Hari Nusantara 2021 KIARA: Potret Kehidupan Nelayan Tradisional Semakin Terancam Akibat Regulasi Pemerintah Pusat

Siaran Pers

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Hari Nusantara 2021 KIARA: Potret Kehidupan Nelayan Tradisional Semakin Terancam Akibat Regulasi Pemerintah Pusat

 

Jakarta, 13 Desember 2021 – Disetiap tanggal 13 Desember, masyarakat Indonesia
memperingati Hari Nusantara. Hari Nusantara memiliki makna yang mendalam bagi
penegasan dan pengakuan kedaulatan laut Indonesia. Kedaulatan Indonesia atas ruang
lautnya dicetuskan melalui Deklarasi Djuanda, deklarasi yang menyatakan kepada
dunia bahwa wilayah laut Indonesia adalah termasuk wilayah laut sekitar, diantara dan
di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa pada Hari Nusantara
2021, kehidupan nelayan yang menjaga dan meneruskan semangat Deklarasi Djuanda
saat ini semakin terancam dan tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
“KIARA mencatat hingga hari ini banyak nelayan dan perempuan nelayan menghadapi
ragam ancaman akibat dari berbagai regulasi yang tengah dan telah disusun oleh
Pemerintah Pusat yang tidak berpihak terhadap nelayan tradisional-kecil, khususnya
Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan dan Peraturan
Menteri,” ungkapnya.

Susan menjelaskan, salah satu sumber masalah regulasi yang dimaksud adalah UU No.
11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, atau yang lebih dikenal dengan omnibus law atau
UU CK. Narasi nelayan di dalam UU CK menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak
lagi mengakui identitas politik dari nelayan tradisional dan menempatkan statusnya
sama dengan pelaku usaha perikanan dalam skala yang lebih besar.

“UU Cipta Kerja merevisi ketentuan mendasar yang melekat pada nelayan kecil,
sehingga tidak ada ketentuan yang jelas antara nelayan kecil dengan nelayan besar.
Kriteria yang jelas terhadap nelayan kecil sangat penting karena terkait perlakuan
khusus untuk mereka, seperti berhak mendapat subsidi, modal, dan sebagainya dari
pemerintah. Nelayan kecil juga tidak diwajibkan memiliki izin karena menggunakan
alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan. Hal ini berpotensi menimbulkan
konflik baru karena nelayan besar juga dapat menikmati perlakuan khusus yang selama
ini hanya diberikan terhadap nelayan kecil,” tegas Susan.

UU CK memiliki berbagai regulasi turunannya. Salah satunya adalah PP No. 85 Tahun
2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. PP ini akan memungut tarif PNBP praproduksi (sebelum berlayar/melaut) sebesar 5% kepada para pelaku perikanan yang
ukuran kapalnya mulai dari 5 gross ton (GT). PP ini juga mengakomodir kepentingan
untuk melakukan eksploitasi dan perampasan ruang secara terstruktur melalui tarif atas
jenis PNBP yang berasal dari reklamasi dan tambang pasir.

“Seharusnya, negara menargetkan pungutan PNBP perikanan ini kepada para pelaku
perikanan skala besar, yang menggunakan kapal di atas 10 GT. Nelayan tradisional dan
nelayan kecil yang menggunakan kapal di bawah 10 GT sudah seharusnya dibebaskan
dari pungutan PNBP. Terkait dengan reklamasi dan tambang pasir yang hari ini seolaholah dilegalkan melalui PNBP menambah penderitaan nelayan yang terjadi di pesisir
dan pulau-pulau kecil. Salah satu contohnya adalah perampasan wilayah tradisional
nelayan dan kriminalisasi yang terjadi akibat pertambangan pasir di perairan
Spermonde untuk menyuplai kebutuhan reklamasi Makassar New Port,” tegas Susan.

Regulasi turunan lainnya yang saat ini sedang disusun oleh Pemerintah Pusat dalam hal
ini Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah Rancangan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) tentang Penangkapan Ikan Terukur. Rancangan
Kepmen KP tersebut akan membatasi penangkapan ikan di perairan Indonesia dengan
sistem kuota tangkapan ikan (catch limit). Di dalam rancangan tersebut, 11 WPP-NRI
akan dibagi menjadi tiga (3) zona yaitu 1). zona fishing industry (di 6 WPP-NRI); 2).
zona nelayan lokal (di 4 WPP-NRI); dan 3). zona spawning and nursery (di 1 WPPNRI).

Susan menjelaskan, “rancangan regulasi ini hanya akan memfasilitasi kepentingan
investasi perikanan skala industri dalam target mengenjot PNBP semata. Selain itu juga
akan melanggengkan ketidakadilan, serta mendorong nelayan tradisional dan atau
nelayan skala kecil berkompetisi dengan kapal-kapal besar di perairan Indonesia.
Bagaimana mungkin di dalam rancangan Kepmen KP ini ada sistem konsesi hingga 20
tahun seperti yang terjadi di industri ekstraktif pertambangan? Sistem konsesi akan
sangat berdampak bagi ekosistem perikanan karena akan melegalkan privatisasi
penguasaan sumber daya perikanan dalam jangka waktu panjang bagi pemilik modal
besar dan/atau oligarki disektor perikanan”.

Berbagai regulasi yang tengah dan telah disusun, imbuh Susan, tidak berujung pada
perlindungan ruang hidup lebih dari 2,5 juta nelayan di Indonesia yang sangat
bergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan. KKP seharusnya merumuskan
kebijakan yang berpihak bagi kehidupan nelayan tradisional-kecil yang jumlahnya lebih
dari 90 persen dari seluruh pelaku perikanan di Indonesia. Regulasi tersebut akan
semakin memperburuk keberlanjutan dan kelestarian ekosistem serta sumber daya
kelautan dan perikanan di tengah terjadinya krisis iklim di Indonesia.

“Alih-alih melindungi kehidupan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, KKP
justru melindungi kepentingan bisnis para investor yang ingin menguasai sumber daya
kelautan dan perikanan Indonesia. Pada titik inilah regulasi yang tengah dan telah
disusun oleh KKP harus dievaluasi secara mendasar dan mendalam. Sangat perlu untuk
ditegaskan ulang bahwa nelayan tradisional-kecil adalah rights holder (pemegang hak)
sumber daya kelautan dan perikanan, Artinya, negara khususnya para pemangku
kebijakan mengkhianati Deklarasi Djuanda yang menjadikan laut sebagai lading
investasi tanpa mempertimbangkan relasi nelayan dan perempuan nelayan yang
holistik” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati,  Sekretaris Jenderal KIARA, 0821-1172-7050

Fickerman,  Staff Program KIARA, +62 823-6596-7999

Muhammad AK,  Deputi Advokasi dan Program KIARA, +62 821-9174-8798

Nibras Fadhlillah,  Monitoring dan Evaluasi KIARA, +62 822-2658-3640

KIARA Kritik Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 2021, Sangat Merugikan, Memberatkan dan Tidak Berpihak Terhadap Nelayan Kecil

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

Jakarta, 18 November 2021 – Pada tanggal 19 Agustus 2021 Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. PP No. 85 Tahun 2021 merupakan salah satu aturan turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. PP No. 85 Tahun 2021 merupakan aturan yang mengganti PP No. 75 Tahun 2015. PP ini mengatur pungutan perikanan yang diberlakukan kepada semua pelaku perikanan, baik skala kecil atau tradisional maupun skala besar.

 

Sejalan dengan terbitnya PP tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan dua (2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP), yaitu 1). Kepmen KP No. 86 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Ikan untuk Penghitungan Pungutan Hasil Perikanan dan 2). Kepmen KP No. 87 Tahun 2021 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan. Kurang dari satu bulan pasca diterbitkannya kedua Kepmen KP (18 September 2021) tersebut, pada tanggal 25 Oktober 2021 KKP kembali mencabut dan mengganti kedua PP tersebut menjadi Kepmen KP No. 97 dan 98 dengan judul/subjek yang sama dengan Kepmen KP sebelumnya.

 

Menyikapi terbitnya PP No. 85 Tahun 2021, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyebut bahwa terbitnya peraturan pemerintah telah dikritisi dan ditolak oleh berbagai pihak, terutama nelayan kecil dan tradisional. “PP No. 85 Tahun 2021 membuat pasal dan ayat yang akan memberatkan dan merugikan nelayan kecil dan akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian nelayan kecil,” ungkapnya.

 

Susan merinci sejumlah poin-poin yang menjadi catatan kritis KIARA terhadap PP No. 85 Tahun 2021 sebagai berikut:

 

Pertama, PP ini akan memungut tarif PNBP pra-produksi (sebelum berlayar/melaut) sebesar 5% kepada para pelaku perikanan yang ukuran kapalnya mulai dari 5 gross ton (GT). Artinya, nelayan tradisional dan/atau nelayan skala kecil yang menggunakan kapal mulai dari 5 GT dan ukuran diatasnya akan terbebani dan harus membayar pungutan PNBP pra-produksi perikanan. “Seharusnya, negara menargetkan pungutan PNBP perikanan ini kepada para pelaku perikanan skala besar, yang menggunakan kapal diatas 10 GT. Nelayan yang menggunakan kapal di bawah 10 GT, dibebaskan dari pungutan,” tegas Susan.

 

Kedua, Pungutan tarif PNBP pra-produksi sebesar 5% sangat memberatkan, tidak berpihak dan tidak berkeadilan untuk nelayan kecil karena nelayan sudah harus membayar PNBP jenis ini di awal sebelum melaut. Padahal hasil tangkapan nelayan belum tentu maksimal dalam setiap melaut. Kenyataan yang terjadi di lapangan, nelayan sering pulang tanpa hasil yang maksimal, bahkan pulang tanpa hasil tangkapan ikan. Sementara PNBP harus sudah dibayar di awal sebelum melaut berdasarkan perhitungan produktivitas kapal maksimal.

 

“Dengan adanya PP ini, beban ekonomi nelayan skala kecil dan/atau nelayan tradisional akan lebih berat. Apalagi banyak nelayan kecil dan tradisional yang tidak mendapatkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk menangkap ikan, bahkan harga bahan bakar cenderung lebih mahal dan nelayan tidak bisa langsung membeli ke tempat pembelian resmi bahan bakar minyak, sebagaimana yang dialami oleh nelayan di Teluk Jakarta, nelayan di Ambon, nelayan di Kepulauan Seribu, nelayan di Kepulauan Masalembu, nelayan di Pulau Wawonii dan nelayan lainnya yang ada di pulau-pulau kecil,” ungkap Susan.

 

Ketiga, pada lampiran PP ini juga menerapkan pungutan pengusahaan perikanan untuk izin penempatan rumpon baru dan/atau perpanjangan dikenakan biaya sebesar Rp. 2 juta per unit per tahun (Lampiran PP No. 85 Tahun 2021, halaman 7). Dalam praktik penangkapan ikan, nelayan kecil dan tradisional menggunakan rumpon secara tradisional untuk membuat rumah rumah ikan. Ini merupakan praktik yang telah dilakukan secara tradisional dan turun temurun.

 

“Seharusnya pemerintah menjalankan mandat UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam dalam konteks untuk mempermudah proses penangkapan ikan dan pemasaran hasil tangkapan ikan nelayan kecil dan tradisional. Tetapi realitanya mandat UU No. 7 Tahun 2016 belum terlaksana dengan baik karena pasokan bahan bakar minyak saja masih bermasalah sampai saat ini untuk nelayan, ditambah dengan adanya PP 85 Tahun 2021,” tegas Susan.

 

Keempat, PP ini memberikan ruang dan akses untuk mengakomodir kepentingan untuk melakukan eksploitasi dan perampasan ruang secara terstruktur melalui tarif atas jenis PNBP yang berasal dari perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut. Artinya, pola dan praktik perampasan ruang dan eksploitasi sumber daya alam terstruktur melalui pungutan PNBP untuk reklamasi dan tambang pasir. “Sudah banyak pengalaman penderitaan rakyat yang terjadi diberbagai tempat akibat adanya reklamasi yang berhubungan langsung dengan tambang pasir, seperti contoh nyatanya adalah perampasan wilayah kelola rakyat dan kriminalisasi yang terjadi akibat pertambangan pasir di perairan spermonde untuk menyuplai kebutuhan reklamasi Makassar New Port. Apakah pengalaman pahit ini akan dirasakan nelayan lain di tempat yang seharusnya nelayan berdaulat dan menjadi tuan atas tanah dan lautnya?” ungkap Susan.

 

“PP ini juga menunjukkan bahwa semangat pemerintah saat ini sangat jauh dan tidak berpihak terhadap nelayan kecil. Dengan adanya PP No. 85 Tahun 2021, semakin memperparah dan memberatkan beban hidup nelayan kecil dan tradisional setelah sebelumnya terdampak krisis pandemi covid-19. Dampak lainnya adalah pemulihan ekonomi akibat covid-19 yang dirasakan nelayan tidak akan terjadi. Lebih jauh, mereka akan dimiskinkan oleh kebijakan negara,” pungkas Susan. (*)

 

 

Informasi lebih lanjut

Fickerman, Staff Program KIARA, +62 823-6596-7999

Satu Juta Mangrove Dukuh Timbulsloko untuk Kehidupan Masyarakat Pesisir Indonesia

Siaran Pers Bersama

Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Demak, Rabu 20 Oktober 2021 — Masyarakat Dukuh Timbulsloko melakukan gerakan penanaman mangrove di wilayah pesisir utara Jawa Tengah sebagai upaya pembenahan atau restorasi lingkungan dan pantai di wilayah setempat menghadapi krisis iklim yang melanda. Tidak dapat dipungkiri apabila saat ini masyarakat pesisir di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah, sedang menghadapi ancaman serius akibat krisis iklim serta dampak dari abrasi ketinggian air laut yang menyebabkan desa-desa di wilayah pesisir utara Jawa Tengah tenggelam.

 

Dukuh Timbulsloko RW 7, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, dengan jumlah penduduk sebanyak 213 KK dan 557 jiwa merupakan salah satu desa yang tenggelam selama 5 tahun terakhir. Tidak sedikit lahan pertanian, perkebunan, maupun pertambakan, yang sebelumnya menjadi lahan mata pencaharian utama masyarakatnya, hilang tenggelam bersama air lautan akibat dari abrasi besar yang terjadi di wilayah desa mereka. Tidak dapat dikesampingkan kemudian hal ini memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat pesisir di wilayah pesisir utara Jawa Tengah, khususnya Dukuh Timbul Sloko. Tidak sedikit masyarakat petani dan nelayan yang harus beralih profesi menjadi buruh bangunan, karyawan pabrik dan sebagainya. Perubahan ini tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat, juga tingkat pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap derajat pekerjaan yang didapatkan.

 

Sebagian masyarakat desa yang tetap bersikeras untuk menetap atau mendiami di wilayah tersebut menjadi salah satu bentuk kritik terhadap pola kebijakan pembangunan yang salah urus, sekaligus mengingatkan kepada para pemangku kebijakan bahwa ada sejarah tanah dan air yang lekat bagi masyarakat desa tersebut yang seharusnya menjadi prioritas dalam menentukan arah pembangunan. Sudah seharusnya pemerintah dapat melakukan pembangunan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di wilayah tersebut, khususnya harapan dan kepentingan masyarakat setempat yang perlu diprioritaskan.

 

Pada dasarnya, krisis iklim bukan hanya persoalan terhadap meningkatnya air laut setiap tahunnya, namun juga pertanggungjawaban dari para pemangku kebijakan dalam menyikapi tata kelola pesisir dan pulau-pulau kecil yang harus mempertimbangkan relasi manusia dan alam yang holistik.

 

Selama dua tahun terakhir, melalui Forum Masyarakat Dukuh Timbulsloko (FMDT), masyarakat desa membangun solidaritas secara swadaya dan gotong royong untuk bisa beradaptasi dan mempertahankan tempat tinggal mereka dengan membangun rumah panggung, jalan, jembatan dari kayu, hanya untuk memudahkan akses aktivitas warga sehari-hari. Tidak hanya itu, masyarakat juga melakukan peninggian area pemakaman desa dengan bantuan alat berat yang diberikan oleh Dinas PU setempat.

 

Selain dari upaya pembangunan fasilitas publik desa, upaya lainnya yang juga dilakukan oleh masyarakat bersama dengan FMDT adalah dengan melakukan upaya restorasi pantai melalui gerakan penanaman sejuta mangrove. Hal ini dikarenakan masyarakat Dukuh Timbulsloko yang mengharapkan wilayah Dukuh Timbulsloko masih bisa terselamatkan dan dapat dipertahankan apabila dilakukan perbaikan atau restorasi lingkungan setempat.

 

Sebelumnya warga sudah melakukan pemetaan untuk mengukur kedalaman air rob yang akan ditanami magrove, dan mencari titik-titik tertentu yang menjadikan jalur air laut masuk ke kampung, lalu tempat-tempat tersebut nantinya akan ditanami pohon mangrove. Hal ini bertujuan agar dapat menahan masuknya air laut dan gelombang air sehingga dapat mencegah abrasi yang akan memperparah keadaan wilayah pesisir.

 

Gerakan pembangunan fasilitas publik maupun gerakan penanaman sejuta mangrove ini merupakan gerakan swadaya dari rakyat untuk rakyat. Sehingga dapat dilihat kemudian solidaritas yang terbangun kuat antar warga dalam membenahi lingkungan dan membangun harapan akan terselamatkannya desa mereka dari krisis iklim yang ada. Gerakan FMDT ini mendapat dukungan dari kawan-kawan lintas organisasi dan jaringan, Ketua DPRD Demak dan Pemerintah Daerah Demak.

 

Dalam acara penanaman sejuta mangrove, FMDT tidak hanya melakukan gerakan penanaman mangrove, namun juga melakukan tebar bibit kerang, penyerahan bantuan bibit mangrove dari Gerakan Rakyat bantu Rakyat dan Ketua DPRD Demak, penyerahan bantuan modal usaha budidaya kerang dari Baznas Demak, dan pemberian sembako terhadap masyarakat Dukuh Timbulsloko dari Bupati Demak.

 

Meskipun mendapat bantuan, masyarakat Dukuh Timbulsloko mengharapkan pemerintah dapat memberikan solusi terbaik terhadap penyelamatan desa-desa tenggelam yang ada di wilayah pesisir utara Jawa Tengah, juga dapat memikirkan kemudian konsep pembangunan yang lebih berkelanjutan dan holistik yang mengedepankan kepentingan lingkungan dan sosial masyarakat setempat.

 

Informasi lebih lanjut

Ma’ruf, Koordinator FMDT, 085641703128

Masnuah, Koordinator FMDT, 085225985110

KIARA: Kritik Rancangan Menteri KKP tentang Kuota Penangkapan Ikan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA: Kritik Rancangan Menteri KKP tentang Kuota Penangkapan Ikan

 

Jakarta, 29 September 2021 — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mempertanyakan rencana Pemerintah Indonesia, yang akan membatasi penangkapan ikan di perairan Indonesia dengan sistem kuota pada 2022. Pembatasan penangkapan ikan akan diatur oleh Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan dengan menggunakan sistem kuota. Sampai saat ini, Permen ini masih berupa rancangan.

 

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mempertanyakan arah kebijakan pembatasan penangkapan ikan ini, dan menyebutkan sebagai Rancangan Peraturan Menteri yang akan melanggengkan ketidakadilan, serta mendorong nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil berkompetisi dengan kapal-kapal besar di perairan Indonesia.

Lebih jauh, kebijakan pembatasan penangkapan ikan yang didorong oleh KKP akan mendorong eksploitasi sumber daya ikan oleh para pelaku perikanan skala besar, sekaligus menguntungkan industri perikanan skala besar karena memiliki kapal, alat tangkap ikan, serta pendanaan yang besar.

“Sementara itu, nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil tidak akan mendapatkan apa-apa dengan kebijakan baru ini karena sumber daya ikan telah dikeruk,” ungkap Susan Herawati.

Menurut Susan, kebijakan pembatasan penangkapan ikan ini, semestinya diarahkan hanya kepada industri perikanan skala besar saja. Alasannya, karena selama ini merekalah yang menangkap ikan dalam jumlah yang banyak untuk kepentingan industri dan perdagangan. Kepentingan industri dan perdagangan inilah yang mendorong penangkapan ikan berlebih sehingga statusnya over exploited.

Berbeda dengan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil. Meskipun menjadi mayoritas dari pelaku perikanan nasional, tetapi mereka menangkap ikan secara subsisten dan tentu dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

“Kapal-kapal nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil itu tak mungkin menangkap ikan secara berlebih, karena ukuran kapal mereka yang tidak lebih dari 10 GT serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan,” tambah Susan Herawati.

Pada masa yang akan datang, jika kebijakan pembatasan penangkapan ikan ini diimplementasikan, kata Susan, hal yang patut dikhawatirkan adalah konflik antara nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya ikan di perairan Indonesia.

“Jika Pemerintah Indonesia dalam hal ini KKP, berpihak terhadap nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil, maka sebaiknya rencana kebijakan ini ditinjau ulang Kembali,” ungkap Susan Herawati. (*)

 

Informasi lebih lanjut;

Susan Herawarti, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

 

Hak Atas Kesehatan Masyarakat Pesisir Selama Pandemi Diabaikan Negara

Siaran Pers

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Hak Atas Kesehatan Masyarakat Pesisir Selama Pandemi Diabaikan Negara

 

Jakarta, 27 September 2021 — Masyarakat Pesisir yang terdiri dari nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, serta masyarakat adat pesisir, merupakan kelompok yang sangat rentan saat menghadapi gelombang pandemi yang menghantam Indonesia sejak awal 2020 lalu.

 

Pusat Data dan Informasi KIARA (2021) mencatat sejumlah dampak pandemi bagi kehidupan masyarakat pesisir, di antaranya sebagai berikut: pertama, terputusnya rantai dagang nelayan dengan pasar, terutama di Kawasan-kawasan pulau kecil Indonesia yang ekonominya sangat tergantung pada Kawasan pulau besar; kedua, jatuhnya harga ikan karena nelayan hanya menjual ikan tangkapannya di kawasan terbatas, berupa perkampungan yang merupakan Kawasan tinggal nelayan atau perkampungan tetangga yang merupakan Kawasan agraris; ketiga, nelayan mengalami kerugian secara ekonomi karena tidak mendapatkan income yang memadai pada saat yang sama, hasil tangkapan mereka menurun drastis akibat krisis iklim yang terus memburuk; keempat, di sejumlah wilayah di Indonesia, masyarakat pesisir harus menghadapi ancaman perampasan ruang berupa ekspansi proyek skala besar seperti pertambangan pasir dan reklamasi yang menghancurkan Kawasan tangkap mereka; kelima, di atas semua itu, perempuan nelayan adalah kelompok yang paling menderita karena beban kehidupan mereka semakin berlipat dalam rangka memenuhi ekonomi keluarga.

 

Beberapa bulan setelah pandemi menghantam pemerintah Indonesia menggencarkan program vaksinasi, termasuk di Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang menjadi tempat tinggal masyarakat pesisir. “Berbagai temuan di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan represif dengan cara memaksa dan tanpa memberikan pilihan adalah cara kerja dari program vaksinasi ini. Akhirnya, secara psikologis masyarakat pesisir berada dalam ketakutan,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

 

Contoh pendekatan represif ini, lanjut Susan Herwati, dapat ditemui di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan daerah lainnya di pesisir Indonesia, dimana nelayan dan perempuan nelayan dipaksa ikut program vaksinasi. Jika tidak ikut, mereka diancam tidak akan diberikan bantuan sosial dari Pemerintah.

 

Cara-cara semacam itu, mendapatkan legitimasinya dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

 

“Isi perpres tentang vaksinasi corona ini menetapkan sanksi bagi mereka yang menolak vaksinasi corona, sebagaimana diatur dalam Pasal 13A Ayat 4. Terdapat 3 jenis sanksi administratif yang bisa dijatuhkan kepada penolak vaksinasi corona, yakni: Penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; Penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau denda,” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

 

Susan menilai, Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 bertentangan dengan sejumlah aturan lebih tinggi, diantaranya Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Pasal 4 & 5) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan” & “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, serta memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, terjangkau dan juga setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”.

 

“Dengan demikian, hak atas kesehatan masyarakat pesisir selama pandemi ini diabaikan oleh negara,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut

Muhammad AK, Deputi Advokasi dan Program KIARA, +62 821-9174-8798

Kerentanan Kontekstual Pekerja Informal Ekonomi Kelautan di Indonesia: Studi Kasus Kebijakan Publik dalam Penanganan Covid-19 di DI Aceh dan Sulawesi Utara

 

klik link di bawah ini untuk mendownload file 

Kerentanan Kontekstual Pekerja Informal Ekonomi Kelautan di Indonesia: Studi Kasus Kebijakan Publik dalam Penanganan Covid-19 di DI Aceh dan Sulawesi Utara

Ini Catatan KIARA terhadap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 3 Juli 2021 – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia mengundangkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan, pada tanggal 18 Juni 2021 lalu.

 

Permen ini dikeluarkan untuk merevisi sejumlah regulasi sebelumnya, yaitu: 1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2014 tentang Rumpon; 2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Andon Penangkapan Ikan; 3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun  2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas; dan 4) Keputusan Menteri Nomor 06 Tahun 2010 tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

 

KIARA mencatat bahwa Permen No. 18 Tahun 2021 ini memiliki perbedaan krusial dengan regulasi sebelumnya, khususnya Permen KP Nomor 59 Tahun  2020. Diantara perbedaan yang penting adalah Permen 18 tahun 2021 tidak menyebutkan dengan jelas definisi nelayan secara umum dengan nelayan kecil. Pasal 1 ayat 17 menyebut nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan Penangkapan Ikan. Sementara itu, pasal 18 menyebut nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan.

 

“Hilangnya klasifikasi nelayan secara umum dengan nelayan kecil akan memberikan implikasi yang serius, dimana nelayan-nelayan skala kecil dengan menggunakan alat tangkap sederhana harus bersaing dengan nelayan-nelayan skala besar yang menggunakan alat tangkap yang eksploitatif,” ungkap Sekretris Jenderal KIARA, Susan Herawati.

 

Catatan kedua, lanjut Susan, Permen KP 18 Tahun 2021 memasukan alat tangkap ikan jaring tarik berkantong, sebagaimana tertulis dalam Pasal 6 ayat 1 (b) poin 4, sebagai alat tangkap ikan yang diperbolehkan. Padahal, cara kerja alat tangkap ikan ini memiliki kesamaan dengan alat tangkap cantrang yang terbukti merusak sumber daya laut. Kesamaan cara kerja kedua alat tangkap ikan ini dapat dilihat di lampiran Permen ini. “Kami menilai, alat tangkap ikan jaring tarik berkantong ini alat tangkap ini adalah cantrang yang diganti namanya,” katanya.

 

Catatan ketiga yang disampaikan KIARA terhadap Permen KP No. 18 Tahun 2021 ini adalah penggunaan alat tangkap jaring tarik berkantong diizinkan untuk digunakan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711 yaitu Perairan Laut Kepulauan Riau hingga Laut Natuna pada zona di atas 30 mil, dan WPPNRI 712 yaitu Laut Utara Pulau Jawa.

 

Dengan memberikan izin penggunaan jaring tarik berkantong diberikan di WPPNRI 711 dan 712, KKP terus mendorong eksploitasi sumber daya ikan di kawasan tersebut demi memanjakan para pengusaha perikanan skala besar yang rata-rata berada di kawasan utara Pulau Jawa.

 

Menurut Susan, Permen KP No. 18 Tahun 2021 tidak mempertimbangkan keberadaan sebanyak 7.066 nelayan skala kecil di Kepulauan Natuna dan 470.020 nelayan skala kecil yang berada di sepanjang pantai utara Pulau Jawa yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya ikan untuk hidupnya.

 

“Permen ini semakin memperberat ancaman kehidupan nelayan skala kecil di Kepulauan Natuna dan kawasan utara Pulau Jawa yang harus berhadapan dengan dampak buruk krisis iklim dan ekspansi proyek reklamasi serta proyek tambang pasir,” jelas Susan.

 

Tak dorong transisi ke alat tangkap ramah lingkungan

 

Persoalan lain yang dicatat oleh KIARA dari Permen KP No. 18 Tahun 2021 adalah persoalan cantrang yang mendapatkan penolakan dari berbagai elemen pelaku perikanan di Indonesia, tidak diselesaikan oleh Permen ini. Cantrang ditolak karena terbukti tidak ramah lingkungan dan merusak keberlanjutan sumber daya perikanan di perairan Indonesia.

“Alih-alih mendorong transisi ke alat tangkap yang ramah lingkungan, Permen ini malah terlihat melanjutkan watak ekstraktif dan eksploitatif cantrang pada alat tangkap ikan yang lain,” imbuh Susan.

 

Permen ini mengabaikan temuan KKP sendiri yang dipublikasikan dalam dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018 yang menyebut cantrang dan berbagai jenis alat tangkap merusak lainnya dapat menyebabkan tiga hal, yaitu: mendorong penangkapan ikan yang tidak efektif dan eksploitatif, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan, dan memicu konflik sosial-ekonomi nelayan di tingkat akar rumput.

 

KIARA mendesak KKP untuk mendorong pendataan kapal-kapal pengguna cantrang dan alat tangkap merusak sejenis serta menggantinya dengan alat tangkap ramah lingkungan yang disesuaikan dengan kondisi perairan masing-masing.

 

“Transisi inilah yang tidak dijalankan oleh dua menteri KP sebelumnya. Menteri KP sekarang harus memastikan transisi ini berjalan supaya tidak ada lagi konflik yang terjadi,” tegas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

KIARA: Keanekaragaman Hayati Pesisir Indonesia Terancam Krisis Iklim dan Pembangunan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 28 Juni 2021 – Lautan Indonesia beserta kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan rumah besar dan penting bagi berbagai keanekaragaman hayati yang berharga bagi kehidupan generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Diantara keanekaragaman hayati yang penting disebutkan adalah terumbu karang. Terumbu karang adalah habitat penting untuk ikan. Terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 3-10 ton ikan per kilometer persegi per tahun.

 

Tak hanya itu, kawasan pesisir Indonesia memiliki kekayaan hutan mangrove seluas 3 juta hektar, sangat bermanfaat dan merupakan lumbung pangan ikan nasional yang menyumbang sekitar 57-60% sumber asupan protein hewani bagi rakyat Indonesia. Selain terumbu karang dan hutan mangrove, Indonesia memilliki luas hutan tropis di pulau-pulau kecil seluas 4,1 juta hektar, dan kawasan budidaya rumput laut seluas 1.110.900 hektar.

 

“Berbagai keanekaragaman hayati di lautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, terbukti memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial bagi kehidupan masyarakat pesisir dan bagi lebih dari 260 juta penduduk Indonesia dari Sabang sampai dengan Merauke,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

 

Namun, lanjut Susan, keanekaragaman hayati di lautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil Indonesia terancam oleh dua persoalan besar, yaitu krisis iklim dan pembangunan yang merusak. “Krisis iklim dan pembangunan yang merusak atas nama pertumbuhan ekonomi, terbukti menghancurkan kekayaan keanekaragaman hayati di lautan Indonesia,” ungkapnya.

 

Pusat Data dan Informasi KIARA (2020) mencatat, krisis iklim terbukti memberikan dampak buruk keanekaragaman hayati di lautan, diantaranya adalah pengasaman air laut, hilangnya oksigen dari lautan, dan pemutihan karang (coral bleeching). “Terumbu karang di Indonesia berada dalam keterancaman. Dari total luas 1.528.106,29 hektar, hanya 29,60 yang berada dalam kondisi baik. Sisanya berada dalam kondisi tidak baik dan rusak. Kondisi ini, tambah Susan, mengakibatkan semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan yang diproduksi oleh nelayan, ” jelas Susan.

 

Dampak buruk krisis iklim di perparah oleh pembangunan yang becorak destruktif dan eksploitatif, yang didorong oleh pemerintah atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. KIARA mencatat proyek seperti reklamasi pantai,  pertambangan pasir laut, pertambangan nikel, pertambangan migas, dan proyek-proyek lainnya terbukti menghancurkan keanekaragaman hayati di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

 

Proyek reklamasi pantai, misalnya, terbukti mempercepat hilangnya hutan mangrove di Indonesia. di Teluk Jakarta, misalnya, proyek reklamasi yang berlangsung sejak lama hanya menyisakan hutan mangrove seluas 25 hektar dari sebelumnya yang tercatat seluas 1.140,13 hektar. Tak hanya itu, proyek pertambangan pasir di berbagai termpat di Indonesia, terbukti menghancurkan kawasan terumbu karang yang merupakan tempat berkembang biaknya ikan.

 

Ironisnya, pemerintah Indonesia malah merencanakan proyek pertambangan pasir semakin luas atas nama pertumbuhan ekonomi. Di dalam dokumen resmi KKP yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut pada Bulan Mei 2021, disebutkan bahwa saat ini dibutuhkan sekitar 1.870.831.201 M3 (kubik)  untuk memenuhi sejumlah proyek reklamasi. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

 

Lokasi proyek Reklamasi               Kebutuhan Pasir (M3)

Reklamasi Teluk Jakarta                 388.200.000

Reklamasi Bandara Sokearno Hatta dan Infrastrukturnya                262.000.000

Reklamasi Makasar New Port      72.000

Reklamasi Pelabuhan Bojonegoro            37.000.000

Reklamasi Bandara Ngurah Rai III              5.250.000

Reklamasi CPI Makasar  22.627.480

Reklamasi Kabupaten Batubara 560.000.000

Reklamasi Pertamina Tuban         12.000.000

Reklamasi Kepulauan Riau            583.681.721

Total Kebutuan 1.870.831.201 M3

Sumber data: Dokumen Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, KKP (2021)

 

Data kebutuhan material pasir yang disusun oleh KKP menunjukkan bahwa tambang pasir yang akan ditetapkan tarif PNBP-nya ditujukan untuk memenuhi kepentingan proyek reklamasi skala besar di Indonesia .

 

Penetapan tarif PNBP untuk pasir laut oleh KKP yang mendorong penambangan pasir laut skala besar, bertentangan dengan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 tahun 2014, tentang Pengelolaan kawasan pesisir dan Pulau-pulau kecil, dimana dalam pasal 35 disebutkan larangan melakukan penambangan pasir, jika dapat merusak ekosistem perairan. Pasal 35 ayat 1 menyebutkan bahwa melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

 

Lebih jauh, penetapan tarif PNBP untuk pasir laut oleh KKP yang mendorong penambangan pasir laut skala besar, bertentangan dengan Putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang menyebut 4 hak masyarakat pesisir, yaitu: 1) hak untuk mengakses dan melintas laut; 2) hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat; 3) hak untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya kelautan dan perikanan; 4) hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan dengan adat istiadat.

 

Di sisi lain, ancaman terbesar yang perlu disikapi secara tegas terkait dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No 27 tahun 2021 yang merugikan kehidupan masyarakat bahari Indonesia.  Di mana di dalam pasal 38 dari PP tersebut menyebutkan tentang bagaimana pola pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan namun KIARA melihat adanya upaya eksploitasi sumber daya pesisir dengan mengubah kawasan inti konservasi untuk kepentingan strategis nasional.

 

Atas dasar itu, Susan Herawati mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan berbagai proyek yang destruktif dan eksploitatif yang telah dan akan menghancurkan keanekaragaman hayati di wilayah lautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. “Kami meminta pemerintah Indonesia untuk berhenti menghancurkan keanekaragaman hayati yang sangat penting dan berharga bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang,” pungksnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, 0821-1172-7050

KIARA: Kebijakan impor pangan Pemerintah hancurkan kedaulatan dan percepat krisis pangan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 24 Mei 2021 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyampaikan kritik tajam kepada Pemerintah Indonesia yang memilih kebijakan impor pangan, yang jumlahnya terus mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Diantara komoditas yang terus diimpor dari negara lain adalah garam, dan sejumlah komoditas lainnya.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2021) menyebut, impor garam secara kumulatif pada empat bulan pertama (kuartal) tahun 2021 tercatat sebanyak 379.910 ton atau naik 19,60 persen dibandingkan kuartal pertama tahun 2020 yang tercatat hanya sebanyak 317.642 ton. Realisasi impor tersebut naik 275 persen dari Februari 2021 yang hanya sebanyak 79.929 ton. Jika dibandingkan dengan periode yang sama dengan tahun sebelumnya, impor garam naik 54,02 persen, di mana pada Maret 2020 komoditas ini hanya 194.608 ton.

Menanggapi fakta ini, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan nasional. “Jika pemerintah Indonesia terus memilih impor sebagai kebijakan pemenuhan pangan nasional, maka kebijakan tersebut akan menghancurkan kedaulatan pangan sekaligus mempercepat krisis pangan dalam waktu dekat,” tegasnya.

Menurut Susan, impor garam di Indonesia semakin terus mengalami kenaikan dan tidak bisa ditinggalkan karena pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. “PP ini tidak berpihak terhadap kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan petambak garam Indonesia. Sebaliknya PP tersebut semakin mempermudah impor komoditas perikanan dan pergaraman yang selama ini hanya menguntungkan segelintir orang yakni pengimpor,” jelas Susan.

Selanjutnya, impor garam semakin dipermudah dengan disahkannya UU No. 11 tahun 202 tentang Cipta Kerja. Pada pasal 37 ayat 1 UU Cipta Kerja disebut bahwa Pemerintah Pusat mengendalikan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman. Lalu, pasal ini dijabarkan dalam PP No. 27 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perikanan dan Kelautan dan  Perikanan pasal 289 yang menyebut tidak ada batasan waktu impor garam.

Menurut Susan, UU Cipta Kerja dan PP 27 tahun 2021 tetap mengizinkan impor garam, meskipun di Indonesia sedang berada pada musim panen garam. Pemerintah tinggal menyusun neraca pergaraman nasional di tingkat Kementerian Perekonomian. “UU Cipta Kerja dan PP 27 tahun 2021 semakin memperburuk masa depan kedaulatan pangan nasional, khususnya pergaraman Indonesia. Indonesia akan menjadi negara importir garam terbesar dan tergantung kepada negara lain,” imbuhnya.

Bagaimana dengan Nasib Petambak Garam Nasional?

Tingginya angka impor garam kuartal pertama tahun 2021 ini tak lepas dari keputusan Pemerintah Indonesia melalui rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 25 Januari 2021 lalu yang akan mengimpor garam sebanyak 3,07 ton.

Jika dilihat tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2017 pemerintah Indonesia telah mengimpor garam dari Australia sebanyak 2,29 juta ton. Lalu, pada tahun 2018, impor garam dari Australia mengalami peningkatan menjadi 2,6 juta ton. Pada tahun 2020, impor garam dari Australia tercatat sebanyak 2,22 juta ton.

Adapun dari China, pada tahun 2019, Pemerintah Indonesia mengimpor garam sebanyak 568 ton. Pada tahun 2020 impor garam dari China meningkat menjadi 1,32 ribu ton. Sementara itu, impor garam dari India tercatat sebanyak 719,55 ribu ton pada 2019. Pada tahun 2020 tercatat hanya 373,93 ribu ton.

“Angka-angka impor itu akan semakin besar jika datanya kita tarik semakin jauh ke belakang. Poin utamanya, sejak lama pemerintah Indonesia siapapun presidennya tidak memiliki perhatian untuk memperkuat petambak garam nasional,” ungkap Amin Abdullah, Dewan Presidium Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI).

Amin membantah klaim pemerintah yang menyebut produksi garam nasional tidak memadai untuk mejawab kebutuhan garam industri. Baginya, para petambak garam Indonesia telah mampu membuat garam berkualitas tinggi untuk kebutuhan industri. Bahkan pada saat musim hujan, mereka bisa memproduksi garam dengan jumlah ratusan ton.

Impor garam yang terus berulang setiap tahun membuktikan Pemerintah Indonesia telah gagal membangun kedaulatan pangan serta tak berpihak kepada petambak garam nasional. “Kebijakan impor garam ini menunjukkan politik pangan Pemerintah Indonesia yang hanya menguntungkan importir besar garam dan negara asing seperti Australia, China dan India,” kata Amin.

Amin mengkhawatirkan, kebijakan impor garam yang telah disahkan oleh UU Cipta Kerja dan PP 27 tahun 2021 ini akan terus membuat jumlah petambak garam semakin menyusut. Menurutnya, pada tahun 2012, jumlah petambak garam di Indonesia tercatat sebanyak 30.668 orang. Namun, di dalam dokumen statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir Indonesia tahun 2020, jumlah petambak tercatat hanya sebanyak 19.503 orang.

“Dalam waktu kurang dari 10 tahun, lebih dari 10 ribu orang yang tidak lagi berprofesi sebagai petambak garam akibat kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak berpihak kepada mereka. Pada masa yang akan datang, jumlah petambak garam di Indonesia akan terus menurun akibat kebijakan impor yang tidak menguntungkan kehidupan petambak garam,” pungkas Amin.  (*)

 

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Amin Abdullah, Dewan Presidium Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI), +62 818-0578-5720

KIARA: Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2021 Rugikan Nelayan, Tapi Untungkan Pelaku Industri Skala Besar

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 13 April 2021 – Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan lima bulan usai UU No. 11 Tahun 2020 disahkan. Selain menerbitkan PP No. 27 Tahun 2021, Pemerintah juga menerbitkan dua PP yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan, yaitu PP No. 5  Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan  Berusaha Berbasis Risiko dan PP No. 21 Tahun 2021 tentang  Penyelenggaraan Penataan Ruang. Tiga PP tersebut, akan melahirkan aturan turunan berupa 18 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan serta tiga Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan.

 

Menyikapi hal ini, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyebut bahwa ketiga PP tersebut perlu dikritisi oleh masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. “PP No. 27 Tahun 2021 misalnya, memuat banyak pasal dan ayat yang menguntungkan pelaku industri besar tetapi pada saat yang sama merugikan nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam” ungkapnya.

 

Susan merinci sejumlah pasal dan ayat dalam PP No. 27 Tahun 2021 yang merugikan kehidupan nelayan, perempuan nelayan dan petambak garam sebagai berikut:

 

Pertama, banyak pasal dan ayat yang memudahkan impor komoditas perikanan dan pergaraman yang akan merugikan nelayan dan petambak garam nasional tetapi menguntungkan pelaku industri skala besar atau pengusaha besar. Pada pasal 276 ayat 1 dan ayat 2 disebutkan bahwa penerbitan persetujuan impor komoditas perikanan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dilakukan berdasarkan neraca komoditas perikanan. Lalu, penyusunan neraca komoditas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan data dan informasi rencana usaha yang disampaikan pelaku usaha untuk periode 1 (satu) tahun.

 

“Pasal ini menunjukkan bagaimana impor komoditas perikanan dapat dilakukan oleh pemerintah, khususnya kementerian perdagangan untuk memenuhi kepentingan pelaku industri skala besar atau pengusaha besar. Hal ini juga berlaku untuk komoditas pergaraman,” jelas Susan.

 

Kedua, banyak pasal dan ayat yang mendorong pembukaan kawasan perikanan  budidaya skala besar yang akan merampas kawasan hutan mangrove yang telah menjadi kawasan green belt serta dikelola oleh nelayan dan perempuan nelayan. Dalam Pasal 39 Ayat 1 dan ayat 2 disebutkan bahwa dalam rangka optimalisasi pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan di seluruh wilayah perairan Indonesia, Pemerintah Pusat menetapkan WPPNRI. WPPNRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. WPPNRI di perairan Laut; dan b. WPPNRI di Perairan Darat.

 

“Pembagian WPPNRI menjadi perairan laut dan Perairan darat menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya apakah yang dimaksud dengan WPPNRI Laut itu berada di laut dalam, sementara WPPNRI darat itu di laut dangkal? Atau WPPNRI darat ini untuk mengakomodasi kepentingan perikanan budidaya skala besar?” tanya Susan. 

 

Selain itu, di dalam pasal 39 disebutkan mengenai sumber daya ikan berkelanjutan, tetapi di pasal-pasal lain didorong eksploitasi terhadap sumber daya pesisir, kelautan, dan pulau-pulau kecil seperti mengubah kawasan inti konservasi untuk kepentingan proyek eksploitasi sebagaimana yang dalam proyek strategis nasional. “Konsep sumber daya ikan berkelanjutan menjadi tidak jelas dan kabur karena di dalam PP ini didorong eksploitasi besar-besaran,”. tambah Susan.

 

Pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut menjadi bukti bahwa PP No. 27 Tahun 2021 tidak ditujukan untuk membangun kehidupan nelayan, perempuan nelayan, dan petambak Indonesia, tetapi melayani kepentingan pengusaha besar. Hal ini sejalan semangat UU Cipta Kerja. Alih-alih menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, UU ini malah mendorong eksploitasi sumber daya alam, khususnya di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dan merampas kehidupan nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.  

 

“Pada titik inilah, pemerintah tidak berdiri menjalankan mandat konstitusi untuk mendorong sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam hal pengelolaan sumber daya alam,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, 0821-1172-7050