Masyarakat Pulau Pari: Hentikan Penimbunan Perairan yang Terjadi di Pulau Tengah, Gugusan Pulau Pari: KKP Abai dalam Pengawasan, Penindakan dan Sanksi Kepada Pelaku Pengrusakan Laut Indonesia!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Masyarakat Pulau Pari:

Hentikan Penimbunan Perairan yang Terjadi di Pulau Tengah, Gugusan Pulau Pari: KKP Abai dalam Pengawasan, Penindakan dan Sanksi Kepada Pelaku Pengrusakan Laut Indonesia !

 

Jakarta, 30 Juli 2023 – Praktik penimbunan perairan yang biasa disebut reklamasi, kini terus terjadi di Pulau Tengah, gugusan Pulau Pari. Gugusan Kepulauan Pari merupakan salah satu gugusan kepulauan yang berada di Kelurahan Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Praktik penimbunan perairan tersebut dilakukan oleh pengembang yang memprivatisasi Pulau Tengah.

Menyikapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menegaskan bahwa praktik penimbunan pantai atau penimbunan perairan yang terjadi di berbagai pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bentuk tindakan yang merusak lingkungan perairan. “Penimbunan pantai dan penimbunan perairan merupakan tindakan yang merusak ekosistem perairan pesisir dan tentu saja akan merugikan nelayan, pembudidaya ikan maupun rumput laut yang seharusnya hak-haknya dihormati dan dilindungi. Praktik penimbunan pantai dan perairan juga merupakan kegiatan yang dilarang sesuai dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007,” tegas Susan.

KIARA mengecam KKP untuk segera bertindak menghentikan praktik-praktik penimbunan pantai dan perairan yang ternyata selama ini telah dilakukan oleh pengembang/investor Pulau Tengah. Hal tersebut jelas sangat merugikan nelayan yang memanfaatkan gugusan perairan Pulau Pari sebagai ruang yang difungsikan nelayan untuk berbagai aktivitas yang berkelanjutan. “Jika dilihat dan diidentifikasi secara spasial, ternyata penimbunan pantai dan perairan yang terjadi di Pulau Tengah dimulai sejak tahun 2011 dengan luasan awal ± 9 Ha. Hingga saat ini, luasan Pulau Tengah diidentifikasi telah bertambah secara signifikan. Nelayan Pulau Pari dan KIARA kuat menduga bahwa bahan dan material yang digunakan untuk menimbun pantai dan perairan Pulau Tengah merupakan substrat dan terumbu karang yang berasal dari perairan Pulau Tengah. Aktivitas yang dilarang tersebut telah dilakukan secara perlahan-lahan, hingga diduga menyebabkan kerusakan ekosistem perairan yang terdapat di perairan Pulau Tengah. Dugaan tersebut diperkuat dengan temuan warga yang mendokumentasikan terumbu karang yang telah mati dan diduga digunakan sebagai pondasi penimbunan tersebut,” jelas Susan.

KIARA melihat bahwa aktivitas pengembang Pulau Tengah merupakan miniatur dari proyeksi implementasi PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Eksploitas pasir laut sebagai substrat alami di perairan akan secara masif terjadi, hal tersebut dengan dalih melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Tetapi kenyataannya akan terjadi seperti yang di Pulau Tengah, karena akan digunakan untuk menimbun pantai dan perairan, dan pada akhirnya akan terjadinya perusakan ekosistem pesisir secara masif dan legal.

 

Merusak Ekosistem Perairan dan Merugikan Nelayan

KIARA mencatat bahwa nelayan Pulau Pari juga telah mengeluhkan bahwa mereka mengalami kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas yang dilakukan oleh pengembang Pulau Tengah, baik karena aktivitas penimbunan pantai dan perairan maupun privatisasi dan pembatasan nelayan untuk mengakses perairan Pulau Tengah.

Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3) yang juga nelayan tradisional, Bobbi mengatakan bahwa “privatisasi yang dilakukan telah menyebabkan hilangnya hak-hak konstitusional nelayan untuk mengakses seluruh gugus perairan yang ada di Pulau Pari. Nelayan mengeluhkan mereka diusir jika mendekat ke Pulau Tengah. Bahkan aktivitas budidaya ikan dan rumput laut yang dilakukan oleh nelayan sering mengalami kerusakan sehingga gagal panen. Ironinya kondisi per bulan Juli ini, jalur nelayan untuk melintasi perairan dangkal di Pulau Tengah telah ditutup dengan menggunakan material pasir, batu dan terumbu karang mati oleh pengembang tersebut.”

“Lokasi pengerukan dan penimbunan perairan yang saat ini tengah dilakukan merupakan lokasi yang sebelumnya sehari-hari kami sebagai nelayan kecil manfaatkan. Lokasi itu nelayan kecil manfaatkan sebagai tempat pasang jaring, sero, dan bubu. Bahkan kami dan perempuan nelayan juga memanfaatkan lokasi itu sebagai tempat mencari kerang serta ikan lainnya seperti ikan lainnya udang, dan juga teripang. Lokasi itu telah kami manfaatkan secara berkelanjutan dengan alat tangkap ramah lingkungan sejak tujuh generasi sebelumnya. Tetapi saat ini akses kami telah diputus untuk ke lokasi tersebut,” ungkap Bobbi.

Seharusnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah segera bertindak tegas untuk menindak, memberikan sanksi tegas kepada perusahaan pengembang dan menghentikan segala aktifitas penimbunan di Pulau Tengah.

KIARA menegaskan bahwa pelaku kejahatan lingkungan tidak hanya diberikan sanksi administratif, tetapi sanksi pidana sesuai Undang-Undang 27 Tahun 2007 tentang perusakan perairan pesisir harus diterapkan oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) selaku Pemerintah Pusat yang mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil beserta perairannya. KKP telah abai menjaga kelestarian pesisir dan pulau-pulau di Indonesia dengan terus membiarkan penimbunan dan pengrusakan terumbu karang terus terjadi selama 10 tahun terakhir. KKP tidak pernah serius melakukan pengawasan dan pemantauan atas kerusakan yang terjadi di pesisir dan pulau-pulau kecil karena pengrusakan Pulau Tengah dibiarkan terjadi di wilayah yang paling dekat dengan kantor KKP itu sendiri.

“Penimbunan pantai dan perairannya serta privatisasi pulau yang secara sadar telah dilakukan, telah terbukti melanggar UU No. 27 Tahun 2007 serta hak-hak nelayan tradisional untuk melintas, mengakses laut dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih serta sehat sebagaimana telah diakui melalui Putusan MK No. 3 Tahun 2010. Sudah seharusnya KKP menunjukkan wibawanya dan perannya kepada nelayan dan masyarakat pesisir pulau-pulau kecil dengan cara menindak tegas pengembang Pulau Tengah. Buktikan ketegakan KKP kepada Nelayan Pulau Pari, bukan tunduk kepada Investor!” pungkas Susan. (*)

Informasi Lebih Lanjut

Ketua Forum Peduli Pulau Pari, Bobbi, +62 857-8161-9276

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

Nelayan Masalembu Gelar ‘‘Rokat Tase (Petik Laut)”, Sebuah Pesan Untuk Menjaga Lautan

Rilis Media Bersama
(Kelompok Nelayan Rawatan Samudra Masalembu, WALHI Jawa Timur, LBH Surabaya dan KIARA)

 

Nelayan Masalembu Gelar ‘‘Rokat Tase (Petik Laut)”, Sebuah Pesan Untuk Menjaga Lautan

 

Masalembu, 18 Juli 2023 – Sekitar 125 lebih nelayan Masalembu yang tergabung dalam kelompok nelayan Rawatan Samudra menggelar acara rutinan petik laut sebagai bentuk wujud syukur atas karunia sang pencipta dengan melimpahnya hasil laut yang memberikan hidup pada warga. Ini merupakan tradisi budaya yang diwariskan oleh para leluhur untuk dijaga dan dihormati oleh setiap generasi nelayan. Acara ini diadakan rutin selama satu tahun sekali, tepatnya memasuki pertengahan bulan Juli. Musim di mana ombak lautan tidak tinggi dan cuaca begitu bersahabat, sehingga banyak nelayan yang panen ikan.

Kegiatan petik laut ini diawali 3 hari sebelum kegiatan dengan mengaji di setiap pangkalan, lalu hari saat petik laut digelar dilakukan istighotsah dan doa bersama, lalu diakhiri dengan pawai kapal nelayan yang sebelumnya telah dihias dengan pernak-pernik cantik, menambah khidmat kegiatan tersebut.

Dalam acara petik laut ini warga Masalembu yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Rawatan Samudra juga menyampaikan pesan bahwa laut merupakan sumber kehidupan, karena itu wajib dilindungi dan dijaga. Karena hampir setiap tahun hasil laut nelayan mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari yang dahulunya bisa mendapatkan ikan rata-rata 1 ton, lalu menyusut menjadi 600-500 Kg.

Penyebab penurunan tangkapan nelayan ini ada 3 faktor. Pertama, yakni kerusakan ekosistem laut Masalembu yang diakibatkan oleh keberadaan kapal cantrang dan bom ikan. Mereka mengeruk ikan tanpa pandang bulu, bahkan sampai terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan ikut hancur. Keberadaan kapal cantrang dan bom ikan ini menjadi ancaman bagi nelayan Masalembu yang notabene adalah nelayan tradisional, maka tak heran konflik antar nelayan intensitasnya begitu tinggi.

Kedua, faktor keberadaan lalu lalang kapal besar yang tidak mematuhi prosedur, serta tidak jelasnya zonasi membuat keberadaan eksositem laut Masalembu terancam. Tahun 2022 silam kapal bermuatan batu bara pernah tumpah di Masalembu sehingga mencemari perairan sekitar. Tidak hanya itu pada 2023 kemarin juga ada kapal kecelakaan dan mencemari perairan sekitar. Dilewatinya perairan Masalembu oleh kapal-kapal besar membuat keberadaan ekosistem laut seperti terumbu karang rusak. Keberadaan kapal-kapal besar tersebut menjadi ancaman bagi masa depan ekosistem laut Masalembu.

Ketiga, faktor perubahan iklim menjadi ancaman tersendiri bagi nelayan. Sebab dampak perubahan iklim begitu nyata bagi nelayan dan ekosistem laut Masalembu. Peningkatan suhu laut telah mengakibatkan pemutihan terumbu karang dan menyebabkan terganggunya reproduksi ikan, selain itu peningkatan permukaan air laut juga mengancam daratan pulau, menyebabkan terkisisnya daratan atau dikenal abrasi sampai ancaman rob yang menjadikan hidup nelayan menjadi semakin rentan. Begitu pula cuaca yang tidak menentu, menjadikan nelayan tidak bisa memprediksi musim tangkap serta meningkatkan resiko kecelakaan.

Berangkat dari ketiga faktor tersebut, maka sudah seharusnya ada perubahan tata kelola laut serta bagaimana upaya untuk menjaga eksositem laut Masalembu yang menjadi ruang tersisa biodiversitas laut, khususnya di Jawa Timur. Perusakan demi perusakan, terutama oleh kapal cantrang, jalur lalu lintas laut serta potensi adanya tambang pasir laut pasca diterbitkannya PP No. 26 Tahun 2023 semakin menambah kerentanan nelayan dan ekosistem laut di Masalembu.

Karena itu, kami Kelompok Nelayan Rawatan Samudra Masalembu, WALHI Jawa Timur, LBH Surabaya dan KIARA dalam kegiatan petik laut ini menyampaikan sebuah pesan kepada pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sumenep.

Pertama, tindak tegas kapal cantrang dan larang segera keberadaan cantrang, lalu segera tetapkan kawasan Masaelmbu sebagai zona tangkap nelayan tradisional agar tidak ada lagi kapal cantrang yang menjadi ancaman. Kedua, segera tetapkan kawasan laut masalembu sebagai kawasan ekosistem esensial atau lindung agar ada perlindungan bagi biodiversitas laut di sana, serta memperjelas zona rute kapal pengangkut agar tidak sembarangan lewat dan mematuhi prosedur standar operasional dan lingkungan. Ketiga, menolak keberadaan PP No. 26 Tahun 2023 terkait tambang dan ekspor pasir laut. Karena keberadaannya akan semakin memperparah ekosistem laut Masalembu, serta menjadi ancaman bagi masa depan nelayan tradisional.

Terakhir, kami nelayan Masalembu benar-benar mengharapkan adanya produk dan implementasi hukum yang berpihak pada nelayan, itu penting agar nelayan tidak melakukan tindakan main hakim sendiri seperti kejadian pembakaran 2 kapal cantrang di perairan selatan Pulau Datuk, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat beberapa pekan yang lalu, peristiwa ini menunjukkan bahwa tidak mungkin nelayan diam saja ketika lautnya dirusak. Kami juga meminta pemerintah untuk memperhatikan nasib nelayan Masalembu seperti kesejahteraan yang jauh dari kata sejahtera. Meskipun katanya Masalembu banyak ikan, tetapi nelayan banyak yang terjebak dalam jaring kemiskinan. Sehingga hal ini juga patut menjadi perhatian.

Narahubung:
Matsehri (Ketua Rawatan Samudra), 0852-3537-9955
Jailani (Panitia Rokat Tase/Petik Laut), 0823-1099-0214
Wahyu (WALHI Jawa Timur), 0821-4583-5417
Fikerman (KIARA), 0823-6596-7999
Wahid (LBH Surabaya), 0878-5395-2524

 

Aksi Diam Warga Pesisir Demak Menolak Penambangan Sedimentasi Pasir Laut. Masyarakat Pesisir Demak: Tolak Tambang Pasir Laut dengan Alasan Apapun!

Aksi Diam Warga Pesisir Demak Menolak Penambangan Sedimentasi Pasir Laut.
Masyarakat Pesisir Demak: Tolak Tambang Pasir Laut dengan Alasan Apapun!

 

Pada tanggal 17 Juli 2023 rombongan Komisi IV DPR RI bersama Bupati Demak, Dirjen PRL KKP, serta dinas terkait lainnya datang ke Pelabuhan Morodemak dan disambut aksi diam oleh masyarakat pesisir Tridesa (Morodemak, Margolindo, dan Purworejo). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk kekecewaan warga pesisir Demak terhadap rencana penambangan sedimentasi pasir laut di Muara Demak.

Aksi diam dan membentangkan spanduk penolakan tambang pasir laut adalah bentuk protes warga atas sikap manipulatif yang telah dilakukan untuk mengecoh warga dan mengambil sampel pasir laut yang dilakukan oleh Kantor Pelabuhan Perikanan Pantai Morodemak, Universitas Diponegoro, dan PT Wijaya Karya (WiKa). Rencana eksploitasi pasir laut tersebut akan digunakan untuk pembangunan tanggul Demak. Padahal yang rencana sebenarnya akan digunakan untuk supply material proyek Tanggul Semarang seperti yang disampaikan Bupati Demak dalam Harian Tribun.

Merespon hal tersebut, Masyarakat Pesisir Demak kecewa dengan adanya survei yang dilakukan langsung di lokasi rencana penambangan pasir laut. Masyarakat Pesisir Demak sejak awal sudah bersikap tegas dan jelas menolak penambangan pasir laut tanpa dalil atau alasan apapun. Masyarakat sangat menyayangkan hal tersebut karena hingga sampai saat ini tuntutan kami sebagai warga pesisir belum dijalankan terkait normalisasi dermaga Muara Demak. Normalisasi dermaga tersebut sangat dibutuhkan oleh nelayan karena menjadi akses keluar masuknya kapal nelayan tradisional ke dermaga Muara Demak.

Oleh karena itu, Masyarakat Pesisir Demak membentangkan spanduk penolakan tambang pasir, serta tulisan-tulisan penolakan lainnya untuk memberi pesan penolakan yang tegas dan jelas atas penambangan pasir laut. Masyarakat Pesisir Demak memiliki hak atas wilayah pesisir dan laut Demak, hak tersebut juga berlaku bagi seluruh masyarakat pesisir serta anak cucu masyarakat pesisir.

Masyarakat Pesisir Demak menuntut kepada pemerintah dan seluruh pihak untuk tidak melakukan sikap-sikap intimidatif dan manipulatif kepada masyarakat yang melakukan penolakan tambang pasir laut tersebut. Masyarakat Pesisir Demak juga memiliki hak untuk membentangkan spanduk penolakan tersebut, serta memiliki hak untuk tidak dilepaskan. Hal itu kami lakukan supaya pesan penolakan kami tetap dapat dilihat dan didengar langsung oleh publik. Masyarakat Pesisir Demak Tolak Penambangan Pasir Laut di Pesisir Muara Demak

#SaveDemak
#HidupMasyarakatPesisir
#NelayanBerdaulat

Narahubung
Salim +62 812-5931-6171

Hidayah +62 896-3723-6392

 

 

 

Merampok Sumber Daya Laut; Poros Maritim Palsu. Catatan Kritis Sekretariat Nasional KIARA atas Terbitnya PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Merampok Sumber Daya Laut; Poros Maritim Palsu

Catatan Kritis Sekretariat Nasional KIARA atas Terbitnya PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut

 

Jakarta, 31 Mei 2023 – Pada tanggal 15 Mei 2023, Presiden Joko Widodo kembali menetapkan dan mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dengan adanya PP No. 26 Tahun 2023 semakin menunjukkan watak asli pemerintah dalam melihat sumber daya kelautan yang hanya bercorak ekstraktif dan eksploitatif tetapi dibungkus dengan dalih melindungi dan melestarikan lingkungan laut.

 

Menanggapi penetapan PP Pengolahan Hasil Sedimentasi di Laut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa PP ini adalah wujud nyata gagalnya konsep poros maritim yang digencarkan oleh Presiden Jokowi. “Inilah bukti kepalsuan dari poros maritim, karena PP ini hanya akan merampok sumber daya laut. Beban kerusakan lingkungan akan dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir yang sangat bergantung dengan sumber daya kelautan dan perikanan. Pemerintah hanya berorientasi untuk penambahan pemasukan negara yang mengharapkan peningkatan pendapatan negara, tapi disisi lain tidak menghitung secara mendalam bahwa akan terjadi kerusakan sumber daya kelautan yang akan terjadi jika PP ini dijalankan,” tegas Susan.

 

Rignolda Djamaluddin sebagai Ketua Presidium KIARA danjuga Direktur dari KELOLA menegaskan bahwa terdapat berbagai problematika mendasar dalam materiil PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Catatan KIARA terhadap PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut adalah sebagai berikut: Pertama, lahirnya PP No. 26 Tahun 2023 mencabut Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Jika dilihat dari terminologinya, Pemerintah Pusat menganggap bahwa pasir laut yang berada di wilayah pesisir merupakan hasil sedimentasi sehingga harus ada pengendalian untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut. “Telah jelas disebutkan dalam Pasal 1 bahwa PP ini hanya akan melegalkan penambangan pasir di laut dengan dalih pengendalian untuk mengurangi sedimentasi di laut,” tegas Susan.

 

Kedua, PP ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 yang diubah menjadi UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Dalam UU No. 27 Tahun 2007, sudah jelas melarang praktik-praktik pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bahkan terdapat Putusan MA No. 57 P/HUM/2022 terkait dengan RTRW Kab. Konawe Kepulauan yang juga dalam pertimbangannya melarang adanya pertambangan di pulau kecil,” tegas Eti Oktaviani yang merupakan anggota Presidium KIARA sekaligus Direktur LBH Semarang.

 

Ketiga, Pemerintah memandang pasir laut sebagai komoditas yang dapat dioptimalkan untuk kepentingan pembangunan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 dan Pasal 9. “Implementasi dari pengelolaan hasil sedimentasi di laut akan digunakan sebagai materi utama berbagai proyek reklamasi yang telah dilegalisasi melalui Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah disahkan di 28 provinsi. Jika dibedah secara merinci, 28 Perda RZWP-3-K akan memberikan ruang terhadap berbagai proyek reklamasi dengan total luasan 3.506.653,07 hektar area,” jelas Susan.

 

Keempat, pemanfaatan eksploitasi pasir laut akan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan untuk ekspor. “Ekspor pasir laut telah dilarang sejak tahun 2007, hal tersebut agar tidak mengulangi kesalahan yang sama karena eksploitasi pasir laut yang dilakukan semakin tidak terkendali dan lebih menguntungkan aktor-aktor tertentu. Bagaimana lagi dengan dibukanya keran ekspor untuk pasir laut, hal ini hanya akan menambah derita nelayan dan masyarakat yang akan terdampak sebagai pihak yang dikorbankan untuk kepentingan eksploitasi sumber daya kelautan, yaitu pasir laut,” jelas Susan.

 

Kelima, mekanisme sanksi di dalam PP No. 26 Tahun 2023 dilakukan dengan pendekatan sanksi administrasi. “Sanksi adminitrasi tidak akan membuat efek jera, melainkan akan memberikan waktu dan ruang bagi investor untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Hal tersebut telah terjadi di Pantai Minanga yang telah direklamasi dan pelaku usaha diberikan sanksi administrasi tetapi mereka tetap beroperasi hingga saat ini. Pemerintah memberikan sanksi yang tegas untuk memberikan efek jera,” jelas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa PP No. 26 Tahun 2023 bertentangan dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 yang secara jelas melarang aktivitas pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil. KIARA memproyeksikan implementasi PP No. 26 Tahun 2023 akan bertentangan dengan Putusan MK No. 3 Tahun 2010 dan Putusan MA No. 57 P/HUM/2022. “Legalisasi eksploitasi pasir laut akan semakin mengancam keberlanjutan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang kini sedang berjuang melawan krisis iklim. Pulau-pulau kecil akan masif terancam tenggelam jika PP ini tidak dievaluasi dan dicabut. Pemerintah seharusnya menjamin kehidupan nelayan dan ruang-ruang produksinya serta keberlanjutan ekosistem pesisir, bukan merampok sumber daya alam mereka,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Hari Nelayan 2023, KIARA: Pemerintah Harus Evaluasi Terhadap Implementasi Perlindungan Nelayan!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

Hari Nelayan 2023, KIARA: Pemerintah Harus Evaluasi Terhadap Implementasi Perlindungan Nelayan!

 

Jakarta, 6 April 2023 – 6 April merupakan momentum penting di perjalanan panjang Negara Indonesia dalam pengakuan terhadap profesi nelayan, terutama nelayan tradisional/kecil sebagai aktor yang berperan penting dalam menyediakan kebutuhan pangan laut bangsa serta sebagai penjaga keutuhan dan kedaulatan negara melalui eksistensi dan aktivitas mereka di perairan laut dan pulau-pulau terluar Indonesia.

 

Pada momentum Hari Nelayan 2023, kondisi perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional/kecil saat ini masih belum terjadi perubahan signifikan bahkan cenderung stagnan. Hal tersebut dapat dilihat melalui berbagai dinamika yang terjadi, beberapa diantaranya yaitu perampasan ruang produksi nelayan baik di darat maupun perairan, kriminalisasi dan marjinalisasi nelayan melalui regulasi, konflik horizontal terkait alat tangkap yang merusak, hingga lahirnya Perppu Cipta Kerja yang sekarang menjadi Undang-Undang No. 6 Tahun 2023. Berbagai dinamika tersebut semakin mengerucutkan pertanyaan tentang realisasi komitmen pemerintah dalam perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional/kecil dan realisasi dari komitmen tersebut.

 

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa seharusnya nelayan mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan menjadi tuan atas darat dan lautnya. “Berdasarkan data BPS tahun 2022 yang bersumber dari KKP, jumlah nelayan yang beraktivitas di laut tahun 2020 sebanyak 2.359.064 jiwa, angka ini hampir dua kali lipat jumlah nelayan yang terdata pada data kependudukan Kemendagri yang berbasis E-KTP di tahun yang sama yaitu sejumlah 1.360.263 jiwa. Sedangkan nelayan yang sudah terdaftar Kartu Kusuka pada tahun 2022 tercatat 1.563.433 jiwa. Jadi jika dilihat menggunakan data KKP pada tahun 2022, kurang lebih 700.000 jiwa nelayan sesuai data di tahun 2020 belum difasilitasi sebagai pelaku usaha perikanan. Perbedaan jumlah nelayan yang cukup besar antara data Kemendagri dengan data KKP, selain memperlihatkan tak ada angka pasti jumlah nelayan  di Indonesia, tentu memperlihatkan buruknya sistem pendataan nelayan baik oleh Kemendagri maupun KKP sendiri. Dengan ketidakjelasan data nelayan di Indonesia kita perlu mempertanyakan bagaimana dan untuk siapa sesungguhnya progam pembangunan kelautan dan perikanan yang dikemas sebagai blue economy.  Data nelayan baik dari KKP maupun data kependudukan di Kemendagri juga kerap tidak mengakomodasi pengakuan perempuan nelayan sebagai nelayan. Terlebih pada data kependudukan yang sejatinya merupakan identitas pengakuan kewarganegaraan, yang akomodasi pengakuan sebagai nelayan ini tidak hanya akan berimplikasi  pada aspek politik, melainkan juga meluas ke aspek sosial, ekonomi, dan budaya bagi perempuan nelayan dalam masyarakat. KIARA mencatat beberapa kasus di berbagai daerah, dimana ketika perempuan berusaha merubah data pekerjaannya sebagai nelayan pada identitas kependudukan mengalami hambatan dan terkadang dipersulit. Berbagai hal tentang nelayan dan perempuan nelayan ini seharunya menjadi perhatian khusus untuk segera berbalik dan menjalankan mandat konstitusi dalam melindungi dan memberdayakan nelayan sebagai pahlawan protein pangan laut bangsa,”

 

“Tetapi realita yang terjadi saat ini sangat bertentangan dengan konsep perlindungan dan pemberdayaan nelayan sebagai pemegang hak utama dalam ruang pesisir dan laut. Bahkan, tahun 2023 disambut dengan lahirnya Perppu Cipta Kerja, dan menjalani tri semester 1 disambut juga dengan lahirnya Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur yang mana kedua kebijakan tersebut kontradiktif dengan keberlanjutan profesi nelayan tradisional/kecil,” tegas Susan Herawati.

 

Memotret berbagai dinamika tersebut, KIARA menyatakan bahwa peringatan Hari Nelayan 2023 merupakan momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi masa kelamnya tata kelola sumberdaya kelautan dan perikanan yang justru meminggirkan nelayan tradisional/kecil dari ruang hidup dan produksinya. Kita bisa mengingat ulang berbagai kasus seperti perampasan ruang di Pulau Sangiang dan Pulau Pari oleh korporasi wisata; eksploitasi dan perusakan ruang kelola tradisional nelayan oleh nelayan cantrang di Sumatera Utara dan Kepulauan Masalembu; penimbunan pantai di Teluk Jakarta dan Pesisir Minanga; alih fungsi hutan mangrove menjadi sawit di langkat; pertambangan di perairan Pulau Rupat, Bangka, Pulau Wawonii, Pulau Sangihe, Pulau Obi; hingga Penangkapan Ikan Terukur yang sedang dijalankan, tanpa adanya kajian mendalam dan scientific.

 

“Setiap peristiwa tersebut seharusnya bahan untuk melakukan evaluasi total terhadap aktivitas pembangunan dan investasi yang dihadirkan selama ini. Apakah dengan agenda-agenda yang telah dijalankan telah berdampak tercapainya kesejahteraan dan kedaulatan nelayan dan perempuan nelayan, atau malah agenda tersebut yang semakin menjauhkan bahkan mengubur harapan tercapainya kesejahteraan nelayan. Salah satu yang dapat membawa nelayan dalam mencapai kesejahteraan adalah dengan memberi mereka hak untuk mengelola ruang-ruangnya secara tradisional dengan berbagai praktik-praktik pengetahuan dan kearifan lokal yang telah berjalan disetiap daerah,” desak Susan.

 

KIARA mencatat bahwa kebijakan Perppu Cipta Kerja yang menjadi UU No. 6 Tahun 2023 beserta turunannya yaitu PP PIT menjadi ancaman serius bagi perlindungan ekosistem dan sumberdaya kelautan perikanan beserta aktor utamanya yaitu nelayan tradisional. “Salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh nelayan tradisional adalah perlindungan ruang kelola mereka melalui produk hukum yang dapat menjamin kemandirian nelayan dalam mengelola ruang produksinya. Serta menjalankan mandat dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 yang menjamin hak-hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil serta UU No. 7 Tahun 2016 yang menjamin perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan. Selamat hari nelayan 2023 dan panjang umur nelayan tradisional Indonesia!” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Kedaulatan Teritorial ZEE Laut Natuna Utara Tidak Untuk Ditawar!  

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

 

KIARA: Kedaulatan Teritorial ZEE Laut Natuna Utara Tidak Untuk Ditawar!

 

  Jakarta, 6 Desember 2022 – Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Vietnam telah menyelenggarakan pertemuan/perundingan teknis tentang Penetapan Batas Wilayah ZEE Indonesia-Vietnam. Pertemuan tersebut dilakukan pada 24-25 November 2022 di Hanoi, Vietnam. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan ke-16, dalam rentang waktu 12 tahun terakhir (pertemuan pertama tahun 2010).

Menanggapi perundingan tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia harus menjadikan momentum perundingan tersebut sebagai penegasan tanpa toleransi Pemerintah Indonesia terhadap luas teritorial lautnya. Penegasan tersebut sebagai bukti bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan mengikuti dasar-dasar penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif yang telah ditetapkan dalam hukum laut internasional yaitu United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

“Perundingan Laut Natuna Utara harus membuktikan Indonesia berdaulat penuh atas lautnya, sebagaimana juga telah diatur dalam Hukum Laut Internasional, UNCLOS 1982. Klaim kepemilikan Vietnam atas kawasan laut di perairan Natuna Utara tidak berdasar dan bertentangan dengan UNCLOS 1982. Hal tersebut karena Vietnam bukan merupakan negara kepulauan, melainkan Indonesialah yang merupakan negara kepulauan. Merujuk aturan UNCLOS 1982, pemerintah Indonesia berhak untuk mengklaim kawasan perairan ZEE sepanjang 200 mil dari garis pantai yang ada di Kepulauan Natuna.,” tegas Susan Herawati.

Kepulauan Natuna merupakan salah satu kepulauan terluar Indonesia yang termasuk dalam Provinsi Kepulauan Riau dan memiliki 157 pulau-pulau kecil. Kepulauan Natuna didominasi oleh kawasan laut, sehingga memiliki potensi sumber daya perikanan dan kelautan yang sangat melimpah, bahkan memiliki potensi cadangan sumber daya minyak dan gas. KIARA mencatat bahwa pada 2020, produksi perikanan tangkap di perairan Natuna sebesar 120.583,29 ton. Data dan Informasi KIARA 2022 mencatat bahwa perairan laut Natuna Utara dimanfaatkan oleh 5.590 rumah tangga perikanan tangkap lokal yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya perikanan ada di perairan laut Kabupaten Natuna. Sedangkan jumlah alat produksi yang mereka gunakan adalah sebanyak 4.417 unit, yang terdiri dari: 1) perahu tanpa motor sebanyak 1.141 unit; 2) perahu motor tempel sebanyak 294 unit; dan 3) kapal motor sebanyak 2.982 unit.

“KIARA mencatat bahwa sumber daya perikanan belum dimanfaatkan secara merata karena jumlah kapal penangkap ikan tidak berbanding lurus dengan jumlah keluarga nelayan. Total alat produksi nelayan penangkap ikan di perairan natuna adalah sebanyak 4.417 unit perahu. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap keluarga nelayan memiliki paling sedikit satu alat produksi, berupa perahu penangkap ikan. Sehingga nelayan dapat berdaulat dan memanfaatkan sumberdaya perikanan di perairan Natuna, khususnya perairan Natuna Utara,” desak Susan.

Salah satu poin krusial dalam pertemuan teknis tentang Penetapan Batas Wilayah ZEE Indonesia-Vietnam adalah pertimbangan Indonesia untuk memberikan konsesi laut kepada Vietnam. KIARA menyatakan kekecewaan diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, terutama dalam hal menjaga kedaulatan teritorial laut Indonesia yang dilindungi UNCLOS 1982. KIARA memberikan 2 catatan utama. Pertama, jika pemerintah Indonesia memberikan konsesi laut kepada Vietnam, hal ini jelas bahwa pemerintah memberikan karpet merah kepada Vietnam yang selama ini melakukan praktik pencurian ikan dan IUU Fishing di perairan Indonesia. Pemberian konsesi akan merugikan nelayan lokal dan Indonesia akan kehilangan ruang dan klaim atas sumber daya alam yang terkandung dalam konsesi tersebut.

 

Kedua, pemberian konsesi akan mempersempit luas kedaulatan Indonesia terhadap teritorial lautnya, dan memperluas teritorial laut Vietnam. “KIARA menilai pemerintah Indonesia harus bersikap tegas, terhadap pemerintah Vietnam atas kedaulatan teritorial Indonesia. Sikap tegas lainnya adalah dengan memperkuat pertahanan dan melakukan pengamanan batas-batas wilayah pulau terluar, salah satunya dengan menindak tegas aktivitas pencurian ikan oleh asing,” tegas Susan.

Sumber daya perikanan dan kelautan yang ada di Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya di Perairan Natuna dan Anambas masih kaya akan sumber daya perikanan dan kelautan. “Sangat penting kehadiran negara untuk menguatkan dan memberdayakan nelayan lokal yang ada di Kabupaten Natuna dan Anambas sebagai bentuk perlindungan negara dengan memaksimalkan peran monitoring dan control oleh nelayan lokal. Hal ini juga sejalan dengan upaya untuk memberantas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, terutama pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal nelayan Vietnam di teritorial Indonesia. Pemerintah Indonesia juga harus tegas dalam diplomasi yang dilakukan karena kedaulatan teritorial laut Indonesia tidak untuk ditawar!” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Negara Memfasilitasi Perusakan Laut Demi PNBP, KIARA: Merusak Ekosistem Laut Demi PNBP dari Eksploitasi Pasir Laut

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Negara Memfasilitasi Perusakan Laut Demi PNBP, KIARA: Merusak Ekosistem Laut Demi PNBP dari Eksploitasi Pasir Laut


Jakarta, 1 Maret 2022 –
Pada tahun 2021 Pemerintah Indonesia telah
mengeluarkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP), baik turunan dari UndangUndang Cipta Kerja maupun bukan turunannya. Salah satunya adalah PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan PP No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

PP No. 5 Tahun 2021 merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja, sedangkan PP No. 85 Tahun 2021 bukan aturan UU Cipta Kerja, melainkan aturan pengganti dari PP No. 75 Tahun 2015. Lahirnya PP No. 85 Tahun 2021 sejalan dengan agenda dan target Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. KKP menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan hingga
tahun 2024 sebesar Rp 12 triliun.

Menurut Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, lahirnya kedua peraturan pemerintah tersebut telah dikritisi dan ditolak oleh berbagai pihak, terutama nelayan kecil dan tradisional. “Di dalam kedua peraturan pemerintah tersebut terdapat substansi yang akan mengancam keberlanjutan ekologi dan kesatuan ekosistem yang hidup di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain mengancam keberlangsungan ekologi, juga akan berdampak terhadap perekonomian dan relasi antara masyarakat (nelayan) dengan ruang lautnya,” ungkapnya.

“Kami menilai, akan terjadi masif permasalahan yang timbul akibat lahirnya kedua peraturan pemerintah ini. Permasalahan terutama adalah legalitas pertambangan pasir laut yang akan memberikan dampak kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup nelayan kecil dan tradisional,” tambah Susan.

Susan melanjutkan, di dalam PP No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, pada Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa “Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan ruang laut sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas: g. pelaksanaan reklamasi, dan, j. pemanfaatan pasir laut.” Substansi yang sama dapat ditemukan di dalam PP No. 85 Tahun 2021 Pasal (1) menyebutkan bahwa “Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan meliputi penerimaan dari: perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut.” Di dalam Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa “kegiatan pemanfaatan pasir laut dihitung berdasarkan perkalian antara persentase dengan volume dan harga
patokan.”

“Jika PP No. 5 Tahun 2021 dan PP No. 85 Tahun 2021 dikaitkan dalam konteks pertambangan pasir laut, maka kedua PP ini akan memberikan legalitas untuk
berbagai pihak melakukan pertambangan pasir laut asalkan negara mendapatkan PNBP sesuai yang ditetapkan pemerintah. Lebih jauh lagi, pada masa yang akan datang, kedua PP ini akan mendorong dan semakin memperparah eksploitasi pasir laut di berbagai perairan laut di Indonesia,” imbuh Susan.

Pertambangan Pasir Laut untuk Siapa?


KIARA mencatat bahwa proyek pertambangan pasir laut di berbagai daerah masif dilakukan untuk mendukung dan men-supply kebutuhan pasir bagi proyek reklamasi. Hingga tahun 2018, Pusat data dan informasi KIARA mencatat terdapat 41 wilayah pesisir yang tengah dan telah di reklamasi. Proyek reklamasi tersebar dari Pulau Sumatera hingga ke Pulau Papua. Total luasan wilayah reklamasi sebesar 79.348,9 hektar dan jumlah nelayan yang terdampak sebesar 747.363 jiwa.

Salah satu contohnya yang masih berproses adalah perampasan ruang akibat tambang pasir di Perairan Spermonde untuk kepentingan pembangunan proyek Makassar New Port (MNP) seluas 1.428 hektare dengan cara direklamasi. Pertambangan pasir laut tersebut dilakukan perusahaan pengeruk pasir laut asal Belanda, Royal Boskalis. Selain berdampak terhadap pencemaran lingkungan, gelombang laut yang menjadi tinggi, menurunnya pendapatan nelayan, juga terjadi kriminalisasi terhadap warga yang menolak pertambangan pasir laut tersebut.

Susan menyatakan bahwa dari berbagai permasalahan yang terjadi akibat pertambangan pasir di wilayah perairan laut dan pulau-pulau, negara hadir memfasilitasi perampasan ruang dan pengrusakan lingkungan melalui skema perizinan administrasi. “Alih-alih melindungi lingkungan dan masyarakatnya, negara justru melepaskan tanggung jawab untuk menjaga ekologi laut tetap lestari. Hal ini tercermin dari penerapan PNBP di tambang pasir laut”, ungkapnya.

Susan menegaskan bahwa pertambangan pasir laut melanggar UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 Pasal 35 huruf (i) serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010. “Putusan ini secara jelas menyatakan bahwa nelayan dan perempuan nelayan sebagai masyarakat bahari Indonesia yang memiliki hak konstitusional. Negara harus menjalankan mandat putusan MK untuk melindungi nelayan, bukan mengeluarkan regulasi yang melegitimasi eksploitasi sumber daya alam dan perusakan laut hanya demi PNBP dari pertambangan pasir laut,” tegas Susan.

Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

KIARA: 7 Orang Masyarakat Pesisir Pantai Minanga, Manado Ditahan Polisi, Penimbunan Pantai Membunuh

 Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA: 7 Orang Masyarakat Pesisir Pantai Minanga, Manado Ditahan Polisi, Penimbunan Pantai Membunuh

 

Jakarta, 15 Januari 2023 – Penimbunan pantai dan perairan Minanga, Kota Manado yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan kerugian bagi warga masih terus berlanjut. Berbagai upaya hukum yang telah ditempuh  warga tidak mendapatkan perhatian yang serius untuk menghentikan penimbunan pantai, terakhir adalah pengaduan ke Komnas Ham yang kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan lapangan ke pantai Minanga pada 19 Desember 2022. Di sisi lain, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara terus mendengungkan adanya kucuran investasi untuk pariwisata berupa perhotelan senilai 2 trilyun rupiah jika penimbunan pantai ini berhasil dilakukan.  Penimbunan pantai Minanga dilakukan oleh PT. TJ Silfanus untuk menyiapkan lahan bagi pembangunan Hotel Westin. Jaringan usaha hotel ini merupakan anak usaha dari grup jaringan usaha perhotelan internasional yaitu Starwood Hotels and Resorts Worldwide, Inc yang merupakan anak usaha Marriott International Inc sejak diakuisisi tahun 2015. Selain Westin dan tentunya Marriott, Perusahaan jaringan perhotelan ini menaungi berbagai jaringan hotel di antaranya, Sheraton, St. Regis, Le Meridien, Four Point, dan beberapa hotel lainnya.

Merespon perkembangan penimbunan yang tak kunjung  dihentikan, pada hari Sabtu 14 Januari 2023, warga di sekitar pantai Minanga yang merupakan masyarakat adat Bantik pada pukul 07.00 WIT bergerak ke area reklamasi untuk menghentikan aktivitas penimbunan. Penghentian ini dilakukan warga dengan memasang baliho yang bertuliskan Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup sebagai simbol perlawanan warga atas reklamasi di pantai Minanga. Pemasangan dilakukan pada batas antara lahan pantai dan area yang sementara akan ditimbun. Adu mulut kemudian terjadi antara warga dengan aparat  di antara batas simbol perlawanan tersebut. Polisi menegaskan bahwa reklamasi di Minanga sudah berizin dan meminta warga agar tidak melakukan tindakan yang merugikan.

Warga menjelaskan bahwa reklamasi yang dilakukan sudah merugikan kehidupan warga dan proses hukum sudah ditempuh kepada instansi-instansi terkait bahkan terakhir ada kunjungan dari Komnas Ham di pantai Minanga. Namun aparat polisi yang diwakili oleh Kabag Ops menegaskan jika warga harus menempuh tindakan hukum melalui proses pengadilan. Warga tidak mau untuk mengikuti saran tersebut karena sudah banyak tahap yang warga lakukan untuk menghentikan aktivitas penimbunan.

Adu argumen berakhir saat mulai masuk waktu sholat dzuhur. Warga kemudian sholat di area reklamasi, dan setelah itu bersiap melanjutkan aktivitas yang telah direncanakan berdasarkan tujuan yang telah disepakati. Setelah waktu sholat dzuhur berakhir terlihat aparat kepolisian mengerahkan pasukan dengan perkiraan sekitar 80-an personil yang dibantu Satpol-PP sekitar 100 personil untuk menghadapi warga.

Setelah aparat polisi telah berada di lapangan dan memasuki lahan reklamasi, kemudian ada komando dari pimpinan operasi untuk menahan warga yang melawan dalam usaha penangkapan yang dilakukan oleh aparat. Situasi ini membuat warga mulai memanas, karena Resmob mulai mencoba menangkap beberapa orang warga. Ada sekitar 7 orang yang ditangkap dan dibawa ke Polresta Manado. Satu orang pingsan karena ditangkap dan dicekik oleh Resmob namun berhasil dicegah oleh warga. Hingga saat ini beberapa warga akan menuju ke polres untuk menemani para korban penangkapan. Hingga press release ini dikeluarkan warga yang ditahan masih belum dibebaskan oleh Polresta Manado.

Menyikapi peristiwa bentrokan antara warga yang berupaya menghentikan penimbunan di pantai Minanga  dengan aparat terutama kepolisian, Sekjen KIARA Susan Herawati menyatakan bahwa, “penimbunan atau reklamasi sudah selayaknya dihentikan sesuai tuntutan warga. Telah terdapat temuan yang memperlihatkan adanya dugaan kerusakan lingkungan terutama terumbu karang akibat dari penimbunan yang telah dilakukan”. Lebih jauh Susan Herawati juga mendesak pihak kepolisian untuk bertindak proporsional terhadap warga yang melakukan aksi dan segera melepaskan warga yang ditahan mengingat dalam Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 dinyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Untuk itu KIARA menyatakan:

  • Para pihak terkait dalam hal ini KLHK dan KKP untuk menindaklanjuti laporan dan permintaan warga untuk menghentikan penimbunan pantai dan perairan Minanga Kota Manado dan tidak memberikan ijin dan atau persetujuan apapun terkait dengan penimbunan pantai Minanga.
  • Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara cq Gubernur Sulawesi Utara untuk tidak hanya berpihak pada investor tetapi juga melihat keberlanjutan penghidupan masyarakat dan lingkungan di sekitar pantai Minanga dengan meninjau ulang dan menghentikan penimbunan pantai Minanga untuk kepentingan investasi pariwisata.
  • Menuntut aparat kepolisan untuk tidak melakukan tindakan yang berlebihan dalam menghadapi warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang selama ini telah mereka kelola dan manfaatkan serta membebaskan warga yang masih ditahan.

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

KIARA: Perppu Cipta Kerja Mengulang Cacatnya Omnibus Law, Merampas Hak Masyarakat Bahari!  

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA: Perppu Cipta Kerja Mengulang Cacatnya Omnibus Law, Merampas Hak Masyarakat Bahari!

 

Jakarta, 13 Januari 2023 – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja disahkan Pemerintah Pusat menjelang penutupan akhir tahun, tepatnya 30 Desember 2022. Perppu Cipta Kerja menjadi salah kado terburuk dalam sejarah perjalanan Indonesia sebagai negara hukum demokratis. Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi tanda bahaya bahwa putusan MK tentang cacat formil dan inkonstitusional bersyaratnya UU Cipta Kerja (UU CK) dapat diabaikan dengan membentuk perppu baru.

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden telah bertentangan dan mengkhianati amanat konstitusi UUD 1945. Perppu Cipta Kerja hanya akan menciptakan ketimpangan yang semakin nyata dengan mengutamakan investasi dari pada menyejahterakan dan melindungi hak-hak masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat bahari yang salah satunya adalah nelayan tradisional.

 

“Bagi masyarakat bahari, putusan MK yang menyatakan bahwa UU CK inkonstitusional bersyarat menjadi tanda bahwa pemerintah telah melakukan kesalahan fatal karena UU CK diciptakan tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat bahari. Akan tetapi, hari ini ancaman tersebut kembali dihidupkan Presiden dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja,” tegas Susan.

 

Susan menambahkan bahwa dalam catatan KIARA, isi Perppu Cipta Kerja akan menggusur ruang produksi masyarakat bahari, menghancurkan keberlanjutan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, hingga meningkatkan kerentanan kriminalisasi terhadap nelayan dan perempuan nelayan yang melakukan pengolahan hasil perikanan.

 

Menurut KIARA, terdapat kecacatan Perppu Cipta Kerja baik secara prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (perppu) maupun secara substansial. Secara substansial kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil beserta masyarakat bahari, yaitu sebagai berikut: Pertama, Perppu Cipta Kerja tidak menjawab perbaikan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat; Kedua, Perppu Cipta Kerja tidak mengutamakan perlindungan kepada hak-hak masyarakat bahari sebagaimana dimandatkan dalam Putusan MK No. 3 Tahun 2010;  Ketiga, Perppu Cipta Kerja menghapus kriteria nelayan kecil dalam terminologi nelayan kecil, sehingga akan menghilangkan prioritas dan kekhususan yang akan diterima oleh nelayan kecil. Dalam UU Perikanan bahwa kategori nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan paling besar 5 GT, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan kembali ditegaskan bahwa nelayan kecil adalah menggunakan kapal perikanan paling besar 10 GT.

 

Keempat, Perppu Cipta Kerja menambahkan Pasal 17A dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang menjadikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengatur tata ruang disetiap provinsi dan dapat mengubah peruntukan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil atas nama kebijakan strategis nasional. Kelima, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 26A dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang memberikan karpet merah kepada Penanaman Modal Asing (PMA) untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya. Hal ini tentu dapat berdampak pada kembalinya privatisasi pulau-pulau kecil dengan dalih investasi PMA.

 

Keenam, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 51 dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengubah status zona inti dalam kawasan konservasi. Kawasan konservasi akan dibayangi ancaman pengubahan status zona untuk berbagai kepentingan eksploitatif, tentu akan berdampak terhadap keberlanjutan kawasan konservasi yang terjaganya keanekaragaman biodiversitas yang terdapat di dalamnya. Ketujuh, Perppu Cipta Kerja akan memaksa setiap orang yang melakukan usaha perikanan untuk wajib memiliki perizinan berusaha dan menghapus pengecualian bagi nelayan dan perempuan nelayan tradisional dalam Pasal 26 UU No. 7 Tahun 2016. Hal tersebut akan berdampak semakin dipersulitnya aktivitas pengolahan perikanan hasil produksi nelayan dan perempuan nelayan yang dilakukan secara swadaya dan tradisional serta jika mereka tetap melaksanakan aktivitas tersebut, akan rentan terhadap kriminalisasi dengan dipidana paling lama 8 tahun dan pidana denda sebesar 1,5 miliar.  Serta kedelapan, Perppu Cipta Kerja kembali memberikan karpet merah untuk masuknya investasi perikanan asing sehingga dapat beroperasi di wilayah perairan Indonesia

 

“KIARA mengajak seluruh lapisan elemen masyarakat untuk terus melakukan perlawanan penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja. Perppu ini secara jelas dan terang-terangan hanya akan memberikan kepastian hukum kepada investor, baik domestik maupun asing. Prioritas penyelamatan bagi ekologi pesisir, kelautan perikanan dan pulau-pulau kecil serta perlindungan kepada masyarakat bahari yang ada di dalamnya menjadi hal yang diprioritaskan setelah dilindungi dan dijaminnya investasi oleh korporasi. Tak ada ruang negosiasi selain melakukan perlawanan bagi pelaku kejahatan lingkungan di Indonesia,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

PNBP Perikanan Tangkap KKP 1,2 T. KIARA: Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional Belum Berdaulat dan Sejahtera.

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

PNBP Perikanan Tangkap KKP 1,2 T,

KIARA: Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional Belum Berdaulat dan Sejahtera.

 

Jakarta, 5 Januari 2023 – Pada akhir Desember 2022, tepatnya 26 Desember, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) KKP mencapai Rp.1,79 triliun. Nilai tersebut terdiri dari Rp.1,1 triliun dari sumber daya perikanan, Rp.611,8 miliar dari non-SDA, dan Rp.44,3 miliar dari Badan Layanan Umum (BLU). Khususnya, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP menyebut bahwa capaian PNBP sektor perikanan tangkap sebesar Rp.1,26 triliun.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa klaim keberhasilan peningkatan PNBP Perikanan Tangkap KKP tersebut harus disertai dengan keterbukaan data yang digunakan secara detail, terutama nilai produksi perikanan tangkap laut serta jenis armada kapal yang digunakan, apakah kapal di bawah 10 GT, antara 10 sampai 30 GT dengan kewenangan pemerintah daerah provinsi, atau di atas 30 GT dengan kewenangan pemerintah pusat.

“Transparansi data secara terbuka, rinci dan menyeluruh sangat dibutuhkan oleh seluruh pihak untuk memberikan input kepada KKP, terutama dalam hal PNBP sektor KKP. Berapa volume dan nilai produktivitasnya serta aktor pelakunya? Sehingga data tersebut terbuka dan tranparan kepada publik, bukan data sementara maupun data sangat sementara,” ungkap Susan.

Selanjutnya, Susan menyampaikan kepada KKP untuk tidak terjebak dalam euforia PNBP karena hasil akhir dari PNBP tersebut harus kembali kepada nelayan tradisional untuk pemberdayaan dan perlindungan nelayan. “Data yang diungkapkan oleh Dirjen DJPT, jika ditelaah dan dilihat dari Laporan Kinerja DJPT Triwulan I-III, kami melihat bahwa terdapat perbedaan. Berdasarkan Laporan Kinerja DJPT Triwulan I-III tersebut, total realisasi jumlah produksi perikanan tangkap di laut sebesar 5,69 juta ton, sedangkan data yang disampaikan oleh Dirjen Perikanan Tangkap sebesar 5,96 juta ton. Hal tersebut perlu dikoreksi oleh DJPT KKP sehingga tidak ada kekeliruan data yang diterima masyarakat,” tegas Susan.

KIARA masih menyoroti berbagai kendala yang dialami oleh nelayan tradisional dalam melakukan produktivitasnya serta klaim keberhasilan PNBP. Pertama, nelayan masih kesulitan dalam akses BBM. Akses tersebut dalam hal ketersedian BBM di pesisir dan pulau-pulau kecil hingga kenaikan harga BBM yang tidak disertai dengan kenaikan harga ikan yang dijual ole nelayan.

Kedua, nelayan masih berjuang dalam mempertahankan ruang produksinya dari industri ekstraktif yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa contoh diantaranya adalah privatisasi pulau tengah yang berdampak dilarangnya nelayan untuk melintas dan melakukan aktivitas produksinya di perairan Pulau Tengah, Gugusan Pulau Pari. Privatisasi Pulau Pari dan Pulau Sangiang oleh korporasi industri pariwisata. Masuk dan beraktivitasnya cantrang di wilayah perairan tradisional nelayan Pulau Masalembu yang merusak ruang produksi nelayan tradisional Masalembu, alih fungsi perairan tangkap nelayan menjadi pelabuhan pertambangan nikel di Desa Sukarela Jaya, Pulau Wawonii, serta berbagai hal lainnya yang belum tereskpos ke publik.

Ketiga, krisis dan bencana iklim yang tengah dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Banjir rob tengah terjadi di Teluk Jakarta, pantai utara jawa (pantura), pulau-pulau kecil NTT (Pulau Flores, Pulau Alor, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Timor dan Pulau Rote), pesisir Pallameang Kab. Pinrang Sulawesi Selatan dan lain sebagainya.

Keempat, KKP hanya fokus terhadap upaya peningkatan PNBP di sektor perikanan dan kelautan, sedangkan pertumbuhan perekonomian nelayan tradisional masih belum dirasakan oleh nelayan itu sendiri. “Jika melihat data jumlah kapal yang beroperasi di Indonesia, didominasi oleh nelayan tradisional dan kecil hingga kapal di bawah 30 GT, seharusnya pemerintah memprioritaskan pertumbuhan dan peningkatan perekonomian nelayan tradisional dan kecil, bukan memberikan karpet merah terhadap investasi dan ekstraksi sumber daya perikanan kepada korporasi perikanan tangkap,” jelas Susan.

“Peningkatan perekonomian masyarakat bahari khususnya nelayan tradisional melalui perlindungan ekologi dan ruang produksi nelayan, pemberdayaan dan peningkatan kapasitas serta alat produksi nelayan seharusnya menjadi fokus utama yang diprioritaskan KKP. Tidak mengutamakan investasi yang akan mengeruk dan meminggirkan nelayan tradisional atas nama peningkatan PNBP. Pemerintah sudah saatnya kembali menjalankan mandat konstitusi terutama untuk menyejahterakan nelayan sebagai rightholder dan tuan atas laut dan pulaunya,” pungkas Susan. (*)

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502