Masyarakat Rempang Demonstrasi di Kedubes Tiongkok dan Kemenko Perekonomian Menolak Proyek Rempang Eco City

Siaran Pers Bersama
Masyarakat Rempang Demonstrasi di Kedubes Tiongkok dan Kemenko Perekonomian Menolak Proyek Rempang Eco City

 

Warga Rempang Tolak PSN Rempang Eco-City JAKARTA- Masyarakat Pulau Rempang bersama jaringan solidaritas untuk Rempang menggelar aksi di depan Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian pada Rabu (14/8/2024) siang. Aksi ini adalah lanjutan dari aksi damai warga Pulau Rempang yang sebelumnya digelar di depan Kedutaan Besar Tiongkok di hari yang sama.

Masyarakat berorasi, menyatakan sikap tegas mereka menolak penggusuran akibat rencana pemerintah membangun Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Mereka membawa spanduk berisi tulian “Masyarakat Rempang Tolak PSN Rempang Eco City, Raja Adil Raja Disembah Raja Zalim Raja Disanggah”. Mereka juga sertakan perjuangan mereka mempertahankan ruang hidupnya dengan spanduk bertuliskan semangat mempertahankan kampung yang telah mereka diami turun temurun sejak ratusan tahun lalu.

Ishak, warga Pulau Rempang, mengatakan mereka tidak lagi dapat bersuara di kampungnya, karena pemerintah baik di kelurahan hingga provinsi tidak pernah mendengar aspirasi mereka. Perjuangan mereka menyuarakan aspirasi hari ini, menjadi bukti nyata ikhtiar masyarakat tetap ada.

“Meskipun negara ada di langit, kami akan datangi, untuk memperjuangkan tanah dan ruang hidup kami. Kami sudah capek mengeluh di Pemko Batam, kami sudah lelah mengeluh di sana.”

Warga lain juga bersuara. Menceritakan tidak nyamannya kehidupan mereka sejak konflik agraria akibat PSN Rempang Eco-City bergulir di sana. Setahun sudah warga berjuang, melawan intimidasi aparat dan godaan agar masyarakat setuju dengan PSN Rempang Eco City.

Mereka merasakan pedihnya gas air mata dan sakitnya peluru karet, saat bentrok antara warga dan aparat di Pulau Rempang pada 7 September 2023 lalu. Warga tidak lagi tenang di tanah mereka sendiri, sampai saat ini.Meskipun demikian, ikhtiar menjaga tanah, ruang hidup dan tempat budaya Melayu tumbuh dan berkembang tetap mereka jalankan.

“Kami tidak suka dengan cara pemerintah merampas tanah kami. Kami inginkan keadilan,” kata Siti Hawa salah satu warga yang hadir dalam aksi ini.

Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, membersamai perjuangan warga. Mereka ambil bagian dalam orasi dan ikut menyuarakan apa yang menjadi hak masyarakat Rempang dan masyarakat dari daerah lain yang tengah berjuang.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menyampaikan Kemenko Perekonomian adalah sumber masalah. Menghadirkan PSN yang justru mengubah ketenangan masyarakat, bukan hanya di Rempang tapi di banyak wilayah di indonesia.

“Kita semua menyatakan menolak PSN Rempang Eco City, bagaimana mungkin proyek itu strategis kalau mengusik ribuan warga, menghancurkan pangan warga, mengusir ribuan rakyat dari tanahnya,” kata Uli.

“Kami tahu Kemenko Perekonomian sumber masalah, kami datang mengingatkan mereka, sesuai mandat konstitusi bahwa hak rakyat di Rempang harus dilindungi.”

Lebih lanjut, Uli menyampaikan perjuangan Masyarakat Rempang untuk kepentingan seluruh rakyat indonesia. Karena ambisi pembangunan di Pulau Rempang akan merusak ekologi Pulau Rempang itu sendiri, juga akan membuat Indonesia rentan.

Divisi Hukum KontraS, Vebrina Monicha, yang hadir dalam aksi tersebut, mengingatkan bagaimana negara melalui aparat penegak hukum (APH) baik Polisi maupun TNI, harus hadir melindungi warga, bukan justru melakukan tindakan kekerasan seperti intimidasi bahkan kriminalisasi.

“Puluhan warga Rempang sudah mengalami kriminalisasi dengan dalih pengrusakan kantor BP Batam. Pola inilah yang selalu digunakan oleh Negara melalui polisi sebagai alat kekuasaan untuk membungkam masyarakat adat yang menolak PSN.”

Staf Advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Abib, menyampaikan pihaknya mendesak penghentian perampasan atas tanah dengan pola yang terus berulang. Ia mendesak semua pihak untuk menghormati hak atas tanah yang telah dimiliki masyarakat.

Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi WKR WALHI Riau juga menyatakan pemerintah harus segera mencabut PSN Rempang Eco-City.

“PSN Rempang Eco-City telah menimbulkan konflik di antara masyarakat Rempang. Alih-alih datang membawa proyek yang merugikan, Pemerintah seharusnya memberi legalitas kampung kepada masyarakat Rempang. Merekalah yang hidup dan menghidupi kampung jauh sebelum Indonesia merdeka, bukan para investor”.

Staff Advokasi LBH Pekanbaru, Wira Ananda Manalu, menyatakan perlakuan represif yang dialami peserta aksi menunjukkan bagaimana begitu masifnya pola- pola pembungkaman terhadap penolakan proyek Rempang Eco City.

“Situasi hari ini sama saja dengan apa yang dialami oleh warga di Pulau Rempang- Galang. Penggunaan kekerasan, intimidasi dan ancaman kriminalisasi masih menghantui warga yang sedang memperjuangkan penolakan relokasi. Bahkan di jakarta sebagai pusat kekuasaan, tidak menjamin keamanan dan kebebasan warga Rempang yang sedang memperjuangkan kampung halamannya”.

Judianto Simanjuntak dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan, pemerintah harus membatalkan PSN Rempang Eco City untuk melindungi tanah adat ulayat Rempang. Ini merupakan kewajiban negara utamanya pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat adat sebagaimana dijamin dalam konstitusi, Undang Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999 , dan berbagai peraturan lainnya. Momentum Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang dirayakan di dunia setiap tanggal 9 Agustus termasuk di Indonesia seharusnya mengingatkan pemerintah tentang hak-hak masyarakat adat yang harus dihormati dan dilindungi, termasuk Hak atas wilayah adat.

Pengurus YLBHI, Eddy Kurniawan Wahid, menyoroti Penetapan Rempang Eco City sebagai PSN oleh Permenko Nomor 7 Tahun 2023 dengan proses yang singkat, tertutup, dan tidak partisipatif adalah bentuk produk legislasi yang ugal-ugalan, mengabaikan keselamatan rakyat dan lingkungan. Permenko 7/2023 menyediakan karpet merah bagi investasi asal China, PT. Xinyi Internasional Investments Limited. Jadi, ini semacam permufakatan bisnis jahat antara Pemerintah dengan korporasi asal China yang mengabaikan prinsip-prinsip HAM dan lingkungan.

Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Fikerman Saragih, menyebutkan bahwa yang terjadi di Pulau Rempang merupakan salah satu potret penghilangan identitas asli sebagai masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini jelas telah bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Selain itu juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut, hak untuk mendapatkan perairan lingkungan perairan yang bersih dan sehat, hak untuk mengelola sumber daya sesuai dengan kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini dan dijalankan secara turun temurun dan hak untuk memanfaatkan sumber daya perikanan dan kelautan. Pemerintah harus mengevaluasi dan membatalkan penetapan PSN Rempang yang secara nyata telah ditolak oleh masyarakat asli Rempang itu sendiri. Masyarakat Rempang memiliki hak untuk menyatakan tidak dan menolak kebijakan serta proyek yang berpotensi merampas hak atas tanah dan laut serta menjadikan mereka pengungsi di tanah yang telah dikelola secara turun temurun.

Departemen Advokasi dan kampanye Trend Asia Wildan Siregar, Proyek Rempang Eco City harus di hentikan, investasi ini telah menyebabkan berbagai pelanggaran yang berujung penyingkiran masyarakat. Industri Ekstraktif sudah tidak relevan lagi, Pemerintah harus beralih ke ekonomi yang inklusif untuk terciptanya ekonomi yang berkeadilan, demokratis dan berperspektif pemulihan. Tidak ada lagi berita penyingkiran, perampasan lahan dan kekerasan aparat dengan modus pertumbuhan ekonomi yang pada dasarnya hanya memberikan untung kepada Oligarki.

Hormat kami,
Solidaritas Nasional untuk Rempang

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Dompet Dhuafa, WALHI Jakarta, LBH Pekanbaru, BEM SI Kerakyatan, Trend Asia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP MAN) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), WALHI Nasional.

KIARA:Selamat Hari Nelayan 2024, Perlindungan Nelayan Kecil dan Tradisional Harus Segera Dilaksanakan!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA:Selamat Hari Nelayan 2024, Perlindungan Nelayan Kecil dan Tradisional Harus Segera Dilaksanakan!

 

Jakarta, 6 April 2024 – Disetiap tanggal 6 April, seluruh masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Nelayan Nasional sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan atas jasa nelayan di Indonesia, khususnya nelayan kecil dan tradisional dalam upaya pemenuhan gizi dan protein bagi seluruh rakyat Indonesia. Profesi nelayan juga memiliki peran penting sebagai ujung tombak dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Indonesia melalui eksistensi mereka di perairan laut Indonesia, khususnya diperairan perbatasan Indonesia dengan negara-negara lain.

 

Akan tetapi, hingga saat ini perlindungan atas kedaulatan ruang perairan nelayan kecil/tradisional serta pengakuan atas eksistensi profesi nelayan kecil, khususnya perempuan nelayan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Nelayan kecil diberbagai wilayah masih minim perlindungan dan pengakuan tersebut meningkatkan kerentanan yang dialami oleh nelayan kecil yang saat ini juga tengah berjuang menghadapi perampasan ruang (ocean grabbing) hingga perubahan iklim yang berdampak terhadap semakin jauhnya area tangkapan, meningkatnya biaya produksi, menurunnya hasil tangkapan, hingga meningkatnya kasus-kasus perampasan ruang bahkan penggusuran nelayan.

 

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa saat ini kondisi nelayan masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, khususnya dalam konteks pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah. Hal tersebut juga sesuai dengan mandat Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. “Akan tetapi mandat dari UU 7/2016 tersebut masih belum sepenuhnya dijalankan dan kondisi nelayan kecil saat ini dalam kondisi terancam akibat perampasan ruang hidup. Hal itu dilegitimasi oleh berbagai kebijakan dan peraturan yang disusun oleh pemerintah itu sendiri, salah satu contohnya adalah rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta dan juga di Jawa Tengah,” ungkapnya.

 

Susan menjelaskan bahkan Presiden yang terpilih saat ini yaitu Prabowo Subianto tengah gencar terlibat dalam rencana proyek pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) yang ada di Pantai Utara Jawa, khususnya di Teluk Jakarta dan Perairan pesisir Jawa Tengah. “Proyek pembangunan tanggul laut raksasa/Giant Sea Wall ini akan menyebabkan beberapa hal, yaitu akan menimbun laut yang akan merampas ruang tangkap nelayan kecil/tradisional. Untuk men-supply kebutuhan material pasir laut, maka akan menambang pasir laut ditempat lain, sehingga juga akan menyebabkan perampasan ruang tangkap nelayan dan merusak ekosistem perairan laut ditempat penambangan pasir tersebut,” tegas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa kebijakan lain yang saat ini berpotensi merampas dan merusak ruang hidup nelayan dan ekosistem laut adalah aktivitas yang dilegitimasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang sejatinya melegalisasi praktik penambangan pasir laut di perairan Indonesia. Selain pertambangan pasir laut, ada juga pertambangan nikel yang saat ini dimasifkan untuk hilirisasi nikel nasional. Kebijakan lainnya adalah pembatasan penangkapan ikan, yang disahkan melalui PP No. 11 Tahun 2023 dan PermenKP No. 36 Tahun 2023 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Di Zona Penangkapan Ikan Terukur Dan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Lalu ada proyek pariwisata dengan label eco-wisata, premium, hingga eksklusif yang menyebabkan privatisasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil hingga membatasi bahkan memutus akses nelayan atas ruang kelolanya.

 

KIARA juga menyoroti UU 7/2016 karena tidak adanya jaminan atas kepastian ruang tangkap tradisional nelayan, dan jaminan pengakuan kepada perempuan yang berprofesi sebagai nelayan dalam UU tersebut. Saat ini terdapat 3,9 juta jiwa perempuan nelayan yang belum mendapatkan pengakuan atas profesi sebagai nelayan dari pemerintah. Ini seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk segera merevisi UU 7/2016 atau memasukkan 2 konteks tersebut dalam peraturan teknis/pelaksaannya, sehingga UU 7/2016 menjadi UU yang implementatif, bukan seperti kondisi aktual saat ini,” tegas Susan.

KIARA mencatat bahwa selain konteks kebijakan dan peraturan domestik, nelayan juga tengah dicemaskan dengan kebijakan internasional yang akan meliberalisasi sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia melalui investasi dan perdagangan. “Bahkan dalam konteks global, saat ini tengah dibahas tentang penghapusan berbagai subsidi perikanan dalam Konferensi Tingkat Menteri di World Trade Organization (WTO). Penghapusan subsidi perikanan yang dibahas tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi nelayan kecil, karena subsidi untuk nelayan kecil di Indonesia merupakan mandat yang jelas dan tegas dari UU No. 7 Tahun 2016 sebagai bentuk perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan menjaga sistem pangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelas Susan.

Keseluruhan kebijakan dan peraturan yang ekstraktif dan eksploitatif tersebut berujung pada minimnya perlindungan atas hak asasi manusia serta penemuhan hak-hak sebagai warga negara bagi nelayan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Seharusnya momentum Hari Nelayan Nasional di 2024 menjadi titik balik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi yang menyeluruh, mencabut regulasi yang tidak berpihak kepada profesi nelayan kecil, menyusun perlindungan ruang tangkap tradisional, serta memberi pengakuan kepada perempuan nelayan akan menjadi satu terobosan dan langkah majuyang progresif dari Pemerintah Indonesia untuk perlindungan nelayan kecil. Hal itu karena 90% profesi nelayan di Indonesia merupakan nelayan kecil. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain berpihak dan melindungi nelayan kecil di Indonesia. Selamat Hari Nelayan 2024!” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KIARA: Menjadi Alat Perampas Tanah dan Mengorbankan Warga Pesisir!

Siaran Pers 

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) 

www.kiara.or.id 

Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KIARA: Menjadi Alat Perampas Tanah dan Mengorbankan Warga Pesisir!

 

Jakarta, 12 Januari 2024 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” pada Kamis, 11 Januari 2024 di Ke:Kini yang berlokasi di Jalan Cikini Raya No. 45, Cikini, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Diskusi publik tersebut menghadirkan Susan Herawati selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA, Rizky Hakim selaku Koordinator Agrarian Resource Center (ARC) dan juga 2 perwakilan warga Pulau Rempang. 

 

Menurut Rizky Hakim, agenda diskusi yang mengangkat tema militerisme di pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi topik yang penting untuk diketahui publik. Dalam perkembangannya di Indonesia, militer sebagai salah satu lembaga negara yang menurut Harvey adalah bagian dari kekuatan koersif negara untuk mengamankan atau melancarkan proses akumulasi, justru merupakan aktor akumulasi kapital dan menjadi entitas yang terpisah dengan peran negara sebagai pemberi legitimasi atas proses akumulasi kapital. Militer sebagai bagian dari negara, dengan sifat koersifnya digunakan untuk mengamankan atau melancarkan proses akumulasi kapital dalam konteks neo-liberal sebagai akumulasi melalui penjarahan (Accumulation by Dispossesion, AbD).  

 

“Keterlibatan sebagai aktor akumulasi merubah militer menjadi kelas kapitalis, yang dalam prosesnya mengintervensi sejumlah lembaga negara untuk legitimasi atas akumulasi kapital yang dilakukannya. Salah satu contohnya terjadi di pesisir pantai Urutsewu yang merupakan lahan yang digunakan dan kuasai oleh masyarakat secara turun-temurun untuk kegiatan pertanian. Masyarakat memiliki bukti awal kepemilikan tanah (data fisik dan data yuridis) seperti Latter C ataupun Buku Tanah. Hanya saja, sejak tahun 1998 TNI/AD mengklaim lahan tersebut dalam bentuk pemetaan lahan sepihak. Di samping TNI/AD berupaya untuk mendapatkan legitimasi penguasaan lahan di Pesisir pantai Urutsewu dari sejumlah lembaga negara, pada tahun 2008 TNI/AD menerima permintaan dari salah satu korporasi untuk memanfaatkan lahan Pesisir pantai Urutsewu untuk kegiatan bisnis tambang pasir besi,” ungkap Rizky. 

 

Wilayah lain yang menjadi contoh militerisme adalah Pulau Rempang. Aparat TNI-Polri memaksa dan berhasil masuk ke wilayah tempat tinggal warga Rempang. “Di Pasir Panjang, TNI dan Polisi menjadi aktor yang digunakan untuk pemematokan lahan dan rumah warga. Sedangkan di Sembulang TNI dan Polisi bertugas mendampingi dan mengamankan PT MEG dalam pematokan lahan warga. Selain untuk pematokan lahan, terjadi juga tindakan represif dari aparat ke warga yang menolak pematokan lahan tersebut, bahkan anak sekolah juga menjadi korban.

Masuknya aparat militer dan polisi tersebut setelah Rempang dijadikan sebagai Proyek strategis nasional untuk pembangunan industri Rempang Eco-City. Proyek itu mencoba merampas tanah-tanah kami dan meminta kami pindah dari tanah nenek moyang kami,” jelas perwakilan warga Rempang. 

 

Merespon hal tersebut, Susan Herawati menyebutkan bahwa masuknya militerisme di pesisir juga disertai dengan implikasi seperti penguasaan, hingga kekerasan untuk mengintervensi dan mengintimidasi masyarakat pesisir yang menolak perampasan dan pengalihfungsian tanah di wilayah mereka. “Militer sebagai alat pertahanan negara seharusnya tegak lurus dalam tugas pokok untuk menjaga wilayah pertahanan negara. Akan tetapi militer acapkali keluar dari tugas pokok tersebut dan menginfiltrasi kehidupan masyarakat umum. Keluarnya militer dari barak digunakan sebagai alat untuk memuluskan penggusuran, relokasi, pengamanan di objek vital nasional, proyek strategis negara bahkan mengamankan masuknya perusahaan ke lahan-lahan masyarakat yang dijadikan sebagai lokasi tambang, pariwisata premium dan juga industri,” jelas Susan. 

 

KIARA mencatat bahwa salah satu kebijakan yang melegalisasi perampasan tanah untuk militerisme di pesisir dan pulau-pulau kecil adalah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). “Sejak tahun 2017 hingga 2022, KIARA mencatat bahwa telah terdapat 28 RZWP-3-K yang telah disahkan, dan terdapat 14 provinsi yang melegitimasi alokasi ruang untuk berbagai aktivitas militerisme dengan total luasan 2.580.132,76 ha. Besarnya luasan tersebut sangat jauh berbeda dengan pengakuan ruang-ruang pengelolaan masyarakat, seperti pemukiman nelayan hanya 1.227,03 ha,” tegas Susan. 

 

Militerisme juga saat ini dapat kita saksikan merasuk di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai Kementerian/Lembaga negara di Indonesia yang mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa posisi strategis di KKP saat ini diisi oleh personel TNI-Polri yang masih aktif. KIARA mencatat jabatan di KKP yang saat ini dipegang oleh personel TNI-Polri adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) KKP diisi oleh anggota Polri, Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) diisi oleh anggota Polri, dan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) diisi oleh anggota TNI AL Dari beberapa kasus kelautan dan perikanan yang ditangani KIARA, keberadaan para personel TNI-Polri ini tidak menghadirkan proses law enforcement yang jelas dan tegas untuk penyelamatan lingkungan pesisir dan laut dan keberpihakan pada kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir, tetapi membantu memuluskan berbagai investasi yang mengancam keberlanjutan lingkungan laut dan perairan.

 

KIARA mendesak pemerintah untuk menjadikan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai wilayah perlindungan masyarakat pesisir dan ruang mereka harus diakui karena mereka adalah right holders atas pesisir dan pulau-pulau kecil. “Sudah saatnya pengakuan atas kedaulatan pengelolaan masyarakat atas ruangnya diakui oleh pemerintah, bukan menerapkan militerisme sebagai alat untuk merampas ruang-ruang masyarakat dipesisir dan pulau-pulau kecil,” pungkasnya. (*) 

 

 

Informasi Lebih Lanjut 

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502 

Tahun Baru & Pemilu 2024, Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres & Cawapres

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

Tahun Baru & Pemilu 2024, Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres & Cawapres

 

Jakarta, 4 Januari 2024 – Menjalani awal tahun 2024 menandai bahwa puncak kontestasi Pemilihan Umum (PEMILU) 2024 akan segera terlaksana di 14 Februari 2024. Terdapat 3 kandidat yang telah resmi sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Pada Oktober 2023 ketiga kandidat tersebut telah mengeluarkan dokumen visi dan misi yang menjadi panduan mereka jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. 

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyebutkan bahwa KIARA telah melakukan review terhadap 3 dokumen visi dan misi ketiga kandidat tersebut. “KIARA melihat bahwa ketiga kandidat melalui dokumen visi misi tersebut masih terjebak dalam pusaran misi ekonomi biru/blue economy sebagaimana yang telah dijalankan pemerintah saat ini. Padahal konsep ekonomi biru yang dijalankan saat ini berasal dari cara pikir lembaga keuangan global, bukan seperti yang diungkapkan oleh Gunter Pauli sebagai penggagas aslinya,” ungkap Susan.

 

Berdasarkan dokumen visi misi ketiga kandidat tersebut, terdapat beberapa catatan KIARA yaitu sebagai berikut: pertama, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir khususnya nelayan, terutama hak atas pengakuan dan perlindungan ruang kelola darat dan lautnya sebagai satu kesatuan. “Evaluasi atas rezim Presiden Jokowi selama dua periode masa pemerintahannya terlihat sangat minim pengakuan atas ruang pengelolaan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini berbanding terbalik dengan akomodasi atas investasi terhadap ruang oleh rezim tersebut. Masyarakat adat dan komunitas lokal harus menghadapi realita  perampasan atas ruang pengelolaan mereka untuk berbagai industri dan investasi melalui kebijakan pusat maupun daerah. Hal tersebut bisa dilihat di Pulau Rempang, Pulau Wawonii, Gugus Kepulauan Spermonde, Pulau Sangiang hingga Pulau Pari dan Muara Angke sebagai wilayah yang paling dekat dengan istana,” jelas Susan.

 

Kedua, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan dan pengakuan perempuan yang berprofesi sebagai nelayan, baik produksi maupun pasca-produksi. “KIARA mencatat terdapat 3,9 juta perempuan yang terlibat dalam rantai produksi produksi perikanan, sedangkan KKP di tahun 2023 mencatat bahwa terdapat 3,6 juta perempuan nelayan yang menjadi penggerak rantai produksi perikanan, sedangkan yang telah menerima kartu Kusuka hanya sekitar 15 ribu perempuan nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa ada gap yang besar antar jumlah existing perempuan yang nelayan yang terlibat dalam rantai produksi perikanan dengan jaminan perlindungan melalui kartu kusuka. Hal ini juga menjadi indikator bahwa pengakuan perempuan atas identitas profesi nelayan juga masih sangat minim. Potret buruk krisis pengakuan identitas tersebut juga tidak ditangkap oleh kandidat Capres dan Cawapres dalam dokumen visi misi mereka,” tegas Susan. 

 

Ketiga, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya dijadikan sebagai obyek tempatnya masuknya industri, baik melalui konsep ekonomi biru (blue economy), seperti karbon biru (blue carbon), penangkapan ikan terukur, industri maritim dan jasa maritim, industri budidaya (komoditas perikanan unggulan), pariwisata, transisi energi, maupun industri SDA konvensional. “Berbagai industri yang dicanangkan melalui konsep blue economy dalam ketiga visi misi Capres Cawapres tersebut memperlihatkan bahwa cara pandang melihat pesisir dan pulau-pulau kecil masih terjebak dengan konsep ekstraktivisme dan bahkan bias darat. Pesisir dan pulau kecil masih dijadikan sebagai objek ekstraktivisme tanpa melihat secara holistik tentang relasi sosio-kultural antara masyarakat adat dan komunitas lokal dengan ruang pesisir dan pulau-pulau beserta ekosistem yang ada didalamnya,” jelas Susan.

 

Berdasarkan hal tersebut, KIARA berpandangan bahwa visi dan misi yang dibawa oleh ketiga kandidat hanya mengulang orientasi pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif. Terlebih lagi pembangunan yang esktraktif dan eksploitatif akan memberikan ruang kepada investasi dan penanaman modal asing  yang akan membuat masyarakat pesisir tergusur dari ruang hidupnya. 

 

Pada akhirnya, dari ketiga kandidat pemimpin bangsa tidak paham konsep utuh dari Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No 3 tahun 2010  di mana masyarakat pesisir harusnya memiliki hak untuk mengakses, hak untuk mengontrol dan memanfaatkan, hak untuk menjalankan tradisi kebernelayanan yang telah dijalan dari generasi ke generasi dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan masyarakat adat belum dijadikan sebagai pilar dan aktor utama sebagai right holders (pemilik hak utama) dalam kepastian perlindungan, pengelolaan, pemanfaatan atas ruang pesisir dan pulau kecil. Aktor utama yang dikedepankan masih pada industri dan pertumbuhan ekonomi oleh investasi korporasi. (*) 

 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Menteri KKP Akan Kembali Buka Ekspor Benih Bening Lobster, KIARA: Ekologi Adalah Panglima Hanya Lip Service, KKP Makin Melangkah Mundur

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Menteri KKP Akan Kembali Buka Ekspor Benih Bening Lobster, KIARA: Ekologi Adalah Panglima Hanya Lip Service, KKP Makin Melangkah Mundur

 

Jakarta, 22 Desember 2023 – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini tengah membahas ulang aturan ekspor Benih Bening Lobster (BBL), sehingga aturan tersebut akan melegalkan praktik ekspor BBL. Saat ini pembahasan tersebut tengah dalam proses konsultasi publik dan direncanakan akan disahkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP). Dalam perjalanan tentang ekspor BBL, peraturan ini telah dilarang di era Mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti, sedangkan di era Mantan Menteri KKP Edhy Prabowo peraturan ini dihidupkan dan menjadi penyebab kasus korupsi Edhy Prabowo. Dibahasnya kembali ekspor BBL diduga merupakan permintaan dari negara Vietnam yang merupakan negara yang sangat bergantung dengan suplai BBL dari Indonesia.

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menyebutkan bahwa wacana ekspor BBL yang disampaikan oleh Sakti Wahyu Trenggono sangat tidak rasional dan menujukkan kegagapannya dalam perlindungan keberlanjutan ekosistem kelautan dan perikanan serta membuktikan bahwa jargon “ekologi adalah panglima” hanya sekedar lip service. “Salah satu alasan KKP membahas ulang ekspor BBL ini adalah karena untuk mencegah BBLyang keluar dari Indonesia lewat jalur tidak resmi (ilegal), dan membuka jalan investasi masuk serta transfer teknologi dan pengetahuan budidaya lobster modern di Indonesia. Alasan ini sangat tidak rasional dan merupakan langkah yang semakin mundur dari KKP dalam melindungi BBL dari eksploitasi industri seperti yang terjadi di masa koruptor Edhy Prabowo,” jelas Susan.

 

KIARA menilai bahwa larangan ekspor BBLyang telah dijalankan sejak KKP era Susi Pudjiastuti dan era awal Sakti Wahyu Trenggono patut untuk diapresiasi karena berhasil menjaga keberlanjutan ekologi dari eksploitasi berlebih dan memberikan kepastian bahwa nelayan tradisional dan lokal dapat memanfaatkan BBL untuk keberlanjutan hidup mereka. “Langkah yang seharusnya diperkuat KKP adalah pengawasan dan penindakan pelaku eksportir BBL ilegal, bukan melegalkan ekspor BBL karena masifnya ekspor ilegal ke luar negeri. Langkah yang diambil oleh KKP memperlihatkan adanya kekeliruan berpikir (logical fallacy) di tubuh KKP itu sendiri,” tegas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa terdapat berbagai kerugian Indonesia jika dibukanya ekspor benih bening lobster, yaitu: pertama, eksploitasi komoditas lobster dan BBL akan semakin meningkat dan akan memperparah krisis ekologi dan sumber daya perikanan yang saat ini dihadapi Indonesia. Hal tersebut juga akan mengundang industri akan masuk kedalam bisnis ini, dan yang paling diuntungkan hanya entitas bisnis, bukan nelayan kecil/tradisional; kedua, meningkatkan eksploitasi sumber daya perikanan dan Ilegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing di perairan Indonesia, karena permintaan ikan rucah sebagai pakan budidaya lobster akan meningkat; ketiga, aktor yang akan diuntungkan adalah negara tujuan ekspor seperti Vietnam, dan Indonesia hanya akan meningkatkan pendapatan Vietnam dari penjualan lobster dewasa, serta meningkatkan peran Vietnam dalam IUU Fishing di Indonesia; keempat, meningkatkan ekstensifikasi budidaya lobster yang akan mengalihfungsikan wilayah mangrove menjadi lahan-lahan budidaya lobster di pesisir dan perairannya; dan kelima, perairan dangkal yang menjadi habitat lobster akan menjadi ruang kompetisi antara nelayan kecil/tradisional dengan industri perikanan, karena terjadi privatisasi ruang beserta komoditas yang ada di dalamnya berhadapan dengan kenyataan bahwa perairan dangkal beserta lobster yang terdapat di dalamnya adalah common pool resources yang biasa diakses oleh nelayan kecil/tradisional.

 

Padahal langkah Pemerintah Indonesia yang telah menyelamatkan BBL mencapai 1,4 juta ekor, dan mengurangi kerugian negara mencapai 240 miliar rupiah sejak Januari hingga pertengahan Desember 2023 merupakan langkah yang perlu diapresiasi dan perlu ditingkatkan lagi. “Jika pengawasan pemanfaatan dan eksploitasi BBL oleh KKP semakin ditingkatkan dan dengan melibatkan nelayan sebagai right holders di lautnya, potensi kerugian negara secara ekologi dan ekonomi atas eksploitasi BBL dapat diminimalisir. Pelibatan peran nelayan lokal dapat memaksimalkan pengawasan karena nelayanlah yang tau tentang lokasi di wilayah mereka masing-masing,” jelas Susan.

 

Berdasarkan data kerugian ekologi dan ekonomi tersebut, KIARA mendesak Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan untuk meninggalkan legacy/warisan bahwa menjaga keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan dan pengakuan hak pengelolaan masyarakat pesisir secara tradisional adalah peninggalan penting yang akan diwariskan. Salah satunya adalah dengan tetap melarang ekspor BBL serta melarang privatisasi ruang beserta sumber daya perikanan yang ada didalamnya. Dibukanya keran ekspor BBL tidak akan berdampak bagi keberlanjutan sumber daya perikanan, kesejahteraan nelayan kecil dan tradisional, serta sekaligus tidak akan meningkatkan perekonomian Indonesia. Sudah saatnya KKP berpihak kepada nelayan tradisional bukan tunduk terhadap investasi. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

(cr. picture : Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Komisi III DPR, Akademisi, dan Warga Pulau Wawonii Nyatakan Urgensi Perlindungan Pesisir dan Pulau Kecil dari Pertambangan, MK Harus Tolak Permohonan Pengujian Materiil PT GKP

Siaran Pers

Untuk segera diterbitkan

 

Komisi III DPR, Akademisi, dan Warga Pulau Wawonii Nyatakan Urgensi Perlindungan Pesisir dan Pulau Kecil dari Pertambangan, MK Harus Tolak Permohonan Pengujian Materiil PT GKP

 

Jakarta, 06 Desember 2023 – Perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana tidak memiliki legalitas pertambangan di pulau kecil Wawonii, Sulawesi Tenggara. Dalam sidang lanjutan Pengujian Materiil UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau (5/12/2023), Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), serta pakar hukum tata negara menyatakan bahwa wilayah pesisir dan pulau kecil harus dilindungi dari aktivitas ekstraktif pertambangan seperti yang ditetapkan di Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).

 

PT GKP menggugat pasal 35 huruf k UU PWP3K agar dapat terus menambang nikel di Pulau Wawonii. Karena gugatan itu, Idris warga Pulau Wawonii dan advokat yang mendampingi warga Wawonii, salah satunya TAPaK (Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-pulau Kecil) merasa terancam dengan gugatan tersebut. Sidang Pengujian Materiil itu membahas larangan aktivitas pertambangan mineral yang terkandung dalam Pasal 35 huruf K di UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 

 

Anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto mengatakan, PT GKP tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi syarat kerugian dalam Pasal 51 ayat 1 dari UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 

 

“Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Wilayah pesisir atau pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan penyangga kedaulatan bangsa. Terkait dengan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU No. 27 Tahun 2007, perlu melihat norma pengaturan dalam UU a quo,” jelasnya. 

 

Senada dengan itu, Guru Besar Ilmu Sosial Pedesaan IPB Rilus A. Kinseng menyampaikan,  masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil masih menghadapi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, marjinalisasi, penggusuran dan konflik sosial. Tidak jarang sumber penghidupan mereka terganggu akibat berbagai kegiatan pembangunan, termasuk kegiatan yang bersifat ekstraktif seperti pertambangan. Oleh sebab itu, akses dan kontrol komunitas pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap SDA sangat perlu dijaga dan dilindungi.

 

“Contoh kegiatan pertambangan di pesisir ada di Balikpapan, Kalimantan Timur, Tumpang Pitu Banyuwangi Jawa Timur dan Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Pembatalan kedua pasal (Pasal 23 dan Pasal 35 UU PWP3K) tersebut akan menciptakan praktik-praktik penggusuran dan penindasan warga komunitas lokal, termasuk masyarakat adat dan masyarakat lokal. Pasal 35 huruf k harus tetap dipertahankan, tidak boleh dibatalkan,” jelasnya. 

 

Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara Charles Simabura menyebutkan, pasal 23 dan pasal 35 UU PWP3K sudah tegas menyebutkan hal yang diprioritaskan dan kegiatan yang dilarang. Kedua hal itu harus dibaca sebagai satu kesatuan. 

 

“Harus tegas saja jika pertambangan mineral dilarang, sehingga kata ‘apabila’ (dalam Pasal 35 huruf K UU PWP3K) juga harus dihapuskan. Untuk pertambangan di pulau-pulau kecil tegas menyatakan itu harus dilarang. Mahkamah bisa mempertegas larangan pertambangan di undang-undang ini (UU No. 27 Tahun 2007).” 

 

Merespons hal tersebut, Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan JATAM sekaligus pengacara dari TAPaK menegaskan, “MK RI tidak boleh kehilangan akal sehat saat berhadapan dengan korporasi tambang Harita Group, termasuk dalam memutus perkara ini. MK RI harus bebas dari intervensi atau pesanan pihak manapun. Sebab, jika gugatan GKP tersebut dikabulkan oleh MK, Indonesia memasuki masa kebrutalan ekstraktivisme, menempatkan pulau kecil beserta seluruh kehidupan didalamnya sebagai wilayah penaklukan tambang ujungnya adalah penciptaan eco genosida masyarakat lokal dan adat Pulau kecil.”

 

Selain bertentangan dengan mandat konstitusi, gugatan PT GKP yang menginginkan adanya wilayah pertambangan di Pulau Kecil, khususnya Pulau Wawonii, juga bertentangan dengan seruan dunia internasional yang sedang bergerak menyelamatkan pulau-pulau kecil dari ancaman kenaikan air laut akibat krisis iklim. Karena itu, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI menekankan bahwa pulau kecil, termasuk masyarakat yang tinggal di dalamnya, merupakan wilayah dan kelompok rentan yang akan terdampak buruk krisis iklim. 

 

“Pertambangan di pulau-pulau kecil akan menghancurkan kemampuan adaptasi masyarakat yang hidup di pulau kecil terhadap krisis iklim. Pasalnya, pertambangan akan menghancurkan daya dukung dan daya tampung ekologi, menghancurkan kemampuan adaptasi, serta memaksa masyarakatnya menjadi pengungsi iklim pada masa yang akan datang,” tutur Parid.

 

Secara internasional hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan terbebas dari berbagai bentuk krisis telah ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), khususnya pasal 25 dan prinsip 1 Deklarasi Stockholm (1972).

 

Parid menambahkan, jika pertambangan di pulau kecil tidak dihentikan, maka Indonesia akan menjadi pasar bencana ekologis dan bencana iklim bahkan ribuan pulau di Indonesia akan hilang pada masa yang akan datang.

 

“Gugatan yang diajukan oleh PT GKP ini adalah upaya untuk melemahkan perlindungan lingkungan hidup dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan di pulau-pulau kecil. Untuk itu, persidangan ini harus kita kawal sampai gugatan PT GKP dikalahkan. Sebab, gugatan yang dilakukan oleh PT GKP ini akan menjadi ancaman bagi pulau kecil yang lain yang sedang mengalami hal serupa dengan Wawonii,” kata Parid.

 

Wildan Siregar, Pengampanye Trend Asia dan pengacara dari TAPaK mengatakan bahwa korporasi hanya datang untuk menghabisi ruang hidup masyarakat tanpa jeda. Setelah masyarakat menderita atas kerusakan lingkungan, korporasi pergi begitu saja dan mencari tempat lain untuk dieksploitasi. 

 

“Menjaga pulau untuk tetap utuh artinya menjaga masyarakat dan ekosistem di dalamnya. Hakim Mahkamah Konstitusi harus berorientasi pada penyelamatan Pulau-pulau kecil bukan malah membuka pintu untuk eksplorasi. Mahkamah Konstitusi harus melihat perlindungan masyarakat dan ekologi di pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman pertambangan secara komprehensif,” tutur Wildan.

 

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati pun menekankan bahwa MK harus memutus perkara ini seadil-adilnya untuk melindungi keberlanjutan masyarakat beserta ekosistem yang ada di pulau-pulau kecil. Pertambangan di pulau-pulau kecil seperti di Pulau Wawonii hanya bermanfaat kepada segelintir orang dan kerusakan sosial ekologi yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada manfaat yang dihasilkan. 

 

Pasalnya, lanjut Susan, akan ada 2,3 juta nelayan dan 3,9 juta perempuan nelayan yang akan dikorbankan akibat kehilangan akses ke ruang hidup (darat) dan ruang kelola (laut) mereka. Hal itu karena pertambangan di pulau kecil tidak hanya merusak daratnya saja, tetapi juga merusak laut. 

 

“TAPaK sebagai Pihak Terkait yang mewakili suara masyarakat Pulau Kecil Wawonii sangat mengharapkan kembalinya marwah MK sebagai Guardian of Constitution. MK harus menolak Pengujian Materiil Pasal 23 dan Pasal 35 untuk menjaga keberlanjutan 13.466 pulau kecil di Indonesia beserta masyarakat dan ekosistem yang ada didalamnya.”

 

Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil (TAPaK)

JATAM – WALHI – YLBHI – Trend Asia – KIARA – LBH Makassar

 

Narahubung TAPaK:

Muhammad Jamil, jatam@jatam.org 

Parid Ridwanuddin, parid.ridwanuddin@walhi.or.id 

Susan Herawati, seknas@kiara.or.id

Wildan Siregar, wildan.siregar@trendasia.org 

 

Dokumentasi dapat diakses di sini

 

Kapal VOX MAXIMA Kembali Beroperasi di Perairan Pulau Tunda dan Teluk Jakarta, Koalisi NGO Desak Penegakan Hukum Lingkungan

Siaran Pers Bersama

Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Seknas KIARA)
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Eknas WALHI)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jakarta (WALHI Jakarta)
Forum Peduli Pulau Pari (FPPP)

Kapal VOX MAXIMA Kembali Beroperasi di Perairan Pulau Tunda dan Teluk
Jakarta, Koalisi NGO Desak Penegakan Hukum Lingkungan


Jakarta, 22 November 2023 –
Pada 27 Oktober 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP) menghentikan kegiatan operasi produksi kapal isap pasir laut bernama MV Vox Maxima yang beraktivitas di sekitar wilayah perairan Pulau Tunda, Kabupaten Serang, Banten. Berdasarkan Siaran Pers KKP Nomor SP.402/SJ.5/X/2023 disebutkan bahwa KKP menemukan barang bukti muatan 24.000 m³ pasir laut. MV Vox Maxima merupakan kapal Trailing Suction Hopper Dredger (TSHD) milik Van Oord, sebuah perusahaan dari Belanda. KKP menyebutkan bahwa MV Vox Maxima dipekerjakan oleh PT. Hamparan Laut Sejahtera (PT HLS) untuk men-supply material pasir proyek reklamasi (penimbunan laut) PT Pelindo di Kalibaru, Jakarta Utara, DKI Jakarta. Hal tersebut berdasarkan kesepakatan Menteri BUMN Erick Thohir bersama PT Pertamina untuk memindahkan lokasi Tangki Bahan Bakar Minyak (TBBM) Depo Plumpang ke lahan yang akan direklamasi oleh PT Pelindo.

Merespon hal tersebut, Seknas KIARA, Eknas WALHI, WALHI Jakarta bersama Forum Peduli Pulau Pari (FPPP) melakukan kajian cepat terkait dengan aktivitas MV Vox Maxima yang kembali beroperasi di wilayah perairan Pulau Tunda, Provinsi Banten. Nelayan tradisional Pulau Pari menginformasikan bahwa mereka melihat MV Vox Maxima telah melintasi dengan muatan di perairan Pulau Pari sejak 18 November 2023 hingga 22 November 2023. Diduga MV Vox Maxima telah menghisap pasir laut sebanyak kurang lebih 120.000 m³ dari Pulau Tunda sejak tanggal 18 November hingga 22 November 2023. Dugaan awal Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP), MV Vox Maxima selama 5 hari beroperasi, telah mengeruk kurang lebih 120.000 m³ dengan akumulasi pendapatan kotor sebesar Rp22.560.000.000 (dengan perkiraan harga 1 m³ pasir laut untuk kebutuhan dalam negeri dibanderol Rp188.000/m³).

Pulau Tunda termasuk dalam kategori pulau kecil yang memiliki tingkat kerentanan tinggi karena sangat bergantung dengan pulau utama (mainland). Sebagai pulau kecil, perairan Pulau Tunda dibebankan 3 (tiga) Izin Usaha Pertambangan (IUP) pasir laut, dengan aktor perusahaan yang terdapat di bagian utara perairan Pulau Tunda (ESDM, 2023), yaitu: 1) PT Pandu Katulistiwa, wilayah konsesi seluas 954,70 ha berdasarkan SK No. 570/28/IUP.OP/DPMPTSP/XII/2020; 2) PT Hamparan Laut Sejahtera (HLS), wilayah konsesi seluas 937,70 ha berdasarkan SK No. 570/27/IUP.OP/DPMPTSP/XII/2020; dan 3) PT Krakatau Banten Sejahtera, wilayah konsesi seluas 482,00 ha berdasarkan SK No. 570/14/IUP.OP-DPMPTSP/XI/2020.

Mengulangi penghancuran lingkungan akibat reklamasi Pulau G

Aktivitas penambangan pasir laut yang dilakukan oleh kapal Vox Maxima ini, akan mengulangi kehancuran lingkungan akibat penambangan pasir untuk pembangunan Pulau G di Teluk Jakarta. “Kehancuran yang dimaksud adalah di Perairan Pulau Tunda yang mengakibatkan hancurnya kehidupan sosial ekologis nelayan, serta kehancuran di Teluk Jakarta beberapa tahun yang lalu,” ungkap Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, Ia menegaskan, pembangunan proyek reklamasi ini Pemerintah Indonesia akan meneruskan kehancuran, alih-alih memulihkan ekosistem teluk Jakarta yang telah rusak. Berdasarkan indeks kualitas air laut (IKAL) yang dipublikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020 lalu, IKAL di Teluk Jakarta memiliki skor 59,95. “Artinya, kualitas air laut di Teluk Jakarta dalam keadaan tidak baik. Proyek reklamasi ini akan semakin menghancurkan kualitas air laut di Teluk Jakarta,” tegas Suci.

Lebih jauh, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, menjelaskan bahwa biaya pemulihan lingkungan akibat pertambangan pasir laut jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan ekonomi yang dihasilkan. “Hasil Kajian WALHI bersama dengan para ahli menjelaskan, jika 1 meter kubik (M3) menghasilkan 1 Rupiah, maka biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan sebesar 5 Rupiah. Artinya, biaya pemulihan lingkungan hidup itu lebih besar lima kali lipat dari pendapatan,” ungkapnya.

Parid mengingatkan Pemerintah, akibat reklamasi Teluk Jakarta nelayan di Teluk Jakarta berpotensi kehilangan penghasilan hingga Rp 766 miliar per tahun. setiap nelayan akan rugi Rp 26,9 juta per tahun setiap 1 hektar laut terdampak reklamasi. Total kerugian para nelayan di utara Jakarta mencapai Rp137,5 miliar per tahun setiap 1 hektar laut yang terdampak reklamasi. Reklamasi juga akan mengakibatkan kerugian total Rp 13,6 miliar per tahun bagi para pemilik tambak ikan. Kemudian 1.561 orang pedagang ikan akan rugi Rp119,4 miliar setiap tahun. Begitu pula 472 pengolah ikan yang akan rugi Rp 46,2 miliar per tahun. “Dengan demikian, kami mendesak proyek reklamasi sekaligus pertambangan pasir laut di Pulau Tunda, Banten, segera dihentikan. Masa depan Pulau Tunda dan Teluk Jakarta adalah pemulihan ekologi dan ekonomi untuk nelayan,” tegas Parid.

Merespon kembali beroperasinya pertambangan pasir laut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa pertambangan pasir laut mempunyai sejarah dan dampak panjang dalam kehidupan multidimensi di pesisir dan pulau-pulau kecil. “Pertambangan pasir laut telah terbukti merusak dimensi sosial, ekologis dan ekonomi kehidupan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal yang sama juga telah dialami oleh nelayan dan masyarakat di Pulau Kodingareng tepatnya di Blok Spermonde dengan aktor PT. Pelindo dan kapal isap pasir terbesar di dunia milik perusahaan Boskalis dari Belanda, yaitu Queen of Netherland. Dampak dari aktivitas pengerukan dengan menggunakan kapal isap adalah rusaknya terumbu karang, biota laut dan ekosistem pendukung pesisir lainnya yang berada di perairan, terusirnya nelayan untuk mengakses laut sebagai ruang kelolanya, meningkat abrasi dan gelombang laut karena berubahnya morfologi laut, yang juga berdampak pada semakin terancamnya nelayan untuk melaut,” ungkap Susan.

“Kembali beroperasinya Vox Maxima mengeruk laut memperlihatkan bahwa adanya logical fallacy dari pemerintah saat ini. Di satu sisi pemerintah menganggap bahwa ekologi adalah panglima-nya Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi disisi lain mereka memberikan izin pemanfaatan ruang untuk eksploitasi pasir laut kepada pertambangan pasir laut yang akan digunakan untuk menimbun laut itu sendiri. Pemberian karpet merah terhadap pertambangan pasir laut ini juga sejalan dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dengan dalih perlindungan dan pelestarian laut, tetapi realitanya beleid ini menjadi bencana bagi keberlanjutan ekologi dan kehidupan nelayan. Pertambangan pasir laut dan penimbunan pantai telah jelas dan tegas merupakan kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, tepatnya pada Pasal 35 huruf i dan l,” jelas Susan.

Senada dengan hal tersebut, nelayan tradisional sekaligus Ketua Forum Peduli Pulau Pari, Mustaghfirin (Bobi) menjelaskan bahwa pertambangan pasir laut akan sangat berdampak bagi nelayan tradisional. “Kami nelayan kecil menganggap bahwa pertambangan baik di pulau kecil maupun perairannya adalah bentuk penjajahan baru bagi kami nelayan kecil ini. Seharusnya pemerintah serius untuk menindak korporasi yang menambang ataupun pengeruk pasir laut. Kami nelayan di Pulau Pari telah mengalami bagaimana pasir laut kami dihisap untuk memperluas Pulau Tengah yang berada di gugusan Pulau Pari ini. Jika kita lihat, luas Pulau Tengah telah bertambah signifikan dibandingkan tahun 2011. Dampaknya akses kami dibatasi untuk mencari ikan di sekitar Pulau Tengah, bahkan kami diusir ketika mendekat ke pulau itu. Selain itu, budidaya rumput laut kami juga semakin menurun bahkan kami sering gagal panen, hal itu karena rumput laut sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air laut di perairan Pulau Pari,” terang Mustaghfirin.

“Kami juga telah melaporkan hal ini kepada KKP, tetapi hingga saat ini tidak ada tindak lanjut ataupun hukuman kepada pemilik Pulau Tengah karena telah menghisap pasir laut untuk menimbun perairan di Pulau Tengah. Hal yang sama juga kini tengah dialami kawan-kawan kami nelayan tradisional di Pulau Tunda. Sedangkan terkait kapal isap pasir Vox Maxima, sejak 18 sampai 22 November 2023, kapal ini sangat mengganggu aktivitas kami sebagai nelayan kecil karena jalur yang dilewatinya adalah jalur tangkap kami nelayan kecil. Kapal itu menabrak sehingga alat tangkap kami nelayan jadi rusak. Alat tangkap yang rusak seperti
bubu, jaring, tendak (rumpon) dan bubu kepiting. Wilayah tangkap kami yang dilewati kapal itu hanya berjarak sekitar 3 mil dari Pulau Pari. Kerugian-kerugian yang nelayan kecil rasakan ini seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah karena kami nelayan kecil menjaga keberlanjutan ekosistem laut tapi lautnya malah ditambang karena izin dari pemerintah. Kami nelayan kecil menolak pertambangan pasir laut dan juga penimbunan pantai, karena nelayan yang selalu merasakan dampaknya dan menjadi korban!” tegas Mustaghfirin.

Berdasarkan hal tersebut, kami Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP) mendesak Pemerintah, baik Presiden, Menteri KP, dan berbagai kementerian terkait untuk:

  1. Mencabut seluruh rekomendasi pemanfaatan ruang laut untuk perizinan pertambangan pasir laut.
  2. Membuka informasi publik terkait proses dan hasil penindakan hukum yang telah dilakukan kepada MV Vox Maxima dan PT. Hamparan Laut Sejahtera pada Oktober 2023;
  3. Melakukan audit lingkungan perairan laut Pulau Tunda sebelum dan pasca MV Vox Maxima melakukan operasi penambangan pasir laut di perairan Pulau Tunda;
  4. Menindak tegas pihak-pihak terkait yang secara langsung maupun tidak langsung terhubung dengan operasi pertambangan pasir laut oleh MV Vox Maxima secara transparan dan akuntabel, sehingga bisa diakses oleh publik;
  5. Menuntut Presiden Republik Indonesia segera mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
  6. Menjadikan pemulihan ekologi Teluk Jakarta sebagai agenda prioritas dalam dalam rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang.

Informasi Lebih Lanjut:
Mustaghfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FPPP), di
email:forumpulaupari@gmail.com
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, di
email: seknas@kiara.or.id
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional
WALHI,
di email: parid.ridwanuddin@walhi.or.id
Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, di email:
suci.walhijakarta@gmail.com

MK Tolak Uji Formil UU CK, KIARA: Demi Investasi, Rakyat dan Konstitusi Diabaikan!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

MK Tolak Uji Formil UU CK, KIARA: Demi Investasi, Rakyat dan Konstitusi Diabaikan!

 

Jakarta, 6 Oktober 2023 – Pada tanggal 2 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait uji formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dalam amar putusannya, MK menolak permohonan para pemohon, dengan kesimpulan bahwa seluruh dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum. Dengan adanya putusan MK tersebut, maka status UU Cipta Kerja (UU CK) adalah konstitusional dan masih berlaku.

 

Merespon putusan MK terkait Uji Formil UU CK, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa seluruh lapisan dan elemen masyarakat mulai dari nelayan, petani, buruh, masyarakat adat hingga pemerhati lingkungan dan hak asasi manusia menyatakan kekecewaannya terhadap MK dan putusannya. “Putusan MK terkait uji formil UU CK memberikan tanda bahwa perjuangan untuk mempertahankan ruang-ruang hidup dan penghidupan masyarakat kini semakin berat. Hal tersebut karena yang diutamakan adalah kepastian bisa masuknya investasi melalui peraturan perundang-undangan, sehingga partisipasi yang bermakna dari masyarakat menjadi tidak penting lagi. Hal tersebut tercermin dari putusan MK tersebut,” tegas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa terdapat berbagai substansi yang berpotensi menimbulkan permasalahan di sektor pesisir dan laut yang terkandung dalam materiil UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Beberapa diantaranya adalah pertama, membebankan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan secara tradisional untuk wajib memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dari Pemerintah Pusat. Kedua, melanggengkan praktik perampasan ruang di wilayah pesisir dan laut atas nama kebijakan nasional yang bersifat strategis.

 

Ketiga, melanggengkan praktik liberalisasi dan privatisasi pemanfaatan pulau-pulau pulau kecil dan perairan disekitarnya kepada penanaman modal asing (PMA) dengan skema perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat. Keempat, membuka ruang untuk perubahan atau alih fungsi status zona inti pada kawasan konservasi nasional. Hal ini bertentangan dengan precautionary principle atau asas kehati-hatian, karena akan membuka kesempatan industri ekstraktif. Serta, kelima, UU No. 6 Tahun 2023 tidak mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat pesisir sebagaimana telah diamantkan dalam Putusan MK No. 3 Tahun 2010.

 

Susan menambahkan bahwa catatan lainnya KIARA terhadap UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja adalah penghapusan skala tonnase kapal nelayan kecil dalam terminologi nelayan kecil. “Ini menjadi celah bagi nelayan yang bukan skala kecil untuk melakukan produksi pada daerah penangkapan ikan yang tidak diperbolehkan, serta akan menghilangkan prioritas dan kekhususan yang akan diterima oleh nelayan kecil. Dalam UU Perikanan sudah jelas bahwa kategori nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan paling besar 5 GT, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan kembali ditegaskan bahwa nelayan kecil adalah menggunakan kapal perikanan paling besar 10 GT,” tegas Susan.

 

Lebih jauh, hasil putusan MK yang menyatakan menolak gugatan uji formil UU Cipta Kerja memperlihatkan kepada publik bahwa dalam MK tidak menjalankan putusan MK itu sendiri yang menyebutkan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat. “Seharusnya MK tetap menjadi gerbang pelindung konstitusi terakhir, terutama dalam perlindungan hak-hak masyarakat, baik nelayan, petani, buruh, masyarakat adat hingga pemerhati lingkungan dan hak asasi manusia, sebagaimana UU Cipta Kerja berpotensi merampas hak-hak masyarakat,” tegas Susan

 

Dalam kondisi hari ini, proses penyusunan Perppu Cipta Kerja karena kegentingan memaksa hanya menjadi akal-akalan pemerintah untuk melegitimasi masuknya investasi. Proses panjang UU Cipta Kerja menjadi Perppu Cipta Kerja dan kini kembali sah dan konstitusional menjadi UU Cipta Kerja menegaskan adanya konflik kepentingan antar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di Indonesia,” pungkas Susan. (*)

 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Masyarakat Pulau Pari: Hentikan Penimbunan Perairan yang Terjadi di Pulau Tengah, Gugusan Pulau Pari: KKP Abai dalam Pengawasan, Penindakan dan Sanksi Kepada Pelaku Pengrusakan Laut Indonesia!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Masyarakat Pulau Pari:

Hentikan Penimbunan Perairan yang Terjadi di Pulau Tengah, Gugusan Pulau Pari: KKP Abai dalam Pengawasan, Penindakan dan Sanksi Kepada Pelaku Pengrusakan Laut Indonesia !

 

Jakarta, 30 Juli 2023 – Praktik penimbunan perairan yang biasa disebut reklamasi, kini terus terjadi di Pulau Tengah, gugusan Pulau Pari. Gugusan Kepulauan Pari merupakan salah satu gugusan kepulauan yang berada di Kelurahan Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Praktik penimbunan perairan tersebut dilakukan oleh pengembang yang memprivatisasi Pulau Tengah.

Menyikapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menegaskan bahwa praktik penimbunan pantai atau penimbunan perairan yang terjadi di berbagai pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bentuk tindakan yang merusak lingkungan perairan. “Penimbunan pantai dan penimbunan perairan merupakan tindakan yang merusak ekosistem perairan pesisir dan tentu saja akan merugikan nelayan, pembudidaya ikan maupun rumput laut yang seharusnya hak-haknya dihormati dan dilindungi. Praktik penimbunan pantai dan perairan juga merupakan kegiatan yang dilarang sesuai dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007,” tegas Susan.

KIARA mengecam KKP untuk segera bertindak menghentikan praktik-praktik penimbunan pantai dan perairan yang ternyata selama ini telah dilakukan oleh pengembang/investor Pulau Tengah. Hal tersebut jelas sangat merugikan nelayan yang memanfaatkan gugusan perairan Pulau Pari sebagai ruang yang difungsikan nelayan untuk berbagai aktivitas yang berkelanjutan. “Jika dilihat dan diidentifikasi secara spasial, ternyata penimbunan pantai dan perairan yang terjadi di Pulau Tengah dimulai sejak tahun 2011 dengan luasan awal ± 9 Ha. Hingga saat ini, luasan Pulau Tengah diidentifikasi telah bertambah secara signifikan. Nelayan Pulau Pari dan KIARA kuat menduga bahwa bahan dan material yang digunakan untuk menimbun pantai dan perairan Pulau Tengah merupakan substrat dan terumbu karang yang berasal dari perairan Pulau Tengah. Aktivitas yang dilarang tersebut telah dilakukan secara perlahan-lahan, hingga diduga menyebabkan kerusakan ekosistem perairan yang terdapat di perairan Pulau Tengah. Dugaan tersebut diperkuat dengan temuan warga yang mendokumentasikan terumbu karang yang telah mati dan diduga digunakan sebagai pondasi penimbunan tersebut,” jelas Susan.

KIARA melihat bahwa aktivitas pengembang Pulau Tengah merupakan miniatur dari proyeksi implementasi PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Eksploitas pasir laut sebagai substrat alami di perairan akan secara masif terjadi, hal tersebut dengan dalih melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Tetapi kenyataannya akan terjadi seperti yang di Pulau Tengah, karena akan digunakan untuk menimbun pantai dan perairan, dan pada akhirnya akan terjadinya perusakan ekosistem pesisir secara masif dan legal.

 

Merusak Ekosistem Perairan dan Merugikan Nelayan

KIARA mencatat bahwa nelayan Pulau Pari juga telah mengeluhkan bahwa mereka mengalami kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas yang dilakukan oleh pengembang Pulau Tengah, baik karena aktivitas penimbunan pantai dan perairan maupun privatisasi dan pembatasan nelayan untuk mengakses perairan Pulau Tengah.

Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3) yang juga nelayan tradisional, Bobbi mengatakan bahwa “privatisasi yang dilakukan telah menyebabkan hilangnya hak-hak konstitusional nelayan untuk mengakses seluruh gugus perairan yang ada di Pulau Pari. Nelayan mengeluhkan mereka diusir jika mendekat ke Pulau Tengah. Bahkan aktivitas budidaya ikan dan rumput laut yang dilakukan oleh nelayan sering mengalami kerusakan sehingga gagal panen. Ironinya kondisi per bulan Juli ini, jalur nelayan untuk melintasi perairan dangkal di Pulau Tengah telah ditutup dengan menggunakan material pasir, batu dan terumbu karang mati oleh pengembang tersebut.”

“Lokasi pengerukan dan penimbunan perairan yang saat ini tengah dilakukan merupakan lokasi yang sebelumnya sehari-hari kami sebagai nelayan kecil manfaatkan. Lokasi itu nelayan kecil manfaatkan sebagai tempat pasang jaring, sero, dan bubu. Bahkan kami dan perempuan nelayan juga memanfaatkan lokasi itu sebagai tempat mencari kerang serta ikan lainnya seperti ikan lainnya udang, dan juga teripang. Lokasi itu telah kami manfaatkan secara berkelanjutan dengan alat tangkap ramah lingkungan sejak tujuh generasi sebelumnya. Tetapi saat ini akses kami telah diputus untuk ke lokasi tersebut,” ungkap Bobbi.

Seharusnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah segera bertindak tegas untuk menindak, memberikan sanksi tegas kepada perusahaan pengembang dan menghentikan segala aktifitas penimbunan di Pulau Tengah.

KIARA menegaskan bahwa pelaku kejahatan lingkungan tidak hanya diberikan sanksi administratif, tetapi sanksi pidana sesuai Undang-Undang 27 Tahun 2007 tentang perusakan perairan pesisir harus diterapkan oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) selaku Pemerintah Pusat yang mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil beserta perairannya. KKP telah abai menjaga kelestarian pesisir dan pulau-pulau di Indonesia dengan terus membiarkan penimbunan dan pengrusakan terumbu karang terus terjadi selama 10 tahun terakhir. KKP tidak pernah serius melakukan pengawasan dan pemantauan atas kerusakan yang terjadi di pesisir dan pulau-pulau kecil karena pengrusakan Pulau Tengah dibiarkan terjadi di wilayah yang paling dekat dengan kantor KKP itu sendiri.

“Penimbunan pantai dan perairannya serta privatisasi pulau yang secara sadar telah dilakukan, telah terbukti melanggar UU No. 27 Tahun 2007 serta hak-hak nelayan tradisional untuk melintas, mengakses laut dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih serta sehat sebagaimana telah diakui melalui Putusan MK No. 3 Tahun 2010. Sudah seharusnya KKP menunjukkan wibawanya dan perannya kepada nelayan dan masyarakat pesisir pulau-pulau kecil dengan cara menindak tegas pengembang Pulau Tengah. Buktikan ketegakan KKP kepada Nelayan Pulau Pari, bukan tunduk kepada Investor!” pungkas Susan. (*)

Informasi Lebih Lanjut

Ketua Forum Peduli Pulau Pari, Bobbi, +62 857-8161-9276

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

Nelayan Masalembu Gelar ‘‘Rokat Tase (Petik Laut)”, Sebuah Pesan Untuk Menjaga Lautan

Rilis Media Bersama
(Kelompok Nelayan Rawatan Samudra Masalembu, WALHI Jawa Timur, LBH Surabaya dan KIARA)

 

Nelayan Masalembu Gelar ‘‘Rokat Tase (Petik Laut)”, Sebuah Pesan Untuk Menjaga Lautan

 

Masalembu, 18 Juli 2023 – Sekitar 125 lebih nelayan Masalembu yang tergabung dalam kelompok nelayan Rawatan Samudra menggelar acara rutinan petik laut sebagai bentuk wujud syukur atas karunia sang pencipta dengan melimpahnya hasil laut yang memberikan hidup pada warga. Ini merupakan tradisi budaya yang diwariskan oleh para leluhur untuk dijaga dan dihormati oleh setiap generasi nelayan. Acara ini diadakan rutin selama satu tahun sekali, tepatnya memasuki pertengahan bulan Juli. Musim di mana ombak lautan tidak tinggi dan cuaca begitu bersahabat, sehingga banyak nelayan yang panen ikan.

Kegiatan petik laut ini diawali 3 hari sebelum kegiatan dengan mengaji di setiap pangkalan, lalu hari saat petik laut digelar dilakukan istighotsah dan doa bersama, lalu diakhiri dengan pawai kapal nelayan yang sebelumnya telah dihias dengan pernak-pernik cantik, menambah khidmat kegiatan tersebut.

Dalam acara petik laut ini warga Masalembu yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Rawatan Samudra juga menyampaikan pesan bahwa laut merupakan sumber kehidupan, karena itu wajib dilindungi dan dijaga. Karena hampir setiap tahun hasil laut nelayan mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari yang dahulunya bisa mendapatkan ikan rata-rata 1 ton, lalu menyusut menjadi 600-500 Kg.

Penyebab penurunan tangkapan nelayan ini ada 3 faktor. Pertama, yakni kerusakan ekosistem laut Masalembu yang diakibatkan oleh keberadaan kapal cantrang dan bom ikan. Mereka mengeruk ikan tanpa pandang bulu, bahkan sampai terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan ikut hancur. Keberadaan kapal cantrang dan bom ikan ini menjadi ancaman bagi nelayan Masalembu yang notabene adalah nelayan tradisional, maka tak heran konflik antar nelayan intensitasnya begitu tinggi.

Kedua, faktor keberadaan lalu lalang kapal besar yang tidak mematuhi prosedur, serta tidak jelasnya zonasi membuat keberadaan eksositem laut Masalembu terancam. Tahun 2022 silam kapal bermuatan batu bara pernah tumpah di Masalembu sehingga mencemari perairan sekitar. Tidak hanya itu pada 2023 kemarin juga ada kapal kecelakaan dan mencemari perairan sekitar. Dilewatinya perairan Masalembu oleh kapal-kapal besar membuat keberadaan ekosistem laut seperti terumbu karang rusak. Keberadaan kapal-kapal besar tersebut menjadi ancaman bagi masa depan ekosistem laut Masalembu.

Ketiga, faktor perubahan iklim menjadi ancaman tersendiri bagi nelayan. Sebab dampak perubahan iklim begitu nyata bagi nelayan dan ekosistem laut Masalembu. Peningkatan suhu laut telah mengakibatkan pemutihan terumbu karang dan menyebabkan terganggunya reproduksi ikan, selain itu peningkatan permukaan air laut juga mengancam daratan pulau, menyebabkan terkisisnya daratan atau dikenal abrasi sampai ancaman rob yang menjadikan hidup nelayan menjadi semakin rentan. Begitu pula cuaca yang tidak menentu, menjadikan nelayan tidak bisa memprediksi musim tangkap serta meningkatkan resiko kecelakaan.

Berangkat dari ketiga faktor tersebut, maka sudah seharusnya ada perubahan tata kelola laut serta bagaimana upaya untuk menjaga eksositem laut Masalembu yang menjadi ruang tersisa biodiversitas laut, khususnya di Jawa Timur. Perusakan demi perusakan, terutama oleh kapal cantrang, jalur lalu lintas laut serta potensi adanya tambang pasir laut pasca diterbitkannya PP No. 26 Tahun 2023 semakin menambah kerentanan nelayan dan ekosistem laut di Masalembu.

Karena itu, kami Kelompok Nelayan Rawatan Samudra Masalembu, WALHI Jawa Timur, LBH Surabaya dan KIARA dalam kegiatan petik laut ini menyampaikan sebuah pesan kepada pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sumenep.

Pertama, tindak tegas kapal cantrang dan larang segera keberadaan cantrang, lalu segera tetapkan kawasan Masaelmbu sebagai zona tangkap nelayan tradisional agar tidak ada lagi kapal cantrang yang menjadi ancaman. Kedua, segera tetapkan kawasan laut masalembu sebagai kawasan ekosistem esensial atau lindung agar ada perlindungan bagi biodiversitas laut di sana, serta memperjelas zona rute kapal pengangkut agar tidak sembarangan lewat dan mematuhi prosedur standar operasional dan lingkungan. Ketiga, menolak keberadaan PP No. 26 Tahun 2023 terkait tambang dan ekspor pasir laut. Karena keberadaannya akan semakin memperparah ekosistem laut Masalembu, serta menjadi ancaman bagi masa depan nelayan tradisional.

Terakhir, kami nelayan Masalembu benar-benar mengharapkan adanya produk dan implementasi hukum yang berpihak pada nelayan, itu penting agar nelayan tidak melakukan tindakan main hakim sendiri seperti kejadian pembakaran 2 kapal cantrang di perairan selatan Pulau Datuk, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat beberapa pekan yang lalu, peristiwa ini menunjukkan bahwa tidak mungkin nelayan diam saja ketika lautnya dirusak. Kami juga meminta pemerintah untuk memperhatikan nasib nelayan Masalembu seperti kesejahteraan yang jauh dari kata sejahtera. Meskipun katanya Masalembu banyak ikan, tetapi nelayan banyak yang terjebak dalam jaring kemiskinan. Sehingga hal ini juga patut menjadi perhatian.

Narahubung:
Matsehri (Ketua Rawatan Samudra), 0852-3537-9955
Jailani (Panitia Rokat Tase/Petik Laut), 0823-1099-0214
Wahyu (WALHI Jawa Timur), 0821-4583-5417
Fikerman (KIARA), 0823-6596-7999
Wahid (LBH Surabaya), 0878-5395-2524