Akalan Investor
NERACA Jakarta – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut, tidak cukup kegagalan proyek reklamasi dan revitalisasi pantai utara Jakarta sebagai pelajaran berharga bagi pemerintah dalam menentukan arah pembangunana di Jakarta. Selain gagal mengurangi banjir dan krisis air bersih bagi warga Jakarta, proyek tersebut ternyata hanya untuk melindungi aktivitas bisnis properti yang di kuasai oleh segelintir kelompok semata. “Anehnya, meskipun telah terbukti gagal, pemerintah kembali menggulirkan gagasan proyek baru dan semakin jauh dari harapan Jakarta akan terselamatkannya Jakarta dari bencana,” kata Abdul Halim, Sekjen KIARA, kepada Neraca, Senin (24/11). Saat ini, menurut dia, pemerintah sedang mengusung Proyek NCICD, dan salah satunya adalah pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Raksasa Laut yang secara jelas tidak memenuhi persyaratan legal sebuah proyek. “Proyek ini lemah dari sudut pandang hukum lingkungan dan terindikasi kuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan investor. Yaitu guna melindungi properti yang telah dibangun dalam lahan reklamasi sekaligus menaikkan nilai investasi,” ungkapnya. Halim menjelaskan, proyek NCICD tak ubahnya akal-akalan investor seperti proyek reklamasi revitalisasi pantura yang dicekal oleh Kementrian LH tahun 2003. Menurut Keputusan MenLH No. 14 tahun 2003, proyek reklamasi dan revitlaisasi teluk Jakarta tidak layak secara lingkungan hidup, ekonomi dan sosial budaya serta teknik. Namun, para investor ketika itu tidak menyerah dan balik menggugat MenLH (Sekarang Kemennterian LH dan Kehutanan) dan beberapa LSM lingkungan.Next Berikut adalah daftar investor pemegang hak konsesi lahan reklamasi pantai utara Jakarta, yaitu PT Bakti Bangun Era Mulia, PT Taman Harapan Indah, PT Manggala Krida Yudha, PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol, dan PT Jakarta Propertindo. Proyek NCICD juga memasukkan rencana pembangunan 17 pulau buatan, rencana ini semakin tidak relevan dan sangat diragukandari aspek kelayakan lingkungan. Seperti dikutip oleh aljazeera.com, pernyataan Purba Sianipar (Asisten Deputi bidang Infrastruktur Sumberdaya Air Kemenko Perekonomian) bahwa Giant Sea Wall akan melindungi Jakarta dari banjir hingga 1.000 tahun lamanya itu mendapat bantahan dari Victor Coenen (project manager Witteveen Bos). “Konsultan dari Belanda yang membantu pembuatan master plan NCICD ini menyatakan tidak ada garansi bahwa dengan pembangunan giant sea wall Jakarta bisa terbebas dari Banjir. Padahal megaproyek infrastruktur dengan biaya yang sangat mahal tersebut seharusnya memiliki batas garansi,” kata dia. Jika kemudian konsultan Belanda saja tidak dapat menjamin keberhasilan proyek yang akan memerlukan dana hingga Rp 600 triliun ini. Maka sesuai UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan “jika pemerintah sebagai pihak yang berwenang tidak memiliki bukti ilmiah bahwa tidak akan ada kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, maka kegiatan tersebut harus kembali pada pertimbangan kepentingan kelestarian lingkungan”. Dan secara otomatis proyek Giant Sea Wall ini tidak layak untuk dilanjutkan. KIARA meminta kepada Presiden Joko Widodo agar berpihak pada kepentingan nelayan dengan tidak mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya yang membela kepentingan investor lewat penerbitan Keputusan Presiden untuk melegalkan proyek yang akan menghancurkan ekosistem pesisir utara Jakarta. Proyek NCICD ini juga sangat meragukan dari aspke mitigasi bencana banjir Jakarta, karena jika muara 13 sungai yang melewati Jakarta ditinggikan dasarnya lewat pengurukan, maka laju sedimentasi akan semakin tinggi akibat dasar muara yang semakin tinggi. “Banjir akan lebih mudah terjadi jika curah hujan tinggi karena sungai semakin dangkal. Sudah saatnya pemerintah lebih fokus pada pendekatan adaptasi, misalnya lewat perbaikan sistem drainase dan pelibatan masyarakat, daripada pendekatan mitigasi bencana lewat pembangunan infrastuktur,” tegasnya. Sumber: http://www.neraca.co.id/industri/47882/KIARA-Proyek-Tanggul-Jakarta-AkalAkalan-InvestorKIARA: Proyek Tanggul Jakarta Akal-Akalan Investor
/in Galeri, Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraKIARA: Proyek Tanggul Jakarta Akal-Akalan Investor
NERACA Jakarta – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut, tidak cukup kegagalan proyek reklamasi dan revitalisasi pantai utara Jakarta sebagai pelajaran berharga bagi pemerintah dalam menentukan arah pembangunana di Jakarta. Selain gagal mengurangi banjir dan krisis air bersih bagi warga Jakarta, proyek tersebut ternyata hanya untuk melindungi aktivitas bisnis properti yang di kuasai oleh segelintir kelompok semata. “Anehnya, meskipun telah terbukti gagal, pemerintah kembali menggulirkan gagasan proyek baru dan semakin jauh dari harapan Jakarta akan terselamatkannya Jakarta dari bencana,” kata Abdul Halim, Sekjen KIARA, kepada Neraca, Senin (24/11). Saat ini, menurut dia, pemerintah sedang mengusung Proyek NCICD, dan salah satunya adalah pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Raksasa Laut yang secara jelas tidak memenuhi persyaratan legal sebuah proyek. “Proyek ini lemah dari sudut pandang hukum lingkungan dan terindikasi kuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan investor. Yaitu guna melindungi properti yang telah dibangun dalam lahan reklamasi sekaligus menaikkan nilai investasi,” ungkapnya. Halim menjelaskan, proyek NCICD tak ubahnya akal-akalan investor seperti proyek reklamasi revitalisasi pantura yang dicekal oleh Kementrian LH tahun 2003. Menurut Keputusan MenLH No. 14 tahun 2003, proyek reklamasi dan revitlaisasi teluk Jakarta tidak layak secara lingkungan hidup, ekonomi dan sosial budaya serta teknik. Namun, para investor ketika itu tidak menyerah dan balik menggugat MenLH (Sekarang Kemennterian LH dan Kehutanan) dan beberapa LSM lingkungan.Next Berikut adalah daftar investor pemegang hak konsesi lahan reklamasi pantai utara Jakarta, yaitu PT Bakti Bangun Era Mulia, PT Taman Harapan Indah, PT Manggala Krida Yudha, PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol, dan PT Jakarta Propertindo. Proyek NCICD juga memasukkan rencana pembangunan 17 pulau buatan, rencana ini semakin tidak relevan dan sangat diragukandari aspek kelayakan lingkungan. Seperti dikutip oleh aljazeera.com, pernyataan Purba Sianipar (Asisten Deputi bidang Infrastruktur Sumberdaya Air Kemenko Perekonomian) bahwa Giant Sea Wall akan melindungi Jakarta dari banjir hingga 1.000 tahun lamanya itu mendapat bantahan dari Victor Coenen (project manager Witteveen Bos). “Konsultan dari Belanda yang membantu pembuatan master plan NCICD ini menyatakan tidak ada garansi bahwa dengan pembangunan giant sea wall Jakarta bisa terbebas dari Banjir. Padahal megaproyek infrastruktur dengan biaya yang sangat mahal tersebut seharusnya memiliki batas garansi,” kata dia. Jika kemudian konsultan Belanda saja tidak dapat menjamin keberhasilan proyek yang akan memerlukan dana hingga Rp 600 triliun ini. Maka sesuai UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan “jika pemerintah sebagai pihak yang berwenang tidak memiliki bukti ilmiah bahwa tidak akan ada kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, maka kegiatan tersebut harus kembali pada pertimbangan kepentingan kelestarian lingkungan”. Dan secara otomatis proyek Giant Sea Wall ini tidak layak untuk dilanjutkan. KIARA meminta kepada Presiden Joko Widodo agar berpihak pada kepentingan nelayan dengan tidak mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya yang membela kepentingan investor lewat penerbitan Keputusan Presiden untuk melegalkan proyek yang akan menghancurkan ekosistem pesisir utara Jakarta. Proyek NCICD ini juga sangat meragukan dari aspke mitigasi bencana banjir Jakarta, karena jika muara 13 sungai yang melewati Jakarta ditinggikan dasarnya lewat pengurukan, maka laju sedimentasi akan semakin tinggi akibat dasar muara yang semakin tinggi. “Banjir akan lebih mudah terjadi jika curah hujan tinggi karena sungai semakin dangkal. Sudah saatnya pemerintah lebih fokus pada pendekatan adaptasi, misalnya lewat perbaikan sistem drainase dan pelibatan masyarakat, daripada pendekatan mitigasi bencana lewat pembangunan infrastuktur,” tegasnya. Sumber: http://www.neraca.co.id/industri/47882/KIARA-Proyek-Tanggul-Jakarta-AkalAkalan-InvestorKiara: Produksi Ikan 2013 Harus Dikendalikan
/in Galeri, Kampanye & Advokasi, Publikasi /by adminkiaraRiza memaparkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan melaporkan realisasi produksi perikanan tangkap 2012 sebanyak 5,81 juta ton atau mencapai 89,1 persen dari total potensi sumberdaya ikan Indonesia.
Namun, ia menyayangkan bahwa tingginya realisasi produksi perikanan kemudian malah diklaim sebagai prestasi tingginya volume produksi perikanan pada 2012.
Sekjen Kiara mengingatkan, hal yang paling utama dalam pengelolaan sektor kelautan dan perikanan adalah menjamin kelestarian sumber daya Ikan serta meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan.
“Laju penangkapan ikan maksimum yang diperbolehkan adalah 80 persen dari total potensi ikan berdasarkan FAO,” kata Riza.
Selain itu, ujar dia, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI menyebutkan total potensi ikan Indonesia hanya sebesar 6,5 juta ton.
Dengan demikian, lanjutnya, sepanjang 2012, volume produksi perikanan tangkap Indonesia telah melewati batas produksi keberlanjutan, yakni sekitar 9 persen diatas ketentuan atau setara dengan 600 ribu ton ikan.
“Karenanya, pengelolaan perikanan 2012 tidak lagi berkelanjutan. Dipastikan akan berdampak pada krisis ikan dimasa yang akan datang,” kata Riza.
Ia berpendapat, cara untuk mengatasinya adalah dengan mengembalikan volume produksi perikanan 2013 pada arah yang berkelanjutan.
Hal tersebut, menurut dia, dapat dilakukan dengan membatasi ijin penangkapan ikan khususnya di Laut Aru dan Laut Timor, Laut Jawa, Samudera Hindia, dan Selat Malaka.
“Lalu, bersungguh-sungguh memberantas kejahatan perikanan dan menghentikan ekspor ikan non-olahan,” katanya. (Ant)
Sumber:http://www.
Data Produksi Garam Nasional Harus Akurat
/in Galeri, Kampanye & Advokasi, Publikasi /by adminkiaraMacan Ompong Kelautan dan Perikanan
/in Galeri, Kampanye & Advokasi, Publikasi /by adminkiaraBeda Djuanda, SBY, dan Cicip
/in Galeri, Kampanye & Advokasi /by adminkiaraMeski minim mendapat perhatian, penetapan 13 Desember sebagai Hari Nusantara layak digunakan sebagai momentum reflektif politik kelautan dan perikanan nasional.
Bermula dari Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia secara sepihak mengumumkan kepada dunia internasional bahwa Kepulauan Indonesia tidak dapat dipisahkan oleh laut. Harapannya ke depan, laut tidak hanya menjadi ruang juang, tapi sekaligus sebagai ruang hidup bangsa.
Pada 10 Desember 1982, melalui pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), dunia pun mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan. Oleh karena itu, sesuai Pasal 49 Ayat 2 UNCLOS 1982, Indonesia sewajarnya berdaulat untuk ruang udara di atas perairan kepulauan, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Ironinya, setelah 55 tahun pasca-dikumandangkannya Deklarasi Djuanda, kedaulatan kita di laut justru semakin tidak terasa.
Beda SBY
Mari kita tengok di Perairan Natuna, Kepulauan Riau. Kapal-kapal ikan berbendera Indonesia jamak menggunakan nakhoda dan pekerja asing. Bahkan, di antara mereka, ada yang mempekerjakan hingga 99 persen Anak Buah Kapal (ABK) asing dan hanya 1 persen ABK Indonesia. Karenanya, Indonesia terus merugi.
Setiap hari, ratusan palkah ikan yang ditangkap dari Perairan Natuna bebas didaratkan di Thailand maupun negara tetangga lain. Dengan begitu, kekayaan sumber daya perikanan nasional gagal dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mengatasi hal tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Instruksi Presiden No 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan terhadap Nelayan telah memberi perintah kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo; yakni untuk menindak tegas setiap pelaku penangkapan ikan secara melawan hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing) dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
Anehnya, dengan sepengetahuan Menteri Cicip pula, di antara kapal-kapal yang melakukan tindak pidana perikanan, dibebaskan. Merasa mendapat perlindungan dari pejabat negara, kejahatan perikanan ini pun “menular dan menjamur” di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPP).
Di hilir, investasi perikanan melonjak hingga 230 persen pada kurun tiga tahun terakhir. Sebanyak 99 persen di antaranya merupakan Penanaman Modal Asing.
Sayangnya untuk periode yang sama, industri pengolahan ikan hanya mampu menyediakan kurang dari 250.000 tenaga kerja. Di antara faktor penyebabnya adalah ekspor perikanan masih berupa produk non-olahan, menggunakan bahan baku impor, dan praktik transhipment.
Inilah industrialisasi perikanan ala Presiden SBY dan Menteri Cicip. Berseberangan dengan semangat Deklarasi Djuanda. Tidak justru menguatkan kedaulatan kita di laut dengan memaksimalkan modalitas sumber daya manusia dan sumber daya alam nasional. Sebaliknya, dengan mudah dan murah menyerahkan kedaulatan pengelolaan laut kita kepada asing dengan kedok Industrialisasi Perikanan.
Mengembalikan Kejayaan
Tepat di Hari Nusantara, 13 Desember lalu, Serikat Nelayan Teluk Palu menyelenggarakan Kongres V dengan tema “Melindungi Laut dengan Konsolidasi Nelayan”.
Dijelaskan, tema tersebut menjangkar pada pengalaman empirik keluarga nelayan; yakni setelah eksis satu dekade terakhir, nelayan yang tergabung dalam SNTP justru merasakan, peran pemerintah semakin tidak maksimal dalam melindungi sumber daya laut untuk (sebesar-besar) kesejahteraan nelayan maupun rakyat pada umumnya.
Ini ditandai dengan pembiaran penggunaan alat tangkap merusak, perluasan konversi (baca: reklamasi) ekosistem pesisir untuk kawasan perhotelan, perniagaan, dan permukiman mewah; maupun belakangan dengan maraknya kegiatan pertambangan di sepanjang pesisir dan pulau-pulau kecil.
Olehnya, wujud kecintaan terhadap Tanah Air (termasuk keluarga) harus dioperasionalkan dalam memperkuat organisasi nelayan. Secara sadar, langkah ini dimaksudkan untuk melengkapi upaya negara dalam membatasi atau bahkan menghentikan perluasan perampasan sumber daya kelautan dan perikanan (Ocean-grabbing) di Indonesia.
Sektor kelautan dan perikanan sepatutnya menjadi solusi berdaulat nan membanggakan. Menjembatani kesejahteraan bagi rakyat, dengan menghidupkan ekonomi kerakyatan, menyediakan lapangan pekerjaan, bahkan tempat tumbuh-kembangnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan khas Indonesia. Bukan sebaliknya, menyuburkan kepentingan asing!
*Penulis adalah Sekretaris Jenderal KIARA; Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional (KNTI).
LSM: Penuhi Hak Konstitusional Nelayan Secara Konsisten
/1 Comment/in Galeri, Kampanye & Advokasi, Publikasi /by adminkiaraLSM: Penuhi Hak Konstitusional Nelayan Secara Konsisten
/1 Comment/in Galeri, Kampanye & Advokasi, Publikasi /by adminkiara
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.