Kontroversi Proyek Reklamasi, Membara di Teluk Jakarta

Reklamasi Teluk Jakarta mendadak menjadi diskursus publik. Isu ini terus memanas dan menjadi sorotan masyarakat, terutama selepas penangkapan Muhammad Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra.

Perkaranya berbuntut panjang. Bukan hanya nilai bombastis dari proyek yang menjeratnya, dugaan keterlibatan sejumlah pengusaha besar pun menjadi sorotan dan persoalan tersendiri dalam kasus dugaan suap tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menandai kasus ini dengan predikat grand corruption.

Kasus yang juga menyeret Direktur Utara PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja itu disebut-sebut melibatkan sejumlah tokoh besar di dalam negeri. KPK bahkan telah mengajukan permintaan pencegahan terhadap beberapa nama kepada Ditjen Imigrasi.

Bos Agung Sedayu Group Sugianto Kusumo alias Aguan menjadi salah satu nama yang dicegah untuk berpergian ke luar negeri. Meski masih berstatus saksi, KPK berkelit pencegahan itu dilakukan untuk mempermudah upaya memperoleh keterangan terkait dengan kasus tersebut.

Aguan merupakan salah satu pengusaha top di dalam negeri yang belakangan aktif di berbagai kegiatan sosial melalui Yayasan Budha Tzu Chi yang merupakan cabang dari organisasi pimpinan Master Cheng Yen di Taiwan.

Aguan sukses membangun kawasan Harco Mangga Dua sebagai salah satu pusat elektronik terintegrasi di Jakarta. Selain itu, Aguan juga mengembangkan kawasan Taman Palem, dan Kelapa Gading Square. Saat ini, Aguan juga tercatat sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Artha Graha bersama Tomy Winata.

Kasus dugaan suap yang belakang menghebohkan itu terkait dengan Rancangan Peraturan daerah DKI Jakarta tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), dan Rancangan Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, atau yang lebih dikenal dengan Raperda Reklamasi.

Rancangan beleid itu menyangkut pembagian zona dari pulau-pulau di Teluk Jakarta, dan akan mengatur wilayah mana saja yang akan diperuntukan untuk wilayah umum, kawasan pelayaran, budi daya, hingga konservasi.

Hal itulah yang membuat pengusaha berkepentingan untuk ikut campur dalam pembahasan rancangan peraturan daerah, karena RZWP3K akan menentukan nasib peruntukan pulau, termasuk pulau reklamasi.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebetulnya telah mengeluarkan izin prinsip pelaksanaan reklamasi kepada para pengembang.

Selain kepada PT Agung Podomoro Land Tbk., izin prinsip juga diberikan kepada PT Kapuk Naga Indah yang merupakan anak perusahaan PT Agung Sedayu, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk., PT Intiland Development Tbk., PT Jakarta Propertindo, PT Jaladri Kartika Pakci, PT Pelindo II (Persero), dan PT Manggala Krida Yudha.

Dengan tambahan 17 pulau buatan yang dinamai sesuai dengan alphabet, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mendapat tambahan daratan seluas 5.100 hektare. Untuk melakukan reklamasi itu, diperkirakan akan menghabiskan dana sekitar Rp500 triliun.

Agar dapat melaksanakan reklamasi dan memanfaatkan pulau buatan tersebut, perusahaan yang diberikan izin prinsip harus memberikan kontribusi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Ahok ngotot agar pengusaha memberikan kontribusi sebesar 15%dari nilai jual objek pajak (NJOP) total lahan total lahan yang dapat dijual atau saleable area.

Ahok mengaku sempat mendapat lobi agar nilai kontribusi yang diberikan pengusaha diturunkan menjadi 5%. Dia bahkan mengancam akan memenjarakan seluruh anak buahnya yang berani melawan keputusannya tersebut.

“Kalau begini, ini tindak pidana korupsi. Saya ancam mereka, siapapun yang melawan disposisi saya, akan saya penjarakan,” kata Ahok.

Meski masih bermasalah, PT Kapuk Naga Indah yang menjadi pengembang Pulau A, B, C, D, dan E, telah memasarkan produk propertinya.

Pulau itu memang termasuk ke dalam Blok Barat yang diperuntukan sebagai kawasan pemukiman intensitas sedang tempat rekreasi, kawasan komersial terbatas, rumah sakit, dan pertokoan.

Berdasarkan laman golf-island-pik.com, salah satu pulau yang dikembangkan anak perusahaan PT Agung Sedayu itu memiliki lapangan golf dengan 27 hole, ruko komersial menghadap laut, rukan di boulevard dengan jalan selebar 115 meter, rumah hunian dengan pemandangan laut dan danau, serta kavling tanah dengan pemandangan lapangan golf dan danau.

Laman itu juga menyediakan informasi harga rukan di Blok A dan C dengan pemandangan laut Rp11 miliar, rukan The Beach 2 View Rp8 miliar, rukan dengan pemandangan jembatan akses utama Rp7 miliar, rukan theme park Rp7 miliar, rukan Blok J boulevard Rp7 miliar, rukan beach boulevard Rp8 miliar, dan rukan Blok H dan I boulevard Rp7 miliar.

Harga cukup fantastis juga diberikan untuk produk perumahan, yakni rumah tipe Basil dengan ukuran 10X20 meter di Cluster The Chopin Signature seharga Rp7 miliar. Di cluster yang sama, rumah dengan tipe Bougenville yang berukuran 10X35 meter dijual dengan harga Rp18 miliar, dan rumah tipe Marygold di Cluster the Mozart Signature berukuran 12X35 meter seharga Rp20 miliar.

Laman tersebut pun menyediakan nomor telepon yang dapat dihubungi, apabila ada pihak yang berminat untuk membeli properti di kawasan tersebut.. Akan tetapi, nomor yang dipasang tidak merespon panggilan yang dilakukan, untuk mengetahui lebih lanjut produk yang dipasarkan.

Sayangnya, saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyegel bangunan milik perusahaan, karena persoalan perizinan. Bangunan yang ada di Pulau C disegel, karena belum memiliki izin mendirikan bangunan.

Selama ini, pengembang hanya memegang izin prinsip pelaksanaan, sedangkan untuk membangun rumah, kantor, dan apartemen di area reklamasi harus tetap mengajukan izin mendirikan bangunan atau IMB.

Pengembang lainnya, PT Jakarta Propertindo justru mengaku belum fokus untuk menggarap reklamasi.

BUMD milik Pemprov DKI Jakarta itu sejauh ini masih memberi prioritas pada penugasan proyek-proyek untuk mendukung Asian Games 2018.

“Kami sudah kantongin izin prinsip. Saat ini masih kajian atau tahap persiapan. Kalau investor lain kami kurang tahu, yang sudah bangun mungkin rugi ya [karena tarik ulur pembahasan raperda],” jelas Sekretaris Perusahaan Jakpro, Achmad Hidayat.

OPSI TERAKHIR

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro berpendapat reklamasi seharusnya menjadi pilihan terakhir ketika tidak memiliki lahan lagi. Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta nampak ketidakmampuan pemerintah dan pemda untuk konsolidasi lahan sehingga reklamasi menjadi pilihan.

“Secara teknis tidak ada masalah selama dilakukan dengan teknik yang benar. Namun, reklamasi idealnya ialah meng-upgrade kehidupan mereka yang tinggal di sekitar lokasi karena mereka menjadi subjek pembangunan,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (11/4).

Bernardus menuturkan pengambangan 17 pulau hasil reklamasi jelas-jelas ditujukan untuk kelas menengah ke atas. Sebab, biaya yang dikeluarkan investor untuk melakukan reklamasi pun tidak sedikit.

Selain tidak menjadikan masyarakat Teluk Jakarta sebagai subjek pembangunan, dia menuturkan pemprov lalai dalam perencanaan reklamasi. Merujuk pada UU No.26/2007 Tentang Penataan Ruang, pemprov DKI seharusnya melakukan penjaringan opini masyarakat terlebih dahulu.

Dia mencontohkan masterplan perencanaan pembangunan kota Kuala Lumpur membutuhkan waktu sekitar 6,5 tahun karena lamanya konsultasi publik. Konsultasi publik dibutuhkan untuk mendapatkan aspirasi masyarakat dan memperjelas tujuan reklamasi.

Menurutnya, dari kaidah perencanaan, tampak jelas bahwa Pemprov DKI dan pengembang sama-sama lalai karena tidak mengikuti proses seharusnya. Konsultasi public dengan anggota DPR belum mampu mewakili seluruh aspirasi masyarakat.

“Sekarang pemda mungkin tidak mengerti di atas pulau itu akan dibangun apa, jalannya seperti apa, bangunan dan lainnya. Sebelum ada desain yang utuh, tidak bisa main timbun saja.”

Susah Herawati, Deputi Pengelolahan Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan sejak awal reklamasi Teluk Jakarta sudah menyalahi aturan yakni tidak adanya analisis dampak lingkungan (Amdal). Selain itu, konsultasi publik juga tidak dilakukan padahal para nelayan adalah korban langsung reklamasi.

Reklamasi Teluk Jakarta mengancam kelanjutan hidup sekitar 7.000 nelayan. Kompensasi kepada para nelayan pun tidak jelas, padahal pembahasan reklamasi Teluk Jakarta sudah dilakukan sejak era Orde Baru.

“Tidak ada pembicaraan apapun dengan nelayan. Saat ini saja tangkapan sudah menurun karena aktivitas reklamasi.”

Susan berpendapat reklamasi teluk Jakarta adalah potret di mana pemerintah sangat memberikan perhatian kepada swasta sekaligus abai terhadap nelayan dan rakyat kecil. Kasus korupsi terkait dengan reklamasi Teluk Jakarta juga tidak membuat aktivitas reklamasi terhenti.

Dia mengatakan saat ini aktivitas kapal besar yang mengangkut pasir untuk urukan di pulau reklamasi tetap berlanjut. Bahan urukan itu diambil dari Banten, Bangka Belitung, Lampung dan daerah lainnya.

“Kasus korupsi yang hanya berapa miliar itu kecil sekali jika dibandingkan dengan apa yang akan pengembang dapatkan. Kami sejak awal tolak reklamasi.

Sumber: Bisnis Indonesia, 12 April 2016. Halaman 10

Soal Reklamasi, KPK Didesak Usut Aktor Lokal di Sekitar Jakarta

Banten Hits – Komisi Pemberantasan Korupsi didesak untuk mengusut aktor lokal di sekitar Jakarta yang dipastikan terlibat dalam reklamasi Teluk Jakarta. Salah satu indikasi keterlibatan daerah, yakni terkait pasokan pasir untuk mereklamasi pulau milik PT Agung Podomoro Land yang diketahui berasal dari Kabupaten Serang.

“Kami mendapat laporan dari nelayan (Kecamatan) Lontar. Telah terjadi pengerukan pasir yang ditengarai akan digunakan untuk mereklamasi Teluk Jakarta,” kata Farid Ridwanuddin, salah seorang deputi LSM Kiara dalam program talkshow Apa Kabar Indonesia Pagi, Minggu (3/4/2016).

Narasumber lainnya yang hadir dalam acara tersebut, Menteri Lingkungan Hidup RI periode 1999-2001 Sony Keraf, secara tegas menyebut reklamasi Teluk Jakarta yang dilakukan PT Agung Podomoro Land ilegal, menyusul belum keluarnya Amdal untuk proyek tersebut.

“Semestinya, jika gubernur Ahok punya kepedulian terhadap lingkungan, dia tidak akan memperpanjang izin reklamasi,” katanya.

Terkait aktivitas pengerukan pasir di laut utara Kabupaten Serang, nelayan di sekitar lokasi mengaku kesulitan mendapatkan penghasilan dari melaut. Pasalnya, ada penambangan pasir laut di wilayah mereka.

Dari keterangan yang disampaikan sejumlah nelayan di Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, kapal yang melakukan penambangan merupakan kapal asing bernama Queen of Netherlands. Aktivitas kapal tersebut berada di lokasi mereka biasa memasang jaring ikan, sehingga nelayan harus mencari lokasi lain.

Setelah melaporkan aktivitas penyedotan pasir oleh kapal yang diketahui milik PT Jet Star ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, Selasa (7/3/2016), warga setempat yang notabene merupakan nelayan akan menggelar unjuk rasa ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten.

Niatan warga tersebut mendapat dukungan dari Pemerintah Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa yang mengaku, pihaknya tidak pernah dilibatkan terkait dengan aktivitas tersebut, termasuk surat tembusan yang tak pernah diterima.

“Saya mendukung keinginan masyarakat tentang penolakan tambang pasir PT Jet Star di Desa Lontar. Makanya, besok saya akan ikut warga aksi ke Pemprov Banten,” kata Kepala Desa Lontar, Aklani, usai bertemu puluhan warga yang datang ke kantornya untuk meminta kejelasan soal aktivitas tambang pasir yang menimbulkan keresahan para nelayan, Senin (6/3/2016).

Pihak perusahaan, juga diketahui belum pernah menemui masyarakat untuk mensosialisasikan aktifitas kapal penambang tersebut.

“Kami belum pernah dilibatkan dalam berbagai hal terkait izin tambang pasir ini. Apalagi sosialisasi, belum pernah,” ungkap Rohman, seorang juru tulis Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa tersebut.

KPK menangkap tangan anggota DPRD DKI Jakarta Muhamad Sanusi bersama dua karyawan PT Agung Podomoro Land terkait suap. Tak lama berselang, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman meenyerahkan diri ke KPK. Mereka semua kini berstatus tersangka.

 

Report: Darussalam J.S

Sumber: http://www.tangeranghits.com/metropolitan/43914/soal-reklamasi-kpk-didesak-usut-aktor-lokal-di-sekitar-jakarta

Produksi Tangkapan Ikan Jepang dan Thailand Anjlok, Ini Sebabnya

22 November 2015, GEOMARITIM.com, Jakarta — Produksi tangkapan ikan di Jepang dan Thailand terus menurun. Kondisi demikian perlu diwaspadai, karena berpotensi membuat nelayan mencari ke tempat lain, termasuk ke perairan Indonesia.

“Penurunan produksi perikanan tangkap di Jepang dan Thailand masing-masing hingga 22 dan 39 persen,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim di Jakarta, Sabtu (21/11).

Halim menjelaskan, penurunan produksi di Jepang terjadi karena negara Matahari Terbit itu terus-menerus mengurangi jumlah armada perikanan sejak 1980-an.

Pada Maret 2011, menurut dia, gempa bumi disertai tsunami di pantai timur Jepang menghancurkan infrastruktur dan kapal perikanan. Tragedi tersebut juga berdampak terhadap penurunan sepertiga hasil tangkapan ikan, atau sekitar 7 persen pada tahun 2010 dan 3,5 persen pada tahun 2012.

Adapun menurunnya produksi ikan di Thailand, disebabkan berkurangnya sumber daya ikan, akibat penangkapan ikan berlebih dan kerusakan lingkungan di Teluk Thailand.

Kondisi demikian, menurut Halim mendorong beroperasinya kapal-kapal perikanan Thailand menangkap ikan di perairan Indonesia sejak 2008.

Kini pemerintah Indonesia lebih memprioritaskan produksi perikanan budidaya dibanding ikan tangkap. Hal ini karena kebutuhan pangan untuk populasi lebih banyak menggunakan sumber pangan berbasis teknologi.

“Kalau 30 tahun lalu, di dunia ini perikanan budidaya baru 20-30 persen. Sekarang, sudah lebih dari 50 persen kita di budidaya,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis (29/10), dalam pembukaan Indonesia Aquaculture 2015 di Indonesian Convention & Exhibition (ICE), Tangerang Selatan.

Wapres mengingatkan, di sejumlah negara telah mekanisme peningkatan teknologi, seperti teknologi budidaya salmon di Eropa dan tuna di Jepang.

“Dengan demikian, di Indonesia seharusnya juga terus dikembangkan budidaya seperti nila dan kerapu. Serta begitu juga dengan komoditas nonperikanan lainnya, seperti udang dan cumi.[]

Rep: Agus Budiman

Sumber: http://geomaritim.com/read/2015/11/22/3154/Produksi-tangkapan-ikan-Jepang-dan-Thailand-anjlok-ini-sebabnya

Produksi Tangkapan Ikan Jepang dan Thailand Anjlok, Ini Sebabnya

22 November 2015, GEOMARITIM.com, Jakarta — Produksi tangkapan ikan di Jepang dan Thailand terus menurun. Kondisi demikian perlu diwaspadai, karena berpotensi membuat nelayan mencari ke tempat lain, termasuk ke perairan Indonesia.

“Penurunan produksi perikanan tangkap di Jepang dan Thailand masing-masing hingga 22 dan 39 persen,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim di Jakarta, Sabtu (21/11).

Halim menjelaskan, penurunan produksi di Jepang terjadi karena negara Matahari Terbit itu terus-menerus mengurangi jumlah armada perikanan sejak 1980-an.

Pada Maret 2011, menurut dia, gempa bumi disertai tsunami di pantai timur Jepang menghancurkan infrastruktur dan kapal perikanan. Tragedi tersebut juga berdampak terhadap penurunan sepertiga hasil tangkapan ikan, atau sekitar 7 persen pada tahun 2010 dan 3,5 persen pada tahun 2012.

Adapun menurunnya produksi ikan di Thailand, disebabkan berkurangnya sumber daya ikan, akibat penangkapan ikan berlebih dan kerusakan lingkungan di Teluk Thailand.

Kondisi demikian, menurut Halim mendorong beroperasinya kapal-kapal perikanan Thailand menangkap ikan di perairan Indonesia sejak 2008.

Kini pemerintah Indonesia lebih memprioritaskan produksi perikanan budidaya dibanding ikan tangkap. Hal ini karena kebutuhan pangan untuk populasi lebih banyak menggunakan sumber pangan berbasis teknologi.

“Kalau 30 tahun lalu, di dunia ini perikanan budidaya baru 20-30 persen. Sekarang, sudah lebih dari 50 persen kita di budidaya,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis (29/10), dalam pembukaan Indonesia Aquaculture 2015 di Indonesian Convention & Exhibition (ICE), Tangerang Selatan.

Wapres mengingatkan, di sejumlah negara telah mekanisme peningkatan teknologi, seperti teknologi budidaya salmon di Eropa dan tuna di Jepang.

“Dengan demikian, di Indonesia seharusnya juga terus dikembangkan budidaya seperti nila dan kerapu. Serta begitu juga dengan komoditas nonperikanan lainnya, seperti udang dan cumi.[]

Rep: Agus Budiman

Sumber: http://geomaritim.com/read/2015/11/22/3154/Produksi-tangkapan-ikan-Jepang-dan-Thailand-anjlok-ini-sebabnya

Reklamasi Akibatkan Praktik Privatisasi-Komersialisasi Pesisir

JAKARTA, Jowonews.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menegaskan aktivitas reklamasi mengakibatkan merajalelanya praktik privatisasi dan komersialiasi di kawasan pesisir yang cenderung mengabaikan kepentingan publik.

“Yang terjadi reklamasi justru mengakibatkan praktik privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim ketika dihubungi Antara di Jakarta, Selasa.

Menurut Abdul Halim, Pusat Data dan Informasi Kiara pada tahun 2015 mencatat dari 27 lokasi reklamasi pantai di berbagai daerah, nelayan justru dirugikan dan ekosistem pesisir rusak.

Ia juga berpendapat bahwa contoh yang bisa mengakibatkan hal itu terjadi adalah reklamasi Jakarta.

“Mestinya Menteri Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk menindak pelaku reklamasi dan oknum birokrasi,” katanya.

Hal itu, kata dia, karena reklamasi yang merusak melanggar Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menyebutkan bahwa praktik merusak di wilayah pesisir terlarang.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengemukakan bahwa penindakan terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas reklamasi di tepi pantai bukan termasuk wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Masalah lingkungan itu di bawah KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), kami hanya memberikan disposisi,” kata Susi Pudjiastuti.

Menurut Susi, reklamasi itu boleh boleh selama dampak lingkungannya sudah diantisipasi dan dilakukan penanganannya sehingga tidak ada yang dirugikan baik alam maupun manusianya.

Selain itu, kata dia, juga perlu diperhatikan kegunaan reklamasi tersebut seharusnya untuk kepentingan umum yang lebih besar.

Menteri Kelautan dan Perikanan memaparkan kepentingan umum itu bisa saja untuk membangun properti perumahan untuk masyarakat, taman, pelabuhan, dan tempat rekreasi.

Apa pun kepentingan umum tersebut, lanjut dia, diharapkan merupakan suatu hal yang bersifat lebih produktif.   (Jn16/ant)

Sumber:

http://jowonews.com/2015/11/17/reklamasi-akibatkan-praktik-privatisasi-komersialisasi-pesisir/

Kiara: Praktik Privatisasi Pulau Kecil Masih Berlangsung

Antara – Rabu, 7 Oktober 2015

Jakarta (Antara) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan praktik privatisasi pulau-pulau kecil di berbagai daerah masih berlangsung sehingga pemerintah diharapkan jangan hanya mendorong investasi tanpa pengawasan.

“Sedikitnya 16 pulau dan gugusannya di Indonesia telah dikuasai orang asing sejak tahun 2014. Fakta ini menunjukkan bahwa praktik privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih terus berlangsung,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Padahal, ia mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan bahwa bentuk praktik itu melawan konstitusi, yakni Pasal 28 dan 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pusat Data dan Informasi Kiara menyatakan menemukan fakta bahwa 16 pulau yang dikuasai orang asing dan tidak bisa diakses tanpa izin tersebar di DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat.

“Lima pulau kecil sudah dikelola oleh investor pada tahun 2014 dengan nilai investasi Rp3,074 triliun. Lima pulau akan direalisasikan pada tahun 2015 dan 6 pulau dalam penjajakan,” ungkap Abdul Halim.

Dia juga mengingatkan bahwa UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengatur bahwa, “Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri” (Pasal 26 A ayat 1).

Selain itu, lanjutnya, juga disebutkan bahwa “Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan kepentingan nasional”.

“Logika berpikir para pengambil kebijakan di Tanah Air tidak masuk akal. Menyandingkan penanaman modal asing dengan kepentingan nasional adalah bentuk kesesatan berpikir. Sebaliknya, kepentingan nasional akan dikebiri atas nama investasi,” kata Sekjen Kiara.

Untuk itu, Abdul Halim mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk harus mengajukan upaya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di dalam Prolegnas 2016.

Di dalam Nota Keuangan APBN 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan anggaran sebesar Rp6.726,0 miliar.

Salah satu program kerja yang ingin dijalankan pada tahun 2015 adalah program pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Sumber Daya Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Pengelolaan pulau kecil ini juga tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Menindaklanjuti mandat tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mendaftar sekitar 100-300 pulau potensial dan ditawarkan kepada investor.

Sedangkan pada tahun 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp5 triliun atau sebesar Rp15.801,2 triliun.

Salah satu program prioritas adalah pengembangan ekonomi di pulau-pulau kecil terluar. Indikator kinerja yang dipatok adalah jumlah pulau-pulau kecil terluar yang difasilitasi pengembangan ekonominya sebanyak 25 pulau.(rr)

Sumber: http://id.news.qa1p.global.media.yahoo.com/kiara-praktik-privatisasi-pulau-kecil-masih-berlangsung-075807031.html

Privatisasi Sumber Daya Laut Abaikan Hak Warga Pesisir

CAPE TOWN, WOL – Privatisasi dan komodifikasi sumber daya laut semata-mata untuk kepentingan komersial telah menggusur keberadaan masyarakat pesisir dan menghilangkan akses mereka terhadap sumber-sumber penghidupannya.

Inilah pelanggaran hak asasi manusia yang ditengarai dilegalisasi oleh pemerintah di banyak negara dengan label kawasan konservasi laut (marine protected areas), investasi pulau-pulau kecil, dan pembangunan hunian tepi laut (water front city).

Hal ini mengemuka dalam Diskusi Terbatas tentang “Pengelolaan Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan di Cape Town, Afrika Selatan, pada tanggal 13-19 September 2015, dan dihadiri oleh perwakilan organisasi masyarakat sipil dari Afrika Selatan, Kenya, Uganda, Swedia, dan Indonesia.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA yang turut hadir dalam diskusi terbatas tersebut mengatakan, “Target luasan kawasan konservasi laut seluas 20 juta hektar merupakan praktek pelanggaran HAM masyarakat pesisir. Dalam pada itu, pemerintah mengklaim telah berhasil mencapai 16,5 juta hektar. Situasi ini justru mengebiri hak-hak konstitusional masyarakat pesisir lintas profesi, seperti nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya, dan pelestari ekosistem pesisir, dikarenakan terhalanginya akses dan kontrol terhadap sumber daya laut sebagai penopang kehidupan”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2015) mencatat sedikitnya 30 kabupaten/kota/provinsi di Indonesia menjalankan proyek reklamasi pantai untuk pembangunan hunian tepi laut.

Di saat yang sama, pemerintah  (melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan) mendorong hadirnya investasi asing di 40 pulau-pulau kecil selama tahun 2015-2016.

“Pemerintah menjadi aktor utama pelanggaran terhadap hak asasi masyarakat pesisir lintas profesi. Ironisnya, program privatisasi dan komersialisasi ini didukung oleh Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara Tahun 2015 dan 2016. Semestinya anggaran dipergunakan untuk memfasilitasi masyarakat pesisir lintas profesi menjalankan hak-hak asasinya yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan mendapatkan kemakmuran,” tambah Halim.

Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan frase “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dengan 4 indikator utama, yakni: pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; kedua, tingkat pemerataan sumber daya alam bagi rakyat; ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; dan keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun.

Praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut juga dialami oleh masyarakat nelayan skala kecil di Afrika Selatan. Sejak ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Langebaan dan diubah namanya menjadi West Coast National Park pada tahun 1973 melalui Sea Fisheries Act yang diperbarui pada tahun 1985 oleh Pemerintah Afrika Selatan, kawasan konservasi laut seluas 40.000 hektar ini dibagi ke dalam 3 zona (A, B, dan C).

Akibatnya, nelayan kehilangan akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut. Alih-alih dapat menjalankan profesinya, ancaman kriminalisasi justru kerap terjadi. Sedikitnya 3 nelayan Langebaan tengah ditahan oleh aparat setempat.

Lebih parah lagi, perairan di Zona B hanya bisa diakses oleh 3 orang saja dengan ketersediaan sumber daya ikan melimpah. Sementara sedikitnya 100-an keluarga nelayan yang tinggal di sekitar Teluk Saldanha ini tidak bisa memasuki perairan tersebut. Atas kondisi ini, masyarakat nelayan Langebaan tidak tinggal diam. Saat ini mereka tengah menggugat Pemerintah Afrika Selatan untuk membebaskan 3 nelayan dan mencabut Sea Fisheries Act 1985 yang melegalisasi praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut, termasuk penetapan kawasan konservasi laut tanpa partisipasi masyarakat pesisir Langebaan.

“Saatnya pemerintah mengakhiri praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut dan kembali ke jalan konstitusi: mengelola sumber daya laut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tutup Halim.(hls/data1)

Sumber: http://waspada.co.id/warta/privatisasi-sumber-daya-laut-abaikan-hak-warga-pesisir/

Pemerintah didesak akhiri komersialisasi sumber daya laut

 

20 September 2015, Cape Town, GEOMARITIM – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak pemerintah Indonesia segera mengakhiri praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut. Sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945, sumber daya laut seharusnya dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

“Saatnya pemerintah mengakhiri praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut dan kembali ke jalan konstitusi: mengelola sumber daya laut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim, kepada Geomaritim, Minggu (20/9/2015).

Dalam catatan KIARA, sepanjang September 2015 saja, terdapat sedikitnya 30 kabupaten/kota/provinsi di Indonesia menjalankan proyek reklamasi pantai untuk pembangunan hunian tepi laut. Melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menurut dia pemerintah mendorong hadirnya investasi asing di 40 pulau-pulau kecil, selama tahun 2015-2016.

“Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan frase ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat’ dengan 4 indikator utama, yakni: pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; kedua, tingkat pemerataan sumber daya alam bagi rakyat; ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; dan keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun.

Dalam praktiknya, Halim menjelaskan, privatisasi dan komodifikasi sumber daya laut semata-mata untuk kepentingan komersial. Sehingga menggusur keberadaan masyarakat pesisir dan menghilangkan akses mereka terhadap sumber-sumber penghidupannya.

Praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut, menurut dia juga dialami oleh masyarakat nelayan skala kecil di Afrika Selatan. Sejak ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Langebaan dan diubah namanya menjadi West Coast National Park pada 1973, kawasan konservasi laut seluas 40.000 hektar itu dibagi ke dalam 3 zona (A, B, dan C).

Kebijakan tersebut dilakukan melalui Sea Fisheries Act, yang diperbarui pada tahun 1985 oleh Pemerintah Afrika Selatan. Akibatnya, nelayan kehilangan akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut. “Alih-alih dapat menjalankan profesinya, ancaman kriminalisasi justru kerap terjadi. Sedikitnya 3 nelayan Langebaan tengah ditahan oleh aparat setempat,” tuturnya.

Lebih parah lagi, perairan di Zona B hanya bisa diakses oleh 3 orang saja dengan ketersediaan sumber daya ikan melimpah. Sementara, sedikitnya 100-an keluarga nelayan yang tinggal di sekitar Teluk Saldanha tidak bisa memasuki perairan tersebut.

Atas kondisi ini, nelayan Langebaan tidak tinggal diam. Kini mereka menggugat Pemerintah Afrika Selatan untuk membebaskan 3 nelayan dan mencabut Sea Fisheries Act 1985. “Aturan tersebut melegalisasi praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut, termasuk penetapan kawasan konservasi laut tanpa partisipasi masyarakat pesisir Langebaan.”[]

 

Rep: Agus Budiman

Sumber: http://geomaritim.com/read/2015/09/20/137/Pemerintah-didesak-akhiri-komersialisasi-sumber-daya-laut-

Kiara: Pulau Terluar Jangan Dijadikan Privatisasi Asing

Senin, 07 September 2015

Jakarta,InfoPublik – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan berbagai pihak yang memiliki otoritas agar jangan sampai melakukan langkah-langkah yang mengarah kepada komersialisasi atau privatisasi dari pulau-pulau terluar Republik Indonesia.

“Investasi yang seharusnya didorong adalah gotong royong antar masyarakat dengan pemda setempat, bukan menyerahkan kepada investor asing atau domestik dengan skema privatisasi dan komersialisasi seperti yang dilakukan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, di Jakarta, Minggu (6/9).

Menurut Abdul Halim, rakyat punya semangat gotong royong dan sudah dibuktikan di banyak tempat, seperti dalam program pendampingan Kiara yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Sedangkan terkait dengan argumen jumlah dana yang tidak memadai dari APBN/APBD untuk mengelola pulau-pulau terluar, Abdul Halim mengingatkan bahwa APBN atau APBD adalah alat untuk mensejahterakan rakyat dan jumlahnya cukup besar. “Dikarenakan tidak kreatifnya pemerintah dan pemda berakibat pada tidak terpakainya anggaran untuk kesejahteraan rakyat,” katanya.

KKP berencana memberdayakan pulau-pulau terluar dengan menawarkan 31 pulau terluar hingga tahun 2019 kepada investor, baik asing maupun dari dalam negeri.

Kiara mendorong pemerintah pusat dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat setempat bekerja sama dengan pemda untuk mengelola pulau-pulau kecil tersebut. “Di sinilah makna investasi ala Indonesia alias gotong royong,” katanya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja mengatakan pihaknya mempromosikan pulau-pulau terluar untuk investasi di dalam pulau tertentu, bukan untuk menjual pulau.

KKP akan mengawasi ketat proses investasi tersebut bila ada investor yang berminat. Selain itu, investor asing juga tidak diperbolehkan untuk bidang usaha perikanan tangkap karena hal itu hanya boleh dilakukan nelayan setempat.

Sumber: http://infopublik.id/read/128460/kiara-pulau-terluar-jangan-dijadikan-privatisasi-asing.html

Kiara: Jangan Jual Pulau-pulau Terluar RI

Minggu, 06 September 2015

Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan menginginkan berbagai pihak yang memiliki otoritas agar jangan sampai melakukan langkah-langkah yang mengarah kepada komersialisasi atau privatisasi dari pulau-pulau terluar Republik Indonesia.

“Investasi yang seharusnya didorong adalah gotong royong antarmasyarakat dengan pemda setempat, bukan menyerahkan kepada investor asing atau domestik dengan skema privatisasi dan komersialisasi seperti yang dilakukan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, Minggu (6/9/2015).

Menurut Abdul Halim, rakyat punya semangat gotong royong dan sudah dibuktikan di banyak tempat, seperti dalam program pendampingan Kiara yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Sedangkan terkait dengan argumen jumlah dana yang tidak memadai dari APBN/APBD untuk mengelola pulau-pulau terluar, Abdul Halim mengingatkan bahwa APBN atau APBD adalah alat untuk menyejahterakan rakyat dan jumlahnya cukup besar.

“Dikarenakan tidak kreatifnya pemerintah dan pemda berakibat pada tidak terpakainya anggaran untuk kesejahteraan rakyat,” katanya.

Sebagaimana diberitakan, KKP berencana memberdayakan pulau-pulau terluar dengan menawarkan 31 pulau terluar hingga tahun 2019 kepada investor, baik asing maupun dari dalam negeri.

“Kami mempromosikan pulau-pulau terluar untuk investasi di dalam pulau tertentu, bukan untuk menjual pulau,” kata Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja di Jakarta, Sabtu (5/9).

Sekjen KKP mengemukakan, pihaknya bakal mengawasi ketat proses investasi tersebut bila ada investor yang berminat. Selain itu, ujar dia, investor asing juga tidak diperbolehkan untuk bidang usaha perikanan tangkap karena hal itu hanya boleh dilakukan nelayan setempat.

Sementara itu, Sekjen Kiara Abdul Halim merasa heran dengan jumlah pulau yang ditawarkan kepada KKP karena berbeda dengan yang ada di APBNP 2015 atau Nota Keuangan RAPBN 2016.

Di dalam APBN Perubahan 2015, menurut Abdul Halim, target pulau-pulau kecil sebanyak 15 pulau, sedangkan di dalam Nota Keuangan RAPBN 2016, pulau yang ditawarkan sebanyak 25 pulau.

Kiara mendorong pemerintah pusat dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat setempat bekerja sama dengan pemda untuk mengelola pulau-pulau kecil tersebut. “Di sinilah makna investasi ala Indonesia alias gotong royong,” katanya.

Ia juga mengingatkan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010 terkait empat indikator untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu kemanfaatan SDA bagi rakyat, tingkat pemerataan SDA bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat SDA, dan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun

Sumber: Antara/ http://m.bisnis.com/industri/read/20150906/99/469655/kiara-jangan-jual-pulau-pulau-terluar-ri