Menteri Susi Akan Cabut Subsidi BBM, Nelayan Indonesia Megap-megap

Jakarta, 1 Agustus 2017: Kebijakan pemerintah yang mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi nelayan Indonesia, akan kian menyengsarakan nelayan. Kehidupan nelayan tradisional pun kian megap-megap.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Sekjen Kiara) Susan H Romica menyampaikan, pernyataan kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti yang akan mencabut subsidi BBM terhadap nelayan ini harus dikaji ulang kembali.

“Harus diingat bahwa 60 persen penghasilan nelayan tradisional itu digunakan untuk membeli Bahan Bakar Minyak (BBM), artinya jika subsidi dicabut akan berdampak meningkatnya biaya produksi nelayan dan membuat nelayan semakin sulit untuk sejahtera,” tutur Susan, di Jakarta, Selasa (01/08/2017).

Sulitnya kapal nelayan mendapatkan BBM Solar menjadi alasan bagi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti untuk meminta pihak PT Pertamina mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi para nelayan.

Menurut Susan, bukan kebijakan pemberian subsidi BBM terhadap nelayan yang bermasalah, melainkan tata niaga pemberian subsidi BBM yang masih belum terlaksana dengan baik. Salah satunya adalah dalam komposisi pengelolaan subsidi BBM, kebijakan yang dibuat tidak menguntungkan nelayan.

“Komposisinya selama ini adalah 97 persen untuk transportasi darat dan 3 persen untuk transportasi laut. Dari jumlah peruntukkan subsidi BBM untuk transportasi laut, hanya 2 persen saja yang diperuntukkan bagi nelayan,” ujarnya.

Dia mengatakan, setidaknya ada dua persoalan yang akan muncul jika subsidi BBM dicabut, pertama terpuruknya perekonomian nelayan dan kedua akan menyebabkan pelanggaran hak konstitusional masyarakat pesisir khususnya nelayan tradisional.

“Perlu diingat, nelayan adalah pengguna BBM yang paling terpukul jika BBM bersubsidi dicabut” ujar Susan H Romica.

Oleh karena itu, semestinya pemerintah Indonesia dapat memilih langkah cerdas berupa perbaikan tata niaga dari BBM Bersubsidi yang dibarengi dengan optimalisasi lini distribusi, salah satunya dengan merevitalisasi fungsi koperasi nelayan dan peyedia BBM untuk nelayan (SPDN) guna menghindari kesalahan peruntukan BBM bersubsidi.

Menteri Susi meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan untuk menghapuskan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi nelayan. Menurut Susi, saat ini nelayan sudah mampu membeli BBM non-subsidi.

Saat ini, kata Susi, nelayan sudah membeli solar dan bensin yang paling mahal. Maka dari itu, pencabutan subsidi BBM bagi nelayan harusnya tak menjadi masalah. Apalagi, sebenarnya pencabutan subsidi BBM bagi nelayan ini sudah direncanakan jauh-jauh hari.

“Saya akan ketemu Pak Jonan, nelayan tidak perlu subsidi karena nelayan sudah dapat 2 tak solar dan bensin termahal. Yang didapat nelayan kecil memang sudah termahal. Saya mohon ini bisa ditindaklanjuti,” ujar Susi di kantornya, Senin (31/7).

Lebih lanjut, ia yakin nelayan tidak akan keberatan karena ia mengklaim produksi ikan nasional sudah cukup melimpah, utamanya di wilayah Indonesia timur, perairan selatan Jawa, dan Sumatera bagian barat.

Hal ini didukung oleh data KKP yang menunjukkan bahwa produksi perikanan tahun 2016 mencapai 6,83 juta ton atau meningkat 4,75 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 6,52 juta ton.

Namun, sebagai kompensasinya, ia berharap PT Pertamina (Persero) mau meningkatkan ketersediaan BBM nelayan. Ketersediaan bahan bakar, lanjut Susi, selama ini memang menjadi momok bagi pengembangan wilayah-wilayah yang menjadi Sentra Perikanan dan Kelautan Terpadu (SPKT) di pulau-pulau terluar.

“Membangun pulau terluar itu kendalanya ada di energi. Kalau sudah ada energi, maka kami bisa buka distribusi ikan head to head ke hubungan gateway international. Daripada ikan dikirim dari Morotai ke Bitung, ke Makassar, lalu putar-putar tidak karuan,” ujarnya.

Adapun menurutnya, selama ini instansinya memang selalu mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi beban subsidi BBM. Selepas dilantik jadi menteri, ia berkisah mencabut subsidi BBM bagi kapal dengan ukuran di atas 30 Gross Tonne (GT) melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 13 Tahun 2015.

“Subsidi buang, yang penting availability BBM ada dimana-mana,” katanya.

Menurut data Pertamina, realisasi BBM bersubsidi bagi nelayan di tahun 2016 mencapai 1,2 juta kilo liter (kl). Realisasi ini menurun 19,46 persen dibandingkan angka tahun 2015 sebesar 1,49 juta kl.(JR)

 

Sumber: http://sinarkeadilan.com/2017/08/01/menteri-susi-akan-cabut-subsidi-bbm-nelayan-indonesia-megap-megap/

KIARA: Pencabutan BBM Bersubsidi Sengsarakan Nelayan Tradisional

Jakarta, 1 Agustus 2017 – Sulitnya kapal nelayan mendapatkan BBM Solar menjadi alasan bagi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti untuk meminta pihak PT Pertamina mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi para nelayan. Menanggapi pernyataan Susi ini, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan H Romica mengatakan, rencana Susi mencabut subsidi BBM nelayan perlu dikaji ulang.

“Harus diingat bahwa 60 persen penghasilan nelayan tradisional itu digunakan untuk membeli Bahan Bakar Minyak (BBM), artinya jika subsidi dicabut akan berdampak meningkatnya biaya produksi nelayan dan membuat nelayan semakin sulit untuk sejahtera,” kata Susan, di Jakarta, Selasa (1/8).

KIARA melihat bukan kebijakan pemberian subsidi BBM terhadap nelayan yang bermasalah, melainkan tata niaga pemberian subsidi BBM yang masih belum terlaksana dengan baik. Salah satunya adalah dalam komposisi pengelolaan subsidi BBM, kebijakan yang dibuat tidak menguntungkan nelayan.

Komposisinya selama ini adalah 97 persen untuk transportasi darat dan 3 persen untuk transportasi laut. Dari jumlah peruntukkan subsidi BBM untuk transportasi laut, hanya 2 persen saja yang diperuntukkan bagi nelayan.

“Setidaknya ada dua persoalan yang akan muncul jika subsidi BBM dicabut, pertama terpuruknya perekonomian nelayan dan kedua akan menyebabkan pelanggaran hak konstitusional masyarakat pesisir khususnya nelayan tradisional. Perlu diingat, nelayan adalah pengguna BBM yang paling terpukul jika BBM bersubsidi dicabut,” terang Susan.

KIARA menilai semestinya pemerintah Indonesia dapat memilih langkah cerdas berupa perbaikan tata niaga dari BBM Bersubsidi yang dibarengi dengan optimalisasi lini distribusi. “Salah satunya dengan merevitalisasi fungsi koperasi nelayan dan peyedia BBM untuk nelayan (SPDN) guna menghindari kesalahan peruntukan BBM bersubsidi,” pungkasnya.

Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, akan mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi para nelayan. Alasannya, selama ini nelayan sulit mendapatkan BBM solar untuk kapal mereka, apalagi untuk solar bersubsidi.

Menurut Susi yang dibutuhkan nelayan adalah stok solar yang memadai. “Keluhan nelayan kami itu tidak perlu subsidi. Kami perlu solar ada di mana-mana. Jadi tolong dicabut (subsidinya), tapi kembalikan solar ada di mana-mana karena nelayan membutuhkan. Itu permintaan kita kepada Pertamina,” ujar Susi, di Gedung Mina Bahari IV, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Gambir, Jakarta Pusat, Senin (31/7).

 

Sumber Berita: http://villagerspost.com/todays-feature/kiara-pencabutan-bbm-bersubsidi-sengsarakan-nelayan-tradisional/

Poros Maritim Tak Tentu Arah, Masyarakat Pesisir Terpinggirkan

Jakarta, – Janji pemerintahan Jokowi-JK untuk tidak lagi memunggungi bahkan untuk berjaya di laut yang diformulasikan dalam program Poros Maritim dinilai telah berjalan tak tentu arah dalam dua tahun berjalannya pemerintahan ini. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai, meski banyak lompatan besar dengan penegakan penangkapan ikan illegal dan perlindungan berupa asuransi di satu sisi, namun di sisi lain justru ada pembiaran perusakan dan perampasan ruang hidup dan hak konstitusional masyarakat pesisir.

Perhatian terhadap nelayan sebagai pilar utama Poros Maritim masih minim. Demikian catatan KIARA mencermati perjalanan Poros Maritim Jokowi-JK di tahun 2016.

“Berdasarkan catatan KIARA, pada tahun 2016 konflik ruang kelola laut dan pesisir masih marak. Telah terjadi 16 kasus reklamasi, 17 kasus privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil, 18 kasus pertambangan, serta 40 kasus penangkapan nelayan cantrang. Hal ini menggambarkan minimnya keberpihakan Negara terhadap masyarakat pesisir,” ungkap Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal KIARA M. Arman Manila, di Jakarta, Selasa (10/1).

Seperti diketahui, Jokowi menyatakan Indonesia akan menjadi Poros Maritim Dunia berdasarkan 5 pilar. Pertama, membangun kembali budaya maritim Indonesia. Kedua, menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama. Ketiga, memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.

Keempat, menerapkan diplomasi maritim, melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan. Kelima, membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

“Meski secara tegas dinyatakan, kelima pilar utama Poros Maritim, namun kelemahan dalam kebijakan, implementasi dan strategi pemerintah sangatlah nyata. Koordinasi dan harmonisasi kebijakan antar instansi, baik antar kementrian maupun antara pusat dan daerah, tidak terjadi di lapangan. Sehingga sangatlah wajar Poros Maritim menjadi tak tentu arah, bahkan seringkali dipakai alas an untuk semakin menyingkirkan masyarakat pesisir,” tambah Arman.

Salah satu yang paling menjadi sorotan adalah proyek-proyek reklamasi yang justru semakin meminggirkan masyarakat pesisir. Di Manado, Sulawesi Utara misalnya, masyarakat nelayan tradisional menolak keras program itu.

Nelayan Teluk Manado Sudirman Hililo mengatakan, perjalanan nelayan cukup panjang dalam menolak reklamasi yang akan menghilangkan ruang hidup mereka di Teluk Manado. Ironisnya sepanjang itulah intimidasi terus dilakukan oleh oknum aparat pendukung reklamasi.

“Kasus terbaru terjadi pada akhir Desember, lima orang nelayan, perempuan nelayan dan pendamping ditodong dengan senjata api di tempat kami biasa kumpul, tanpa ada alasan yang jelas. Ini menunjukkan, betapa minimnya perlindungan bagi nelayan dalam memperjuangkan pesisir dan laut yang menghidupi kami,” ujar Sudirman.

Kasus reklamasi dan pengurukan lahan tambak juga terjadi di kecamatan Tugu, Kota Semarang khususnya Pesisir Dukuh Tapak meskipun baru mengantongi izin prinsip hak penguasaan atas lahan yang diberikan oleh Walikota Semarang. “Semarang itu identik dengan banjir yang terjadi setiap tahun. Jika reklamasi terus dilakukan, bisa jadi Semarang akan tenggelam. Dapat dibayangkan dampak buruk yang akan terjadi jika tanah diuruk lalu ditimbun ke laut,” ujar Muchamad Aripin, Pelestari Ekosistem Pesisir Semarang, Jawa Tengah.

Hal senada disampaikan oleh Iwan, Nelayan Teluk Jakarta. Menurutnya, reklamasi berdampak buruk bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir di Teluk Jakarta. Ia menegaskan, proyek reklamasi tidak hanya terjadi di Teluk Jakarta tetapi juga terjadi di banyak wilayah pesisir di Indonesia. Untuk itu Iwan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan isu reklamasi menjadi perhatian bersama dan harus dihentikan secara permanen.

Pusat Data dan Informasi KIARA menyebutkan lebih dari 107.361 kepala keluarga nelayan terusir dari ruang hidupnya akibat reklamasi. Fakta ini menggambarkan maraknya perampasan ruang kelola masyarakat pesisir di Indonesia.

“Poros Maritim Jokowi-JK tak tentu arah ketika keluarga nelayan terusir dari lautnya sendiri. Hal ini diperburuk dengan belum diakuinya perempuan nelayan sebagai subjek hokum di perundang-undangan Indonesia. Sehingga mereka tidak mendapatkan dukungan yang mencukupi dari negara,” tambah M Arman Manila.

KIARA juga menemukan minimnya perlindungan Negara bagi pekerja perikanan, sehingga mereka rentan menjadi korban perbudakan di atas kapal. Menurut Pusat Data dan Informasi KIARA (2016), 92% persoalan dialami oleh ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan dan hanya 8% persoalan yang dialami oleh pekerja yang bekerja di kapal niaga.

“Pekerja perikanan di kapal asing dipaksa bekerja bisa sampai 20 jam perhari. Kami juga dipaksa memenuhi target penangkapan yaitu 20 ton untuk 3 bulan dan jika target tidak tercapai kami bisa dipukuli. Kami juga dipaksa untuk memberikan agunan kepada agensi, jadi kalau kami kabur agunan itu akan diambil oleh agensi,” ujar Slamet Susilo, pekerja perikanan asal Rembang.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, seyogyanya bisa menjadi sarana bagi masyarakat pesisir untuk sejahtera dan berdaulat atas hak konstitusionalnya. Janji menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang pernah disampaikan Presiden Jokowi Widodo pada pidato pelantikan Presiden 2014, harusnya dimulai dari pilar utamanya yakni nelayan, kemudian dengan memperbaiki terlebih dahulu kehidupan masyarakat pesisir di seluruh Indonesia.

“Sudah saatnya Pemerintah Republik Indonesia menggembalikan arah poros maritim sesuai dengan mandat yang diberikan oleh rakyat Indonesia. Presiden Jokowi harus berani mengevaluasi, bahkan menghentikan seluruh proyek pembangunan yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir,” tegas Arman. (*)

Sumber: http://villagerspost.com/todays-feature/poros-maritim-tak-tentu-arah-masyarakat-pesisir-terpinggirkan/

Dalam RAPBN 2017, KKP Alokasikan Anggaran Terbesar untuk Perikanan Tangkap

JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperoleh pagu indikatif sebesar Rp 10,76 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RPABN) 2017.

Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti menyatakan, pagu indikatif KKP 2017 tersebut lebih rendah Rp 405 miliar dibandingkan dengan anggaran KKP paska-RAPBNP 2016 yang sebesar Rp 11,16 triliun.

“Pagu indikatif KKP 2017 adalah Rp 10,76 triliun, terdiri dari 10 program pembangunan kelautan dan perikanan di mana anggaran terbesar pada pengelolaan perikanan tangkap dengan alokasi pagu Rp 2,2 triliun,” ucap Susi dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, Jakarta, Selasa (14/6/2016).

Susi merinci, anggaran sebesar Rp 2,2 triliun tersebut diperuntukkan antara lain menambah 2.500 unit kapal penangkap ikan, 10.000 unit alat tangkap ikan, 1 juta premi asuransi nelayan, 20.000 bidang sertifikasi tanah nelayan, 1.000 unit fasilitas konversi BBM ke BBG bagi kapal perikanan, dan program utama lain.

Adapun anggaran untuk perikanan budidaya dialokasikan sebesar Rp 1,25 triliun, yang akan diperuntukkan diantaranya 300 unit bantuan kebun bibit rumput laut, 125 juta ekor produksi benih ikan, 1,2 juta ekor produksi benih induk, 25 ekskavator, serta 220 bantuan kincir angin.

Susi juga menyampaikan, direktorat jenderal Peningkatan Daya Saing (PDS) memperoleh alokasi sebesar Rp 1,1 triliun.

Anggaran tersebut akan digunakan untuk bantuan 220 mesin penghancur es skala besar dan kecil, dua unit kapal angkut ikan hidup masing-masing 200 GT dan 300 GT, serta satu unit kapal pengolah ikan (kontrak tahun jamak, tahun kedua).

“PRL alokasi anggarannya Rp 1,2 triliun, diperuntukkan 300.000 penanaman mangrove di 40 kota penerima sarana usaha garam dan sarana pariwisata bahari di empat lokasi, serta 125 bantuan kelompok masyarakat konservasi,” imbuh Susi.

KKP juga mengalokasikan Rp 1,7 triliun dalam APBN 2017 untuk Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).

Anggaran tersebut akan digunakan antara lain, untuk pengadaan dua unit kapal pengawas ukuran 32 meter, 15 unit speed boat, pengawasan 150 hari layar operasi untuk 35 kapal, serta pesawat pengawas.

Sementara itu BPSDM-KP, Balitbang-KP, Sekjen dan Irjen mendapatkan alokasi anggaran sebesar masing-masing Rp 1,2 triliun, Rp 900 miliar, Rp 393 miliar dan Rp 82 miliar.

“BKIPM mendapat alokasi Rp 620 miliar, diperuntukkan antara lain identifikasi penyebaran penyakit ikan karantina di 273 lokasi, 33.500 sertifikasi kesehatan ikan ekspor, 155.000 sertifikasi kesehatan ikan domestik, 78.000 sertifikasi mutu produk ekspor kelautan perikanan,” pungkas Susi.

 

Penulis: Estu SuryowatiEditor: M.Fajar Marta
Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/06/14/170636626/dalam.rapbn.2017.kkp.alokasikan.anggaran.terbesar.untuk.perikanan.tangkap

Nelayan NTB Serahkan 8 Poin Rekomendasi Implementasi UU Perlindungan Nelayan

Jakarta, Villagerspost.com – Sedikitnya 75 orang nelayan dari 6 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat menyerahkan 8 poin rekomendasi implementasi UU No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Rekomendasi itu disusun dalam acara Rembuk Pesisir dan Seminar Nasional terkait Perlindungan Nelayan di Mataram, Lombok, 26-27 Oktober.

Acara itu dihelat oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN). Dalam kesempatan itu hadir para nelayan dari enam kabupaten/kota yaitu Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Sumbawa.

Direktur Eksekutif LPSDN Amin Abdullah mengatakan, 8 poin rekomendasi hasil Rembuk Pesisir itu telah diserahkan kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB Ir. Lalu Hamdi, M.Si. dan Direktur Jasa Kelautan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, KKP Drs. Riyanto Basuki. Harapannya, agar pemerintah pusat dan daerah untuk menyegerakan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam sebagai mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016.

“Tanpa kebijakan ini, kesejahteraan masyarakat pesisir hanya sebatas angan-angan,” kata Amin dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Kamis (27/10).

Adapun kedelapan rekomendasi itu adalah: Pertama, melakukan upaya penyelamatan lingkungan pesisir (hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun) serta langkah-langkah adaptif terhadap dampak perubahan iklim. Kedua, mengalokasikan APBN/APBD untuk penyediaan sarana dan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman yang bisa dipergunakan oleh nelayan, pembudidaya ikan, danpetambak garam di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Ketiga, memberantas praktik-praktik pungutan liar terkait Usaha Perikanan yang melibatkan oknum aparat dan penegak hukum di laut. Keempat, memfasilitasi akses permodalan dan pasar bagi aktivitas pengolahan dan pemasaran produk perikanan dan pergaraman yang dihasilkan oleh perempuan di dalam rumah tangga nelayan, rumah tangga pembudidaya ikan, dan rumah tangga petambak garam.

Kelima, melibatkan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di dalam penyusunan Rencana Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam di Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana diamanahkan di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016.

Keenam, pengelolaan anggaran di bidang kelautan dan perikanan harus memprioritaskan kepentingan dan melibatkan masyarakat pesisir (nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, dan pelestari ekosistem pesisir), mulai dari perencanaan sampai dengan pengawasannya di Provinsi Nusa Tenggara.

Ketujuh, program pengadaan kapal perikanan di Provinsi Nusa Tenggara Barat harus bisa dimanfaatkan secara optimal oleh koperasi nelayan sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan secara transparan dan adil.

Kedelapan, menyegerakan pembahasan peraturan pelaksana Undang-Undang No. 7 Tahun 2016, yaitu Peraturan Presiden Tentang Tata Cara Pemberian Subsidi kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; Peraturan Menteri Tentang Jenis Risiko Lain yang dihadapi Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; Peraturan Menteri Tentang Mekanisme Perlindungan atas Risiko yang dihadapi Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; dan Peraturan Pemerintah Tentang Pengawasan terhadap Kinerja Perencanaan dan Pelaksanaan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Amin menerangkan, kedelapan rekomendasi itu lahir dari beberapa kondisi faktual yang dialami nelayan di NTB. Pertama adalah terjadinya kerusakan lingkungan pesisir (hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun) sebagai akibat dari konversi hutan mangrove menjadi tambak udang dan penangkapan ikan yang menggunakan bom dan potasium, serta penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan.

Kemudian, adanya keterbatasan sarana dan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman yang dihadapi oleh nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ketiga, telah terjadi praktik pungutan liar terkait Usaha Perikanan yang melibatkan oknum aparat dan penegak hukum di laut.

Keempat, aktivitas pengolahan dan pemasaran produk perikanan yang dihasilkan oleh perempuan di dalam rumah tangga nelayan, rumah tangga pembudidaya ikan, dan rumah tangga petambak garam mengalami hambatan dikarenakan minimnya akses terhadap permodalan dan pasar, serta besarnya dominasi pemodal. “Masih banyak lagi kendala yang dialami nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam di NTB,” ujarnya.

Ini berbanding terbalik dengan sektor perikanan Nusa Tenggara Barat yang selama ini telah berkontribusi besar dalam produksi perikanan nasional. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat (2013) mencatat jumlah tangkapan ikan mencapai 142,187.4 ton.

Senada dengan itu, provinsi ini juga memiliki potensi budidaya laut, mulai dari kerang, mutiara, tiram, dan teripang. Besarnya potensi sumber daya kelautan dan perikanan terkadang tidak sebanding dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir lintas profesi (nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir).

Data Badan Pusat Statistik (2013) mencatat, sebanyak 22.075 rumah tangga nelayan dan 14.460 rumah tangga pembudidaya ikan tersebar di 10 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Fakta ini mendorong masyarakat sipil untuk menghadirkan negara dan memprioritaskan perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat pesisir.

Karena itu, dia menilai, pelaksanaan kedelapan rekomendasi perlindungan nelayan ini sangat penting. “Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyampaikan komitmennya untuk menindaklanjuti mandat UU tersebut saat menerima rekomendasi hasil Rembuk Pesisir,” tambah Amin Abdullah.

Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim mengatakan, pada perkembangannya, UU Perlindungan Nelayan belum memiliki peraturan pelaksananya sejak diundangkan 7 bulan yang lalu yaitu pada 15 Maret 2016. “Hanya Gubernur Aceh yang menyatakan komitmen secara tertulis untuk menindaklanjuti mandat undang-undang ini,” kata Halim.

Tindak lanjut itu diantaranya, dilakukan dengan membuat kebijakan turunan, melibatkan Panglima Laot, perwakilan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam dan mengalokasikan anggaran dalam memenuhi hak-hak dasar nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam demi kesejahteraan.

Halim mengatakan, dengan APBN sebesar Rp9,27 triliun pada tahun 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan mesti memfokuskan pengalokasian anggaran untuk melaksanakan skema perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. “Itu dimulai dari penyusunan peraturan pelaksana sampai dengan implementasi program di desa-desa pesisir terkait UU ini,” tegasnya.

KIARA dan LPSDN sendiri telah memfasilitasi terbentuknya Forum Komunikasi Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam Nusa Tenggara Barat. Forum ini bekerja untuk terlibat, memastikan, dan mengawal pelaksanaan mandat UU Perlindungan Nelayan bersama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan serta Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sumber: http://villagerspost.com/todays-feature/nelayan-ntb-serahkan-8-poin-rekomendasi-implementasi-uu-perlindungan-nelayan/

Industrialisasi Perlu Dipercepat

JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah kalangan menagih komitmen Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pembangunan industri perikanan nasional. Industri perikanan perlu segera dibangkitkan di tengah ketidakpastian iklim usaha.

Ketua Harian Asosiasi Industri Pengalengan Ikan Indonesia Adi Surya, di Jakarta, Senin (24/10), mengemukakan, kebijakan pemerintah untuk mempercepat industri perikanan nasional belum terlihat implementasinya.

Pada 22 Agustus 2016, Presiden Jokowi telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.

Menurut Adi, kebijakan itu belum diikuti dengan kepastian tenggat waktu, peta jalan, target, dan evaluasi kebijakan. “Sudah dua bulan berjalan belum terlihat secara konkret apa yang harus ditempuh. Industri harus apa, peta jalannya seperti apa,” kata Adi, di Jakarta, Senin (24/10).

Ia menambahkan, pelaku usaha berkewajiban menumbuhkan lapangan kerja, sedangkan pemerintah menyiapkan iklim kondusif. Akan tetapi, yang terjadi justru saling curiga antara pelaku usaha dan pemerintah yang berujung aksi mogok operasional pelaku usaha di beberapa wilayah, seperti Bitung (Sulawesi Utara), Benoa (Bali), dan Jakarta. Kondisi ini dikhawatirkan membahayakan iklim industri dan memicu deindustrialisasi perikanan.

“Pemerintah perlu mengurai dan mengevaluasi masalah ini sehingga pembangunan industri bisa berjalan cepat dan target tercapai,” kata Adi.

Dicontohkan, pemberlakuan kebijakan pemerintah terkait dengan pelarangan cantrang mulai akhir tahun 2016 dan pelarangan alih muatan kapal perlu segera diikuti dengan solusi konkret untuk membantu dan memfasilitasi penggantian alat tangkap cantrang serta jalan keluar untuk kapal pengangkut hasil tangkapan.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mendesak pemerintah memperjelas program pemberdayaan nelayan.

Bantuan kapal nelayan dan alat tangkap pengganti cantrang hingga kini belum terlihat hasilnya sekalipun pemerintah menargetkan pengadaan bantuan 1.719 kapal dan 4.000 alat tangkap cantrang tuntas pada tahun ini.

Sumber: Kompas, 25 Oktober 2016. Halaman 18

Industrialisasi Perlu Dipercepat

JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah kalangan menagih komitmen Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pembangunan industri perikanan nasional. Industri perikanan perlu segera dibangkitkan di tengah ketidakpastian iklim usaha.

Ketua Harian Asosiasi Industri Pengalengan Ikan Indonesia Adi Surya, di Jakarta, Senin (24/10), mengemukakan, kebijakan pemerintah untuk mempercepat industri perikanan nasional belum terlihat implementasinya.

Pada 22 Agustus 2016, Presiden Jokowi telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.

Menurut Adi, kebijakan itu belum diikuti dengan kepastian tenggat waktu, peta jalan, target, dan evaluasi kebijakan. “Sudah dua bulan berjalan belum terlihat secara konkret apa yang harus ditempuh. Industri harus apa, peta jalannya seperti apa,” kata Adi, di Jakarta, Senin (24/10).

Ia menambahkan, pelaku usaha berkewajiban menumbuhkan lapangan kerja, sedangkan pemerintah menyiapkan iklim kondusif. Akan tetapi, yang terjadi justru saling curiga antara pelaku usaha dan pemerintah yang berujung aksi mogok operasional pelaku usaha di beberapa wilayah, seperti Bitung (Sulawesi Utara), Benoa (Bali), dan Jakarta. Kondisi ini dikhawatirkan membahayakan iklim industri dan memicu deindustrialisasi perikanan.

“Pemerintah perlu mengurai dan mengevaluasi masalah ini sehingga pembangunan industri bisa berjalan cepat dan target tercapai,” kata Adi.

Dicontohkan, pemberlakuan kebijakan pemerintah terkait dengan pelarangan cantrang mulai akhir tahun 2016 dan pelarangan alih muatan kapal perlu segera diikuti dengan solusi konkret untuk membantu dan memfasilitasi penggantian alat tangkap cantrang serta jalan keluar untuk kapal pengangkut hasil tangkapan.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mendesak pemerintah memperjelas program pemberdayaan nelayan.

Bantuan kapal nelayan dan alat tangkap pengganti cantrang hingga kini belum terlihat hasilnya sekalipun pemerintah menargetkan pengadaan bantuan 1.719 kapal dan 4.000 alat tangkap cantrang tuntas pada tahun ini.

Sumber: Kompas, 25 Oktober 2016. Halaman 18

Kisruh Nelayan Berujung di Elite

JAKARTA, KOMPAS – Aksi mogok nelayan merefleksikan penanganan masalah perikanan yang berbenturan di antara para pejabat. Kasus ini merupakan refleksi permasalahan di tingkat elite yang merembet ke bawah.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (5/10), mengemukakan, mogoknya pelaku usaha terkesan menunjukkan adanya ketergantungan pada praktik perikanan yang tidak bertanggung jawab, seperti pemakaian alat sejenis pukat harimau dan alih muatan hasil tangkapan ikan di tengah laut (transshipment).

Polemik pelaku usaha perikanan makin meruncing karena perbedaan pandangan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman. Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah berupaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja usaha perikanan di dalam negeri. Sebaliknya, Kementerian Koordinator Kemaritiman mendukung dibuka lebarnya keran investasi, termasuk investasi asing.

“Di sinilah letak masalahnya,” ujar Halim. Terkait hal ini, pihaknya meminta Presiden Joko Widodo segera turun tangan.

Kisruh nelayan antara lain terlihat dari sejumlah masalah, yaitu beberapa pelaku usaha kapal cantrang di pantai utara Jawa serta pengusaha kapal ikan dan pabrik pengolahan ikan di Muara Baru Jakarta menyatakan berhenti beroperasi mulai 10 Oktober 2016. Langkah mogok serentak ini sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah di sektor perikanan yang dianggap merugikan pengusaha.

Ketua Paguyuban Pengusaha Perikanan Muara Baru Tachmid Widiasto Pusoro dan Koordinator Front Nelayan Bersatu Bambang Wicaksana, secara terpisah, di Jakarta, mengatakan, aksi mogok juga akan dilakukan Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) dan Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara (HNPN) selama sebulan.

Menurut Tachmid, penghentian kegiatan operasional pabrik pengolahan dipicu kebijakan Perum Perindo yang menaikkan tarif sewa lahan sebesar 460 persen, dari 236 juta menjadi Rp 1,558 miliar per hektar per tahun. Selain itu, Perum Perindo juga memperpendek jangka waktu sewa lahan dari 20 tahun menjadi 5 tahun sehingg tidak memberikan kepastian usaha.

Saat ini, ada sekitar 70 perusahaan pengolahan perikanan di kawasan Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta, yang dikelola BUMN perikanan, Perum Perindo.

Sementara itu, Bambang mengemukakan, penghentian operasi itu sebagai wujud protes atas perlakuan aparat keamanan laut yang dinilai mengkriminalisasi nelayan cantrang.

Di Sulawesi Utara, ratusan kapal penangkap dan penampung ikan melancarkan aksi mogok melaut terkait tuntutan penerapan kebijakan pemerintah mengenai percepatan industri perikanan.

Ketua Asosiasi Kapal Perikanan Nasional (AKPN) Sulawesi Utara Rudy Walukow dan Ketua Unit Pengolahan Ikan (UPI) Basmi Said mengatakan, aksi mogok nelayan sebagai bentuk protes terhadap sejumlah kebijakan bidang perikanan yang tidak pasti.

Secara terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, selama bertahun-tahun, pemasukan sewa dari Pelabuhan Nizam Zachman Muara Baru sangat minim dan pemerintah bahkan tidak bisa melakukan pengelolaan. Sudah saatnya pelabuhan perikanan ditata dan dikelola dengan benar.

Susi menambahkan, pihaknya berjanji memfasilitasi pemilik kapal cantrang dengan perbankan untuk memperoleh kredit penggantian alat tangkap. Kredit alat tangkap yang diberikan minimal Rp 200 juta. Pemakaian alat tangkap cantrang dilarang karena merusak.

“Pemilik kapal cantrang yang ingin berganti alat tangkap saya siapkan posko dari pukul 08.00 sampai pukul 16.00 di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan,” katanya.

Sementara pemilik kapal yang masih memiliki utang perbankan terkait pembelian cantrang pada masa lalu dapat merestrukturisasi utang lama hingga dua tahun, serta diberikan utang baru pembelian alat tangkap.

Namun, pihaknya mewajibkan pemilik kapal yang memanipulasi ukuran kapal dengan mengecilkan ukuran agar segera melakukan pengukuran ulang.

“Saya berharap pemilik cantrang memanfaatkan fasilitas ini. Bertambahnya ikan di mana-mana diharapkan diikuti pengelolaan perikanan yang semakin baik sehingga menguntungkan pemilik kapal dan nelayan,” kata Susi.

Susi mengatakan, pengukuran ulang kapal tidak akan dikenai biaya.

Sumber: Kompas, 6 Oktober 2016. Halaman 1 dan 15

350 Koperasi Terima Bantuan Kapal

JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah mendata 350 koperasi nelayan sebagai calon penerima 1.719 kapal bantuan senilai Rp 900 miliar untuk tahun 2016. Koperasi penerima bantuan itu terjaring dari 1.052 koperasi nelayan di Tanah Air.

Direktur Kenelayanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Syafril Fauzi, di Jakarta, Selasa (4/10), mengemukakan, program bantuan kapal tahap I menurut rencana disalurkan kepada 170 koperasi, sedangkan bantuan kapal tahap II direncanakan untuk 180 koperasi.

Ia menambahkan, jumlah koperasi yang telah diusulkan sebagai calon penerima bantuan kapal sebanyak 488 koperasi. Namun, pihaknya terus melakukan identifikasi dan verifikasi terhadap kelayakan koperasi-koperasi tersebut.

Tidak semua usulan koperasi penerima bantuan harus dipenuhi. Kami juga harus memperhitungkan sumber daya ikan,” ujar Syafril.

Bantuan 1.719 kapal untuk koperasi nelayan meliputi 18 kapal berukuran 30 gros ton (GT), 73 kapal ukuran 20 GT, dan 1.628 kapal ukuran 3-10 GT. Pemerintah menetapkan 25 jenis desain kapal dengan mempertimbangkan model kapal nelayan di daerah. Kapal-kapal ikan diupayakan dibangun mendekati lokasi galangan kapal. Hingga kini, ada 80 galangan kapal yang mengikuti penawaran pengadaan kapal ikan lewat katalog eletronik (e-katalog).

Menurut Syafril, koperasi nelayan yang telah memenuhi standar kelayakan penerima bantuan kapal tetapi belum mendapatkan kapal pada tahun ini akan dicadangkan untuk penerimaan bantuan kapal pada tahun 2017.

Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, program ini dikhawatirkan membuat proyek tersebut berjalan serampangan pada tiga bulan terakhir tahun 2016. Ia mengingatkan pemerintah agar tidak sekadar mengejar target proyek.

Sumber: Kompas, 5 Oktober 2016. Halaman 17

Jumlah Kapal Dipangkas: Anggaran Berkurang dari Rp 1,9 Triliun Jadi Rp 900 Miliar

JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Kelautan dan Perikanan memangkas pengadaan kapal bantuan untuk koperasi nelayan dari 3.450 kapal menjadi 1.719 kapal. Anggaran pengadaan kapal juga dipotong dari Rp 1,9 triliun menjadi kisaran Rp 800 miliar-Rp 900 miliar.

Adapun pembangunan kapal yang semula dijadwalkan dimulai pada awal Agustus 2016 ditunda menjadi September 2016. Proses pengerjaan kapal yang mundur ini membuat target penyelesaian pengadaan kapal juga molor dari November 2016 menjadi Desember 2016.

“Target (pengadaan) dievaluasi lagi karena ada pemotongan anggaran kementerian. Di samping itu, kami tidak ingin memaksakan proses lelang yang nantinya malah tidak selesai,” ujar Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Minhadi Noer Sjamsu di Jakarta, Minggu (2/10).

Sebanyak 1.719 kapal yang akan diadakan KKP itu terdiri dari 18 kapal berukuran 30 gross ton (GT), 73 kapal berukuran 20 GT, dan 1.628 kapal berukuran 3-10 GT. Pengadaan kapal dilakukan melalui katalog elektronik (e-katalog) yang terbagi dalam tiga tahap.

Pada tahap I lelang pengadaan kapal, realisasi 500 kapal dari target 931 kapal.

Hingga saat ini, ada 80 galangan kapal yang mengikuti penawaran pengadaan kapal ikan melalui e-katalog. Pemerintah menetapkan 25 jenis desain kapal dengan mempertimbangkan model kapal nelayan di daerah. Kapal-kapal ikan ini diupayakan untuk dibangun di galangan kapal yang dekat dengan lokasi penyebaran kapal nantinya.

Adapun biaya pengadaan kapal berukuran 30 GT sekitar Rp 1,7 miliar per unit, sedangkan kapal ukuran 3 GT Rp 50 juta-Rp 60 juta per unit. Biaya pengadaan kapal ini bisa lebih besar untuk wilayah di luar Jawa. Sebab, sebagian besar material kapal dipasok dari Jawa.

Kendala

Menurut Minhadi, masih ada kendala pengadaan kapal, antara lain sanggahan dari galangan kapal. Oleh karena itu, pihaknya akan mengevaluasi kondisi tersebut.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengemukakan, penurunan target pengadaan kapal menunjukkan bahwa KKP tidak memiliki strategi besar. Strategi ini berkenaan dengan upaya KKP memberdayakan masyarakat nelayan.

Kiara mengkhawatirkan proyek pengadaan kapal yang tidak disiapkan dengan matang akan berjalan serampangan. Pada akhirnya, hal itu justru merugikan masyarakat nelayan penerima bantuan.

“Pemerintah perlu mawas diri berkenaan dengan penetapan target-target di bidang pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya pemberdayaan masyarakat nelayan. Perlu kajian secara matang dan mendalam untuk proyek semacam ini daripada menyebut angka-angka yang bombastis,” ujarnya.

Sumber: Kompas, 3 Oktober 2016. Halaman 18