Liputan KOMPAS TV – KIARA, Pemerintah Kembali Buka Keran Ekspor Demi Penuhi Rantai Pasokan Global Lobster, Apa Tantangannya?

Pemerintah Kembali Buka Keran Ekspor Demi Penuhi Rantai Pasokan Global Lobster, Apa Tantangannya?

Di tengah upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai global supply chain lobster, problematika penyelundupan benih bening lobster (BBL) ke negara naga biru atau Vietnam tak kunjung hentinya. Sebanyak 22 kasus penyelundupan BBL berhasil digagalkan petugas gabungan TNI/Polri dengan nilai kurang lebih 227 miliar rupiah di 11 wilayah Indonesia. Terkait hal itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berupaya menanggulanginya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 7 Tahun 2024. Aturan ini bertujuan agar ekosistem bisnis lobster berjalan dengan baik dan ke depannya bisa bermitra pula dengan Tiongkok.

Simak komentar dari Sekretaris Jenderal KIARA selengkapnya pada video berikut : 

( https://www.youtube.com/watch?v=vd4qXjjv2NQ )

Buku Saku Panduan Pengurangan Resiko Bencana Di Wilayah Pesisir Sulawesi Tengah

BUKU SAKU PANDUAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA

 

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang berada pada lintasan alam penuh kerentanan berbagai bencana alam. Dapat di katakan bahwa tak ada sejengkal daratan dan lautan di negara ini yang tak luput dari kerentanan bencana alam. Dalam masyarakat, upaya mitigasi bencana lahir dari paraktik-praktik adaptasi kondisi alam dari pengalaman dan pengetahuan setempat yang berkembang. Sistem peringatan dini (early warning system) pada masyarakat umumnya dengan membaca tanda-tanda alam berdasarkan pada kegiatan kejadian-kejadian di masa lampau. 

Kemampuan masyarakat dalam mengelola penanggulangan bencana ini tentu menjadi sesuatu yang berharga untuk mengurangi jumlah korban. Memadukan antara pengetahuan lokal yang telah terbukti berguna mengurangi resiko bencana dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mempertajam mitigasi akan membantu usaha-usaha memperbanyak anggota masyarakat yang dapat terselamatkan dari kejadian bencana alam sehingga seminimal mungkin mencegah adanya korban jiwa.

Buku saku ini merupakan hasil menyarikan pembelajaran dari pengalaman para penyintas bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di palu pada tahun 2018 lalu, terutama warga yang hidup di pesisir. Sebagai sebuah bacaan yang jauh dari sempurna, buku ini diharapkan memantik kesadaran pembacanya untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana yang bermula dari diri si pembaca, kelaurga, dan komunitas warga. KIARA berharap hadirnya buku kecil ini akan memberi manfaat yang besar bagi banyak kalangan.

 

Salam Keadilan Perikanan,

 

Susan Herawati

Sekretaris Jenderal KIARA  

 

Download Buku Saku Panduan Pengurangan Resiko Bencana Di Wilayah Pesisir Sulawesi Tengah pada link berikut :

KIARA – Buku Saku PAnduan Pengurangan Resiko Bencana 

 

KIARA:Selamat Hari Nelayan 2024, Perlindungan Nelayan Kecil dan Tradisional Harus Segera Dilaksanakan!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA:Selamat Hari Nelayan 2024, Perlindungan Nelayan Kecil dan Tradisional Harus Segera Dilaksanakan!

 

Jakarta, 6 April 2024 – Disetiap tanggal 6 April, seluruh masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Nelayan Nasional sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan atas jasa nelayan di Indonesia, khususnya nelayan kecil dan tradisional dalam upaya pemenuhan gizi dan protein bagi seluruh rakyat Indonesia. Profesi nelayan juga memiliki peran penting sebagai ujung tombak dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Indonesia melalui eksistensi mereka di perairan laut Indonesia, khususnya diperairan perbatasan Indonesia dengan negara-negara lain.

 

Akan tetapi, hingga saat ini perlindungan atas kedaulatan ruang perairan nelayan kecil/tradisional serta pengakuan atas eksistensi profesi nelayan kecil, khususnya perempuan nelayan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Nelayan kecil diberbagai wilayah masih minim perlindungan dan pengakuan tersebut meningkatkan kerentanan yang dialami oleh nelayan kecil yang saat ini juga tengah berjuang menghadapi perampasan ruang (ocean grabbing) hingga perubahan iklim yang berdampak terhadap semakin jauhnya area tangkapan, meningkatnya biaya produksi, menurunnya hasil tangkapan, hingga meningkatnya kasus-kasus perampasan ruang bahkan penggusuran nelayan.

 

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa saat ini kondisi nelayan masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, khususnya dalam konteks pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah. Hal tersebut juga sesuai dengan mandat Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. “Akan tetapi mandat dari UU 7/2016 tersebut masih belum sepenuhnya dijalankan dan kondisi nelayan kecil saat ini dalam kondisi terancam akibat perampasan ruang hidup. Hal itu dilegitimasi oleh berbagai kebijakan dan peraturan yang disusun oleh pemerintah itu sendiri, salah satu contohnya adalah rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta dan juga di Jawa Tengah,” ungkapnya.

 

Susan menjelaskan bahkan Presiden yang terpilih saat ini yaitu Prabowo Subianto tengah gencar terlibat dalam rencana proyek pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) yang ada di Pantai Utara Jawa, khususnya di Teluk Jakarta dan Perairan pesisir Jawa Tengah. “Proyek pembangunan tanggul laut raksasa/Giant Sea Wall ini akan menyebabkan beberapa hal, yaitu akan menimbun laut yang akan merampas ruang tangkap nelayan kecil/tradisional. Untuk men-supply kebutuhan material pasir laut, maka akan menambang pasir laut ditempat lain, sehingga juga akan menyebabkan perampasan ruang tangkap nelayan dan merusak ekosistem perairan laut ditempat penambangan pasir tersebut,” tegas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa kebijakan lain yang saat ini berpotensi merampas dan merusak ruang hidup nelayan dan ekosistem laut adalah aktivitas yang dilegitimasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang sejatinya melegalisasi praktik penambangan pasir laut di perairan Indonesia. Selain pertambangan pasir laut, ada juga pertambangan nikel yang saat ini dimasifkan untuk hilirisasi nikel nasional. Kebijakan lainnya adalah pembatasan penangkapan ikan, yang disahkan melalui PP No. 11 Tahun 2023 dan PermenKP No. 36 Tahun 2023 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Di Zona Penangkapan Ikan Terukur Dan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Lalu ada proyek pariwisata dengan label eco-wisata, premium, hingga eksklusif yang menyebabkan privatisasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil hingga membatasi bahkan memutus akses nelayan atas ruang kelolanya.

 

KIARA juga menyoroti UU 7/2016 karena tidak adanya jaminan atas kepastian ruang tangkap tradisional nelayan, dan jaminan pengakuan kepada perempuan yang berprofesi sebagai nelayan dalam UU tersebut. Saat ini terdapat 3,9 juta jiwa perempuan nelayan yang belum mendapatkan pengakuan atas profesi sebagai nelayan dari pemerintah. Ini seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk segera merevisi UU 7/2016 atau memasukkan 2 konteks tersebut dalam peraturan teknis/pelaksaannya, sehingga UU 7/2016 menjadi UU yang implementatif, bukan seperti kondisi aktual saat ini,” tegas Susan.

KIARA mencatat bahwa selain konteks kebijakan dan peraturan domestik, nelayan juga tengah dicemaskan dengan kebijakan internasional yang akan meliberalisasi sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia melalui investasi dan perdagangan. “Bahkan dalam konteks global, saat ini tengah dibahas tentang penghapusan berbagai subsidi perikanan dalam Konferensi Tingkat Menteri di World Trade Organization (WTO). Penghapusan subsidi perikanan yang dibahas tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi nelayan kecil, karena subsidi untuk nelayan kecil di Indonesia merupakan mandat yang jelas dan tegas dari UU No. 7 Tahun 2016 sebagai bentuk perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan menjaga sistem pangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelas Susan.

Keseluruhan kebijakan dan peraturan yang ekstraktif dan eksploitatif tersebut berujung pada minimnya perlindungan atas hak asasi manusia serta penemuhan hak-hak sebagai warga negara bagi nelayan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Seharusnya momentum Hari Nelayan Nasional di 2024 menjadi titik balik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi yang menyeluruh, mencabut regulasi yang tidak berpihak kepada profesi nelayan kecil, menyusun perlindungan ruang tangkap tradisional, serta memberi pengakuan kepada perempuan nelayan akan menjadi satu terobosan dan langkah majuyang progresif dari Pemerintah Indonesia untuk perlindungan nelayan kecil. Hal itu karena 90% profesi nelayan di Indonesia merupakan nelayan kecil. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain berpihak dan melindungi nelayan kecil di Indonesia. Selamat Hari Nelayan 2024!” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

KERTAS KEBIJAKAN – Perempuan Nelayan Berhak Mendapatkan Perlindungan dan Pemberdayaan Dari Negara

Kertas Kebijakan

PEREMPUAN NELAYAN BERHAK MENDAPATKAN PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN DARI NEGARA

 

Mukadimah

Pada tahun 2015, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia kembali memasukkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada perkembangannya, judul RUU ini mengalami perubahan menjadi RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Di dalam draft RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam versi DPR-RI tertanggal 27 Agustus 2015, perempuan nelayan belum mendapatkan pengakuan politik atas hak-hak konstitusionalnya. Dampaknya, tidak ada skema khusus perlindungan maupun pemberdayaan bagi perempuan nelayan. Hal ini terlihat di dalam Pasal 9, “Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan disusun oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dan Kelembagaan termasuk perempuan dalam rumah tangga Nelayan, rumah tangga Pembudi Daya Ikan, dan rumah tangga Petambak Garam”.

Penyebutan “rumah tangga Nelayan”, “rumah tangga Pembudidaya Ikan”, dan “rumah tangga Petambak Garam” tidak mewakili kepentingan perempuan di 10.666 desa pesisir di Indonesia. Hal ini terlihat di dalam Pasal 9 ayat (1) draft RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam versi DPR-RI tertanggal 27 Agustus 2015 sebagai berikut: “Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan disusun oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dan Kelembagaan termasuk perempuan dalam rumah tangga Nelayan, rumah tangga Pembudi Daya Ikan, dan rumah tangga Petambak Garam”.

 

Peran Perempuan Nelayan

Keberadaan perempuan nelayan sangat penting di dalam aktivitas perikanan dan pergaraman. Pusat Data dan Informasi KIARA (November 2015) mencatat sedikitnya 48 persen pendapatan keluarga nelayan dikontribusikan oleh perempuan nelayan. Dalam pada itu, 17 jam dimanfaatkan perempuan nelayan untuk bekerja.

Fakta lain juga menunjukkan, sekitar 47 persen dari jumlah perempuan nelayan yang bekerja di bagian pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Demikian pula di usaha pergaraman, perempuan nelayan berperan penting, mulai dari membersihkan hingga mengakut garam yang diproduksi.

Menariknya, negara belum mengakui dan melindungi keberadaan dan peran perempuan nelayan. Kendati berkontribusi besar, nasib perempuan nelayan masih memprihatinkan. Pemberdayaan sangat minim. Padahal, mereka sangat berpotensi dalam memperkuat pilar penghidupan keluarga.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2014) juga mencatat sedikitnya 5,6 juta orang terlibat di dalam aktivitas perikanan. Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 3,9 juta orang adalah perempuan nelayan.

Dalam studi yang dilakukan oleh KIARA, ditemukan fakta bahwa perempuan nelayan sangat berperan di dalam rantai nilai ekonomi perikanan, mulai dari pra-produksi sampai dengan pemasaran. Pertama, pra-produksi. perempuan nelayan berperan dalam menyiapkan bekal melaut. Kedua, produksi. Sebagian kecil perempuan nelayan melaut. Ketiga, pengolahan. Perempuan nelayan berperan besar dalam mengolah hasil tangkapan ikan dan/atau sumber daya pesisir lainnya. Keempat, pemasaran. Peran perempuan nelayan amat sangat besar: mulai memilah, membersihkan, dan menjual.

Tak mengherankan jika rekomendasi PBB dalam Perundingan Perdagangan Ikan ke-14 oleh Komisi Perikanan FAO meminta kepada negara-negara anggotanya untuk: (1) Mengkaji peran perempuan nelayan di sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya; (2) Mendata jumlah dan sebaran perempuan nelayan; dan (3) Merumuskan aturan khusus untuk mengakui dan melindungi perempuan nelayan.

 

Baca selengkapnya unduh dengan pdf di : 

(  https://drive.google.com/file/d/1nqyn7HShf5PXsa0WPOce82vg0Vo3m9iH/view?usp=sharing  )

PULAU LEMBEH. Pulau Sejuta Pesona, Ditarik Tak Bersatu Dilepas Tak Berpisah

Pulau Lembeh, ada dimana dan apa yang menarik dengan Pulau ini ?
Menggunakan kata kunci Pulau Lembeh,
google searching akan menuntun kita menuju hal-hal terutama berkaitan dengan destinasi wisata dengan segala pesonanya.

Jika diukur menggunakan kemampuan ingatan saya, kira-kira awal tahun
2000 giat wisata di P. Lembeh mulai bergejolak. Dalam Peta Provinsi Sulawesi Utara berskala 1 : 400.000, penampakan Pulau ini tidak besar karena luasannya hanya sekitar 5.319 Ha. Menurut saya Pulau ini memang menarik dan sangat unik.

Kota Bitung akan sangat berbeda dengan yang kita lihat saat ini jika
seandainya P. Lembeh tidak ada. Satu bukanlah satu, daratan Kota Bitung dan P. Lembeh dalam hayalan saya bagai dua obyek yang saya istilahkan “
ditarik tak bersatu, dilepas tak berpisah”. Hal yang pasti, keterpisahan P. Lembeh dari daratan, menjadikannya berbeda dan unik, dalam banyak aspek.

Buku ini sangat sederhana, dibuat ringan untuk dibaca dan yang penting
mewakili cerita-cerita, ciri dan praktek kehidupan dalam masyarakat, serta
potensi sumber daya alam. Pembahasan dibuat sependek mungkin disertai
gambar-gambar yang sempat diperoleh dan dibuat. Semoga ada hal baru yangdiperoleh dari membaca buku ini, dan bagi yang telah membacanya akan muncul niat untuk datang berkunjung ke P. Lembeh. Jika ada suatu bagian dari isi buku ini yang dianggap kurang tepat atau keliru mohon dikoreksi dan tidak perlu dipertentangkan karena tidak ada maksud sama sekali untuk memaksakan suatu kebenaran lewat buku ini.

 

Selamat membaca,

Rignolda Djamaludin

 

Silahkan download buku Pulau Lembeh, Pulau Sejuta Pesona, Ditarik Tak Bersatu Dilepas Tak Berpisah di sini

Salam Keadilan Perikanan.

Symposium dan Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara

Symposium dan Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara

leaflet kegiatan-02

Symposium dan Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara

Symposium dan Festival Perempuan Nelayan Asia Tenggara

leaflet kegiatan-02

Dokumen FAO mengenai Perikanan dan Perubahan Iklim

[gview file=”http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2015/12/FAO_Fisheries_Climate_Change-1.pdf”]

SEGARA LARUNG

Sinopsis

Pergolakan batin Segara diawali dari persoalan para nelayan ibukota yang menuntut Dinas Kelautan dan Perikanan untuk membatalkan proyek reklamasi pantai yang pada akhirnya Segara harus dipindahkan ke suatu daerah di Nusa Tenggara Timur. Tidak hanya persoalan nelayan ibukota , dalam beberapa kesempatan Segara juga dihadapkan pada persoalan yang sulit, yaitu laporan kasus yang menimpa nelayan perempuan Demak , yaitu Nasiroh.

Nasiroh mengalami diskriminasi tidak boleh melaut karena dia adalah perempuan. Memang kasus yang menimpa Nasiroh tidak berdampak langsung pada negara dan keluarga, namun mengingatkan Segara pada kedua orangtuanya, yaitu Samudera dan Biru.

Konflik keluarga kemudian muncul , Segara berhadapan dengan Larung , istrinya dan juga kedua anaknya, Karang dan Intan. Setelah beberapa bulan bermukim di Lamalera konflik Segara tidak berhenti pada persoalan keluarga. Kali ini Segara harus melawan dirinya sendiri , yaitu antara menjadi PNS atau melaut bersama-sama nelayan-nelayan Lamalera.

Bagaimana cerita selanjutnya?

Saksikan Pertunjukan Teater Kafha dalam;

“SEGARA LARUNG”

Hari/Tanggal: Minggu, 27 September 2015

Pukul: 16.00 – 18.00

Tempat: Teater Bulungan, Jakarta

Siaran Pers Kasus Perbudakan Kapal Perikanan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Kasus Perbudakan Kapal Perikanan

KIARA: Perbudakan di Benjina Pelanggaran Berat,

Cabut Izin Pusaka Benjina Resources

 Jakarta, 13 April 2015. Kasus perbudakan yang dilakukan oleh PT. Pusaka Benjina Resources (PT. PBR) merupakan pelanggaran terhadap Alinea I Pembukaan, Pasal 28G ayat (2), Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvesi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Pemerintah harus melakukan penuntutan kepada PT. Pusaka Benjina Resources yang harus bertanggung jawab, baik secara pidana maupun perdata  terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh praktek perbudakan modern. Di samping itu, KIARA juga mendesak pencabutan izin usaha PT. PBR di Indonesia.

Kejahatan yang dilakukan oleh PT. Pusaka Benjina Resouces ini merupakan fenomena gunung es yang perlu segera diselesaikan. Praktek perbudakan dengan penggunaan Nakhoda dan ABK Asing merupakan modus pelaku pencurian ikan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan. Terlebih Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan menyatakan bahwa, “Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia”. Juga kewajiban mempekerjakan Nakhoda warga negara Indonesia dan 100% anak buak kapal (ABK) dengan kewarganegaraan Indonesia bagi setiap kapal perikanan di wilayah Indonesia (Pasal 35A ayat [1] UU Perikanan).

Praktek perbudakan ini akan berimbas terhadap produk perikanan asal Indonesia. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara anggota ASEAN harus mendorong kebijakan negara-negara di Asia Tenggara terkait dengan penyelesaian IUU Fishing. ASEAN telah memiliki Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices, including Combating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Region yang perlu didorong agar negara-negara anggotanya mengatur upaya penghapusan perbudakan, termasuk IUU Fishing, di tingkat nasional.

Praktek perbudakan yang dilakukan PT. PUSAKA BENJINA RESOURCES merupakan dampak buruk dari abainya negara terhadap praktek hubungan kerja antara Nakhoda dan ABK dengan pemilik kapal, termasuk pengusaha perikanan. Permasalahan ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah dengan mengatur hubungan kerja dengan empat prioritas utama sebagai berikut:

  1. Mewajibkan adanya perjanjian kerja antara ABK dengan pemilik kapal baik dengan pengusaha atau perusahaan perikanan yang melakukan kegiatan perikanan skala besar (>10 GT), termasuk menjadi bagian dalam perijinan kapal penangkap (SIPI) dan kapal pengangkut (SIKPI).
  2. Memastikan persyaratan minimum hak-hak pekerja atas kondisi kerja yang layak di kapal penangkap ikan berupa persyaratan minimum untuk bekerja di kapal; persyaratan pelayanan kepada ABK; akomodasi dan makanan; perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; perawatan kesehatan dan jaminan sosial.
  3. Pengakuan terhadap organisasi serikat pekerja dan organisasi nelayan yang akan terkait erat dengan perundingan kolektif mengenai upah minimum, peraturan dan standar minimum.
  4. Indonesia perlu untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, di +62 815 53100 259

Marthin Hadiwinata, Deputi Bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan, di +62812 860 30 453