Hentikan Pembukaan Lahan Sempadan Pantai untuk Tambak di Pesisir Desa Gempolsewu!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Hentikan Pembukaan Lahan Sempadan Pantai untuk Tambak di Pesisir Desa Gempolsewu!

 

Jakarta, 27 Februari 2025 – Pada akhir Januari 2025, masyarakat Desa Gempolsewu dikejutkan dengan aktivitas pembukaan lahan yang berlokasi pada wilayah sempadan pantai di Dukuh Sigentong, Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal. Wilayah tersebut berada di sebelah timur muara Kali Kutho. Lahan yang sudah dibuka berukuran kira-kira 2,7 hektar dari total 6 hektar yang akan dibuka secara keseluruhan. Lokasi yang dibuka berjarak sekitar 30 – 33 m dari garis pantai. Berdasarkan penuturan warga dan operator alat berat yang dikerahkan, lahan tersebut akan digunakan sebagai area tambak budidaya udang vaname. Tidak diketahui secara jelas siapa pemilik dan status hak dari calon tambak tersebut, masyarakat hanya mendapat keterangan bahwa pemilik dari tambak tersebut adalah seorang perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL).

Setelah masyarakat melaporkan aktivitas pembukaan tambak tersebut kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada 31 Januari 2025 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Tengah, DKP Kendal, Pemerintah Kecamatan Rowosari, dan Pemerintah Desa Gempolsewu datang untuk meninjau lokasi tersebut. DKP Jateng merespons dan menyatakan bahwa wilayah yang dibuka itu bukan kewenangan DKP Jateng, tetapi kewenangan DKP Kendal. DKP Jateng hanya mempunyai kewenangan di wilayah laut. Dalam kesempatan yang sama, DKP Kendal juga menyatakan akan memeriksa kembali garis pantai yang ada di lokasi tersebut untuk bisa melihat wilayah sempadan pantai yang dimaksud.

Setelah peninjauan, hasil monitoring Pemerintah Kecamatan Rowosari tertanggal 11 Februari 2025 menyatakan bahwa terdapat kegiatan pemanfaatan ruang di area sempadan pantai yang diduga belum berizin. Identifikasi lapangan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) KKP melalui Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Serang pada tanggal 29 Januari 2025 yang hasilnya telah dikeluarkan pada tanggal 13 Februari 2025 juga menyatakan telah terjadi kerusakan ekosistem pantai dengan hilangnya vegetasi pantai yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk budidaya tambak di atas lokasi yang dinyatakan sebagai Kawasan Ekosistem Mangrove berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kendal No. 1 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Perda Kabupaten Kendal No. 20 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kendal Tahun 2011-2031. Melalui hasil monitoring dan hasil identifikasi di atas, Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Kabupaten Kendal hendak menegakkan Perda tersebut dengan melakukan penyegelan di lokasi agar pembukaan lahan dihentikan. Namun, sampai saat rilis pers ini ditulis, aktivitas alat berat untuk pembukaan lahan masih terus berjalan.

Merespons hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa apa yang sedang terjadi saat ini di pesisir Desa Gempolsewu adalah bentuk tindakan kelalaian yang disengaja oleh DKP Kendal sebagai pemangku kebijakan pengelolaan pesisir dan laut di Kabupataen Kendal dengan membiarkan perusakan wilayah sempadan pantai untuk pembukaan lahan yang akan dijadikan sebagai lokasi budidaya tambak. Padahal, perwakilan masyarakat Desa Gempolsewu sudah mengadukan aktivitas pembukaan lahan tersebut dengan menyatakan telah terjadi kerusakan ekosistem pantai dan mangrove yang sebelumnya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

Sebelum lahan itu dibuka, masyarakat Desa Gempolsewu sudah memanfaatkan lahan tersebut dengan berbagai aktivitas pertanian, tambak, dan area pantai. Seorang penjual sayur keliling di Desa Gepolsewu memanfaatkan sedikit area dari lahan tersebut dengan menanam kacang-kacangan dan memperoleh manfaat dengan menjual kacang yang ia tanam ke warga sekitar desa.

Selain itu, beberapa area yang sudah dibuka juga sebelumnya dimanfaatkan oleh seorang petambak ikan bandeng seluas 50 x 20 m. Petambak ikan bandeng tersebut mengatakan baru menabur benih sejumlah 450 ekor dan berencana untuk memanen hasilnya dua bulan kemudian, setidaknya sebelum Hari Raya Idulfitri. Perkiraan pendapatan yang akan diperoleh dari budidaya ikan bandeng senilai Rp3.000.000. Namun, setelah pembukaan lahan tersebut petambak ikan bandeng tersebut juga mengalami kerugian ekonomi dan kehilangan akses untuk mengelola lahan yang sebelumnya telah lama ia manfaatkan.

Masyarakat Dukuh Sigentong secara umum juga memanfaatkan area tersebut sebagai area pantai dan lokasi pantai. Kini, setelah pembukaan lahan dilakukan, aktivitas produktif budidaya tanaman dan ikan dari masyarakat di atas lahan tersebut mengalami kerugian dan terdampak dari pembukaan tambak udang vaname. Atas dasar itulah masyarakat mengadukan aktivitas tersebut kepada KKP, DKP Provinsi Jawa Tengah, dan DKP Kabupaten Kendal.

Senada dengan yang disampaikan Susan dan warga gempolsewu yang memanfaatkan lahan, Parno, ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Kolodentho menyatakan bahwa aktivitas tersebut dapat mengancam keberlangsungan ekosistem pesisir yang ada di Desa Gempolsewu. Abrasi akan menjadi semakin besar jika wilayah tersebut dijadikan tambak udang. Wilayah tersebut adalah area sempadan pantai dan dimanfaatkan untuk aktivitas penghijauan guna melindungi wilayah pesisir Desa Gempolsewu dari abrasi. Wilayah sempadan pantai juga berfungsi sebagai sabuk pengaman untuk wilayah pesisir yang berada di Dukuh Sigentong dan Dukuh Larangan yang ada di Desa Gempolsewu mengingat kedua dukuh tersebut merupakan area yang rawan bencana. Terdapat aliran sungai Kali Kutho yang tanggulnya sudah mengalami pengikisan atau longsor. Air laut juga sering menggenangi area pemukiman saat terjadi gelombang pasang.

“Pembukaan lahan untuk budidaya tambak akan menambah volume air yang masuk ke pemukiman karena sudah merusak sabuk pantai di mana di atasnya terdapat tumbuhan mangrove sebagai pelindung abrasi. Pada musim tertentu, masyarakat juga memanfaatkan beberapa area tersebut dengan ditanami padi,” jelas Parno.

KIARA menilai bahwa kesengajaan perusakan ekosistem pantai pada wilayah sempadan pantai di pesisir Desa Gempolsewu ini sudah semestinya dihentikan. Tidak ada sedikitpun upaya untuk menanyakan dan meminta persetujuan masyarakat sebagai bentuk partisipasi bermakna atas rencana pembukaan lahan tersebut. Sebagai pemangku kebijakan pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Kendal, DKP Kabupaten Kendal seharusnya mengambil tindakan tegas dengan menghentikan aktivitas pembukaan lahan tersebut dan menyelidiki pihak-pihak yang terlibat.

“KIARA menegaskan kepada Pemerintah Kabupaten Kendal khususnya DKP Kabupaten Kendal untuk mengatur dan mengelola kawasan sempadan pantai sebagaimana amanat dari UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di mana kawasan sempadan pantai merupakan bagian dari wilayah pesisir yang memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa. Maka pengelolaannya harus dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan hukum nasional. Pembiaran pembukaan tambak udang itu akan menempatkan masyarakat Desa Gempolsewu sebagai pihak yang paling dirugikan. Tindakan pembiaran oleh DKP Kendal atas pembukaan lahan di kawasan sempadan itu adalah bentuk ketidakberpihakan kepada masyarakat Desa Gempolsewu yang mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa DKP Kendal menjadi ‘kepanjangan tangan’ pemodal untuk mengakumulasi keuntungan sebesar-besanya di atas masyarakat pesisir yang mengalami kerentanan baik secara ekonomi maupun kebencanaan,” tambah Susan.

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

Dokumentasi Area Pembukaan Lahan untuk Tambak di Kawasan Sempadan Pantai Desa Gempolsewu

 

 

Liputan KOMPAS TV – KIARA, Pemerintah Kembali Buka Keran Ekspor Demi Penuhi Rantai Pasokan Global Lobster, Apa Tantangannya?

Pemerintah Kembali Buka Keran Ekspor Demi Penuhi Rantai Pasokan Global Lobster, Apa Tantangannya?

Di tengah upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai global supply chain lobster, problematika penyelundupan benih bening lobster (BBL) ke negara naga biru atau Vietnam tak kunjung hentinya. Sebanyak 22 kasus penyelundupan BBL berhasil digagalkan petugas gabungan TNI/Polri dengan nilai kurang lebih 227 miliar rupiah di 11 wilayah Indonesia. Terkait hal itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berupaya menanggulanginya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 7 Tahun 2024. Aturan ini bertujuan agar ekosistem bisnis lobster berjalan dengan baik dan ke depannya bisa bermitra pula dengan Tiongkok.

Simak komentar dari Sekretaris Jenderal KIARA selengkapnya pada video berikut : 

( https://www.youtube.com/watch?v=vd4qXjjv2NQ )

Indonesia Diminta Belajar Mengelola Budi Daya Udang dari Vietnam

Indonesia Diminta Belajar Mengelola Budi Daya Udang dari Vietnam

Ca Mau, Vietnam – Indonesia saat ini tercatat sebagai penghasil udang terbesar di Asia. Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi udang di negara ini mencapai 645 ribu ton per tahun (2014). Sayangnya, potensi tersebut belum mampu membawa Indonesia menjadi eksportir udang yang diperhitungkan secara global.

Belum lama ini, organisasi petambak udang Bumi Dipasena Lampung, Perhimpunan Petambak dan Pengusaha Udang Wilayah (P3UW) Lampung bersama dengan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Barisan Relawan Wanita (Bareta) Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) melakukan kunjungan ke Provinsi Ca Mau, Vietnam. Tujuan kunjungan tersebut untuk melakukan pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara petambak udang Indoensia dan Vietnam (sharing knowledge and experience between Indonesia and Vietnam shrimp farmer). Kegiatan berlangsung dari 5–7 Maret 2018.

Ketua P3UW Lampung, Nafian Faiz mengatakan, ada banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dari sistem budi daya udang di Vietnam. Salah satunya adalah keterlibatan aktif pemerintah negara setempat dalam membangun infrasturktur dasar dalam sistem budi daya udang. “Kami banyak belajar mengenai pentingnya intervensi negara dalam membangun dan memperkuat budi daya udang di Vietnam, khususnya di tambak udang Ca Mau,” tuturnya kepada iNews.id, Selasa (13/3/2018).

Menurut dia, setidaknya ada tiga hal penting mengenai pembangunan infrastruktur dasar untuk mendukung budi daya udang di Provinsi Ca Mau, Vietnam. Pertama, pemerintah di sana membangun jalan utama yang menghubungkan kawasan pertambakan udang dengan kota-kota utama, sehingga mempermudah jalur distribusi pascapanen. Jalan distribusi yang menghubungkan pusat kota Provinsi Ca Mau ke kawasan pertambakan udang sepanjang 40 km kondisinya sangat bagus dan tak ada lubang satu pun.

“Inilah yang tidak kami temukan di Indonesia, khususnya Provinsi Lampung. Padahal, potensi perekonomian tambak udang Dipasena bakal memberi kontribusi besar bagi perekonomian nasional jika jalur distribusi dibangun dengan baik oleh pemerintah,” ungkap Nafian.

Yang kedua, pemerintah Vietnam juga membangun fasilitas listrik untuk petambak udang di Provinsi Ca Mau dengan sangat baik. Sebagai dampaknya, petambak udang mampu melakukan budi daya secara intensif dan hiperintensif karena didukung oleh suplai listrik yang stabil dan memadai. Nafian berpendapat, ketersediaan suplai listrik sangat penting untuk menunjang budi daya udang yang menguntungkan.

“Ini hal kedua yang kami pelajari di Vietnam. Jika Pemerintah Indonesia membangun fasilitas listrik di Bumi Dipasena, saya yakin produksi udang Indonesia akan lebih berdaya saing di dunia internasional,” tuturnya.

Ketiga, Pemerintah Vietnam juga membangun akses air bersih dan sanitasi di lingkungan industri pertambakan udang Ca Mau dengan memadai. Petambak udang di sana tidak memiliki kesulitan dalam memperoleh air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karenanya, mereka sangat produktif dan mampu melakukan produksi dalam skala besar. Hal ini, kata Nafian, berbeda dengan kondisi Bumi Dipasena di mana para petambak udang harus menampung air hujan demi memenuhi kebutuhan air bersih mereka.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, Nafian meminta Pemerintah Indonesia untuk belajar dan meniru Pemerintah Vietnam yang sangat serius membangun infrastruktur dasar guna mendukung sistem budi daya udang yang berdaya saing. Bahkan dia menilai, keberpihakan pemerintah Vietnam terhadap petambak udang jauh lebih progresif dibandingkan dengan Pemerintah Indonesia terhadap petambak udang di Dipasena.

Senada dengan itu, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Kiara, Parid Ridwanuddin, menilai dukungan Pemerintah Vietnam terhadap budi daya udang patut ditiru oleh Pemerintah Indonesia. Sebab, berdasarkan data dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) 2016, Indonesia tercatat sebagai produsen udang terbesar di Asia. Namun demikian, negara ini bukanlah negara eksportir udang yang diperhitungkan di dunia.

“Sebaliknya, Vietnam bukan produsen udang terbesar secara global. Namun, negara ini menduduki peringkat 10 besar negara eksportir udang di dunia. Kuncinya adalah political will pemerintah untuk membangun sistem budi daya udang, dimulai dari infrastruktur dasar,” kata Parid.

Editor : Ahmad Islamy Jamil

http://www.inews.id/finance/read/indonesia-diminta-belajar-mengelola-budi-daya-udang-dari-vietnam?sub_slug=bisnis

Tanggapi Rencana Impor Garam 2018, KIARA Sebut Pemerintah Tak Miliki Politik Kedaulatan Pangan

Jakarta – Kabar yang menyebutkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia akan kembali melakukan impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton patut dipertanyakan secara kritis oleh masyarakat Indonesia. Pasalnya, pemerintah baru saja mengambil kebijakan impor beras sebanyak 500.000 ton. Dua kebijakan yang diambil di awal tahun 2018 ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah kehilangan akal dalam membangun kedaulatan pangan yang senantiasa digaungkan saat kampanye pemilihan presiden tahun 2014 lalu.

Menanggapi permasalahan tersebut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati pun turut mempertanyakan kebijakan yang akan diambil pemerintah saat ini tersebut.

“Sejak tahun 1990, kebijakan Pemerintah Indonesia tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap garam impor. Sampai kapan bangsa ini akan terus impor? Sampai kapan bangsa ini akan berdaulat?” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) di Jakarta, Sabtu (20/1/2018).

Susan menilai, impor garam yang terus dilakukan mencerminkan kegagalan Pemerintah dalam membangun kedaulatan pangan. Padahal, jika pemerintah memiliki political will yang kuat, sudah sejak lama Indonesia menjadi negara produsen garam dengan kualitas tinggi dan tidak tergantung terhadap garam negara lain.

Menurut Susan, jika selama ini persoalan utama garam industri di Indonesia terkait kadar Natrium Chlorida (NaCl) yang belum bisa mencapai sampai angka 97,4 persen, maka pemerintah harus menggandeng ilmuwan, lembaga riset, dan juga perguruan tinggi di Indonesia untuk dapat menyelesaikan persoalan ini.

“Indonesia punya banyak ilmuwan, lembaga riset, dan universitas yang dapat membantu menyelesaikan persoalan kualitas garam ini. Namun, selama ini ketiga potensi tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Dan pada akhirnya, pemerintah selalu mengambil jalan pintas, yaitu impor garam,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa persoalan kualitas garam Industri di Indonesia bukan persoalan tak adanya teknologi melainkan persoalan politik, yaitu politik kedaulatan pangan yang absen dalam kebijakan pemerintah. “Selama politik pangan pemerintah adalah politik impor, maka mustahil dapat berdaulat dan swasembada garam pada tahun 2019,” lanjutnya.

Berdasarkan hal tersebut, Susan meminta pemerintah Indonesia untuk segera melibatkan ilmuwan, lembaga riset, dan universitas yang kredibel dalam rangka memproduksi garam nasional yang mampu mencapai kadar NaCl lebih dari angka 97,4 persen. “Selain itu, kami meminta pemerintah untuk segera memperbaiki tata nigari garam dari hulu sampai hilir supaya ketergantungan terhadap impor segera dapat ditinggalkan,” tandasnya.

Sumber Berita: http://maritimnews.com/tanggapi-rencana-impor-garam-2018-kiara-sebut-pemerintah-tak-miliki-politik-kedaulatan-pangan/

Pemerintah Diminta Usut Mafia Impor Garam

Jakarta, 7 Agustus 2017 Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti soal kartel dalam impor garam di Indonesia harus ditelusuri secara lebih serius.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan hal ini penting dilakukan sesegera mungkin mengingat impor garam memukul harga garam lokal dan membunuh usaha para petambak garam di Indonesia yang saat ini berjumlah lebih dari 21 ribu orang.

“Selain itu, impor garam sebanyak 75 ribu ton dari Negeri Kangguru yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan baru-baru ini jelas-jelas mengangkangi Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” katanya dalam keterangan resmi, dikutip Senin (7/8)

Susan menilai, melalui UU No. 7 Tahun 2016, pemerintah seharusnya memiliki political will untuk menghentikan impor garam karena praktik ini berlangsung sejak lama.

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, setidaknya sejak tahun 1990, impor garam telah dilakukan sebanyak 349.042 ton lebih dengan total nilai US$16,97 juta.

“Impor garam terus dilakukan sampai hari ini dengan berlindung di balik alasan kelangkaan stok garam sebagai dampak dari kerusakan iklim dan anomali cuaca,” kata Susan.

Untuk mempermudah impor garam, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian Indonesia telah menerbitkan setidaknya sembilan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri sejak 2004.

Meskipun ada revisi dari tahun ke tahun, semangat Peraturan atau keputusan ini adalah memberikan kemudahan, legitimasi dan legalisasi terhadap praktik impor selama sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan Kemendag.

Selama ini, terdapat sejumlah perusahaan impor telah diberikan kemudahan izin impor oleh Kemendag, yaitu PT Garam Persero, PT Susanti Megah, PT Garindo Sejahtera Abadi, PT Unicem Candi Indonesia, PT Sumatraco Langgeng Makmur, PT Budiono Madura Bangun Persada, PT Elitstar Prima Jaya, PT Sumatraco Langgeng Abadi, PT Sumatera Palm Jaya, PT Surya Mandiri Utama, PT Graha Reksa Manunggal, PT Saltindo Perkasa, PT Pagarin Anugerah Sejahtera, PT Mitratani Dua Tujuh, PT Otsuka Indonesia dan PT Pabrik Tjiwi Kimia.

Susan menyatakan, sudah waktunya pemerintah, dalam hal ini Presiden Indonesia menunjukkan keseriusannya untuk menghentikan impor garam, salah satunya dapat dimulai dengan memberantas mafia impor di dalam lembaga negara yang terindikasi terlibat permainan dengan sejumlah perusahaan impor tersebut di atas.

Ia menambahkan, jika tak ada ketegasan, maka bukan tidak mustahil negeri ini akan terus menjadi permainan keuntungan mafia-mafia tersebut. Akhirnya, Indonesia tak mampu mencapai swasembada garam.

“Garam bukan hanya jenis pangan tertentu. Ia adalah jati diri dan simbol kedaulatan pangan Indonenesia,” tegas Susan.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memastikan sudah menyetujui izin impor garam dengan total mencapai 75 ribu ton. Enggar menyebut stok ini tidak hanya untuk kebutuhan garam konsumsi, namun juga untuk kebutuhan industri.

Menurut Mendag, impor garam dirasa perlu untuk memenuhi kebutuhan nasional. Jumlah impor ini, disebutnya hanya untuk tahap awal. Sebab, kalangan industri juga banyak yang membutuhkan, seperti industri kaca dan kertas. Nantinya, penugasan impor ini akan diberikan kepada perusahaan pelat merah PT Garam (Persero).

“Jadi hari Jumat lalu saya undang Bareskrim, Dirjen KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan Dirjen Daglu (Perdagangan Luar Negeri) yang menyatakan bahwa kami siap rekomendasi untuk impor garam konsumsi kepada PT Garam sebesar 75 ribu ton,” ungkap Enggar, Senin (31/7).

Rep: Giras Pasopati, CNN Indonesia

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170807115200-92-232942/pemerintah-diminta-usut-mafia-impor-garam/

 

Demi Petani, Impor Garam Diminta Tak Jadi Solusi Permanen

JAKARTA, 2 Agustus 2017 – Pemerintah telah memberi izin PT Garam (Persero) untuk melakukan importasi garam sebanyak 75.000 ton. Pemerintah beralasan hal itu sebagai solusi menutupi kelangkaan garam nasional yang berakibat melambungnya harga garam di pasar belakangan ini.

Atas hal ini, Ketua Bidang Ekonomi DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Memed Sosiawan menginginkan impor garam jangan dijadikan sebagai solusi permanen agar Indonesia tidak tergantung kepada komoditas yang dihasilkan di luar negeri.

“Kami berharap impor ini hanya untuk mengatasi kondisi sementara menangani kelangkaan garam, bukan rencana permanen terus-menerus untuk merendahkan harga garam di pasaran,” kata Memed Sosiawan dalam rilis di Jakarta, Selasa (1/8/2017).

Menurut dia, jika ternyata dijadikan sebagai solusi permanen maka berpotensi untuk membuat para petambak garam meninggalkan usaha produksinya sehingga Indonesia akan selamanya tergantung kepada impor garam. Memed berpendapat produksi garam nasional di berbagai daerah merosot drastis antara lain karena hujan yang berkepanjangan di beragam daerah sentra penghasilan garam.

Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan persoalan kelangkaaan yang menimpa komoditas garam seharusnya sudah bisa diprediksi dari jauh hari sehingga tidak selayaknya membebani kesalahan kepada cuaca. Wakil Sekjen KNTI Niko Amrullah di Jakarta, Selasa (1/8) menyatakan, sudah semestinya gejolak harga garam ini telah terprediksi dengan solusi inovasi teknologi dan pendampingan intensif kepada para petambak garam rakyat. “Bukan dengan mengkambinghitamkan anomali cuaca,” kata Niko Amrullah.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengingatkan fenomena kemarau basah yang kerap membuat panen garam menjadi terhambat, harus bisa diantisipasi pemerintah. Sekjen Kiara Susan Herawati Romica juga menyoroti, akibat produksi garam yang terhambat, banyak petambak garam yang beralih profesi menjadi buruh kasar di berbagai kota di Indonesia.

Pusat Data dan Informasi Kiara pada 2017 ini mencatat, dalam lima tahun terakhir jumlah petambak garam di Indonesia menurun drastis dari 30.668 jiwa pada tahun 2012 menjadi 21.050 jiwa pada tahun 2016. Susan menyatakan kebijakan impor garam berimplikasi besar terhadap penurunan jumlah petambak garam di Indonesia.

 

Sumber: http://www.kabarbisnis.com/read/2877832/demi-petani–impor-garam-diminta-tak-jadi-solusi-permanen

Impor Bikin Petani Garam Alih Profesi

Sikap pemerintah yang melakukan impor garam, dinilai dapat mematikan petani, atau petambak garam lokal. Sebab, kebijakan impor bisa mematikan hajat hidup petani garam lokal.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, dalam lima tahun terakhir jumlah petani garam sudah menurun drastis, yakni dari 30.668 jiwa pada 2012 menjadi 21.050 jiwa di 2016. Fakta ini berdasarkan data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

“Artinya, ada sekitar 8.400 petani garam yang alih profesi. Sebagian besar menjadi buruh kasar, atau pekerjaan informal lainnya dan berkontribusi terhadap fenomena migrasi kemiskinan dari desa ke kota. Kondisi yang sudah parah dengan adanya kebijakan impor garam jelas memukul petani garam lokal,” kata Bhima kepada VIVA.co.id, Rabu 2 Agustus 2017.

Ia menilai, pemerintah perlu mencermati dampak dari kebijakan ini. Seharusnya pemerintah fokus dalam meningkatkan kualitas hasil produksi garam lokal, sehingga daya saingnya meningkat.

“Masalahnya petambak garam lokal selalu kalah saing dengan garam impor, terutama untuk industri. 91 persen kebutuhan garam industri diimpor. Sementara itu, peningkatan teknologi bagi produsen garam lokal stagnan,” kata dia.

Menurutnya, pemerintah sebenarnya sudah memiliki program untuk petani garam, yakni program Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Namun, implementasinya tidak berjalan maksimal.

“Ini tapi enggak jalan, realisasi bantuan tidak pernah mencapai 100 persen, target produksi garam dari PUGAR hanya 51,4 persen dari target. Jadi, programnya sudah ada, tetapi tidak serius diawasi pemerintah,” tuturnya.

Selain itu, sambung dia, panjangnya rantai distribusi garam lokal juga perlu dipotong. Saat ini setidaknya ada tujuh pelaku utama dalam proses distribusi garam. Hal tersebut, jelas memengaruhi harga jualnya ke konsumen.

“Kalau dengan impor garam memang lebih pendek jalurnya, jadi harganya di pasaran lebih murah. Tetapi, untuk bersaing dengan garam impor, maka tata niaga garam lokal memang perlu dibenahi,” ujar dia. (asp)

 

Sumber: http://www.viva.co.id/berita/bisnis/942054-impor-bikin-petani-garam-alih-profesi

Atasi Krisis Garam Bukan dengan Mengkambinghitamkan Cuaca

Jakarta, 1 Agustus 2017 – Krisis garam yang terjadi di NTB, Jawa Timur, dan wilayah lainnya di tanah air, mestinya sudah bisa diprediksi dari jauh hari, sehingga tidak selayaknya membebani kesalahan kepada cuaca.

Wakil Sekjen Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Niko Amrullah di Jakarta, Selasa (18), menyatakan, sudah semestinya gejolak harga garam ini telah terprediksi dengan solusi inovasi teknologi dan pendampingan intensif kepada para petambak garam rakyat.

“Bukan dengan mengkambinghitamkan anomali cuaca,” kata Niko Amrullah.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengingatkan fenomena kemarau basah yang kerap membuat panen garam menjadi terhambat, harus bisa diantisipasi pemerintah.

Sekjen Kiara Susan Herawati Romica juga menyoroti, akibat produksi garam yang terhambat, banyak petambak garam yang beralih profesi menjadi buruh kasar di berbagai kota di Indonesia.

Pusat Data dan Informasi Kiara pada 2017 ini mencatat, dalam lima tahun terakhir jumlah petambak garam di Indonesia menurun drastis dari 30.668 jiwa pada tahun 2012 menjadi 21.050 jiwa pada tahun 2016.

Susan menyatakan bahwa kebijakan impor garam berimplikasi besar terhadap penurunan jumlah petambak garam di Indonesia.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyatakan krisis garam yang terjadi selama beberapa pekan terakhir merupakan imbas dari cuaca buruk berkepanjangan selama kurun 1-2 tahun terakhir, sehingga produksi tambak garam turun drastis.

Di Jawa Timur kalau mataharinya bagus, produk garam mencapai 174 ribu ton per bulan. “Maka, karena ini terlalu banyak hujan dan sering kondisinya mendung, (produksi) turun menjadi 123 ribu ton, sehingga minus,” kata Soekarwo usai menghadiri peringatan Hari Koperasi di GOR Lembu Peteng Tulungagung, Jumat (21/7).

Selain itu, lanjut Soekarwo, kualitas produk garam di Jatim ikut turun sebagai dampak curah hujan yang tinggi.

Sementara itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat mencatat produksi garam rakyat anjlok dari angka 178.605 ton pada 2015 menjadi hanya 24.307 ton tahun 2016 akibat anomali cuaca.

“Penurunan produksi drastis sekali karena cuaca tidak menentu, kadang panas, kadang hujan, sehingga petani tidak bisa panen secara normal,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Nusa Tenggara Barat (NTB) H Lalu Hamdi, di Mataram, Selasa (25/7).

Menurut dia, kenaikan harga, kata Hamdi, tentu memotivasi para petani garam untuk meningkatkan produksi demi mendapatkan keuntungan yang relatif besar. Namun, upaya tersebut masih dihadapkan pada kondisi anomali cuaca, sehingga produksi belum bisa maksimal. (ant)

 

Sumber: https://kicknews.today/2017/08/01/atasi-krisis-garam-bukan-dengan-mengkambinghitamkan-cuaca/

Impor Garam Buat Nasib Petambak Terpuruk

Jakarta, 1 Agustus 2017 Keputusan pemerintah untuk mengimpor kembali garam konsumsi sebanyak 75 ribu ton dari Australia dinilai tak menyelesaikan permasalahan kelangkaan garam yang selalu dihadapi Indonesia hampir setiap tahun. Keputusan yang terus berulang tersebut bahkan dinilai menjadi pemicu para petambak garam beralih profesi sehingga membuat kondisi langkanya garam terus berulang.

Sekretaris Jendral Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menyebut, pemerintah seharusnya memiliki opsi jangka panjang terkait kelangkaan garam ini tanpa harus mengambil jalan pintas dengan cara mengimpor dari negara lain.

“Pemerintah seperti menafikan permasalahan substansi dari krisis garam hari ini. Artinya ada situasi dan kondisi buruk dari pergaraman Indonesia yang perlu segera diperbaiki, yaitu intervensi teknologi berbiaya murah untuk produksi dan pengolahan garam” kata Susan saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (1/8).

Rep: Tiara Sutari, CNN Indonesia

 

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170801141433-92-231694/impor-garam-buat-nasib-petambak-terpuruk/

Kasus PT Garam Bukti Gagalnya Perlindungan kepada Petambak

JAKARTA — Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebutkan kasus dugaan penyalahgunaan importasi dan distribusi garam oleh PT Garam merupakan bentuk kegagalan melindungi petambak garam Indonesia.  Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati, Ahad (10/6), mengatakan tindakan penyalahgunaan izin tersebut jelas melanggar Peraturan Menteri Perdagangan 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Importasi Garam.

Susan menyatakan, sudah jelas tertuang di aturan itu bahwa importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain. “Dampaknya tiga juta petambak garam, baik laki-laki dan perempuan menjadi semakin sulit bersaing di pasar nasional dan semakin terpuruk,” katanya.

Tertangkapnya Direktur Utama PT Garam, Achmad Boediono pada Sabtu (10/6) oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal Polri kian memperjelas lemahnya perlindungan negara pada petambak garam Indonesia.  Pusat Data dan Informasi Kiara pada Agustus 2016 mencatat, permasalahan substansi yang dihadapi oleh petambak garam Indonesia adalah minimnya sarana dan prasarana di tambak garam dan buruknya akses air bersih dan sanitasi di tambak garam.

Selain itu, minimnya intervensi teknologi berbiaya murah untuk produksi dan pengolahan garam, besarnya peran tengkulak di dalam rantai distribusi dan pemasaran garam dan harga garam yang rendah. Menurut dia, kelima permasalahan yang dihadapi oleh petambak garam di atas semakin diperburuk dengan adanya ketentuan impor garam industri tidak dikenakan bea masuk melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam yang berlaku sejak Desember 2015.

Carut-marut pengelolaan garam butuh perhatian yang serius, butuh semua pihak melakukan evaluasi bersama terhadap pengelolaan garam Indonesia. Dalam hal ini salah satunya adalah Menteri Perdagangan yang mesti melakukan audit internal di kementeriannya. “Di sisi lain perlu langkah berani untuk mendorong Menteri Perdagangan agar segera mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam karena bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” ujar Susan.

Red: Andri Saubani

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/17/06/11/ordnyk-kasus-pt-garam-bukti-gagalnya-perlindungan-kepada-petambak