Kiara Desak Pemerintah Jerat Korporasi di Balik MV Hai Fa

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA–Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan pemerintah dapat menjerat korporasi yang menjadi pemilik Kapal MV Hai Fa yang telah divonis bersalah terkait kasus penangkapan ikan secara ilegal di kawasan perairan Indonesia.

“Sejauh ini yang terjerat hanya orang per orang alias pelaku lapangan,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, Senin. Menurut Abdul Halim, membuka kasus penyidikan baru mungkin dilakukan asalkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki kecukupan alat bukti.

Meski kapal Hai Fa saat ini telah dilaporkan kembali berada di Cina, ujar dia, namun KKP dinilai sangat mungkin membuka kasus penyidikan baru.”Di tingkat awal, KKP sudah memiliki pegangan bukti yang memadai, tinggal ‘action’ saja,” katanya.

Sekjen Kiara mengingatkan bahwa sejumlah pelanggaran telah dilakukan kapal Hai Fa di yurisdiksi Indonesia, di luar tuntutan jaksa di pengadilan negeri.

Ia memaparkan, beragam pelanggaran itu antara lain berlayar tanpa SLO (Surat Laik Operasi) dan mematikan VMS (vessel monitoring system) guna memantau pergerakan kapal di lautan.

Selain itu, lanjutnya, kapal Hai Fa dalam berlayar juga diketahui tidak memiliki dokumen perizinan lengkap berdasarkan UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Sebelumnya, KKP bersama Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) telah menyelenggarakan rapat koordinasi tanggal 21 Mei 2015.

Hasil rapat koordinasi tersebut adalah membentuk Tim Khusus Penanganan Kasus Hai Fa. Selanjutnya, pembentukan Tim Khusus Penanganan Kasus Hai Fa telah ditunjuk Brigjen Pol Kamil Razak untuk menjadi Koordinator Tim.

Pembentukan tim tersebut dimaksudkan agar penanganan kasus Hai Fa dilaksanakan secara menyeluruh, tidak hanya terhadap kapal Hai Fa tetapi juga kepada pihak-pihak lain.

Saat ini, Tim Khusus itu sedang bekerja dan KKP sangat mengharapkan bantuan dan dukungan dari BIN, Menteri Perhubungan, Kapolri, Menteri Keuangan melalui Dirjen Bea Cukai, TNI Angkatan laut, Jaksa Agung untuk melakukan kerja sama dalam upaya menindak nahkoda kapal MV Hai dan pihak lain termasuk perusahaan yang menjadi agen kapal MV Hai Fa.

Sumber: http://www.kiara.or.id/wp-admin/post-new.php

Menteri Susi Lapor Interpol soal Kapal Hai Fa

Rimanews – Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku telah melapor ke Interpol soal kapal MV Hai Fa, yang diawaki warga Tiongkok dan dilaporkan telah kembali ke negara asalnya setelah divonis denda karena membawa ikan ilegal.

“Kami sudah melaporkan Hai Fa kepada Interpol,” kata Susi Pudjiastuti kepada wartawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (15/06/2015).

Menurut Susi, kapal tersebut seharusnya tetap dinyatakan bersalah karena menyalahi sejumlah regulasi pelayaran internasional.

Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tinggi Maluku telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Ambon terkait kasus kapal MV Hai Fa dengan memvonis denda terhadap nakhoda kapal tersebut dengan denda bernilai hingga sebanyak Rp200 juta.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan berbagai pihak untuk terus mewaspadai banyaknya kapal buatan asing yang mengincar sumber daya laut termasuk komoditas perikanan di kawasan perairan Republik Indonesia.

“Bayangkan, ada 6.000 lebih kapal eks-asing yang masih berkeliaran di luar perairan Indonesia pascapemberlakuan moratorium,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Kamis (21/05) lalu.

Kapal-kapal itu, ujar Abdul Halim, dinilai bisa menjelma menjadi kapal-kapal baru yang kembali mencuri ikan dan menjarah sumber daya di perairan nasional.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan hampir seluruh kapal eks-asing yang digunakan untuk menangkap ikan di kawasan perairan Indonesia diduga terlibat di dalam aktivitas pencurian ikan.

“Hampir 99,99 persen kapal eks-asing terlibat dalam illegal fishing. Setidaknya tidak melaporkan hasil tangkapan,” kata Susi Pudjiastuti.

Pemerintah melalui KKP sejak November 2014 telah melarang kapal eks asing mencari ikan di perairan Indonesia dengan menerbitkan kebijakan moratorium perizinan penangkapan ikan untuk kapal eks-asing yang beroperasi di kawasan perairan nasional.

Editor : Dede Suryana

Sumbera: http://m.nasional.rimanews.com/peristiwa/read/20150615/218741/Menteri-Susi-Lapor-Interpol-soal-Kapal-Hai-Fa

Satgas : Pelanggaran Peraturan Kapal Tertinggi Ada Di Maluku

Senin, 8 Juni 2015

Deputi Satgas Pencegahan dan Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Yunus Husein,  dalam rapat koordinasi dengan jajaran aparat penegak hukum dalam bidang tindak pidana penangkapan ikan ilegal di Ambon Kamis pekan lalu (04/06/2015) menjelaskan bahwa Maluku menempati urutan pertama jumlah pelanggaran kepatuhan kapal.

“Perairan Maluku merupakan wilayah dengan angka pelanggaran tertinggi di Indonesia yang melibatkan 350 kapal bermasalah. Mayoritas pelanggaran terjadi di sekitar kepulauan Aru,” kata Yunus dalam siaran pers yang diterima Mongabay pada Senin (08/06/2015).

Satgas menemukan bahwa 95 persen kapal-kapal bermasalah di perairan Maluku tersebut mempekerjakan nahkoda dan ABK asing tanpa surat-surat lengkap, memiliki banyak bendera, VMS yang tidak aktif sehingga posisi kapal tidak dapat diketahui.

Kapal-kapal tersebut juga kerap melakukan transshipment ilegal dan membawa bahan bakar ilegal. Dalam kasus Benjina, terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, imigrasi, perdagangan manusia dan kerja paksa.

Dalam upaya pemetaan kepatuhan kapal, tim Satgas juga menemukan 200-an pelanggaran di Sulawesi Utara, 150 di Bali, 140 di Papua, 90 di Papua Barat, dan 60 pelanggaran di Kepulauan Riau. Sama halnya dengan pelanggaran di perairan Maluku, dengan tambahan pelanggaran seperti penangkapan dan ekspor ikan yang dilindungi, impor barang illegal, badan hukum fiktif serta mark-down ukuran berat  kapal.

“Sesuai dengan strategi kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebanyak 62 kapal bermasalah telah ditenggelamkan guna memberikan efek gentar,” ujar Yunus.

Dia menjelaskan satu kapal Malaysia ditenggelamkan di perairan Aceh; 28 kapal dari Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia di tenggelamkan di perairan Kepulauan Riau; satu kapal Malaysia di Sumatera Utara, 6 kapal dari Vietnam, Thailand dan Cina ditenggelamkan di Kalimantan; 9 kapal Indonesia ditenggelamkan di Papua, dan 17 kapal dari Filipina dan Indonesia di tenggelamkan di perairan Sulawesi Utara.

Sedangkan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan ditemukannya laporan kapal ikan yang melanggar ketentuan Undang-undang No.45/2009 tentang Perikanan menunjukkan bahwa pencurian ikan (illegal, unreported and unregulated/IUU fishing) telah merugikan bangsa Indonesia dalam jumlah yang cukup besar.

“KIARA menyebut sedikitnya Rp30 triliun dari ikan yang dicuri dan Rp80 triliun dari potensi pajak dan PNBP yang hilang,” kata Halim yang dihubungi Mongabay pada Senin (08/06/2015).

‎Dia melanjutkan laporan Satgas Illegal Fishing tersebut harus ditindaklanjuti dengan pengumuman kepada publik, perbaikan/penguatan kebijakan dan penindakan hukum secara tegas kepada kapal ikan, baik korporasi maupun perorangan

‎Mengenai penegakan hukumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan harus ambil peran aktif untuk melakukan dialog secara intensif dengan para penegak hukum, seperti Kepolisian RI, Panglima TNI (membawahi TNI AL), Bakamla, Jaksa Agung dan Hakim Pengadilan Perikanan

Indonesia juga perlu meningkatkan kerjasama regional dan internasional dalam memerangi IUU Fishing. “Dalam konteks inilah, peran Pemerintah Indonesia harus lebih aktif, terutama menyediakan ruang dan insentif bagi masyarakat pelaku perikanan skala kecil dalam mengamankan perairan nasional dari ancaman kedaulatan, keberlanjutan sumber daya laut bagi kesejahteraan masyarakat,” lanjutnya.

Halim melihat koordinasi penegakan hukum yang telah dilakukan oleh Menteri Kelautan belum cukup maksimal dan belum terkoordinasi dengan aparat penegakan hukum yang lain. Bahkan belum sepehaman. “‎Belum menusuk jantung pemahaman mereka,” tambahnya.

Penguatan pengadilan perikanan

Terkait penegakan hukum kasus kelautan dan perikanan, Mahkamah Agung (MA) didukung Uni Eropa dan United Nations Development Programme (UNDP) melakukan penguatan koordinasi dan penanganan perkara-perkara kelautan dan perikanan di Maluku.

MA bekerja sama instansi terkait seperti KKP, Kejaksaan Tinggi, Kepolisian Daerah, Pengadilan Tinggi Maluku dan Pengadilan Negeri Ambon, menggagas upaya-upaya pembentukan tim ahli, perumusan modul pelatihan dan Panduan Teknis Lapangan serta pembentukan satuan pelatih, yang direncanakan rampung sebelum akhir 2015.

“Upaya penegakan hukum bidang perikanan dan kelautan memiliki ruang lingkup yang sangat luas sehingga nomenklatur pengadilan perikanan mempersempit cakupan penanganan masalah ini karena terdapat banyak isu lain dalam penanganan perkara  perikanan dan kelautan.” jelas Kepala Bagian Program Pusdiklat Teknis Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan MA, Abdullah dalam rapat tim ahli di Ambon.

Abdullah mengungkapkan bahwa kondisi penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan saat ini masih terhalang oleh penerapan pasal-pasal hukum yang sangat lemah, keterbatasan keterampilan dan pengetahuan penegak hukum dalam menerapkan dakwaan yang non-konvensional/korporasi, minimnya koordinasi antar penyidik dan antar kementerian-lembaga, dan penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi hasil putusan pengadilan. Selain itu, ada keterbatasan sumberdaya dan anggaran pemerintah dalam menangani perkara-perkara perikanan dan kelautan.

Minimnya hakim dan jaksa yang telah bersertifikasi perikanan juga merupakan hambatan penanganan dan penyelesaian perkara. Untuk jaksa, selama ini belum ada penunjukan jaksa khusus perikanan, tetapi masih harus ditangani oleh jaksa umum yang juga menangangi kasus lain seperti tipikor. Selain itu, kemampuan Badiklat masih sangat terbatas dan tergantung dengan permintaan untuk pelatihan sertifikasi jaksa perikanan.  Hal ini mempengaruhi proses penyusunan tuntutan, dakwaan dan pembuktian yang dilakukan oleh kejaksaan.

Sedangkan pakar peradilan UNDP, Bobby Rahman, menjelaskan bahwa kejahatan sektor kelautan dan perikanan merupakan kejahatan lintas sektor. Sehingga perlu perlu undang-undang lain untuk menjerat pelaku.

“Ada begitu banyak pelanggaran terkait lainnya dalam perkara perikanan dan kelautan seperti pelanggaran undang-undang TPPU, suap, gratifikasi dan penghindaran pajak,” jelas Bobby. “Selain itu, banyak pula pelanggaran undang-undang pelayaran, pajak, imigrasi, perikanan, ekspor-impor, PMA, migas, kepabean, hayati, dan masih banyak lagi sehingga penguatan koordinasi jajaran penegak hukum dan pengadilan khusus perikanan harus bersifat mutlak.”

Terkait pendekatan multidoor dalam penanganan perkara perikanan dan kelautan, Bobby menilai masih minim sekali koordinasi dan  pengetahuan tentang UU diluar bidang perikanan sehingga perlu merangkul pihak terkait lainnya serta mengintensifkan upaya-upaya pelatihan  teknis melibatkan Kepolisian (Reskrimsus dan Polair), KKP, PSDKP, TNI AL – Danlantamal, Kejaksaan, Pengadilan Perikanan, Bea Cukai, Imigrasi, Syahbandar Perikanan dan Syahbandar Umum dan Karantina.

Oleh karena itu, MA dan KKP akan mengembangkan modul pelatihan yang mencakup isu-isu tata kelola perikanan (bentuk fisik kapal, bentuk perijinan), tipologi tindak pidana di laut, tindak pidana korporasi, hukum acara dan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan/TP di laut, sistem pembuktian, persamaan persepsi tentang surat dakwaan, eksekusi (barang bukti dan denda), dan integrasi sistem penelusuran perkara. Berbagai pelatihan terpadu ini diharapkan bisa diberikan pada November 2015.

Rep: Jay Fajar

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/06/08/satgas-pelanggaran-peraturan-kapal-tertinggi-ada-di-maluku/

Satgas : Pelanggaran Peraturan Kapal Tertinggi Ada Di Maluku

Senin, 8 Juni 2015

Deputi Satgas Pencegahan dan Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Yunus Husein,  dalam rapat koordinasi dengan jajaran aparat penegak hukum dalam bidang tindak pidana penangkapan ikan ilegal di Ambon Kamis pekan lalu (04/06/2015) menjelaskan bahwa Maluku menempati urutan pertama jumlah pelanggaran kepatuhan kapal.

“Perairan Maluku merupakan wilayah dengan angka pelanggaran tertinggi di Indonesia yang melibatkan 350 kapal bermasalah. Mayoritas pelanggaran terjadi di sekitar kepulauan Aru,” kata Yunus dalam siaran pers yang diterima Mongabay pada Senin (08/06/2015).

Satgas menemukan bahwa 95 persen kapal-kapal bermasalah di perairan Maluku tersebut mempekerjakan nahkoda dan ABK asing tanpa surat-surat lengkap, memiliki banyak bendera, VMS yang tidak aktif sehingga posisi kapal tidak dapat diketahui.

Kapal-kapal tersebut juga kerap melakukan transshipment ilegal dan membawa bahan bakar ilegal. Dalam kasus Benjina, terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, imigrasi, perdagangan manusia dan kerja paksa.

Dalam upaya pemetaan kepatuhan kapal, tim Satgas juga menemukan 200-an pelanggaran di Sulawesi Utara, 150 di Bali, 140 di Papua, 90 di Papua Barat, dan 60 pelanggaran di Kepulauan Riau. Sama halnya dengan pelanggaran di perairan Maluku, dengan tambahan pelanggaran seperti penangkapan dan ekspor ikan yang dilindungi, impor barang illegal, badan hukum fiktif serta mark-down ukuran berat  kapal.

“Sesuai dengan strategi kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebanyak 62 kapal bermasalah telah ditenggelamkan guna memberikan efek gentar,” ujar Yunus.

Dia menjelaskan satu kapal Malaysia ditenggelamkan di perairan Aceh; 28 kapal dari Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia di tenggelamkan di perairan Kepulauan Riau; satu kapal Malaysia di Sumatera Utara, 6 kapal dari Vietnam, Thailand dan Cina ditenggelamkan di Kalimantan; 9 kapal Indonesia ditenggelamkan di Papua, dan 17 kapal dari Filipina dan Indonesia di tenggelamkan di perairan Sulawesi Utara.

Sedangkan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan ditemukannya laporan kapal ikan yang melanggar ketentuan Undang-undang No.45/2009 tentang Perikanan menunjukkan bahwa pencurian ikan (illegal, unreported and unregulated/IUU fishing) telah merugikan bangsa Indonesia dalam jumlah yang cukup besar.

“KIARA menyebut sedikitnya Rp30 triliun dari ikan yang dicuri dan Rp80 triliun dari potensi pajak dan PNBP yang hilang,” kata Halim yang dihubungi Mongabay pada Senin (08/06/2015).

‎Dia melanjutkan laporan Satgas Illegal Fishing tersebut harus ditindaklanjuti dengan pengumuman kepada publik, perbaikan/penguatan kebijakan dan penindakan hukum secara tegas kepada kapal ikan, baik korporasi maupun perorangan

‎Mengenai penegakan hukumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan harus ambil peran aktif untuk melakukan dialog secara intensif dengan para penegak hukum, seperti Kepolisian RI, Panglima TNI (membawahi TNI AL), Bakamla, Jaksa Agung dan Hakim Pengadilan Perikanan

Indonesia juga perlu meningkatkan kerjasama regional dan internasional dalam memerangi IUU Fishing. “Dalam konteks inilah, peran Pemerintah Indonesia harus lebih aktif, terutama menyediakan ruang dan insentif bagi masyarakat pelaku perikanan skala kecil dalam mengamankan perairan nasional dari ancaman kedaulatan, keberlanjutan sumber daya laut bagi kesejahteraan masyarakat,” lanjutnya.

Halim melihat koordinasi penegakan hukum yang telah dilakukan oleh Menteri Kelautan belum cukup maksimal dan belum terkoordinasi dengan aparat penegakan hukum yang lain. Bahkan belum sepehaman. “‎Belum menusuk jantung pemahaman mereka,” tambahnya.

Penguatan pengadilan perikanan

Terkait penegakan hukum kasus kelautan dan perikanan, Mahkamah Agung (MA) didukung Uni Eropa dan United Nations Development Programme (UNDP) melakukan penguatan koordinasi dan penanganan perkara-perkara kelautan dan perikanan di Maluku.

MA bekerja sama instansi terkait seperti KKP, Kejaksaan Tinggi, Kepolisian Daerah, Pengadilan Tinggi Maluku dan Pengadilan Negeri Ambon, menggagas upaya-upaya pembentukan tim ahli, perumusan modul pelatihan dan Panduan Teknis Lapangan serta pembentukan satuan pelatih, yang direncanakan rampung sebelum akhir 2015.

“Upaya penegakan hukum bidang perikanan dan kelautan memiliki ruang lingkup yang sangat luas sehingga nomenklatur pengadilan perikanan mempersempit cakupan penanganan masalah ini karena terdapat banyak isu lain dalam penanganan perkara  perikanan dan kelautan.” jelas Kepala Bagian Program Pusdiklat Teknis Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan MA, Abdullah dalam rapat tim ahli di Ambon.

Abdullah mengungkapkan bahwa kondisi penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan saat ini masih terhalang oleh penerapan pasal-pasal hukum yang sangat lemah, keterbatasan keterampilan dan pengetahuan penegak hukum dalam menerapkan dakwaan yang non-konvensional/korporasi, minimnya koordinasi antar penyidik dan antar kementerian-lembaga, dan penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi hasil putusan pengadilan. Selain itu, ada keterbatasan sumberdaya dan anggaran pemerintah dalam menangani perkara-perkara perikanan dan kelautan.

Minimnya hakim dan jaksa yang telah bersertifikasi perikanan juga merupakan hambatan penanganan dan penyelesaian perkara. Untuk jaksa, selama ini belum ada penunjukan jaksa khusus perikanan, tetapi masih harus ditangani oleh jaksa umum yang juga menangangi kasus lain seperti tipikor. Selain itu, kemampuan Badiklat masih sangat terbatas dan tergantung dengan permintaan untuk pelatihan sertifikasi jaksa perikanan.  Hal ini mempengaruhi proses penyusunan tuntutan, dakwaan dan pembuktian yang dilakukan oleh kejaksaan.

Sedangkan pakar peradilan UNDP, Bobby Rahman, menjelaskan bahwa kejahatan sektor kelautan dan perikanan merupakan kejahatan lintas sektor. Sehingga perlu perlu undang-undang lain untuk menjerat pelaku.

“Ada begitu banyak pelanggaran terkait lainnya dalam perkara perikanan dan kelautan seperti pelanggaran undang-undang TPPU, suap, gratifikasi dan penghindaran pajak,” jelas Bobby. “Selain itu, banyak pula pelanggaran undang-undang pelayaran, pajak, imigrasi, perikanan, ekspor-impor, PMA, migas, kepabean, hayati, dan masih banyak lagi sehingga penguatan koordinasi jajaran penegak hukum dan pengadilan khusus perikanan harus bersifat mutlak.”

Terkait pendekatan multidoor dalam penanganan perkara perikanan dan kelautan, Bobby menilai masih minim sekali koordinasi dan  pengetahuan tentang UU diluar bidang perikanan sehingga perlu merangkul pihak terkait lainnya serta mengintensifkan upaya-upaya pelatihan  teknis melibatkan Kepolisian (Reskrimsus dan Polair), KKP, PSDKP, TNI AL – Danlantamal, Kejaksaan, Pengadilan Perikanan, Bea Cukai, Imigrasi, Syahbandar Perikanan dan Syahbandar Umum dan Karantina.

Oleh karena itu, MA dan KKP akan mengembangkan modul pelatihan yang mencakup isu-isu tata kelola perikanan (bentuk fisik kapal, bentuk perijinan), tipologi tindak pidana di laut, tindak pidana korporasi, hukum acara dan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan/TP di laut, sistem pembuktian, persamaan persepsi tentang surat dakwaan, eksekusi (barang bukti dan denda), dan integrasi sistem penelusuran perkara. Berbagai pelatihan terpadu ini diharapkan bisa diberikan pada November 2015.

Rep: Jay Fajar

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/06/08/satgas-pelanggaran-peraturan-kapal-tertinggi-ada-di-maluku/

Inilah Temuan Awal Satgas Illegal Fishing di Sektor Kelautan

Selasa, 26 Mei 2015

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membentuk  Tim Satgas Anti Ilegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing pada akhir 2014, dengan salah satu tugas melakukan evaluasi dan audit kepatuhan  terhadap seluruh kapal perikanan di atas 30 gross tonnage (GT) yang beroperasi di perairan Indonesia.

Hasilnya, tim satgas menemukan ribuan kapal melanggar peraturan, seperti satu ijin yang digunakan untuk 3-4 kapal.  Artinya jika 1.132 kapal yang terdaftar dikalikan tiga kapal, ada lebih dari 3000 kapal eks asing yang ijinnya harus diperiksa kembali. Hasil lainnya, ada 3000 – 4000 kapal eks asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

“Pelanggaran yang dilakukan kapal eks asing diantaranya adalah menggunakan nahkoda dan ABK warga negara asing dengan jumlah 4.130 orang,” kata Ketua Satgas Anti Ilegal Fishing Mas Achmad Santosa dalam acara Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GN SDA) di sektor kelautan di Kantor Gubernur Jawa Tengah,  Semarang, Selasa (19/05/2015).

Oleh karena itu, menteri memperpanjang moratorium izin kapal hingga Oktober 2015  “Bulan April 2015 kemarin habis dan diperpanjang hingga Oktober 2015 oleh Menteri KKP,” kata Achmad Santosa yang akrab dipanggil Ota.

Tim satgas masih bekerja mengevaluasi keabsahan badan hukum perusahaan kapal, melakukan  pengaturan operasional kapal dan evaluasi kewajiban pembayaran perusahaan kepada negara, seperti pengecekan dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan ketepatan waktu pembayarannya, termasuk Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sesuai peraturan.

Data awal Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menunjukkan ada 907 dari  1.132 kapal eks asing yang terdaftar dari 156 perusahaan yang melanggar peraturan. 500-an kapal dari 49 perusahaan diantaranya melakukan pelanggaran berat dan bisa di pidanakan. “Perusahaan yang melanggar bisa dikenai pemidanaan maupun hukuman administrasi,” lanjutnya.

Tim satgas sendiri telah merekomendasikan tindakan kepada kapal-kapal dan perusahaan yang melanggar tersebut kepada Menteri KKP.

Tim juga menemukan Unit Pengolahan Ikan (UPI) tidak berfungsi, adanya manipulasi data dengan menurunkan ukuran kapal di dokumen (mark down) dan berlayar tanpa ada Surat Laik Operasi (SLO). “Bahkan catatan serius kami ada kapal dengan ABK asing sampai 90% dan double flagging, satu kapal dengan dua bendera,” kata Ota.

Tim satgas mengusulkan amandemen Undang-undang No.31/2004 jo UU No.45/2009 tentang Perikanan, dengan memperberat ancaman terhadap pelaku untuk memberikan efek jera, seperti pemidanaan dan denda bagi kapal eks asing yang tidak memiliki Vessel Monitoring System (VMS).  Catatan sementara ada 907 kapal eks asing tidak mengaktifkan dan memiliki VMS saat berlayar, sehingga tidak bisa dipantau KKP.

Juga perlu didata dan dievaluasi mengenai bongkar/alih muatan antar kapal diatas laut (transhipment) dan penggunaan alat tangkap. Tim juga merekomendasikan pengkajian ulang pelabuhan khusus yang dimiliki perusahaan.

“Hal penting yakni kedepan korporasi  harus menjadi subjek hukum, sehingga bertanggung jawab secara hukum. Selama ini KKP kesulitan menghukum korporasi karena aturan hukumnya lebih mengatur hukuman bagi pengurus korporasinya,” jelasnya.

Penyelundupan satwa, barang konsumsi, narkotika, dan senjata api juga bagian dari tugas tim satgas. Belajar dari kasus perbudahakan di Benjina, Maluku, tim merekomendasikan perbaikan ketenagakerjaan sektor kelautan terkait hak asasi manusia.

Untuk mengefektifkan penegakan hukum di sektor kelautan, tim mengusulkan tiga hal yaitu kemampuan mendeteksi pelanggaran, merespon temuan dari pendeteksian dan kemampuan menghukum.

Terkait peradilan perikanan, Ota melihat perlu evaluasi dan pengkajian lanjut. “Catatan kami belum ada pemidanaan berat dari hasil peradilan perikanan dan tentu hal ini tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan,” katanya.

Rekomendasi KIARA

Menanggapi GN SDA di sektor kelautan, Sekjen Keadilan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim kepada Mongabay mengatakan perlu perhatian dalam beberapa hal seperti pengecekan tapal batas Indonesia dengan 10 negara tetangga yang belum final, keterhubungan sektor hulu dan hilir dalam  pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan untuk kesejahteraaan masyarakat pesisir.

Juga adanya kebijakan yang tidak memihak kepentingan masyarakat seperti pemberian hak pengelolaan pulau kecil kepada asing.  Dan perombakan perizinan sektor kelautan dan perikanan, dalam satu pintau dan transparan, yang sebelumnya terbagi di KKP dan Kementerian Perhubungan.

“Pengelolaan sumber daya laut tersebar dibanyak kementerian sektoral seperti ESDM, KKP, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kehutanan dan lainnya. Masing-masing punya payung hukum sendiri dan tidak ada kordinasi,” katanya.

Ia mengatakan ketidakjelasan pengelolaan tata ruang laut, berpotensi pada penyalahgunaan wewenang. Sehingga, melalui GN SDA, perlu harmonisasi  undang-undang pengelolaan sumber daya laut dan perbaikan keselembagaan untuk memperkuat kordinasi antar lembaga negara.

Rep: Tommy Apriando, Yogyakarta

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/05/26/inilah-temuan-awal-satgas-ilegal-fishing-di-sektor-kelautan/

Cina Bergantung Pada Ikan Indonesia

Produksi ikan Cina lebih banyak meski wilayah tangkapnya lebih sempit daripada Indonesia.

JAKARTA- Kegigihan pemerintah Cina membela kapal Hai Fad an Sino yang ditangkap karena mencuri ikan di perairan Indonesia dianggap masuk akal. Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Arif Satria, menganalisis, Cina sebenarnya telah mengurangi penangkapan ikan di perairannya sendiri.

“Namun, karena konsumsi ikan warganya begitu besar, mereka beralih mencari ikan di perairan lain. Termasuk ke Indonesia,kata dia ketika dihubungi kemarin.

Disebutkan Arif, kalau Cina terbukti membela Hai Fa, tindakan itu akan membuka aib negara tersebut. Sebab, secara tidak langsung pemerintah Negeri Tirai Bambu itu mengakui bahwa Hai Fa adalah milik perusahaan Cina. “Padahal waktu ditangkap, kan, berbendera Panama. Jadi ada manipulasi,” kata doktor kebijakan kemaritiman lulusan Universitas Kagoshima itu.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Abdul Halim, juga berpendapat bahwa upaya Cina untuk menegosiasikan Hai Fa tidaklah mengherankan. “Cina akan berusaha dengan segala cara, kata dia. Sebab, menurut Halim, Cina sangat bergantung pada perikanan Indonesia, baik legal maupun ilegal.

Secara legal, Cina adalah importir ikan Indonesia terbesar keempat setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand. Hingga November 2014, ekspor ikan Indonesia ke Cina tercatat senilai US$ 122,34 juta.

Sedangkan secara ilegal, kapal-kapal Cina dicurigai banyak mencuri ikan dari perairan Indonesia. Indikasinya adalah produksi ikan tangkap Cina yang mencapai 17,1 juta ton per tahun.

Angka itu dipandang Halim tidak wajar karena panjang garis pantai Cina hanya 14.500 km dengan luas perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 877.019 km persegi. Adapun Indonesia yang memiliki garis pantai 95.181 km dan luas ZEE 7,9 juta km persegi hanya menghasilkan produksi ikan tangkap seberat 5,8 juta ton per tahun.

“Laut kita jauh lebih luas, tapi hanya menghasilkan ikan yang lebih sedikit. Pasti ada ikan kita yang dicuri dan diakui sebagai produksinya (Cina), tutur Halim.

Ditemui saat memeriksa 10 kapal asing di Pelabuhan Merauke, Papua, kemarin, Wakil KEtua Satuan Tugas Anti-Illegal Fishing, Yunus Husein, mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah mematangkan rencana pengenaan pajak kepada eksportir ikan. Langkah ini diambil untuk mendongkrak pendapatan negara.

Selama ini, dia berkata, pengusaha ikan hanya dikenai pajak penghasilan sehingga sumbangannya kepada negara belum besar. “Banyak pengusaha nakal yang menyembunyikan data ekspor dan hasil tangkapan mereka,” ucap Yunus.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, volume ekspor ikan Indonesia pada 2014 turun 5,24% menjadi 639 ribu ton pada 2013. Sedangkan secara nilai, ekspor pada 2014 mencapai US$ 1,108 miliar atau turun 5,6% dari 2013.

Sumber: Koran Tempo, 15 April 2015

Cina Bergantung Pada Ikan Indonesia

Produksi ikan Cina lebih banyak meski wilayah tangkapnya lebih sempit daripada Indonesia.

JAKARTA- Kegigihan pemerintah Cina membela kapal Hai Fad an Sino yang ditangkap karena mencuri ikan di perairan Indonesia dianggap masuk akal. Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Arif Satria, menganalisis, Cina sebenarnya telah mengurangi penangkapan ikan di perairannya sendiri.

“Namun, karena konsumsi ikan warganya begitu besar, mereka beralih mencari ikan di perairan lain. Termasuk ke Indonesia,kata dia ketika dihubungi kemarin.

Disebutkan Arif, kalau Cina terbukti membela Hai Fa, tindakan itu akan membuka aib negara tersebut. Sebab, secara tidak langsung pemerintah Negeri Tirai Bambu itu mengakui bahwa Hai Fa adalah milik perusahaan Cina. “Padahal waktu ditangkap, kan, berbendera Panama. Jadi ada manipulasi,” kata doktor kebijakan kemaritiman lulusan Universitas Kagoshima itu.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Abdul Halim, juga berpendapat bahwa upaya Cina untuk menegosiasikan Hai Fa tidaklah mengherankan. “Cina akan berusaha dengan segala cara, kata dia. Sebab, menurut Halim, Cina sangat bergantung pada perikanan Indonesia, baik legal maupun ilegal.

Secara legal, Cina adalah importir ikan Indonesia terbesar keempat setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand. Hingga November 2014, ekspor ikan Indonesia ke Cina tercatat senilai US$ 122,34 juta.

Sedangkan secara ilegal, kapal-kapal Cina dicurigai banyak mencuri ikan dari perairan Indonesia. Indikasinya adalah produksi ikan tangkap Cina yang mencapai 17,1 juta ton per tahun.

Angka itu dipandang Halim tidak wajar karena panjang garis pantai Cina hanya 14.500 km dengan luas perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 877.019 km persegi. Adapun Indonesia yang memiliki garis pantai 95.181 km dan luas ZEE 7,9 juta km persegi hanya menghasilkan produksi ikan tangkap seberat 5,8 juta ton per tahun.

“Laut kita jauh lebih luas, tapi hanya menghasilkan ikan yang lebih sedikit. Pasti ada ikan kita yang dicuri dan diakui sebagai produksinya (Cina), tutur Halim.

Ditemui saat memeriksa 10 kapal asing di Pelabuhan Merauke, Papua, kemarin, Wakil KEtua Satuan Tugas Anti-Illegal Fishing, Yunus Husein, mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah mematangkan rencana pengenaan pajak kepada eksportir ikan. Langkah ini diambil untuk mendongkrak pendapatan negara.

Selama ini, dia berkata, pengusaha ikan hanya dikenai pajak penghasilan sehingga sumbangannya kepada negara belum besar. “Banyak pengusaha nakal yang menyembunyikan data ekspor dan hasil tangkapan mereka,” ucap Yunus.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, volume ekspor ikan Indonesia pada 2014 turun 5,24% menjadi 639 ribu ton pada 2013. Sedangkan secara nilai, ekspor pada 2014 mencapai US$ 1,108 miliar atau turun 5,6% dari 2013.

Sumber: Koran Tempo, 15 April 2015

Disurati Cina Soal Hai Fa, Pemerintah Maju Terus

Rabu, 15 April 2015

TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Koordinator Maritim Indroyono Soesilo menyatakan, pemerintah tak akan mundur dalam upaya hukum dalam kasus kapal MV Hai Fa. Meski, ada permintaan negosiasi dari pihak Cina. “Ini proses hukum, kita tidak akan membuka negosiasi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa, 14 April 2015.

Indroyono menyatakan, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan terus menyiapkan materi untuk proses banding atas putusan Pengadilan Negeri Ambon terhadap kapal MV Hai Fa yang hanya divonis denda Rp 200 juta. “Kami terus cari novum baru, termasuk meneliti arsip pajaknya. Kalau bermasalah, kita bisa jerat lewat pajak,” katanya.

Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menyatakan langkah Cina yang berusaha bernegosiasi dengan pemerintah soal Hai Fa tidak mengherankan. “Cina akan berusaha dengan segala cara,” katanya.

Menurut Abdul, Cina adalah salah satu negara yang sangat bergantung pada perikanan Indonesia. “Baik secara legal maupun ilegal,” katanya.

Secara legal, Cina adalah importir ikan Indonesia yang terbesar keempat setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand. Hingga November 2014, ekspor ikan Indonesia ke Cina tercatat sebanyak US$ 122,34 juta.

Selain itu, menurut Abdul, kapal-kapal Cina juga dicurigainya telah banyak mencuri ikan dari perairan Indonesia. Indikasinya, ia mencatat, produksi ikan tangkap Cina 17,1 juta ton. Padahal garis pantainya hanya 14.500 kilometer dan luas perairan zona ekonomi eksklusifnya hanya 877.019 kilometer persegi.

Jika dibandingkan dengan produksi ikan tangkap Indonesia yang hanya 5,8 juta ton, hasil tangkapan Cina jauh lebih besar dari perairan Nusantara. Padahal, garis pantai Indonesia mencapai 95.181 kilometer dengan zona ekonomi eksklusif mencapai 7,9 juta kilometer persegi.

“Tidak masuk akal bagaimana laut kita yang jauh lebih luas hanya menghasilkan ikan yang lebih sedikit. Pasti ada ikan kita yang dicuri dan diakui sebagai produksinya,” tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengakui ada permintaan negosiasi dari Cina secara rahasia setelah penangkapan kapal MV Hai Fa. Surat permintaan itu datang pada Februari lalu ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing, Cina.

“Orang pemerintah Cina atau siapa saya nggak tahu. Datang ke KBRI Beijing meminta discreet negotiation. Jadi negosiasi jangan dibuka ke umum,” kata Susi di kantornya, Jakarta, Selasa, 14 April 2015.

PINGIT ARIA

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/04/15/092657869/Disurati-Cina-Soal-Hai-Fa-Pemerintah-Maju-Terus

Disurati Cina Soal Hai Fa, Pemerintah Maju Terus

Rabu, 15 April 2015

TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Koordinator Maritim Indroyono Soesilo menyatakan, pemerintah tak akan mundur dalam upaya hukum dalam kasus kapal MV Hai Fa. Meski, ada permintaan negosiasi dari pihak Cina. “Ini proses hukum, kita tidak akan membuka negosiasi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa, 14 April 2015.

Indroyono menyatakan, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan terus menyiapkan materi untuk proses banding atas putusan Pengadilan Negeri Ambon terhadap kapal MV Hai Fa yang hanya divonis denda Rp 200 juta. “Kami terus cari novum baru, termasuk meneliti arsip pajaknya. Kalau bermasalah, kita bisa jerat lewat pajak,” katanya.

Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menyatakan langkah Cina yang berusaha bernegosiasi dengan pemerintah soal Hai Fa tidak mengherankan. “Cina akan berusaha dengan segala cara,” katanya.

Menurut Abdul, Cina adalah salah satu negara yang sangat bergantung pada perikanan Indonesia. “Baik secara legal maupun ilegal,” katanya.

Secara legal, Cina adalah importir ikan Indonesia yang terbesar keempat setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand. Hingga November 2014, ekspor ikan Indonesia ke Cina tercatat sebanyak US$ 122,34 juta.

Selain itu, menurut Abdul, kapal-kapal Cina juga dicurigainya telah banyak mencuri ikan dari perairan Indonesia. Indikasinya, ia mencatat, produksi ikan tangkap Cina 17,1 juta ton. Padahal garis pantainya hanya 14.500 kilometer dan luas perairan zona ekonomi eksklusifnya hanya 877.019 kilometer persegi.

Jika dibandingkan dengan produksi ikan tangkap Indonesia yang hanya 5,8 juta ton, hasil tangkapan Cina jauh lebih besar dari perairan Nusantara. Padahal, garis pantai Indonesia mencapai 95.181 kilometer dengan zona ekonomi eksklusif mencapai 7,9 juta kilometer persegi.

“Tidak masuk akal bagaimana laut kita yang jauh lebih luas hanya menghasilkan ikan yang lebih sedikit. Pasti ada ikan kita yang dicuri dan diakui sebagai produksinya,” tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengakui ada permintaan negosiasi dari Cina secara rahasia setelah penangkapan kapal MV Hai Fa. Surat permintaan itu datang pada Februari lalu ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing, Cina.

“Orang pemerintah Cina atau siapa saya nggak tahu. Datang ke KBRI Beijing meminta discreet negotiation. Jadi negosiasi jangan dibuka ke umum,” kata Susi di kantornya, Jakarta, Selasa, 14 April 2015.

PINGIT ARIA

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/04/15/092657869/Disurati-Cina-Soal-Hai-Fa-Pemerintah-Maju-Terus

Kasus Benjina, Momen Benahi Tenaga Kerja Maritim

Inilahcom, Jakarta – Kasus dugaan perbudakan dalam perusahaan sektor kelautan dan perikanan di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku merupakan momentum bagi pemerintah. Itu guna melakukan pembenahan secara menyeluruh terhadap tenaga kerja maritim.
“Langkah strategis lain yang sangat mendesak dilakukan adalah mengidentifikasi lemahnya kebijakan perlindungan tenaga kerja di sektor perikanan,” jelas Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim di Jakarta, Senin (13/04/2015).

Menurut dia, momentum itu dapat dilaksanakan dengan menyegerakan pembuatan aturan setingkat UU dan merevisi kebijakan yang ada, seperti UU No 16/1964 tentang Bagi Hasil Perikanan dan UU No13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sebelumnya, Satuan Tugas Pemberantasan Pencurian Ikan atauIllegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU) menemukan puluhan makam di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, yang diduga kuburan warga negara Thailand.

“Tim Satgas juga menemukan 77 makam yang sebagian besar ada di Benjina,” kata Ketua TIm Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa.

Menurut Achmad Santosa, penyebab dari kematian warga negara asing yang ada di dalam makam-makam tersebut tidak diketahui penyebabnya karena pihaknya bukan penegak hukum. Untuk itu, ujar dia, penyebab dari kematian tersebut akan lebih didalami dan diforensik supaya mendapat kejelasan. “Nama-nama yang ada di makam tersebut adalah nama-nama orang Thailand,” kata dia.

Tim Satgas IUU Fishing telah memaparkan berbagai dugaan tindak kejahatan yang dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources (PBR) yang mencakup beragam kejahatan serius seperti kerja paksa hingga indikasi penyuapan. Ia memaparkan, pihaknya berdasarkan perintah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah memindahkan dan mengamankan sebanyak 322 awak buah kapal (ABK) ke Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan KKP di Tual, Maluku.

Sebanyak 322 ABK yang berkewarganegaraan asing tersebut berasal dari beberapa negara, seperti Laos, Kamboja dan Myanmar. Jumlahnya dari Kamboja sebanyak 58 orang, dari Laos sebanyak delapan orang, dan Myanmar sebanyak 256 orang. Pemerintah juga telah membentuk satuan tugas (satgas) baru untuk mengatasi indikasi perbudakan anak buah kapal (ABK) yang terjadi di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. [tar]

Sumber: