Terbitnya Sertipikat HGB dan HM di Laut Desa Kohod Dengan Skema Pencatutan Nama, KIARA: Terangnya Proses Mal-administrasi Berimplikasi Pidana, Minim dan Lemahnya Penindakan serta Penegakan Hukum di 100 Hari Presiden Prabowo!

 

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Terbitnya Sertipikat HGB dan HM di Laut Desa Kohod Dengan Skema Pencatutan Nama, KIARA: Terangnya Proses Mal-administrasi Berimplikasi Pidana, Minim dan Lemahnya Penindakan serta Penegakan Hukum di 100 Hari Presiden Prabowo!

 

Jakarta, 28 Januari 2025 – Terbitnya hak atas tanah di perairan laut yang telah dipasang pagar bambu dengan jenis Hak Milik (HM) dan Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang adalah proses mal-administrasi dengan implikasi tindak pidana yang diduga dilakukan oleh aparatur desa maupun kantor pertanahan Kabupaten Tangerang. Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan perhitungan denda Rp 18 juta per kilometer atas pelanggaran pemagaran laut tersebut. KKP berdalih bahwa perhitungan denda tersebut mengacu dan didasarkan pada perhitungan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa perhitungan tersebut semakin menunjukkan bahwa sikap KKP tidak serius dalam menindak pelaku perusakan perairan laut dengan cara pemagaran bambu di laut. “Saat ini KKP telah menetapkan denda 18 juta per kilometer terhadap pemasangan pagar bambu yang terjadi di perairan Kabupaten Tangerang, ironisnya pasca KKP menyegel pagar laut di 9 Januari 2025 hingga sampai saat ini tidak ada pengungkapan siapa dalang dan juga aktor intelektual dari pagar laut tersebut. Padahal terdapat pihak-pihak yang diduga pelaku baik aktor lapangan maupun aktor intelektualnya telah diketahui masyarakat lokal. Bahkan siapa aktor yang akan diuntungkan dari seluruh proses ini, maka akan mengerucut kepada aktor intelektualnya,” tegas Susan.

Susan menambahkan bahwa bukti lain ketidakseriusan KKP adalah penetapan denda yang hanya menggunakan satu instrumen PP No. 85/2021 dalam penghitungan denda atas kerugian negara dari adanya pemasangan pagar laut tersebut. “KKP telah menetapkan denda sebesar Rp 18 juta per kilometer, denda tersebut jauh lebih ringan dan murah dari pada harga bambu tersebut. Hal seperti inilah yang membuat pelaku perusakan laut, pesisir maupun pulau kecil tidak jera dan tidak menimbulkan efek menakutkan bagi pelaku tersebut serta pelaku lainnya. Jika dikalkulasikan denda Rp 18 juta per km dengan total panjang pagar laut adalah ±31 km, maka total denda yang akan dibebankan hanya Rp 558 juta. Jelas denda tersebut tak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh nelayan yang ditaksir Ombudsman RI sebesar Rp 7,7 miliar per bulan. Sehingga secara tidak langsung KKP menegaskan kepada seluruh korporasi bahwa KKP tidak akan menindak tegas dan tidak akan mengungkap pelaku perusak laut, pesisir dan pulau kecil. Lebih jauh jika perairan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil rusak tidak menjadi persoalan serius, karena negara akan mendapat PNBP dari dendanya. Hari ini yang menjadi pertanyaan di publik adalah apakah KKP maupun menterinya diduga terlibat dalam pemagaran laut ini?” tanya Susan.

Selain ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri KP dalam mengungkap dan menindak pelaku pemagaran laut, ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri ATR/BPN dalam mengungkap aktor pelaku baik ditingkat pemerintah desa maupun aktor pelaku di kantor pertanahan Kab. Tangerang yang telah menerbitkan Sertipikat HM (SHM) dan Sertipikat HGB (SHGB) di perairan laut Kab. Tangerang. “Telah terang dan jelas bahwa SHM dan SHGB ini terdapat di Desa Kohod dan diduga melibatkan aparatur desa setempat serta Kantor Pertanahan Tangerang, hingga sertipikat tersebut diterbitkan. Atas terbitnya SHM dan HGB tersebut, seharusnya pihak penegak hukum baik Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, bahkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di ATR/BPN dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan atas hal tersebut. Bahkan sudah ada pengakuan dari warga yang namanya dicatut sebagai salah satu pemilik dari sertipikat hak atas tanah di laut tersebut. Pencatutan nama adalah kejahatan serius dan harus diungkap dan ditindak oleh penegak hukum, karena hal tersebut merupakan tindakan pidana. Akan tetapi hingga sampai saat ini tidak ada kejelasan terkait siapa pihak pelaku penerbitan SHM dan SHGB ini. Proses ini harus dibuka ke publik sehingga transparan dan tidak ada pihak yang diduga dilindungi atas kejahatan hukum ini,” tegas Susan.

Dari beberapa kasus yang KIARA dampingi, KKP diduga melegitimasi kegiatan ekstraktif dan eksploitatif oleh korporasi di laut melalui penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut atau PKKPRL. Ironisnya, lewat PKKPRL, perusahaan yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang laut dengan aktifitas ekstraktif serta eksploitatif hanya dikenakan sebatas sanksi administratif. Dengan kata lain, rangkaian penerapan kebijakan dari pemberlakuan sanksi administratif dan penerbitan PKKPRL untuk pelanggar Pasal 35 UU No. UU No 27/2007 Jo UU No. 1/2014 yang diubah terakhir UU No. 6/2023 (Omnibus Law) telah melegalkan hal yang ilegal. Sekali lagi, artinya Menteri KKP berpihak kepada para pelaku pengerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil.

KIARA melihat ketidakseriusan dan ketidaktegasan baik dalam konteks pengungkapan pelaku dan penentuan dasar denda pemagaran laut oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri ATR/BPN dalam mengungkap dan menindak aktor aparat desa dan aktor di kantor pertanahan Kab. Tangerang menjadi catatan tidak kompetennya Menteri KKP dan ATR/BPN hingga catatan merah buruknya penegakan hukum di 100 hari Presiden Prabowo,” tutup Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Pasca Kunjungan Dua Kementerian ke Pulau Pari, Tidak Ada Tindakan Hukum Serius Kepada Korporasi Yang Merusak dan Berupaya Memprivatisasi Pulau di Gugusan Pulau Pari

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pasca Kunjungan Dua Kementerian ke Pulau Pari, Tidak Ada Tindakan Hukum Serius Kepada Korporasi Yang Merusak dan Berupaya Memprivatisasi Pulau di Gugusan Pulau Pari

 

Jakarta, 26 Januari 2025 – Pada tanggal 20 Januari 2025, perwakilan pihak dari Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berkunjung ke Gugus Pulau Pari, salah satunya adalah mengunjungi Pulau Biawak yang ada di Gugus Pulau Pari. Kunjungan kembali dilakukan pada tanggal 21-23 Januari 2025 oleh perwakilan Kementerian dan Menteri Lingkungan Hidup didampingi oleh Dinas Lingkungan Hidup yang datang ke Pulau Pari. Dalam kunjungan Kementerian tersebut, Menteri Lingkungan Hidup telah mendirikan papan peringatan bahwa area Pulau Biawak dalam pengawasan pejabat pengawas lingkungan hidup. Ironis nya, pasca kepulangan kedua kementerian tersebut, tepatnya pada tanggal 24 Januari 2025, pengembang masih melangsungkan pembangunan di Pulau Biawak tersebut.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa di tahun 2023 dan 2024, warga Pulau Pari yang tergabung dalam Forum Peduli Pulau Pari telah menyurati KKP dan telah meminta pertemuan atau audiensi ke KKP, akan tetapi tidak pernah direspon oleh KKP. Sampai saat ini nelayan dan perempuan nelayan dari Pulau Pari masih belum bisa bertemu dengan KKP.

 “KIARA melihat bahwa apa yang terjadi saat ini di Pulau Pari merupakan tindakan kelalaian yang disengaja yang dilakukan oleh KKP, bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan telah melakukan pembiaran perusakan perairan untuk reklamasi dan perusakan lainnya di gugus perairan Pulau Pari. Bahkan kondisi terbaru, perwakilan warga Pulau Pari telah mengadukan perusakan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove yang ada di Gudus Lempeng akibat dari keluarnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dikeluarkan oleh atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” tegas Susan.

Hal senada disampaikan oleh perwakilan Kelompok Perempuan Pulau Pari, Asmania, yang menyatakan bahwa perusakan lingkungan laut yang ada di Pulau Pari telah berlangsung lama. Bahkan hal ini telah lama disampaikan oleh warga Pulau Pari tapi tidak pernah direspon oleh KKP. “Berbagai perusakan ekosistem kelautan sudah berlangsung lama di Gugusan Pulau Pari. Mulai dari perluasan daratan Pulau Tengah dengan cara reklamasi dan menyedot pasir laut yang ada di sekitarnya, pembangunan Pulau Biawak, hingga rencana pembangunan resort apung dan dermaga yang ada di Gudus Lempeng. Saat ini warga Pulau Pari tidak hanya berjuang melawan perampasan tanah di Pulau Pari itu sendiri, akan tetapi berbagai korporasi lain tengah merampas tanah dan laut kami di gugusan Pulau Pari ini. Tambak ikan warga jadi gagal panen, rumput laut yang tidak produktif lagi, hasil tangkapan ikan nelayan yang menurun, hingga kami tidak bisa lagi melintas dan mengakses laut di perairan Pulau Tengah dan di Pulau Biawak akibat dilarang oleh korporasi atau pengembangnya. Bahkan laut di Pulau Biawak dijadikan jembatan yang membuat kami tidak bisa melintasi laut itu,” jelas Asmania.

Berdasarkan kajian dengan menggunakan metode digitasi manual dengan menggunakan citra Sentinel 2A & 2B yang telah dilakukan oleh KIARA bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), luas daratan Pulau Biawak telah bertambah ± 0,9 hektar area (ha) sejak 2016 hingga 2024. Pertambahan luas daratan tersebut berbanding lurus dengan berkurangnya/degradasi luas mangrove sebesar ±0,21 ha yang ada di pulau tersebut. Secara lebih rinci dapat dilihat melalui Tabel sebagai berikut:

Tabel Pertambahan Luas Daratan dan Degradasi Mangrove di Pulau Biawak

Tahun

Luas Daratan

(Ha)

Luas Mangrove

(Ha)

2016

0,47

0,66

2024

1,37

0,45

Perubahan Luas

0,9

– 0,21

Sumber: Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif & KIARA (2025)

Salah satu catatan penting dari hadirnya dua kementerian tersebut di Pulau Pari adalah adanya pilih bulu dalam penindakannya dan hanya menyasar pada perusakan yang tidak memiliki perizinan seperti yang terjadi di Pulau Biawak. Akan tetapi tidak melihat permasalahan yang terjadi di gugusan Pulau Pari secara menyeluruh. Hal tersebut dapat dilihat bahwa kunjungan dua kementerian tersebut tidak menindak korporasi yang secara de facto telah melakukan reklamasi untuk perluasan daratan yang mendegradasi area terumbu karang, mangrove dan lamun yang ada di daratan maupun perairan Pulau Tengah.

KIARA dan FP3 menilai pengerukan laut yang tengah dilakukan oleh eskavator di Gudus Lempeng yang PKKPRL-nya telah dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Investasi/BKPM. Sehingga dugaan awal bahwa upaya yang tengah dilakukan oleh KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup hanya bersifat simbolis semata dan upaya untuk mendorong perusakan ekosistem laut dan pulau kecil ke arah sanksi administratif, dan mewajibkan korporasi perusak lingkungan untuk mengurus Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sehingga negara akan mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Praktik-praktik tersebut telah terjadi di berbagai lokasi laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Sekedar memberi contoh KKP telah melakukan ini kepada kapal Vox Maxima yang mengeruk pasir laut di sekitar perairan Pulau Tunda, Banten. KKP juga pernah melakukan hal yang serupa di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara saat PT GKP menimbun Pantai dan laut untuk membangun Terminal Khusus yang alokasi pemanfaatan ruangnya bahkan tidak ada dalam RTRW Kabupaten maupun Provinsi.

Seharusnya KKP dalam melakukan pengawasan harus memperhatikan larangan secara langsung dan tidak langsung kepada setiap orang yang melakukan pemanfaatan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 27/2007 yang hingga saat ini masih berlaku. Sayangnya, Omnibus Law telah melemahkan UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1 tahun 2014, sehingga KKP selalu berdalih dengan terus menyatakan hanya dapat melakukan sanksi administratif atas pelanggaran yang terjadi. Lebih jauh jika terjadi pelanggaran dalam pasal 35 UU No. 27/2007 tetapi korporasi telah mendapat PKKPRL, maka ketentuan pidana dalam pasal 75 UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1/2014 dan terakhir diubah dalam Omnibus Law tidak dapat diberlakukan. 

Tindakan yang dilakukan oleh KKP tersebut tidak menimbulkan efek jera terhadap perusahaan yang merusak wilayah pesisir dan laut. “KIARA melihat ketidakseriusan yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melindungi ekosistem penting maupun esensial yang ada di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Bahkan untuk menindak perusahaan perusak lingkungan, yang melakukan privatisasi laut dan pulau seperti yang terjadi pada pemagaran laut di kabupaten Tangerang saja KKP tidak mampu. Ini menjadi bukti kepada seluruh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini tidak kompeten dalam menindak perusak laut dan tidak kompeten dalam melindungi sosial ekologi di wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Momentum ini seharusnya menjadi penting bagi Presiden untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan transparan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan dan KKP. Sehingga ada perubahan nyata dan konkret di tubuh KKP itu sendiri, dan tidak lagi mengeluarkan kebijakan seperti ekspor benih benur lobster, pengerukan pasir laut dengan dalih pengelolaan sedimentasi, reklamasi, hingga kebijakan KKPRL yang tidak berpihak kepada kehidupan nelayan kecil dan juga keberlanjutan ekologi yang ada di pesisir, laut, dan pulau kecil di Indonesia. Sudah saatnya Presiden memilih Menteri yang kompeten dalam mengurus kelautan dan perikanan Indonesia,” tutup Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

 

 

HGB & SHM Telah Terbit Dalam Pagar Laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan Legalisasi Privatisasi Laut Oleh ATR/BPN dan KKP

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

HGB & SHM Telah Terbit Dalam Pagar Laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan Legalisasi Privatisasi Laut Oleh ATR/BPN dan KKP

 

Jakarta, 21 Januari 2025 – Pada 10 Januari 2024, KKP telah melakukan penyegelan terhadap pagar laut yang berlokasi dan melintas di perairan 6 Kecamatan di Tangerang. Akan tetapi, hingga 20 Januari 2025 KKP belum berhasil untuk mengungkap pelaku dan pemilik pemagaran laut yang meresahkan nelayan kecil dan tradisional di 6 kecamatan tersebut. Padahal pemagaran laut tersebut telah merugikan nelayan kecil dan tradisional yang telah memanfaatkan perairan tersebut sebagai ruang produksi mereka dengan komoditas ikan, rajungan dan juga rebon.

Pasca terjadinya pemagaran laut sepanjang 30,16 km di perairan kabupaten Tangerang, pemagaran laut juga terjadi di perairan Kabupaten Bekasi yang mencapai 2 km, dan juga pemagaran laut yang terjadi di perairan Pulau C di perairan Jakarta Utara dengan jarak mencapai 500 meter. Dari ketiga lokasi tersebut, terdapat pola yang sama dan dengan menggunakan peralatan yang sama yaitu bambu yang disertai dengan pemberat.

Selain permasalahan tentang pagar laut di 3 tempat tersebut, ternyata disebagian perairan di Kabupaten Tangerang yang telah dipagari laut tersebut, tepatnya di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji telah diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) dan juga Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Menteri ATR/BPN saat ini telah membenarkan bahwa Kementerian ATR/BPN telah mengeluarkan HGB sebanyak 263 bidang laut dan SHM sebanyak 17 bidang dengan total mencapai ± 1 juta meter persegi atau 100 hektare (ha), dengan rincian sebagai berikut:

Aktor Jumlah HGB
PT Intan Agung Makmur 234 bidang
PT Cahaya Inti Sentosa 20 bidang
Perorangan (data belum dibuka ATR/BPN) 9 bidang

Sumber: Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (2025)

Dari hasil penelusuran KIARA pada situs BHUMI atrbpn milik Kementerian ATR/BPN, dengan berdasarkan garis pantai pada peta desa dari Badan Informasi Geospasial (BIG) maka terdapat persil-persil tanah di laut seluas ±515,77 ha atau lebih dari 5 juta meter persegi. Seluruh persil-persil tanah yang berada di atas laut tersebut posisinya ada di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakishaji, Kabupaten Tangerang. Luas hasil penelusuran ini 5 kali lipat dari pernyataan Menteri ATR BPN yang menyatakan hanya terdapat ± 1 juta meter persegi  luas bidang tanah tersertifikat di atas laut. Proses yang berlangsung dari mulai pemagaran hingga pendaftaran tanah ini patut diduga merupakan proses komodifikasi dengan mengubah laut menjadi daratan, yang selanjutnya akan dilakukan privatisasi atas ruang daratan yang telah terbentuk oleh aktor dan pihak tertentu.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa ada dugaan kuat bahwa pemagaran laut yang ada di Kabupaten Tangerang tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan HGB dan SHM yang berada di dalam pagar laut tersebut. “Dari penelusuan yang telah dilakukan, PT Cahaya Inti Sentosa merupakan salah satu pemegang saham di PT Pantai Indah Kapuk Dua, sedangkan PT Intan Agung Makmur memiliki kantor utama yang berada digedung yang sama dengan PIK 2. Sehingga hal ini tidak dapat dipisahkan karena relasi yang sangat erat antara kedua perusahaan tersebut dengan PIK 2, bahkan hal ini diduga berkaitan dengan PSN PIK 2,” jelas Susan.

Selain itu, Susan menambahkan bahwa hasil penelusuran di Kecamatan Kramat dan juga Kecamatan Mauk, nelayan kecil menyebutkan bahwa pemagaran laut tersebut diduga untuk perluasan kawasan PIK 2 yang akan menimbun ataupun mereklamasi laut sebagai bagian dari perluasannya. “Temuan KIARA di lapangan mendapatkan informasi dari pengaduan langsung dari nelayan kecil. Informasi dan dugaaan tersebut didapatkan nelayan ketika proyek pemagaran laut ini sedang berjalan tahun lalu. Kami menduga bahwa hal ini adalah proyek besar karena membutuhkan pendanaan yang besar untuk dapat membuat pagar laut sepanjang 30,16 km. Pemagaran laut ini bukan sekedar pekerjaan sehari semalam, akan tetapi melibatkan berbagai pihak terkait. Saat hal ini mulai viral, maka seluruh pihak mengatakan ketidaktahuannya sebagai bentuk cuci tangan,” tegas Susan.

Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan KIARA bahwa tidak ada perubahan yang signifikan yang disebabkan abrasi di wilayah pesisir Desa Kohod, sehingga dalil bahwa pemagaran laut ini untuk menanggulangi abrasi itu adalah kekeliruan. Penelusuran tersebut dilakukan sejak tahun 1985 hingga 2024, sehingga penerbitan HGB dan SHM di atas laut tersebut telah jelas bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang telah membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3). KIARA bersama jaringan masyarakat sipil lainnya telah menggugat HP3 tersebut dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa adanya HGB, HGU, SHM maupun perizinan lainnya yang diberikan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Investasi maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada perorangan maupun korporasi merupakan bentuk nyata dari hidupnya kembali HP3 atau neo-HP3. Kepemilikan hak individu maupun korporasi adalah neo-HP3 dan merupakan bentuk privatisasi laut atau saat ini disebut sebagai perampasan ruang laut (ocean grabbing). Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 UU No. 27 Tahun 2007 yang dibatalkan MK karena bertentangan dengan UUD 1945. KIARA menyebutkan bahwa atas pembatalan HP3, maka: 1)  sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak boleh diprivatisasi, baik perorangan maupun kelompok/korporasi; 2) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 di laut oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, dan melanggar prinsip demokrasi ekonomi; 3) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 mengakibatkan wilayah perairan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar; dan 4) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 menyebabkan privatisasi laut yang berdampak pada pengusiran/marginalisasi nelayan kecil dan tradisional yang memanfaatkan laut sebagai ruang hidupnya.

KIARA menilai bahwa Menteri ATR/BPN telah melampaui kewenangannya untuk menerbitkan hak kepemilikan berupa HGB dan SHM di atas laut. “Pelaku maupun pihak yang terkait lainnya baik atasannya maupun menteri ATR/BPN yang diduga terlibat penerbitan HGB dan SHM ini harus ditindak diusut tegas dan transparan sehingga peristiwa hukum ini tidak terulang dimasa depan. Hal ini adalah tindak pidana penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan hak atas tanah di laut!” tegas Susan.

KIARA melihat bahwa saat ini HP3 tersebut bertransformasi menjadi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (PKKPRL) yang menjadi alat dan semakin melegitimasi privatisasi laut dan perampasan ruang laut dari nelayan yang seharusnya menjadi right holders atas ruang pesisir, laut dan pulau kecil. Konflik yang diciptakan akibat PKKPRL ini telah nyata terjadi di Pulau Pari untuk pembangunan cottage apung dan dermaga dan Manado Utara yang ruang lautnya akan direklamasi menjadi darat. Sehingga sejauh ini kami menduga bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengerti tentang pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil dan seharusnya malu dan mundur dari Menteri karena melegitimasi perampasan ruang laut. Bahkan untuk menindak pemagaran laut saja KKP tidak berani mengungkapkan identitas pihak-pihak yang terkait maupun menindaknya ke jalur hukum,” tegas Susan.(*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Pemagaran Laut di Kabupaten Tangerang, KIARA: Bentuk Pembiaran dan Tidak Adanya Penindakan Serius oleh KKP!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pemagaran Laut di Kabupaten Tangerang, KIARA: Bentuk Pembiaran dan Tidak Adanya Penindakan Serius oleh KKP!

 

 

Jakarta, 10 Januari 2025 – Mengawali tahun 2025, publik dihebohkan dengan adanya pagar diduga sepanjang 30,16 km yang terletak di perairan laut di Kabupaten Tangerang. Pagar yang diduga sepanjang 30,16 km di Kab. Tangerang tersebut melintas di 6 Kecamatan yaitu, Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Telukanaga. Pemagaran laut ini dilakukan dengan menggunakan bambu, paranet, dan juga pemberat berupa karung berisi pasir. Merespon pemagaran laut di Kab. Tangerang tersebut, berbagai Kementerian dan Lembaga negara terkait telah menyatakan ketidaktahuan dan tidak adanya izin yang mereka keluarkan berkaitan dengan pemagaran laut tersebut.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA – Susan Herawati – menyatakan bahwa pemasangan pagar sepanjang 30,16 km yang mencakup 6 kecamatan di Kab. Tangerang tersebut merupakan bentuk awal dimulainya privatisasi laut, di mana wilayah perairan tersebut akan dijadikan sebagai perairan privat untuk berbagai kepentingan seperti reklamasi maupun pertambakan. “KIARA melihat ini adalah bentuk awal dari perampasan ruang laut. Jika di check melalui Perda Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten – atau yang disebut sebagai Perda RTRW Banten yang terintegrasi – status pemanfaatan zona ini beberapa diantaranya adalah perikanan tangkap, dan perikanan budidaya. Akan tetapi, Perda tersebut juga memiliki berbagai masalah seperti tidak adanya pelibatan dan partisipasi penuh dan bermakna dari Masyarakat Pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan kecil dan tradisional, serta pembudidaya ikan kecil, sehingga pengetahuan dan ruang-ruang yang mereka kelola tidak diakui oleh negara,” tegas Susan.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan KIARA, disebutkan bahwa informasi tentang pemagaran laut tersebut telah diketahui oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten sejak 14 Agustus 2024 lalu. Hingga pada 4-5 September 2024 Tim DKP bersama Polisi Khusus (Polsus) dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meninjau lokasi perairan pemagaran laut[1]. “Sehingga dari rentang waktu bulan Agustus atau September 2024 hingga Januari 2025, KKP telah mengatahui adanya pemagaran laut tersebut, akan tetapi tidak ada tindakan yang serius dan tegas yang dilakukan KKP hingga akhirnya isu ini tersebar di publik pada awal tahun 2025. Ini membuktikan bahwa KKP telah melakukan pembiaran terjadinya pemagaran laut di Kabupaten Tangerang,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa terdapat 4.463 jiwa nelayan yang hidup dan memanfaatkan perairan laut di 6 kecamatan tersebut akan terdampak dari adanya pemagaran laut di wilayah perairan Kab. Tangerang. Pemasangan pagar ini menambah jumlah kasus privatisasi laut yang ada di Teluk Jakarta, bahkan ada dugaan bahwa pemagaran laut ini diduga berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ada di PIK 2. “Bahkan tambak-tambak dan bagan-bagan perikanan telah banyak tersebar di Teluk Jakarta dan secara nyata telah mengganggu aktivitas perikanan tangkap nelayan kecil dan tradisional yang melakukan aktivitas perikanan tangkap maupun perikanan budidaya (seperti memanen kerang) yang ada di Teluk Jakarta. Selain itu, ada juga reklamasi di Teluk Jakarta untuk pembangunan pulau-pulau palsu, serta reklamasi yang terjadi di ancol dan juga di wilayah Pantai Indah Kapuk,” jelas Susan.

Pemagaran laut tersebut menjadi bukti bahwa pelibatan dan partisipasi nelayan kecil/tradisional sebagai aktor utama dalam menjaga dan mengawasi laut belum dijalankan oleh KKP. Hal ini menciptakan adanya batas dan ja rak antara KKP dengan nelayan kecil dan tradisional sebagai right holders dan juga penguasa utama laut Indonesia. Padahal pelibatan partisipasi masyarakat pesisir (khususnya nelayan) adalah bentuk pemberdayaan nelayan serta memperkuat peran serta masyarakat yang merupakan tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.

Pemagaran laut ini menjadi tanda dan momentum bagi Kementerian dan Lembaga negara terkait, khususnya KKP untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. Evaluasi tersebut harus dilakukan karena: 1) tidak adanya perlindungan khusus bagi wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan kecil yang ada di Indonesia; 2) tidak adanya pelibatan partisipasi dari nelayan kecil dan tradisional sebagai aktor utama dari penjaga lautnya, padahal hal ini merupakan bentuk pemberdayaan serta memperkuat peran serta masyarakat sebagaimana diamatkan dalam tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam UU 27/2007; serta 3) evaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang melegitimasi perusakan laut, privatisasi laut dan juga perampasan ruang laut, seperti Kebijakan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang melegitimasi perampasan ruang laut!” pungkas Susan Herawati. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

[1] Tempo. 2025. Pemagaran Laut di Tangerang: Ini Kronologinya hingga Disegel atas Perintah Presiden Prabowo. Artikel berita Bisnis Tempo.co 10 Januari 2025. https://www.tempo.co/ekonomi/pemagaran-laut-di-tangerang-ini-kronologinya-hingga-disegel-atas-perintah-presiden-prabowo-1192140 

Berlayar dari Bugis ke Karimunjawa untuk Suatu Misi

 

Foto Bang Jeck di Festival Bahari 2024 (Dokumentasi: Adinan)

Foto Bang Jeck dalam Festival Bahari 2024 (Dokementasi: Adinan)

 

 

 

 

Bernama lengkap Bambang Zakaria (56) atau kerap disapa dengan panggilan Bang Jack ini merupakan pegiat lingkungan yang berasal dari Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Namanya cukup dikenal ketika dirinya turut serta dalam menyuarakan dampak dari pencemaran limbah tambak udang ilegal di Karimunjawa. Kasus ini sempat menimpa rekan satu perjuangannya yaitu Daniel Frits Maurits, sesama pegiat lingkungan yang dikriminalisasi atas tuduhan penyebaran informasi kebencian untuk kelompok masyarakat tertentu pada Kamis, 4 April 2024 oleh Pengadilan Negeri (PN) Jepara.

Dalam perjalanannya mengawal kasus tambak udang ilegal di Karimunjawa, Jawa Tengah, sosok Bang Jack sangat memiliki pengaruh. Terutama ketika dirinya melakukan orasi di dalam rapat kerja Komisi II DPR RI di Kantor BPN Jawa Tengah, Kota Semarang pada Jumat (29/9/2023). Dilansir dari keterangan Tribun Jateng.com, Bang Jack mengatakan bahwa rumput laut yang dulu menjadi sandaran ekonomi warga telah hancur karena limbah tambak udang vaname. Lalu, apa yang melandasi pria yang aktif dalam Koordinator Lingkar Juang Karimunjawa (LINGKAR) tersebut?

Sosok Bang Jack memiliki darah keturunan asal Bugis yang kental dengan kisah hidup nenek moyangnya sebagai seorang pelayar. Di Karimunjawa, ia merupakan keturunan keempat dari orang Bugis yang melakukan babat alas di wilayah ini. Babatan alas yang telah dilakukan oleh orang-orang Bugis di Karimunjawa diketahui sejak tahun 1940-an, bahkan sebelum itu sudah dilakukan. Hal ini ditandai dengan adanya Lakaya, dusun yang berdiri di tengah telaga.

“Saya ini keturunan orang Bugis yang keempat dari babat alas Karimun. Orang Bugis itu dulu berlayar ke sini untuk membuka suatu kehidupan. Ya, sekitar tahun 40-anlah menjelang kemerdekaan. Di situ ada Lakaya,” terangnya pada hari Rabu (11/12/2024).

Di samping itu, Bang Jack menceritakan bahwa para leluhurnya dulu membuka kehidupan di Karimunjawa untuk suatu misi. Kewajiban melanjutkan misi dari para leluhurnya yaitu untuk menjaga laut. Menurutnya bagi seorang pelayar lautan itu serupa ibu kandung sendiri. Laut memberikan kehidupan, perlindungan, dan rezeki sehingga menjaganya adalah bentuk rasa syukur dan penghormatan.

“Bagi seorang pelayar, lautan adalah ibu sejati kami,” tegas Bang Jack.

Meneruskan Pesan Para Leluhur

Misi yang diwariskan oleh para leluhurnya inilah yang melatarbelakangi Bang Jack untuk melakukan pengawalan terhadap isu-isu lingkungan di Karimunjawa, Jawa Tengah. Ia mengemban amanah yang harus diteruskan untuk anak-cucunya kelak. Meskipun, ia menyangkal bahwa dirinya sendiri bukan seorang aktivis lingkungan. Siapa pun yang telah merenggut ruang hidup warga Karimunjawa bukan karena bencana alam harus dilawan.

“Kata orang juga bahwa saya adalah seorang aktivis lingkungan. Padahal saya hanya memegang pesan leluhur kami. Kami di sana cari makan dari darat dan laut. Nah, kalau ada yang merusak itu sebagai generasi penerus, mosok mau sampai sini aja? Kan malu sama leluhur kami. Ya, kami lawan!” Tegasnya.

Beberapa pengawalan isu lingkungan yang telah dilakukan oleh Bang amenuai banyak dampak positif bagi nelayan Karimunjawa. Salah satunya, ketika terjadi penangkapan ikan oleh nelayan asing dengan menggunakan bahan peledak dan racun. Hal ini mengakibatkan rusaknya ekosistem laut di Karimunjawa. Untuk mencegah kerusakan ekosistem laut semakin parah, tindakan preventif pun juga dilakukan. Bersama rekan-rekannya, Bang Jack melalukan edukasi juga kepada para nelayan di sana.

“Pertama, dulu yang tangkap ikan secara ugal-ugalan menggunakan bom dan racun. Benda-benda ini berasal dari luar, bukan dari kami. Mereka itu yang mengajari kami. Andaikan karang bisa dimakan, ya kami makan. Itu alhamdulillah sudah berkurang.”

Satu persoalan selesai bukan berarti persoalan lain tidak ada. Seusai berhasil menangani satu isu, Bang Jack dihadapkan lagi oleh persoalan kapal tongkang batu bara yang memasuki zona tangkap para nelayan. Singgahnya kapal ini di Karimunjawa telah merusak banyak terumbu karang. Rusaknya terumbu karang membuat ikan-ikan yang berada di sekitar zona tangkap bermigrasi ke tempat lain sehingga mempersulit para nelayan.

Semakin kompleks sebuah persoalan membuat Bang Jack harus berurusan dengan pemangku kebijakan. Sebab, pemangku kebijakan seperti pemerintah memiliki peran di balik berlabuhnya kapal tongkang batu bara di Karimunjawa. Secara tidak langsung kapal tersebut berlindung di bawah naungan para pemangku kebijakan.

“Terus nggak lama kemudian, Karimunjawa itu disinggahi oleh kapal tongkang batu bara. Ini juga merusak. Kalau begini ini itu sudah berurusan sama pemangku kebijakan. Soalnya mereka juga berlindung, makanya kami awasi. Saya juga laporin ini ke mana-mana agar ada yang mengatur zona labuhnya,” tukasnya.

Bang Jack tidak hanya menyoroti perihal dampak kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh kapal tongkang batu bara saja. Tetapi, ia juga melihat dampak lain dari batu baru yang terkena rembesan air hujan. Aliran air yang keluar dari rembesan batu bara mengakibatkan laut berwarna hitam pekat dan tercemar.

“Ya, karena bukan hanya dampak tabraknya saja. Tapi batu baranya juga yang kalau turun hujan itu kan airnya mengalir sampai ke laut. Itu yang tidak dihitung oleh mereka, teman-teman Balai Taman Nasional. Itu mencemari biodata-biodata laut yang ada. Airnya menghitam itu!”

Berdasarkan dengan hasil rundingan dengan para pemangku kebijakan. Muncullah sebuah regulasi baru yang mengatur agar kapal tongkang batu bara tidak masuk ke kawasan tangkap nelayan. Meskipun dalam aturan sudah tertera, beberapa dari mereka masih ada yang ingkar secara sembunyi-bunyi. Hingga pada akhirnya, persoalan lingkungan di Karimunjawa pun merambat hingga ke kasus pencemaran limbah dari tambak udang terhadap rumput laut. Bang Jack merasa bahwa kasus ini merupakan kasus terberat yang pernah dialami oleh dirinya. Menurutnya banyak orang yang terlibat dalam kasus ini, mulai dari warga sendiri dan para pemangku kebijakan.

“Wah, itu alot sekali. Sebab, pemangku kebijakan membiarkan dan masyarakat diracuni oleh uang. Kami berteriak pun dibiarkan. Ya, akhirnya kami hanya bisa berteriak lewat sosial media. Kerusakannya sungguh luar biasa. Masyarakat kami dirusak, sosial-ekonomi, dan alam kami juga.”

Menyoal Dampak Perubahan Iklim Terhadap Nelayan Karimunjawa

Nelayan-nelayan di Kepulauan Karimunjawa tidak hanya menghadapi persoalan lingkungan saja, tetapi juga dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim membawa perubahan pola terhadap musim tangkap. Menurut Bang Jack para nelayan di sana terkena dampak dan sudah tidak bisa memprediksikan hasil tangkap setiap pergi melaut.

“Itu kita kena dampak. Kami Sudah tidak bisa melakukan hitung-hitung lagi, itu sudah meleset,” ujarnya.

Dahulu para nelayan di Karimunjawa masih bisa memperhitungkan musim, kapan mereka harus pergi menangkap ikan dan kapan harus kembali. Di tambah lagi dengan pola ombak yang bisa bertambah besar sewaktu-waktu. Hal ini tentu mengancam keselamatan nelayan ketika pergi melaut. Di samping itu juga, ombak yang besar dapat mempengaruhi daya tangkap ikan bagi para nelayan.

“Patokan kami ya itu. Setelah perubahan cuaca yang tidak menentu ini kami bingung. Meskipun begitu, kami tetap melaut dengan kapal yang sudah dirancang dengan ketahanan ombak.”

Terjadinya perubahan iklim tidak membuat para nelayan patah arang. Mereka tetap pergi melaut dengan kapal yang sudah dirancang ketahanannya. Sebab, nelayan di Karimunjawa juga tidak ingin kalah saing dengan nelayan asing yang sudah menggunakan alat tangkap lebih canggih dari mereka. Menurut Bang Jack pemicu lain berkurangnya daya tangkap nelayan di Karimunjawa ini  karena para nelayan asing .

“Mereka berasal dari Jakarta, Tegal, Rembang, dan lain sebagainya menggunakan alat-alat canggih. Tapi kami tetap melaut dan tidak ingin diam,” tegas Bang Jack.

Penulis : Radit Bayu Anggoro

Editor : Musfarayani

Liputan KOMPAS TV – KIARA, Pemerintah Kembali Buka Keran Ekspor Demi Penuhi Rantai Pasokan Global Lobster, Apa Tantangannya?

Pemerintah Kembali Buka Keran Ekspor Demi Penuhi Rantai Pasokan Global Lobster, Apa Tantangannya?

Di tengah upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai global supply chain lobster, problematika penyelundupan benih bening lobster (BBL) ke negara naga biru atau Vietnam tak kunjung hentinya. Sebanyak 22 kasus penyelundupan BBL berhasil digagalkan petugas gabungan TNI/Polri dengan nilai kurang lebih 227 miliar rupiah di 11 wilayah Indonesia. Terkait hal itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berupaya menanggulanginya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 7 Tahun 2024. Aturan ini bertujuan agar ekosistem bisnis lobster berjalan dengan baik dan ke depannya bisa bermitra pula dengan Tiongkok.

Simak komentar dari Sekretaris Jenderal KIARA selengkapnya pada video berikut : 

( https://www.youtube.com/watch?v=vd4qXjjv2NQ )

Buku Saku Panduan Pengurangan Resiko Bencana Di Wilayah Pesisir Sulawesi Tengah

BUKU SAKU PANDUAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA

 

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang berada pada lintasan alam penuh kerentanan berbagai bencana alam. Dapat di katakan bahwa tak ada sejengkal daratan dan lautan di negara ini yang tak luput dari kerentanan bencana alam. Dalam masyarakat, upaya mitigasi bencana lahir dari paraktik-praktik adaptasi kondisi alam dari pengalaman dan pengetahuan setempat yang berkembang. Sistem peringatan dini (early warning system) pada masyarakat umumnya dengan membaca tanda-tanda alam berdasarkan pada kegiatan kejadian-kejadian di masa lampau. 

Kemampuan masyarakat dalam mengelola penanggulangan bencana ini tentu menjadi sesuatu yang berharga untuk mengurangi jumlah korban. Memadukan antara pengetahuan lokal yang telah terbukti berguna mengurangi resiko bencana dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mempertajam mitigasi akan membantu usaha-usaha memperbanyak anggota masyarakat yang dapat terselamatkan dari kejadian bencana alam sehingga seminimal mungkin mencegah adanya korban jiwa.

Buku saku ini merupakan hasil menyarikan pembelajaran dari pengalaman para penyintas bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di palu pada tahun 2018 lalu, terutama warga yang hidup di pesisir. Sebagai sebuah bacaan yang jauh dari sempurna, buku ini diharapkan memantik kesadaran pembacanya untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana yang bermula dari diri si pembaca, kelaurga, dan komunitas warga. KIARA berharap hadirnya buku kecil ini akan memberi manfaat yang besar bagi banyak kalangan.

 

Salam Keadilan Perikanan,

 

Susan Herawati

Sekretaris Jenderal KIARA  

 

Download Buku Saku Panduan Pengurangan Resiko Bencana Di Wilayah Pesisir Sulawesi Tengah pada link berikut :

KIARA – Buku Saku PAnduan Pengurangan Resiko Bencana 

 

KIARA:Selamat Hari Nelayan 2024, Perlindungan Nelayan Kecil dan Tradisional Harus Segera Dilaksanakan!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA:Selamat Hari Nelayan 2024, Perlindungan Nelayan Kecil dan Tradisional Harus Segera Dilaksanakan!

 

Jakarta, 6 April 2024 – Disetiap tanggal 6 April, seluruh masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Nelayan Nasional sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan atas jasa nelayan di Indonesia, khususnya nelayan kecil dan tradisional dalam upaya pemenuhan gizi dan protein bagi seluruh rakyat Indonesia. Profesi nelayan juga memiliki peran penting sebagai ujung tombak dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Indonesia melalui eksistensi mereka di perairan laut Indonesia, khususnya diperairan perbatasan Indonesia dengan negara-negara lain.

 

Akan tetapi, hingga saat ini perlindungan atas kedaulatan ruang perairan nelayan kecil/tradisional serta pengakuan atas eksistensi profesi nelayan kecil, khususnya perempuan nelayan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Nelayan kecil diberbagai wilayah masih minim perlindungan dan pengakuan tersebut meningkatkan kerentanan yang dialami oleh nelayan kecil yang saat ini juga tengah berjuang menghadapi perampasan ruang (ocean grabbing) hingga perubahan iklim yang berdampak terhadap semakin jauhnya area tangkapan, meningkatnya biaya produksi, menurunnya hasil tangkapan, hingga meningkatnya kasus-kasus perampasan ruang bahkan penggusuran nelayan.

 

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa saat ini kondisi nelayan masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, khususnya dalam konteks pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah. Hal tersebut juga sesuai dengan mandat Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. “Akan tetapi mandat dari UU 7/2016 tersebut masih belum sepenuhnya dijalankan dan kondisi nelayan kecil saat ini dalam kondisi terancam akibat perampasan ruang hidup. Hal itu dilegitimasi oleh berbagai kebijakan dan peraturan yang disusun oleh pemerintah itu sendiri, salah satu contohnya adalah rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta dan juga di Jawa Tengah,” ungkapnya.

 

Susan menjelaskan bahkan Presiden yang terpilih saat ini yaitu Prabowo Subianto tengah gencar terlibat dalam rencana proyek pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) yang ada di Pantai Utara Jawa, khususnya di Teluk Jakarta dan Perairan pesisir Jawa Tengah. “Proyek pembangunan tanggul laut raksasa/Giant Sea Wall ini akan menyebabkan beberapa hal, yaitu akan menimbun laut yang akan merampas ruang tangkap nelayan kecil/tradisional. Untuk men-supply kebutuhan material pasir laut, maka akan menambang pasir laut ditempat lain, sehingga juga akan menyebabkan perampasan ruang tangkap nelayan dan merusak ekosistem perairan laut ditempat penambangan pasir tersebut,” tegas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa kebijakan lain yang saat ini berpotensi merampas dan merusak ruang hidup nelayan dan ekosistem laut adalah aktivitas yang dilegitimasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang sejatinya melegalisasi praktik penambangan pasir laut di perairan Indonesia. Selain pertambangan pasir laut, ada juga pertambangan nikel yang saat ini dimasifkan untuk hilirisasi nikel nasional. Kebijakan lainnya adalah pembatasan penangkapan ikan, yang disahkan melalui PP No. 11 Tahun 2023 dan PermenKP No. 36 Tahun 2023 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Di Zona Penangkapan Ikan Terukur Dan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Lalu ada proyek pariwisata dengan label eco-wisata, premium, hingga eksklusif yang menyebabkan privatisasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil hingga membatasi bahkan memutus akses nelayan atas ruang kelolanya.

 

KIARA juga menyoroti UU 7/2016 karena tidak adanya jaminan atas kepastian ruang tangkap tradisional nelayan, dan jaminan pengakuan kepada perempuan yang berprofesi sebagai nelayan dalam UU tersebut. Saat ini terdapat 3,9 juta jiwa perempuan nelayan yang belum mendapatkan pengakuan atas profesi sebagai nelayan dari pemerintah. Ini seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk segera merevisi UU 7/2016 atau memasukkan 2 konteks tersebut dalam peraturan teknis/pelaksaannya, sehingga UU 7/2016 menjadi UU yang implementatif, bukan seperti kondisi aktual saat ini,” tegas Susan.

KIARA mencatat bahwa selain konteks kebijakan dan peraturan domestik, nelayan juga tengah dicemaskan dengan kebijakan internasional yang akan meliberalisasi sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia melalui investasi dan perdagangan. “Bahkan dalam konteks global, saat ini tengah dibahas tentang penghapusan berbagai subsidi perikanan dalam Konferensi Tingkat Menteri di World Trade Organization (WTO). Penghapusan subsidi perikanan yang dibahas tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi nelayan kecil, karena subsidi untuk nelayan kecil di Indonesia merupakan mandat yang jelas dan tegas dari UU No. 7 Tahun 2016 sebagai bentuk perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan menjaga sistem pangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelas Susan.

Keseluruhan kebijakan dan peraturan yang ekstraktif dan eksploitatif tersebut berujung pada minimnya perlindungan atas hak asasi manusia serta penemuhan hak-hak sebagai warga negara bagi nelayan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Seharusnya momentum Hari Nelayan Nasional di 2024 menjadi titik balik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi yang menyeluruh, mencabut regulasi yang tidak berpihak kepada profesi nelayan kecil, menyusun perlindungan ruang tangkap tradisional, serta memberi pengakuan kepada perempuan nelayan akan menjadi satu terobosan dan langkah majuyang progresif dari Pemerintah Indonesia untuk perlindungan nelayan kecil. Hal itu karena 90% profesi nelayan di Indonesia merupakan nelayan kecil. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain berpihak dan melindungi nelayan kecil di Indonesia. Selamat Hari Nelayan 2024!” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

KERTAS KEBIJAKAN – Perempuan Nelayan Berhak Mendapatkan Perlindungan dan Pemberdayaan Dari Negara

Kertas Kebijakan

PEREMPUAN NELAYAN BERHAK MENDAPATKAN PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN DARI NEGARA

 

Mukadimah

Pada tahun 2015, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia kembali memasukkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada perkembangannya, judul RUU ini mengalami perubahan menjadi RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Di dalam draft RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam versi DPR-RI tertanggal 27 Agustus 2015, perempuan nelayan belum mendapatkan pengakuan politik atas hak-hak konstitusionalnya. Dampaknya, tidak ada skema khusus perlindungan maupun pemberdayaan bagi perempuan nelayan. Hal ini terlihat di dalam Pasal 9, “Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan disusun oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dan Kelembagaan termasuk perempuan dalam rumah tangga Nelayan, rumah tangga Pembudi Daya Ikan, dan rumah tangga Petambak Garam”.

Penyebutan “rumah tangga Nelayan”, “rumah tangga Pembudidaya Ikan”, dan “rumah tangga Petambak Garam” tidak mewakili kepentingan perempuan di 10.666 desa pesisir di Indonesia. Hal ini terlihat di dalam Pasal 9 ayat (1) draft RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam versi DPR-RI tertanggal 27 Agustus 2015 sebagai berikut: “Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan disusun oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dan Kelembagaan termasuk perempuan dalam rumah tangga Nelayan, rumah tangga Pembudi Daya Ikan, dan rumah tangga Petambak Garam”.

 

Peran Perempuan Nelayan

Keberadaan perempuan nelayan sangat penting di dalam aktivitas perikanan dan pergaraman. Pusat Data dan Informasi KIARA (November 2015) mencatat sedikitnya 48 persen pendapatan keluarga nelayan dikontribusikan oleh perempuan nelayan. Dalam pada itu, 17 jam dimanfaatkan perempuan nelayan untuk bekerja.

Fakta lain juga menunjukkan, sekitar 47 persen dari jumlah perempuan nelayan yang bekerja di bagian pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Demikian pula di usaha pergaraman, perempuan nelayan berperan penting, mulai dari membersihkan hingga mengakut garam yang diproduksi.

Menariknya, negara belum mengakui dan melindungi keberadaan dan peran perempuan nelayan. Kendati berkontribusi besar, nasib perempuan nelayan masih memprihatinkan. Pemberdayaan sangat minim. Padahal, mereka sangat berpotensi dalam memperkuat pilar penghidupan keluarga.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2014) juga mencatat sedikitnya 5,6 juta orang terlibat di dalam aktivitas perikanan. Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 3,9 juta orang adalah perempuan nelayan.

Dalam studi yang dilakukan oleh KIARA, ditemukan fakta bahwa perempuan nelayan sangat berperan di dalam rantai nilai ekonomi perikanan, mulai dari pra-produksi sampai dengan pemasaran. Pertama, pra-produksi. perempuan nelayan berperan dalam menyiapkan bekal melaut. Kedua, produksi. Sebagian kecil perempuan nelayan melaut. Ketiga, pengolahan. Perempuan nelayan berperan besar dalam mengolah hasil tangkapan ikan dan/atau sumber daya pesisir lainnya. Keempat, pemasaran. Peran perempuan nelayan amat sangat besar: mulai memilah, membersihkan, dan menjual.

Tak mengherankan jika rekomendasi PBB dalam Perundingan Perdagangan Ikan ke-14 oleh Komisi Perikanan FAO meminta kepada negara-negara anggotanya untuk: (1) Mengkaji peran perempuan nelayan di sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya; (2) Mendata jumlah dan sebaran perempuan nelayan; dan (3) Merumuskan aturan khusus untuk mengakui dan melindungi perempuan nelayan.

 

Baca selengkapnya unduh dengan pdf di : 

(  https://drive.google.com/file/d/1nqyn7HShf5PXsa0WPOce82vg0Vo3m9iH/view?usp=sharing  )

PULAU LEMBEH. Pulau Sejuta Pesona, Ditarik Tak Bersatu Dilepas Tak Berpisah

Pulau Lembeh, ada dimana dan apa yang menarik dengan Pulau ini ?
Menggunakan kata kunci Pulau Lembeh,
google searching akan menuntun kita menuju hal-hal terutama berkaitan dengan destinasi wisata dengan segala pesonanya.

Jika diukur menggunakan kemampuan ingatan saya, kira-kira awal tahun
2000 giat wisata di P. Lembeh mulai bergejolak. Dalam Peta Provinsi Sulawesi Utara berskala 1 : 400.000, penampakan Pulau ini tidak besar karena luasannya hanya sekitar 5.319 Ha. Menurut saya Pulau ini memang menarik dan sangat unik.

Kota Bitung akan sangat berbeda dengan yang kita lihat saat ini jika
seandainya P. Lembeh tidak ada. Satu bukanlah satu, daratan Kota Bitung dan P. Lembeh dalam hayalan saya bagai dua obyek yang saya istilahkan “
ditarik tak bersatu, dilepas tak berpisah”. Hal yang pasti, keterpisahan P. Lembeh dari daratan, menjadikannya berbeda dan unik, dalam banyak aspek.

Buku ini sangat sederhana, dibuat ringan untuk dibaca dan yang penting
mewakili cerita-cerita, ciri dan praktek kehidupan dalam masyarakat, serta
potensi sumber daya alam. Pembahasan dibuat sependek mungkin disertai
gambar-gambar yang sempat diperoleh dan dibuat. Semoga ada hal baru yangdiperoleh dari membaca buku ini, dan bagi yang telah membacanya akan muncul niat untuk datang berkunjung ke P. Lembeh. Jika ada suatu bagian dari isi buku ini yang dianggap kurang tepat atau keliru mohon dikoreksi dan tidak perlu dipertentangkan karena tidak ada maksud sama sekali untuk memaksakan suatu kebenaran lewat buku ini.

 

Selamat membaca,

Rignolda Djamaludin

 

Silahkan download buku Pulau Lembeh, Pulau Sejuta Pesona, Ditarik Tak Bersatu Dilepas Tak Berpisah di sini

Salam Keadilan Perikanan.