Terbitnya Sertipikat HGB dan HM di Laut Desa Kohod Dengan Skema Pencatutan Nama, KIARA: Terangnya Proses Mal-administrasi Berimplikasi Pidana, Minim dan Lemahnya Penindakan serta Penegakan Hukum di 100 Hari Presiden Prabowo!

 

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Terbitnya Sertipikat HGB dan HM di Laut Desa Kohod Dengan Skema Pencatutan Nama, KIARA: Terangnya Proses Mal-administrasi Berimplikasi Pidana, Minim dan Lemahnya Penindakan serta Penegakan Hukum di 100 Hari Presiden Prabowo!

 

Jakarta, 28 Januari 2025 – Terbitnya hak atas tanah di perairan laut yang telah dipasang pagar bambu dengan jenis Hak Milik (HM) dan Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang adalah proses mal-administrasi dengan implikasi tindak pidana yang diduga dilakukan oleh aparatur desa maupun kantor pertanahan Kabupaten Tangerang. Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan perhitungan denda Rp 18 juta per kilometer atas pelanggaran pemagaran laut tersebut. KKP berdalih bahwa perhitungan denda tersebut mengacu dan didasarkan pada perhitungan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa perhitungan tersebut semakin menunjukkan bahwa sikap KKP tidak serius dalam menindak pelaku perusakan perairan laut dengan cara pemagaran bambu di laut. “Saat ini KKP telah menetapkan denda 18 juta per kilometer terhadap pemasangan pagar bambu yang terjadi di perairan Kabupaten Tangerang, ironisnya pasca KKP menyegel pagar laut di 9 Januari 2025 hingga sampai saat ini tidak ada pengungkapan siapa dalang dan juga aktor intelektual dari pagar laut tersebut. Padahal terdapat pihak-pihak yang diduga pelaku baik aktor lapangan maupun aktor intelektualnya telah diketahui masyarakat lokal. Bahkan siapa aktor yang akan diuntungkan dari seluruh proses ini, maka akan mengerucut kepada aktor intelektualnya,” tegas Susan.

Susan menambahkan bahwa bukti lain ketidakseriusan KKP adalah penetapan denda yang hanya menggunakan satu instrumen PP No. 85/2021 dalam penghitungan denda atas kerugian negara dari adanya pemasangan pagar laut tersebut. “KKP telah menetapkan denda sebesar Rp 18 juta per kilometer, denda tersebut jauh lebih ringan dan murah dari pada harga bambu tersebut. Hal seperti inilah yang membuat pelaku perusakan laut, pesisir maupun pulau kecil tidak jera dan tidak menimbulkan efek menakutkan bagi pelaku tersebut serta pelaku lainnya. Jika dikalkulasikan denda Rp 18 juta per km dengan total panjang pagar laut adalah ±31 km, maka total denda yang akan dibebankan hanya Rp 558 juta. Jelas denda tersebut tak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh nelayan yang ditaksir Ombudsman RI sebesar Rp 7,7 miliar per bulan. Sehingga secara tidak langsung KKP menegaskan kepada seluruh korporasi bahwa KKP tidak akan menindak tegas dan tidak akan mengungkap pelaku perusak laut, pesisir dan pulau kecil. Lebih jauh jika perairan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil rusak tidak menjadi persoalan serius, karena negara akan mendapat PNBP dari dendanya. Hari ini yang menjadi pertanyaan di publik adalah apakah KKP maupun menterinya diduga terlibat dalam pemagaran laut ini?” tanya Susan.

Selain ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri KP dalam mengungkap dan menindak pelaku pemagaran laut, ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri ATR/BPN dalam mengungkap aktor pelaku baik ditingkat pemerintah desa maupun aktor pelaku di kantor pertanahan Kab. Tangerang yang telah menerbitkan Sertipikat HM (SHM) dan Sertipikat HGB (SHGB) di perairan laut Kab. Tangerang. “Telah terang dan jelas bahwa SHM dan SHGB ini terdapat di Desa Kohod dan diduga melibatkan aparatur desa setempat serta Kantor Pertanahan Tangerang, hingga sertipikat tersebut diterbitkan. Atas terbitnya SHM dan HGB tersebut, seharusnya pihak penegak hukum baik Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, bahkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di ATR/BPN dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan atas hal tersebut. Bahkan sudah ada pengakuan dari warga yang namanya dicatut sebagai salah satu pemilik dari sertipikat hak atas tanah di laut tersebut. Pencatutan nama adalah kejahatan serius dan harus diungkap dan ditindak oleh penegak hukum, karena hal tersebut merupakan tindakan pidana. Akan tetapi hingga sampai saat ini tidak ada kejelasan terkait siapa pihak pelaku penerbitan SHM dan SHGB ini. Proses ini harus dibuka ke publik sehingga transparan dan tidak ada pihak yang diduga dilindungi atas kejahatan hukum ini,” tegas Susan.

Dari beberapa kasus yang KIARA dampingi, KKP diduga melegitimasi kegiatan ekstraktif dan eksploitatif oleh korporasi di laut melalui penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut atau PKKPRL. Ironisnya, lewat PKKPRL, perusahaan yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang laut dengan aktifitas ekstraktif serta eksploitatif hanya dikenakan sebatas sanksi administratif. Dengan kata lain, rangkaian penerapan kebijakan dari pemberlakuan sanksi administratif dan penerbitan PKKPRL untuk pelanggar Pasal 35 UU No. UU No 27/2007 Jo UU No. 1/2014 yang diubah terakhir UU No. 6/2023 (Omnibus Law) telah melegalkan hal yang ilegal. Sekali lagi, artinya Menteri KKP berpihak kepada para pelaku pengerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil.

KIARA melihat ketidakseriusan dan ketidaktegasan baik dalam konteks pengungkapan pelaku dan penentuan dasar denda pemagaran laut oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri ATR/BPN dalam mengungkap dan menindak aktor aparat desa dan aktor di kantor pertanahan Kab. Tangerang menjadi catatan tidak kompetennya Menteri KKP dan ATR/BPN hingga catatan merah buruknya penegakan hukum di 100 hari Presiden Prabowo,” tutup Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Pasca Kunjungan Dua Kementerian ke Pulau Pari, Tidak Ada Tindakan Hukum Serius Kepada Korporasi Yang Merusak dan Berupaya Memprivatisasi Pulau di Gugusan Pulau Pari

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pasca Kunjungan Dua Kementerian ke Pulau Pari, Tidak Ada Tindakan Hukum Serius Kepada Korporasi Yang Merusak dan Berupaya Memprivatisasi Pulau di Gugusan Pulau Pari

 

Jakarta, 26 Januari 2025 – Pada tanggal 20 Januari 2025, perwakilan pihak dari Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berkunjung ke Gugus Pulau Pari, salah satunya adalah mengunjungi Pulau Biawak yang ada di Gugus Pulau Pari. Kunjungan kembali dilakukan pada tanggal 21-23 Januari 2025 oleh perwakilan Kementerian dan Menteri Lingkungan Hidup didampingi oleh Dinas Lingkungan Hidup yang datang ke Pulau Pari. Dalam kunjungan Kementerian tersebut, Menteri Lingkungan Hidup telah mendirikan papan peringatan bahwa area Pulau Biawak dalam pengawasan pejabat pengawas lingkungan hidup. Ironis nya, pasca kepulangan kedua kementerian tersebut, tepatnya pada tanggal 24 Januari 2025, pengembang masih melangsungkan pembangunan di Pulau Biawak tersebut.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa di tahun 2023 dan 2024, warga Pulau Pari yang tergabung dalam Forum Peduli Pulau Pari telah menyurati KKP dan telah meminta pertemuan atau audiensi ke KKP, akan tetapi tidak pernah direspon oleh KKP. Sampai saat ini nelayan dan perempuan nelayan dari Pulau Pari masih belum bisa bertemu dengan KKP.

 “KIARA melihat bahwa apa yang terjadi saat ini di Pulau Pari merupakan tindakan kelalaian yang disengaja yang dilakukan oleh KKP, bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan telah melakukan pembiaran perusakan perairan untuk reklamasi dan perusakan lainnya di gugus perairan Pulau Pari. Bahkan kondisi terbaru, perwakilan warga Pulau Pari telah mengadukan perusakan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove yang ada di Gudus Lempeng akibat dari keluarnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dikeluarkan oleh atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” tegas Susan.

Hal senada disampaikan oleh perwakilan Kelompok Perempuan Pulau Pari, Asmania, yang menyatakan bahwa perusakan lingkungan laut yang ada di Pulau Pari telah berlangsung lama. Bahkan hal ini telah lama disampaikan oleh warga Pulau Pari tapi tidak pernah direspon oleh KKP. “Berbagai perusakan ekosistem kelautan sudah berlangsung lama di Gugusan Pulau Pari. Mulai dari perluasan daratan Pulau Tengah dengan cara reklamasi dan menyedot pasir laut yang ada di sekitarnya, pembangunan Pulau Biawak, hingga rencana pembangunan resort apung dan dermaga yang ada di Gudus Lempeng. Saat ini warga Pulau Pari tidak hanya berjuang melawan perampasan tanah di Pulau Pari itu sendiri, akan tetapi berbagai korporasi lain tengah merampas tanah dan laut kami di gugusan Pulau Pari ini. Tambak ikan warga jadi gagal panen, rumput laut yang tidak produktif lagi, hasil tangkapan ikan nelayan yang menurun, hingga kami tidak bisa lagi melintas dan mengakses laut di perairan Pulau Tengah dan di Pulau Biawak akibat dilarang oleh korporasi atau pengembangnya. Bahkan laut di Pulau Biawak dijadikan jembatan yang membuat kami tidak bisa melintasi laut itu,” jelas Asmania.

Berdasarkan kajian dengan menggunakan metode digitasi manual dengan menggunakan citra Sentinel 2A & 2B yang telah dilakukan oleh KIARA bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), luas daratan Pulau Biawak telah bertambah ± 0,9 hektar area (ha) sejak 2016 hingga 2024. Pertambahan luas daratan tersebut berbanding lurus dengan berkurangnya/degradasi luas mangrove sebesar ±0,21 ha yang ada di pulau tersebut. Secara lebih rinci dapat dilihat melalui Tabel sebagai berikut:

Tabel Pertambahan Luas Daratan dan Degradasi Mangrove di Pulau Biawak

Tahun

Luas Daratan

(Ha)

Luas Mangrove

(Ha)

2016

0,47

0,66

2024

1,37

0,45

Perubahan Luas

0,9

– 0,21

Sumber: Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif & KIARA (2025)

Salah satu catatan penting dari hadirnya dua kementerian tersebut di Pulau Pari adalah adanya pilih bulu dalam penindakannya dan hanya menyasar pada perusakan yang tidak memiliki perizinan seperti yang terjadi di Pulau Biawak. Akan tetapi tidak melihat permasalahan yang terjadi di gugusan Pulau Pari secara menyeluruh. Hal tersebut dapat dilihat bahwa kunjungan dua kementerian tersebut tidak menindak korporasi yang secara de facto telah melakukan reklamasi untuk perluasan daratan yang mendegradasi area terumbu karang, mangrove dan lamun yang ada di daratan maupun perairan Pulau Tengah.

KIARA dan FP3 menilai pengerukan laut yang tengah dilakukan oleh eskavator di Gudus Lempeng yang PKKPRL-nya telah dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Investasi/BKPM. Sehingga dugaan awal bahwa upaya yang tengah dilakukan oleh KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup hanya bersifat simbolis semata dan upaya untuk mendorong perusakan ekosistem laut dan pulau kecil ke arah sanksi administratif, dan mewajibkan korporasi perusak lingkungan untuk mengurus Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sehingga negara akan mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Praktik-praktik tersebut telah terjadi di berbagai lokasi laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Sekedar memberi contoh KKP telah melakukan ini kepada kapal Vox Maxima yang mengeruk pasir laut di sekitar perairan Pulau Tunda, Banten. KKP juga pernah melakukan hal yang serupa di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara saat PT GKP menimbun Pantai dan laut untuk membangun Terminal Khusus yang alokasi pemanfaatan ruangnya bahkan tidak ada dalam RTRW Kabupaten maupun Provinsi.

Seharusnya KKP dalam melakukan pengawasan harus memperhatikan larangan secara langsung dan tidak langsung kepada setiap orang yang melakukan pemanfaatan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 27/2007 yang hingga saat ini masih berlaku. Sayangnya, Omnibus Law telah melemahkan UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1 tahun 2014, sehingga KKP selalu berdalih dengan terus menyatakan hanya dapat melakukan sanksi administratif atas pelanggaran yang terjadi. Lebih jauh jika terjadi pelanggaran dalam pasal 35 UU No. 27/2007 tetapi korporasi telah mendapat PKKPRL, maka ketentuan pidana dalam pasal 75 UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1/2014 dan terakhir diubah dalam Omnibus Law tidak dapat diberlakukan. 

Tindakan yang dilakukan oleh KKP tersebut tidak menimbulkan efek jera terhadap perusahaan yang merusak wilayah pesisir dan laut. “KIARA melihat ketidakseriusan yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melindungi ekosistem penting maupun esensial yang ada di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Bahkan untuk menindak perusahaan perusak lingkungan, yang melakukan privatisasi laut dan pulau seperti yang terjadi pada pemagaran laut di kabupaten Tangerang saja KKP tidak mampu. Ini menjadi bukti kepada seluruh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini tidak kompeten dalam menindak perusak laut dan tidak kompeten dalam melindungi sosial ekologi di wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Momentum ini seharusnya menjadi penting bagi Presiden untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan transparan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan dan KKP. Sehingga ada perubahan nyata dan konkret di tubuh KKP itu sendiri, dan tidak lagi mengeluarkan kebijakan seperti ekspor benih benur lobster, pengerukan pasir laut dengan dalih pengelolaan sedimentasi, reklamasi, hingga kebijakan KKPRL yang tidak berpihak kepada kehidupan nelayan kecil dan juga keberlanjutan ekologi yang ada di pesisir, laut, dan pulau kecil di Indonesia. Sudah saatnya Presiden memilih Menteri yang kompeten dalam mengurus kelautan dan perikanan Indonesia,” tutup Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

 

 

HGB & SHM Telah Terbit Dalam Pagar Laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan Legalisasi Privatisasi Laut Oleh ATR/BPN dan KKP

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

HGB & SHM Telah Terbit Dalam Pagar Laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan Legalisasi Privatisasi Laut Oleh ATR/BPN dan KKP

 

Jakarta, 21 Januari 2025 – Pada 10 Januari 2024, KKP telah melakukan penyegelan terhadap pagar laut yang berlokasi dan melintas di perairan 6 Kecamatan di Tangerang. Akan tetapi, hingga 20 Januari 2025 KKP belum berhasil untuk mengungkap pelaku dan pemilik pemagaran laut yang meresahkan nelayan kecil dan tradisional di 6 kecamatan tersebut. Padahal pemagaran laut tersebut telah merugikan nelayan kecil dan tradisional yang telah memanfaatkan perairan tersebut sebagai ruang produksi mereka dengan komoditas ikan, rajungan dan juga rebon.

Pasca terjadinya pemagaran laut sepanjang 30,16 km di perairan kabupaten Tangerang, pemagaran laut juga terjadi di perairan Kabupaten Bekasi yang mencapai 2 km, dan juga pemagaran laut yang terjadi di perairan Pulau C di perairan Jakarta Utara dengan jarak mencapai 500 meter. Dari ketiga lokasi tersebut, terdapat pola yang sama dan dengan menggunakan peralatan yang sama yaitu bambu yang disertai dengan pemberat.

Selain permasalahan tentang pagar laut di 3 tempat tersebut, ternyata disebagian perairan di Kabupaten Tangerang yang telah dipagari laut tersebut, tepatnya di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji telah diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) dan juga Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Menteri ATR/BPN saat ini telah membenarkan bahwa Kementerian ATR/BPN telah mengeluarkan HGB sebanyak 263 bidang laut dan SHM sebanyak 17 bidang dengan total mencapai ± 1 juta meter persegi atau 100 hektare (ha), dengan rincian sebagai berikut:

Aktor Jumlah HGB
PT Intan Agung Makmur 234 bidang
PT Cahaya Inti Sentosa 20 bidang
Perorangan (data belum dibuka ATR/BPN) 9 bidang

Sumber: Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (2025)

Dari hasil penelusuran KIARA pada situs BHUMI atrbpn milik Kementerian ATR/BPN, dengan berdasarkan garis pantai pada peta desa dari Badan Informasi Geospasial (BIG) maka terdapat persil-persil tanah di laut seluas ±515,77 ha atau lebih dari 5 juta meter persegi. Seluruh persil-persil tanah yang berada di atas laut tersebut posisinya ada di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakishaji, Kabupaten Tangerang. Luas hasil penelusuran ini 5 kali lipat dari pernyataan Menteri ATR BPN yang menyatakan hanya terdapat ± 1 juta meter persegi  luas bidang tanah tersertifikat di atas laut. Proses yang berlangsung dari mulai pemagaran hingga pendaftaran tanah ini patut diduga merupakan proses komodifikasi dengan mengubah laut menjadi daratan, yang selanjutnya akan dilakukan privatisasi atas ruang daratan yang telah terbentuk oleh aktor dan pihak tertentu.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa ada dugaan kuat bahwa pemagaran laut yang ada di Kabupaten Tangerang tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan HGB dan SHM yang berada di dalam pagar laut tersebut. “Dari penelusuan yang telah dilakukan, PT Cahaya Inti Sentosa merupakan salah satu pemegang saham di PT Pantai Indah Kapuk Dua, sedangkan PT Intan Agung Makmur memiliki kantor utama yang berada digedung yang sama dengan PIK 2. Sehingga hal ini tidak dapat dipisahkan karena relasi yang sangat erat antara kedua perusahaan tersebut dengan PIK 2, bahkan hal ini diduga berkaitan dengan PSN PIK 2,” jelas Susan.

Selain itu, Susan menambahkan bahwa hasil penelusuran di Kecamatan Kramat dan juga Kecamatan Mauk, nelayan kecil menyebutkan bahwa pemagaran laut tersebut diduga untuk perluasan kawasan PIK 2 yang akan menimbun ataupun mereklamasi laut sebagai bagian dari perluasannya. “Temuan KIARA di lapangan mendapatkan informasi dari pengaduan langsung dari nelayan kecil. Informasi dan dugaaan tersebut didapatkan nelayan ketika proyek pemagaran laut ini sedang berjalan tahun lalu. Kami menduga bahwa hal ini adalah proyek besar karena membutuhkan pendanaan yang besar untuk dapat membuat pagar laut sepanjang 30,16 km. Pemagaran laut ini bukan sekedar pekerjaan sehari semalam, akan tetapi melibatkan berbagai pihak terkait. Saat hal ini mulai viral, maka seluruh pihak mengatakan ketidaktahuannya sebagai bentuk cuci tangan,” tegas Susan.

Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan KIARA bahwa tidak ada perubahan yang signifikan yang disebabkan abrasi di wilayah pesisir Desa Kohod, sehingga dalil bahwa pemagaran laut ini untuk menanggulangi abrasi itu adalah kekeliruan. Penelusuran tersebut dilakukan sejak tahun 1985 hingga 2024, sehingga penerbitan HGB dan SHM di atas laut tersebut telah jelas bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang telah membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3). KIARA bersama jaringan masyarakat sipil lainnya telah menggugat HP3 tersebut dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa adanya HGB, HGU, SHM maupun perizinan lainnya yang diberikan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Investasi maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada perorangan maupun korporasi merupakan bentuk nyata dari hidupnya kembali HP3 atau neo-HP3. Kepemilikan hak individu maupun korporasi adalah neo-HP3 dan merupakan bentuk privatisasi laut atau saat ini disebut sebagai perampasan ruang laut (ocean grabbing). Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 UU No. 27 Tahun 2007 yang dibatalkan MK karena bertentangan dengan UUD 1945. KIARA menyebutkan bahwa atas pembatalan HP3, maka: 1)  sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak boleh diprivatisasi, baik perorangan maupun kelompok/korporasi; 2) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 di laut oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, dan melanggar prinsip demokrasi ekonomi; 3) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 mengakibatkan wilayah perairan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar; dan 4) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 menyebabkan privatisasi laut yang berdampak pada pengusiran/marginalisasi nelayan kecil dan tradisional yang memanfaatkan laut sebagai ruang hidupnya.

KIARA menilai bahwa Menteri ATR/BPN telah melampaui kewenangannya untuk menerbitkan hak kepemilikan berupa HGB dan SHM di atas laut. “Pelaku maupun pihak yang terkait lainnya baik atasannya maupun menteri ATR/BPN yang diduga terlibat penerbitan HGB dan SHM ini harus ditindak diusut tegas dan transparan sehingga peristiwa hukum ini tidak terulang dimasa depan. Hal ini adalah tindak pidana penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan hak atas tanah di laut!” tegas Susan.

KIARA melihat bahwa saat ini HP3 tersebut bertransformasi menjadi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (PKKPRL) yang menjadi alat dan semakin melegitimasi privatisasi laut dan perampasan ruang laut dari nelayan yang seharusnya menjadi right holders atas ruang pesisir, laut dan pulau kecil. Konflik yang diciptakan akibat PKKPRL ini telah nyata terjadi di Pulau Pari untuk pembangunan cottage apung dan dermaga dan Manado Utara yang ruang lautnya akan direklamasi menjadi darat. Sehingga sejauh ini kami menduga bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengerti tentang pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil dan seharusnya malu dan mundur dari Menteri karena melegitimasi perampasan ruang laut. Bahkan untuk menindak pemagaran laut saja KKP tidak berani mengungkapkan identitas pihak-pihak yang terkait maupun menindaknya ke jalur hukum,” tegas Susan.(*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Pemagaran Laut di Kabupaten Tangerang, KIARA: Bentuk Pembiaran dan Tidak Adanya Penindakan Serius oleh KKP!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pemagaran Laut di Kabupaten Tangerang, KIARA: Bentuk Pembiaran dan Tidak Adanya Penindakan Serius oleh KKP!

 

 

Jakarta, 10 Januari 2025 – Mengawali tahun 2025, publik dihebohkan dengan adanya pagar diduga sepanjang 30,16 km yang terletak di perairan laut di Kabupaten Tangerang. Pagar yang diduga sepanjang 30,16 km di Kab. Tangerang tersebut melintas di 6 Kecamatan yaitu, Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Telukanaga. Pemagaran laut ini dilakukan dengan menggunakan bambu, paranet, dan juga pemberat berupa karung berisi pasir. Merespon pemagaran laut di Kab. Tangerang tersebut, berbagai Kementerian dan Lembaga negara terkait telah menyatakan ketidaktahuan dan tidak adanya izin yang mereka keluarkan berkaitan dengan pemagaran laut tersebut.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA – Susan Herawati – menyatakan bahwa pemasangan pagar sepanjang 30,16 km yang mencakup 6 kecamatan di Kab. Tangerang tersebut merupakan bentuk awal dimulainya privatisasi laut, di mana wilayah perairan tersebut akan dijadikan sebagai perairan privat untuk berbagai kepentingan seperti reklamasi maupun pertambakan. “KIARA melihat ini adalah bentuk awal dari perampasan ruang laut. Jika di check melalui Perda Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten – atau yang disebut sebagai Perda RTRW Banten yang terintegrasi – status pemanfaatan zona ini beberapa diantaranya adalah perikanan tangkap, dan perikanan budidaya. Akan tetapi, Perda tersebut juga memiliki berbagai masalah seperti tidak adanya pelibatan dan partisipasi penuh dan bermakna dari Masyarakat Pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan kecil dan tradisional, serta pembudidaya ikan kecil, sehingga pengetahuan dan ruang-ruang yang mereka kelola tidak diakui oleh negara,” tegas Susan.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan KIARA, disebutkan bahwa informasi tentang pemagaran laut tersebut telah diketahui oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten sejak 14 Agustus 2024 lalu. Hingga pada 4-5 September 2024 Tim DKP bersama Polisi Khusus (Polsus) dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meninjau lokasi perairan pemagaran laut[1]. “Sehingga dari rentang waktu bulan Agustus atau September 2024 hingga Januari 2025, KKP telah mengatahui adanya pemagaran laut tersebut, akan tetapi tidak ada tindakan yang serius dan tegas yang dilakukan KKP hingga akhirnya isu ini tersebar di publik pada awal tahun 2025. Ini membuktikan bahwa KKP telah melakukan pembiaran terjadinya pemagaran laut di Kabupaten Tangerang,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa terdapat 4.463 jiwa nelayan yang hidup dan memanfaatkan perairan laut di 6 kecamatan tersebut akan terdampak dari adanya pemagaran laut di wilayah perairan Kab. Tangerang. Pemasangan pagar ini menambah jumlah kasus privatisasi laut yang ada di Teluk Jakarta, bahkan ada dugaan bahwa pemagaran laut ini diduga berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ada di PIK 2. “Bahkan tambak-tambak dan bagan-bagan perikanan telah banyak tersebar di Teluk Jakarta dan secara nyata telah mengganggu aktivitas perikanan tangkap nelayan kecil dan tradisional yang melakukan aktivitas perikanan tangkap maupun perikanan budidaya (seperti memanen kerang) yang ada di Teluk Jakarta. Selain itu, ada juga reklamasi di Teluk Jakarta untuk pembangunan pulau-pulau palsu, serta reklamasi yang terjadi di ancol dan juga di wilayah Pantai Indah Kapuk,” jelas Susan.

Pemagaran laut tersebut menjadi bukti bahwa pelibatan dan partisipasi nelayan kecil/tradisional sebagai aktor utama dalam menjaga dan mengawasi laut belum dijalankan oleh KKP. Hal ini menciptakan adanya batas dan ja rak antara KKP dengan nelayan kecil dan tradisional sebagai right holders dan juga penguasa utama laut Indonesia. Padahal pelibatan partisipasi masyarakat pesisir (khususnya nelayan) adalah bentuk pemberdayaan nelayan serta memperkuat peran serta masyarakat yang merupakan tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.

Pemagaran laut ini menjadi tanda dan momentum bagi Kementerian dan Lembaga negara terkait, khususnya KKP untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. Evaluasi tersebut harus dilakukan karena: 1) tidak adanya perlindungan khusus bagi wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan kecil yang ada di Indonesia; 2) tidak adanya pelibatan partisipasi dari nelayan kecil dan tradisional sebagai aktor utama dari penjaga lautnya, padahal hal ini merupakan bentuk pemberdayaan serta memperkuat peran serta masyarakat sebagaimana diamatkan dalam tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam UU 27/2007; serta 3) evaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang melegitimasi perusakan laut, privatisasi laut dan juga perampasan ruang laut, seperti Kebijakan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang melegitimasi perampasan ruang laut!” pungkas Susan Herawati. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

[1] Tempo. 2025. Pemagaran Laut di Tangerang: Ini Kronologinya hingga Disegel atas Perintah Presiden Prabowo. Artikel berita Bisnis Tempo.co 10 Januari 2025. https://www.tempo.co/ekonomi/pemagaran-laut-di-tangerang-ini-kronologinya-hingga-disegel-atas-perintah-presiden-prabowo-1192140 

Siaran Pers Bersama – WALHI dan KIARA Ajukan Gugatan Atas Terbitnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Teluk Manado/Laut Sulawesi di PTUN Jakarta

Siaran Pers Bersama
Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK)

WALHI dan KIARA Ajukan Gugatan Atas Terbitnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Teluk Manado/Laut Sulawesi di PTUN Jakarta

Jakarta, 20 Desember 2024 – Pada tanggal 15 November 2024, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengajukan gugatan atas terbitnya kebijakan Pemerintah Pusat menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Nomor: 20062210517100001 kepada PT Manado Utara Perkasa, tanggal 17 Juni 2022 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Ini adalah proyek reklamasi dalam hal penyiapan lahan untuk pembangunan pusat bisnis dan pariwisata di Teluk Manado/Laut Sulawesi. Gugatan ini terdaftar dalam register perkara Nomor 444/G/LH/2024/PTUN.JKT.

Gugatan WALHI dan KIARA ini diajukan melalui kuasa hukumnya yang tergabung dalam TIM ADVOKASI PENYELAMATAN PESISIR DAN PULAU KECIL (TAPaK). Gugatan ini merupakan tindak lanjut atas laporan perwakilan masyarakat pesisir Manado Utara, khususnya nelayan kecil yang akan dirugikan atas proyek reklamasi tersebut.

Perizinan reklamasi di pesisir Teluk Manado/Laut Sulawesi melalui skema Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) tersebut diterbitkan oleh atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui sistem OSS. KKP melalui Peraturan Menteri Kelautan (PermenKP) No. 8 Tahun 2020 telah melakukan pendelegasian kewenangan untuk penerbitan perizinan berusaha sektor kelautan dan perikanan kepada BKPM. Akan tetapi, menurut PermenKP tersebut, kewenangan BKPM hanya sebatas pada penerbitan perizinan berusaha di sektor kelautan dan perikanan, akan tetapi verifikasi lapangan dan penilaian teknis permohonan PKKPRL merupakan kewenangan dari KKP maupun unit pelaksana teknisnya.

Terkait dengan proses gugatan ini, perwakilan Kuasa Hukum TAPaK, Judianto Simanjuntak menjelaskan bahwa setelah gugatan didaftarkan pada Tanggal 15 November 2024, kemudian dilanjutkan persidangan pertama (perdana) pada tanggal 26 November 2024 dengan agenda sidang pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Tata usaha Negara. Majelis Hakim memberikan masukan atas gugatan tersebut untuk diperbaiki. Sidang pemeriksaan persiapan dilanjutkan pada tanggal 10 Desember 2024, Majelis Hakim masih memberikan masukan atas gugatan tersebut untuk diperbaiki. Pada waktu sidang pemeriksaan persiapan pada tanggal 10 Desember 2024, TAPaK menyampaikan kepada Majelis Hakim bahwa Majelis Hakim yang menangani perkara ini harus mempunyai sertifikat lingkungan hidup karena perkara ini menyangkut lingkungan hidup yang merupakan amanat dari Keputusan Mahkamah Agung Nomor 134 Tahun 2021 Tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, yang menyatakan “perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup yang bersertifikat dan yang diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung”. Majelis Hakim menyatakan sudah mempunyai sertifikat lingkungan hidup karena ini perkara lingkungan hidup maka ketua PTUN Jakarta menunjuk hakim yang mempunyai sertifikat lingkungan hidup untuk menangani dan menyidangkan perkara ini, karena hal itu peraturan dari Mahkamah Agung.

Judianto Simanjuntak yang merupakan Pengacara Publik ini melanjutkan bahwa pada persidangan pemeriksaan persiapan pada tanggal 17 Desember 2024, Majelis Hakim menyatakan gugatan WALHI dan KIARA tidak ada lagi perbaikan dan layak untuk disidangkan. Selanjutnya Majelis hakim mengagendakan persidangan selanjutnya pada tanggal 24 Desember pukul 11.00 WIB, dengan agenda sidang pembacaan gugatan dan pembacaan penetapan apakah Majelis Hakim menerima atau tidak PT Manado Utara Perkasa sebagai pihak Tergugat Intervensi sebagaimana permohonan sebagai pihak Tergugat Intervensi yang diajukan PT Manado Utara Perkasa. Sidang akan dilaksanakan secara online (electronic Court/E- Court). Majelis Hakim menyatakan setelah persidangan tanggal 24 Desember 2024 dilanjutkan persidangan Jawaban dari Tergugat, Replik dari Penggugat, dan Duplik dari Penggugat yang dilakukan secara E Court (online). Kemudian dilanjutkan sidang pembuktian (bukti surat, saksi, dan ahli) yang akan dilaksanakan secara offline (tatap muka).

Perwakilan Kuasa Hukum TAPaK, Mulya Sarmono menyebutkan bahwa gugatan proyek reklamasi melalui PKKPRL ini merupakan bentuk keputusasaan dan perlawanan masyarakat pesisir Manado Utara kepada Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara sewenang-wenang memberikan izin reklamasi di pesisir Manado Utara. “Warga pesisir Manado Utara telah hidup secara turun temurun di pesisir Manado Utara, akan tetapi pemerintah secara ugal-ugalan mengeluarkan perizinan yang akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir. Tidak ada pelibatan masyarakat pesisir yang bermakna dan masyarakat pesisir Manado Utara telah jelas menyatakan penolakan atas proyek reklamasi tersebut, akan tetapi tidak diakomodir, bahkan dipertimbangkan saja tidak. Secara teoritik menurut Arnstein (1969) hal ini sebagai manipulasi yang termasuk kluster non-partisipasi dalam tingkatan partisipasi masyarakat,” jelas Mulya Sarmono.

Hal senada disampaikan oleh perwakilan Kuasa Hukum TAPaK lainnya yaitu Afif Abdul Qoyim menyatakan bahwa proyek reklamasi melalui PKKPRL ini menggunakan dasar hukum yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Hal tersebut berdasarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tanggal 25 November 2021 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pembentukan UU CK tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.

Dalam konteks lingkungan hidup, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Nasional (WALHI Nasional), Zenzi Suhadi, menyatakan bahwa berbagai proyek reklamasi mengancam keberlanjutan lingkungan hidup di wilayah pesisir Manado Utara itu sendiri maupun area penyangganya, yang merupakan area penangkapan ikan serta wilayah tambatan perahu nelayan kecil. “Proyek reklamasi di Teluk Manado/Laut Sulawesi telah jelas bertentangan dengan asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang seharusnya dilaksanakan berdasarkan asas pelestarian dan keberlanjutan, kehati-hatian, keadilan, keanekaragaman hayati, manfaat, serta partisipatif. Bahkan negara berkewajiban untuk bertanggung jawab atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terutama kegiatan yang akan berpengaruh pada perubahan iklim. Seharusnya Kementerian Majelis Hakim PTUN Jakarta membatalkan PKKPRL ini karena bertentangan dengan asasasas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan juga peraturan perundang-undangan yang telah memandatkan negara untuk melindungi keberlanjutan sosial-ekologi pesisir dan pulau kecil.

Sedangkan dalam konteks sosial ekologi di pesisir Manado Utara, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menyebutkan bahwa dampak proyek reklamasi melalui PKKPRL ini akan dirasakan permanen oleh masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil dan tradisional yang ada di Manado Utara, bahkan Teluk Manado. “Pantai Manado Utara seluas 90 ha adalah pantai terakhir yang tersisa di Teluk Manado. Selain itu, reklamasi akan memusnahkan terumbu karang yang masih hidup di lokasi reklamasi tersebut, hal ini telah dibuktikan oleh Manado Scientific Exploration Team bahwa di lokasi tersebut terdapat ekosistem terumbu karang yang hidup. Serta proyek reklamasi ini mengancam ekosistem laut pada Taman Nasional Bunaken yang letaknya berbatasan langsung dengan lokasi reklamasi. Bahkan proyek reklamasi ini akan meningkatkan potensi bencana banjir di kecamatan Tuminting, yang selama ini telah mulai terdampak banjir. Terakhir, seluruh nelayan kecil dan tradisional dapat dipastikan secara perlahan akan beralih profesi karena harus berhadapan dengan kondisi pantai yang bergelombang besar dengan tepian lahan reklamasi berupa bebatuan dan semakin sulitnya nelayan kecil/tradisional untuk mengakses laut dan mendapatkan ikan,” tegas Susan.

Karena itu TAPaK mengharapkan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memeriksa dan menyidangkan perkara ini harus berperspektif lingkungan dan mengutamakan keberlanjutan lingkungan hidup dan masyarakat yang hidup dan bergantung atas sumber daya kelautan dan perikanan tersebut. Bahkan hal ini telah dimandatkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, tanggal 21 Maret 2024 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa tujuan kemakmuran rakyat sebagaimana maksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak dapat dipungkiri sangat tergantung pada keberlanjutan (sustainability) dari natural capital resources dan ekosistem yang sehat, sehingga penting untuk menjaga dan menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan, serta memelihara keadaan ekosistem agar tetap sehat, “ujar Judianto Simanjuntak.

Judianto Simanjuntak melanjutkan bahwa dengan gugatan ini, diharapkan Majelis Hakim mengabulkan gugatan ini dengan putusan menyatakan Batal atau Tidak Sah Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 20062210517100001 tentang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada PT Manado Utara Perkasa, tanggal 17 Juni 2022.

Susunan Majelis Hakim dalam perkara ini adalah:
1. Hakim Ketua : Ganda Kurniawan, S.H.
2. Hakim Anggota : Yuliant Prajaghupta, S.H.
3. Hakim Anggota: Irvan Mawardi, S.H,. M.H

Informasi Lebih Lanjut:
Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum (TAPaK), +62 857-7526-0228
Afif Abdul Qoyim, Kuasa Hukum (TAPaK), +62 813-2004-9060
Mulya Sarmono, Kuasa Hukum (TAPaK), +62 821-8723-3020
Teo Reffelsen (TAPaK dan WALHI Nasional) +62 852-7311-1161
Fikerman Saragih (TAPak & KIARA) +62 823-6596-7999

Masyarakat Rempang Demonstrasi di Kedubes Tiongkok dan Kemenko Perekonomian Menolak Proyek Rempang Eco City

Siaran Pers Bersama
Masyarakat Rempang Demonstrasi di Kedubes Tiongkok dan Kemenko Perekonomian Menolak Proyek Rempang Eco City

 

Warga Rempang Tolak PSN Rempang Eco-City JAKARTA- Masyarakat Pulau Rempang bersama jaringan solidaritas untuk Rempang menggelar aksi di depan Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian pada Rabu (14/8/2024) siang. Aksi ini adalah lanjutan dari aksi damai warga Pulau Rempang yang sebelumnya digelar di depan Kedutaan Besar Tiongkok di hari yang sama.

Masyarakat berorasi, menyatakan sikap tegas mereka menolak penggusuran akibat rencana pemerintah membangun Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Mereka membawa spanduk berisi tulian “Masyarakat Rempang Tolak PSN Rempang Eco City, Raja Adil Raja Disembah Raja Zalim Raja Disanggah”. Mereka juga sertakan perjuangan mereka mempertahankan ruang hidupnya dengan spanduk bertuliskan semangat mempertahankan kampung yang telah mereka diami turun temurun sejak ratusan tahun lalu.

Ishak, warga Pulau Rempang, mengatakan mereka tidak lagi dapat bersuara di kampungnya, karena pemerintah baik di kelurahan hingga provinsi tidak pernah mendengar aspirasi mereka. Perjuangan mereka menyuarakan aspirasi hari ini, menjadi bukti nyata ikhtiar masyarakat tetap ada.

“Meskipun negara ada di langit, kami akan datangi, untuk memperjuangkan tanah dan ruang hidup kami. Kami sudah capek mengeluh di Pemko Batam, kami sudah lelah mengeluh di sana.”

Warga lain juga bersuara. Menceritakan tidak nyamannya kehidupan mereka sejak konflik agraria akibat PSN Rempang Eco-City bergulir di sana. Setahun sudah warga berjuang, melawan intimidasi aparat dan godaan agar masyarakat setuju dengan PSN Rempang Eco City.

Mereka merasakan pedihnya gas air mata dan sakitnya peluru karet, saat bentrok antara warga dan aparat di Pulau Rempang pada 7 September 2023 lalu. Warga tidak lagi tenang di tanah mereka sendiri, sampai saat ini.Meskipun demikian, ikhtiar menjaga tanah, ruang hidup dan tempat budaya Melayu tumbuh dan berkembang tetap mereka jalankan.

“Kami tidak suka dengan cara pemerintah merampas tanah kami. Kami inginkan keadilan,” kata Siti Hawa salah satu warga yang hadir dalam aksi ini.

Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, membersamai perjuangan warga. Mereka ambil bagian dalam orasi dan ikut menyuarakan apa yang menjadi hak masyarakat Rempang dan masyarakat dari daerah lain yang tengah berjuang.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menyampaikan Kemenko Perekonomian adalah sumber masalah. Menghadirkan PSN yang justru mengubah ketenangan masyarakat, bukan hanya di Rempang tapi di banyak wilayah di indonesia.

“Kita semua menyatakan menolak PSN Rempang Eco City, bagaimana mungkin proyek itu strategis kalau mengusik ribuan warga, menghancurkan pangan warga, mengusir ribuan rakyat dari tanahnya,” kata Uli.

“Kami tahu Kemenko Perekonomian sumber masalah, kami datang mengingatkan mereka, sesuai mandat konstitusi bahwa hak rakyat di Rempang harus dilindungi.”

Lebih lanjut, Uli menyampaikan perjuangan Masyarakat Rempang untuk kepentingan seluruh rakyat indonesia. Karena ambisi pembangunan di Pulau Rempang akan merusak ekologi Pulau Rempang itu sendiri, juga akan membuat Indonesia rentan.

Divisi Hukum KontraS, Vebrina Monicha, yang hadir dalam aksi tersebut, mengingatkan bagaimana negara melalui aparat penegak hukum (APH) baik Polisi maupun TNI, harus hadir melindungi warga, bukan justru melakukan tindakan kekerasan seperti intimidasi bahkan kriminalisasi.

“Puluhan warga Rempang sudah mengalami kriminalisasi dengan dalih pengrusakan kantor BP Batam. Pola inilah yang selalu digunakan oleh Negara melalui polisi sebagai alat kekuasaan untuk membungkam masyarakat adat yang menolak PSN.”

Staf Advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Abib, menyampaikan pihaknya mendesak penghentian perampasan atas tanah dengan pola yang terus berulang. Ia mendesak semua pihak untuk menghormati hak atas tanah yang telah dimiliki masyarakat.

Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi WKR WALHI Riau juga menyatakan pemerintah harus segera mencabut PSN Rempang Eco-City.

“PSN Rempang Eco-City telah menimbulkan konflik di antara masyarakat Rempang. Alih-alih datang membawa proyek yang merugikan, Pemerintah seharusnya memberi legalitas kampung kepada masyarakat Rempang. Merekalah yang hidup dan menghidupi kampung jauh sebelum Indonesia merdeka, bukan para investor”.

Staff Advokasi LBH Pekanbaru, Wira Ananda Manalu, menyatakan perlakuan represif yang dialami peserta aksi menunjukkan bagaimana begitu masifnya pola- pola pembungkaman terhadap penolakan proyek Rempang Eco City.

“Situasi hari ini sama saja dengan apa yang dialami oleh warga di Pulau Rempang- Galang. Penggunaan kekerasan, intimidasi dan ancaman kriminalisasi masih menghantui warga yang sedang memperjuangkan penolakan relokasi. Bahkan di jakarta sebagai pusat kekuasaan, tidak menjamin keamanan dan kebebasan warga Rempang yang sedang memperjuangkan kampung halamannya”.

Judianto Simanjuntak dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan, pemerintah harus membatalkan PSN Rempang Eco City untuk melindungi tanah adat ulayat Rempang. Ini merupakan kewajiban negara utamanya pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat adat sebagaimana dijamin dalam konstitusi, Undang Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999 , dan berbagai peraturan lainnya. Momentum Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang dirayakan di dunia setiap tanggal 9 Agustus termasuk di Indonesia seharusnya mengingatkan pemerintah tentang hak-hak masyarakat adat yang harus dihormati dan dilindungi, termasuk Hak atas wilayah adat.

Pengurus YLBHI, Eddy Kurniawan Wahid, menyoroti Penetapan Rempang Eco City sebagai PSN oleh Permenko Nomor 7 Tahun 2023 dengan proses yang singkat, tertutup, dan tidak partisipatif adalah bentuk produk legislasi yang ugal-ugalan, mengabaikan keselamatan rakyat dan lingkungan. Permenko 7/2023 menyediakan karpet merah bagi investasi asal China, PT. Xinyi Internasional Investments Limited. Jadi, ini semacam permufakatan bisnis jahat antara Pemerintah dengan korporasi asal China yang mengabaikan prinsip-prinsip HAM dan lingkungan.

Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Fikerman Saragih, menyebutkan bahwa yang terjadi di Pulau Rempang merupakan salah satu potret penghilangan identitas asli sebagai masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini jelas telah bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Selain itu juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut, hak untuk mendapatkan perairan lingkungan perairan yang bersih dan sehat, hak untuk mengelola sumber daya sesuai dengan kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini dan dijalankan secara turun temurun dan hak untuk memanfaatkan sumber daya perikanan dan kelautan. Pemerintah harus mengevaluasi dan membatalkan penetapan PSN Rempang yang secara nyata telah ditolak oleh masyarakat asli Rempang itu sendiri. Masyarakat Rempang memiliki hak untuk menyatakan tidak dan menolak kebijakan serta proyek yang berpotensi merampas hak atas tanah dan laut serta menjadikan mereka pengungsi di tanah yang telah dikelola secara turun temurun.

Departemen Advokasi dan kampanye Trend Asia Wildan Siregar, Proyek Rempang Eco City harus di hentikan, investasi ini telah menyebabkan berbagai pelanggaran yang berujung penyingkiran masyarakat. Industri Ekstraktif sudah tidak relevan lagi, Pemerintah harus beralih ke ekonomi yang inklusif untuk terciptanya ekonomi yang berkeadilan, demokratis dan berperspektif pemulihan. Tidak ada lagi berita penyingkiran, perampasan lahan dan kekerasan aparat dengan modus pertumbuhan ekonomi yang pada dasarnya hanya memberikan untung kepada Oligarki.

Hormat kami,
Solidaritas Nasional untuk Rempang

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Dompet Dhuafa, WALHI Jakarta, LBH Pekanbaru, BEM SI Kerakyatan, Trend Asia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP MAN) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), WALHI Nasional.

KIARA:Selamat Hari Nelayan 2024, Perlindungan Nelayan Kecil dan Tradisional Harus Segera Dilaksanakan!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA:Selamat Hari Nelayan 2024, Perlindungan Nelayan Kecil dan Tradisional Harus Segera Dilaksanakan!

 

Jakarta, 6 April 2024 – Disetiap tanggal 6 April, seluruh masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Nelayan Nasional sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan atas jasa nelayan di Indonesia, khususnya nelayan kecil dan tradisional dalam upaya pemenuhan gizi dan protein bagi seluruh rakyat Indonesia. Profesi nelayan juga memiliki peran penting sebagai ujung tombak dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Indonesia melalui eksistensi mereka di perairan laut Indonesia, khususnya diperairan perbatasan Indonesia dengan negara-negara lain.

 

Akan tetapi, hingga saat ini perlindungan atas kedaulatan ruang perairan nelayan kecil/tradisional serta pengakuan atas eksistensi profesi nelayan kecil, khususnya perempuan nelayan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Nelayan kecil diberbagai wilayah masih minim perlindungan dan pengakuan tersebut meningkatkan kerentanan yang dialami oleh nelayan kecil yang saat ini juga tengah berjuang menghadapi perampasan ruang (ocean grabbing) hingga perubahan iklim yang berdampak terhadap semakin jauhnya area tangkapan, meningkatnya biaya produksi, menurunnya hasil tangkapan, hingga meningkatnya kasus-kasus perampasan ruang bahkan penggusuran nelayan.

 

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa saat ini kondisi nelayan masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, khususnya dalam konteks pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah. Hal tersebut juga sesuai dengan mandat Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. “Akan tetapi mandat dari UU 7/2016 tersebut masih belum sepenuhnya dijalankan dan kondisi nelayan kecil saat ini dalam kondisi terancam akibat perampasan ruang hidup. Hal itu dilegitimasi oleh berbagai kebijakan dan peraturan yang disusun oleh pemerintah itu sendiri, salah satu contohnya adalah rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta dan juga di Jawa Tengah,” ungkapnya.

 

Susan menjelaskan bahkan Presiden yang terpilih saat ini yaitu Prabowo Subianto tengah gencar terlibat dalam rencana proyek pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) yang ada di Pantai Utara Jawa, khususnya di Teluk Jakarta dan Perairan pesisir Jawa Tengah. “Proyek pembangunan tanggul laut raksasa/Giant Sea Wall ini akan menyebabkan beberapa hal, yaitu akan menimbun laut yang akan merampas ruang tangkap nelayan kecil/tradisional. Untuk men-supply kebutuhan material pasir laut, maka akan menambang pasir laut ditempat lain, sehingga juga akan menyebabkan perampasan ruang tangkap nelayan dan merusak ekosistem perairan laut ditempat penambangan pasir tersebut,” tegas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa kebijakan lain yang saat ini berpotensi merampas dan merusak ruang hidup nelayan dan ekosistem laut adalah aktivitas yang dilegitimasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang sejatinya melegalisasi praktik penambangan pasir laut di perairan Indonesia. Selain pertambangan pasir laut, ada juga pertambangan nikel yang saat ini dimasifkan untuk hilirisasi nikel nasional. Kebijakan lainnya adalah pembatasan penangkapan ikan, yang disahkan melalui PP No. 11 Tahun 2023 dan PermenKP No. 36 Tahun 2023 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Di Zona Penangkapan Ikan Terukur Dan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Lalu ada proyek pariwisata dengan label eco-wisata, premium, hingga eksklusif yang menyebabkan privatisasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil hingga membatasi bahkan memutus akses nelayan atas ruang kelolanya.

 

KIARA juga menyoroti UU 7/2016 karena tidak adanya jaminan atas kepastian ruang tangkap tradisional nelayan, dan jaminan pengakuan kepada perempuan yang berprofesi sebagai nelayan dalam UU tersebut. Saat ini terdapat 3,9 juta jiwa perempuan nelayan yang belum mendapatkan pengakuan atas profesi sebagai nelayan dari pemerintah. Ini seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk segera merevisi UU 7/2016 atau memasukkan 2 konteks tersebut dalam peraturan teknis/pelaksaannya, sehingga UU 7/2016 menjadi UU yang implementatif, bukan seperti kondisi aktual saat ini,” tegas Susan.

KIARA mencatat bahwa selain konteks kebijakan dan peraturan domestik, nelayan juga tengah dicemaskan dengan kebijakan internasional yang akan meliberalisasi sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia melalui investasi dan perdagangan. “Bahkan dalam konteks global, saat ini tengah dibahas tentang penghapusan berbagai subsidi perikanan dalam Konferensi Tingkat Menteri di World Trade Organization (WTO). Penghapusan subsidi perikanan yang dibahas tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi nelayan kecil, karena subsidi untuk nelayan kecil di Indonesia merupakan mandat yang jelas dan tegas dari UU No. 7 Tahun 2016 sebagai bentuk perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan menjaga sistem pangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelas Susan.

Keseluruhan kebijakan dan peraturan yang ekstraktif dan eksploitatif tersebut berujung pada minimnya perlindungan atas hak asasi manusia serta penemuhan hak-hak sebagai warga negara bagi nelayan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Seharusnya momentum Hari Nelayan Nasional di 2024 menjadi titik balik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi yang menyeluruh, mencabut regulasi yang tidak berpihak kepada profesi nelayan kecil, menyusun perlindungan ruang tangkap tradisional, serta memberi pengakuan kepada perempuan nelayan akan menjadi satu terobosan dan langkah majuyang progresif dari Pemerintah Indonesia untuk perlindungan nelayan kecil. Hal itu karena 90% profesi nelayan di Indonesia merupakan nelayan kecil. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain berpihak dan melindungi nelayan kecil di Indonesia. Selamat Hari Nelayan 2024!” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KIARA: Menjadi Alat Perampas Tanah dan Mengorbankan Warga Pesisir!

Siaran Pers 

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) 

www.kiara.or.id 

Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KIARA: Menjadi Alat Perampas Tanah dan Mengorbankan Warga Pesisir!

 

Jakarta, 12 Januari 2024 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” pada Kamis, 11 Januari 2024 di Ke:Kini yang berlokasi di Jalan Cikini Raya No. 45, Cikini, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Diskusi publik tersebut menghadirkan Susan Herawati selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA, Rizky Hakim selaku Koordinator Agrarian Resource Center (ARC) dan juga 2 perwakilan warga Pulau Rempang. 

 

Menurut Rizky Hakim, agenda diskusi yang mengangkat tema militerisme di pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi topik yang penting untuk diketahui publik. Dalam perkembangannya di Indonesia, militer sebagai salah satu lembaga negara yang menurut Harvey adalah bagian dari kekuatan koersif negara untuk mengamankan atau melancarkan proses akumulasi, justru merupakan aktor akumulasi kapital dan menjadi entitas yang terpisah dengan peran negara sebagai pemberi legitimasi atas proses akumulasi kapital. Militer sebagai bagian dari negara, dengan sifat koersifnya digunakan untuk mengamankan atau melancarkan proses akumulasi kapital dalam konteks neo-liberal sebagai akumulasi melalui penjarahan (Accumulation by Dispossesion, AbD).  

 

“Keterlibatan sebagai aktor akumulasi merubah militer menjadi kelas kapitalis, yang dalam prosesnya mengintervensi sejumlah lembaga negara untuk legitimasi atas akumulasi kapital yang dilakukannya. Salah satu contohnya terjadi di pesisir pantai Urutsewu yang merupakan lahan yang digunakan dan kuasai oleh masyarakat secara turun-temurun untuk kegiatan pertanian. Masyarakat memiliki bukti awal kepemilikan tanah (data fisik dan data yuridis) seperti Latter C ataupun Buku Tanah. Hanya saja, sejak tahun 1998 TNI/AD mengklaim lahan tersebut dalam bentuk pemetaan lahan sepihak. Di samping TNI/AD berupaya untuk mendapatkan legitimasi penguasaan lahan di Pesisir pantai Urutsewu dari sejumlah lembaga negara, pada tahun 2008 TNI/AD menerima permintaan dari salah satu korporasi untuk memanfaatkan lahan Pesisir pantai Urutsewu untuk kegiatan bisnis tambang pasir besi,” ungkap Rizky. 

 

Wilayah lain yang menjadi contoh militerisme adalah Pulau Rempang. Aparat TNI-Polri memaksa dan berhasil masuk ke wilayah tempat tinggal warga Rempang. “Di Pasir Panjang, TNI dan Polisi menjadi aktor yang digunakan untuk pemematokan lahan dan rumah warga. Sedangkan di Sembulang TNI dan Polisi bertugas mendampingi dan mengamankan PT MEG dalam pematokan lahan warga. Selain untuk pematokan lahan, terjadi juga tindakan represif dari aparat ke warga yang menolak pematokan lahan tersebut, bahkan anak sekolah juga menjadi korban.

Masuknya aparat militer dan polisi tersebut setelah Rempang dijadikan sebagai Proyek strategis nasional untuk pembangunan industri Rempang Eco-City. Proyek itu mencoba merampas tanah-tanah kami dan meminta kami pindah dari tanah nenek moyang kami,” jelas perwakilan warga Rempang. 

 

Merespon hal tersebut, Susan Herawati menyebutkan bahwa masuknya militerisme di pesisir juga disertai dengan implikasi seperti penguasaan, hingga kekerasan untuk mengintervensi dan mengintimidasi masyarakat pesisir yang menolak perampasan dan pengalihfungsian tanah di wilayah mereka. “Militer sebagai alat pertahanan negara seharusnya tegak lurus dalam tugas pokok untuk menjaga wilayah pertahanan negara. Akan tetapi militer acapkali keluar dari tugas pokok tersebut dan menginfiltrasi kehidupan masyarakat umum. Keluarnya militer dari barak digunakan sebagai alat untuk memuluskan penggusuran, relokasi, pengamanan di objek vital nasional, proyek strategis negara bahkan mengamankan masuknya perusahaan ke lahan-lahan masyarakat yang dijadikan sebagai lokasi tambang, pariwisata premium dan juga industri,” jelas Susan. 

 

KIARA mencatat bahwa salah satu kebijakan yang melegalisasi perampasan tanah untuk militerisme di pesisir dan pulau-pulau kecil adalah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). “Sejak tahun 2017 hingga 2022, KIARA mencatat bahwa telah terdapat 28 RZWP-3-K yang telah disahkan, dan terdapat 14 provinsi yang melegitimasi alokasi ruang untuk berbagai aktivitas militerisme dengan total luasan 2.580.132,76 ha. Besarnya luasan tersebut sangat jauh berbeda dengan pengakuan ruang-ruang pengelolaan masyarakat, seperti pemukiman nelayan hanya 1.227,03 ha,” tegas Susan. 

 

Militerisme juga saat ini dapat kita saksikan merasuk di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai Kementerian/Lembaga negara di Indonesia yang mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa posisi strategis di KKP saat ini diisi oleh personel TNI-Polri yang masih aktif. KIARA mencatat jabatan di KKP yang saat ini dipegang oleh personel TNI-Polri adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) KKP diisi oleh anggota Polri, Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) diisi oleh anggota Polri, dan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) diisi oleh anggota TNI AL Dari beberapa kasus kelautan dan perikanan yang ditangani KIARA, keberadaan para personel TNI-Polri ini tidak menghadirkan proses law enforcement yang jelas dan tegas untuk penyelamatan lingkungan pesisir dan laut dan keberpihakan pada kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir, tetapi membantu memuluskan berbagai investasi yang mengancam keberlanjutan lingkungan laut dan perairan.

 

KIARA mendesak pemerintah untuk menjadikan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai wilayah perlindungan masyarakat pesisir dan ruang mereka harus diakui karena mereka adalah right holders atas pesisir dan pulau-pulau kecil. “Sudah saatnya pengakuan atas kedaulatan pengelolaan masyarakat atas ruangnya diakui oleh pemerintah, bukan menerapkan militerisme sebagai alat untuk merampas ruang-ruang masyarakat dipesisir dan pulau-pulau kecil,” pungkasnya. (*) 

 

 

Informasi Lebih Lanjut 

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502 

Tahun Baru & Pemilu 2024, Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres & Cawapres

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

Tahun Baru & Pemilu 2024, Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres & Cawapres

 

Jakarta, 4 Januari 2024 – Menjalani awal tahun 2024 menandai bahwa puncak kontestasi Pemilihan Umum (PEMILU) 2024 akan segera terlaksana di 14 Februari 2024. Terdapat 3 kandidat yang telah resmi sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Pada Oktober 2023 ketiga kandidat tersebut telah mengeluarkan dokumen visi dan misi yang menjadi panduan mereka jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. 

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyebutkan bahwa KIARA telah melakukan review terhadap 3 dokumen visi dan misi ketiga kandidat tersebut. “KIARA melihat bahwa ketiga kandidat melalui dokumen visi misi tersebut masih terjebak dalam pusaran misi ekonomi biru/blue economy sebagaimana yang telah dijalankan pemerintah saat ini. Padahal konsep ekonomi biru yang dijalankan saat ini berasal dari cara pikir lembaga keuangan global, bukan seperti yang diungkapkan oleh Gunter Pauli sebagai penggagas aslinya,” ungkap Susan.

 

Berdasarkan dokumen visi misi ketiga kandidat tersebut, terdapat beberapa catatan KIARA yaitu sebagai berikut: pertama, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir khususnya nelayan, terutama hak atas pengakuan dan perlindungan ruang kelola darat dan lautnya sebagai satu kesatuan. “Evaluasi atas rezim Presiden Jokowi selama dua periode masa pemerintahannya terlihat sangat minim pengakuan atas ruang pengelolaan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini berbanding terbalik dengan akomodasi atas investasi terhadap ruang oleh rezim tersebut. Masyarakat adat dan komunitas lokal harus menghadapi realita  perampasan atas ruang pengelolaan mereka untuk berbagai industri dan investasi melalui kebijakan pusat maupun daerah. Hal tersebut bisa dilihat di Pulau Rempang, Pulau Wawonii, Gugus Kepulauan Spermonde, Pulau Sangiang hingga Pulau Pari dan Muara Angke sebagai wilayah yang paling dekat dengan istana,” jelas Susan.

 

Kedua, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan dan pengakuan perempuan yang berprofesi sebagai nelayan, baik produksi maupun pasca-produksi. “KIARA mencatat terdapat 3,9 juta perempuan yang terlibat dalam rantai produksi produksi perikanan, sedangkan KKP di tahun 2023 mencatat bahwa terdapat 3,6 juta perempuan nelayan yang menjadi penggerak rantai produksi perikanan, sedangkan yang telah menerima kartu Kusuka hanya sekitar 15 ribu perempuan nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa ada gap yang besar antar jumlah existing perempuan yang nelayan yang terlibat dalam rantai produksi perikanan dengan jaminan perlindungan melalui kartu kusuka. Hal ini juga menjadi indikator bahwa pengakuan perempuan atas identitas profesi nelayan juga masih sangat minim. Potret buruk krisis pengakuan identitas tersebut juga tidak ditangkap oleh kandidat Capres dan Cawapres dalam dokumen visi misi mereka,” tegas Susan. 

 

Ketiga, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya dijadikan sebagai obyek tempatnya masuknya industri, baik melalui konsep ekonomi biru (blue economy), seperti karbon biru (blue carbon), penangkapan ikan terukur, industri maritim dan jasa maritim, industri budidaya (komoditas perikanan unggulan), pariwisata, transisi energi, maupun industri SDA konvensional. “Berbagai industri yang dicanangkan melalui konsep blue economy dalam ketiga visi misi Capres Cawapres tersebut memperlihatkan bahwa cara pandang melihat pesisir dan pulau-pulau kecil masih terjebak dengan konsep ekstraktivisme dan bahkan bias darat. Pesisir dan pulau kecil masih dijadikan sebagai objek ekstraktivisme tanpa melihat secara holistik tentang relasi sosio-kultural antara masyarakat adat dan komunitas lokal dengan ruang pesisir dan pulau-pulau beserta ekosistem yang ada didalamnya,” jelas Susan.

 

Berdasarkan hal tersebut, KIARA berpandangan bahwa visi dan misi yang dibawa oleh ketiga kandidat hanya mengulang orientasi pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif. Terlebih lagi pembangunan yang esktraktif dan eksploitatif akan memberikan ruang kepada investasi dan penanaman modal asing  yang akan membuat masyarakat pesisir tergusur dari ruang hidupnya. 

 

Pada akhirnya, dari ketiga kandidat pemimpin bangsa tidak paham konsep utuh dari Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No 3 tahun 2010  di mana masyarakat pesisir harusnya memiliki hak untuk mengakses, hak untuk mengontrol dan memanfaatkan, hak untuk menjalankan tradisi kebernelayanan yang telah dijalan dari generasi ke generasi dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan masyarakat adat belum dijadikan sebagai pilar dan aktor utama sebagai right holders (pemilik hak utama) dalam kepastian perlindungan, pengelolaan, pemanfaatan atas ruang pesisir dan pulau kecil. Aktor utama yang dikedepankan masih pada industri dan pertumbuhan ekonomi oleh investasi korporasi. (*) 

 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Menteri KKP Akan Kembali Buka Ekspor Benih Bening Lobster, KIARA: Ekologi Adalah Panglima Hanya Lip Service, KKP Makin Melangkah Mundur

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Menteri KKP Akan Kembali Buka Ekspor Benih Bening Lobster, KIARA: Ekologi Adalah Panglima Hanya Lip Service, KKP Makin Melangkah Mundur

 

Jakarta, 22 Desember 2023 – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini tengah membahas ulang aturan ekspor Benih Bening Lobster (BBL), sehingga aturan tersebut akan melegalkan praktik ekspor BBL. Saat ini pembahasan tersebut tengah dalam proses konsultasi publik dan direncanakan akan disahkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP). Dalam perjalanan tentang ekspor BBL, peraturan ini telah dilarang di era Mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti, sedangkan di era Mantan Menteri KKP Edhy Prabowo peraturan ini dihidupkan dan menjadi penyebab kasus korupsi Edhy Prabowo. Dibahasnya kembali ekspor BBL diduga merupakan permintaan dari negara Vietnam yang merupakan negara yang sangat bergantung dengan suplai BBL dari Indonesia.

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menyebutkan bahwa wacana ekspor BBL yang disampaikan oleh Sakti Wahyu Trenggono sangat tidak rasional dan menujukkan kegagapannya dalam perlindungan keberlanjutan ekosistem kelautan dan perikanan serta membuktikan bahwa jargon “ekologi adalah panglima” hanya sekedar lip service. “Salah satu alasan KKP membahas ulang ekspor BBL ini adalah karena untuk mencegah BBLyang keluar dari Indonesia lewat jalur tidak resmi (ilegal), dan membuka jalan investasi masuk serta transfer teknologi dan pengetahuan budidaya lobster modern di Indonesia. Alasan ini sangat tidak rasional dan merupakan langkah yang semakin mundur dari KKP dalam melindungi BBL dari eksploitasi industri seperti yang terjadi di masa koruptor Edhy Prabowo,” jelas Susan.

 

KIARA menilai bahwa larangan ekspor BBLyang telah dijalankan sejak KKP era Susi Pudjiastuti dan era awal Sakti Wahyu Trenggono patut untuk diapresiasi karena berhasil menjaga keberlanjutan ekologi dari eksploitasi berlebih dan memberikan kepastian bahwa nelayan tradisional dan lokal dapat memanfaatkan BBL untuk keberlanjutan hidup mereka. “Langkah yang seharusnya diperkuat KKP adalah pengawasan dan penindakan pelaku eksportir BBL ilegal, bukan melegalkan ekspor BBL karena masifnya ekspor ilegal ke luar negeri. Langkah yang diambil oleh KKP memperlihatkan adanya kekeliruan berpikir (logical fallacy) di tubuh KKP itu sendiri,” tegas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa terdapat berbagai kerugian Indonesia jika dibukanya ekspor benih bening lobster, yaitu: pertama, eksploitasi komoditas lobster dan BBL akan semakin meningkat dan akan memperparah krisis ekologi dan sumber daya perikanan yang saat ini dihadapi Indonesia. Hal tersebut juga akan mengundang industri akan masuk kedalam bisnis ini, dan yang paling diuntungkan hanya entitas bisnis, bukan nelayan kecil/tradisional; kedua, meningkatkan eksploitasi sumber daya perikanan dan Ilegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing di perairan Indonesia, karena permintaan ikan rucah sebagai pakan budidaya lobster akan meningkat; ketiga, aktor yang akan diuntungkan adalah negara tujuan ekspor seperti Vietnam, dan Indonesia hanya akan meningkatkan pendapatan Vietnam dari penjualan lobster dewasa, serta meningkatkan peran Vietnam dalam IUU Fishing di Indonesia; keempat, meningkatkan ekstensifikasi budidaya lobster yang akan mengalihfungsikan wilayah mangrove menjadi lahan-lahan budidaya lobster di pesisir dan perairannya; dan kelima, perairan dangkal yang menjadi habitat lobster akan menjadi ruang kompetisi antara nelayan kecil/tradisional dengan industri perikanan, karena terjadi privatisasi ruang beserta komoditas yang ada di dalamnya berhadapan dengan kenyataan bahwa perairan dangkal beserta lobster yang terdapat di dalamnya adalah common pool resources yang biasa diakses oleh nelayan kecil/tradisional.

 

Padahal langkah Pemerintah Indonesia yang telah menyelamatkan BBL mencapai 1,4 juta ekor, dan mengurangi kerugian negara mencapai 240 miliar rupiah sejak Januari hingga pertengahan Desember 2023 merupakan langkah yang perlu diapresiasi dan perlu ditingkatkan lagi. “Jika pengawasan pemanfaatan dan eksploitasi BBL oleh KKP semakin ditingkatkan dan dengan melibatkan nelayan sebagai right holders di lautnya, potensi kerugian negara secara ekologi dan ekonomi atas eksploitasi BBL dapat diminimalisir. Pelibatan peran nelayan lokal dapat memaksimalkan pengawasan karena nelayanlah yang tau tentang lokasi di wilayah mereka masing-masing,” jelas Susan.

 

Berdasarkan data kerugian ekologi dan ekonomi tersebut, KIARA mendesak Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan untuk meninggalkan legacy/warisan bahwa menjaga keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan dan pengakuan hak pengelolaan masyarakat pesisir secara tradisional adalah peninggalan penting yang akan diwariskan. Salah satunya adalah dengan tetap melarang ekspor BBL serta melarang privatisasi ruang beserta sumber daya perikanan yang ada didalamnya. Dibukanya keran ekspor BBL tidak akan berdampak bagi keberlanjutan sumber daya perikanan, kesejahteraan nelayan kecil dan tradisional, serta sekaligus tidak akan meningkatkan perekonomian Indonesia. Sudah saatnya KKP berpihak kepada nelayan tradisional bukan tunduk terhadap investasi. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

(cr. picture : Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)