KKP Akan Revisi Permen 71 Tahun 2016, KIARA: Konflik Horizontal Antar Nelayan Akan Semakin Meruncing

Siaran Pers  Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)  www.kiara.or.id

 

Jakarta, 14 Februari 2020 – Keinginan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, untuk merevisi Peraturan Menteri (Permen) No. 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, semakin mendekati kenyataan. Usai pertemuan, yang dikoordinir oleh Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan (KP2 KKP) pada Rabu (05/02/2020), KKP kini sedang mengodok draf rancangan Permen Kelautan dan Perikanan (KP) untuk merevisi Permen yang ditandatangai oleh Menteri KP sebelumnya.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2020) mencatat, di dalam draf rancangan Permen tersebut, terdapat sejumlah poin-poin penting yang akan menghapus sejumlah pasal yang tercantum di dalam Permen 71 Tahun 2016, yaitu sebagai berikut: pertama, alat tangkap cantrang yang asalnya dilarang, kini akan diperbolehkan untuk ukuran kapal, mulai dari 5 sampai dengan 30 GT; kedua, penggunaan alat tangkap cantrang akan diperbolehkan di tiga wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPPRI) nomor 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; WPPRI 712 yang meliputi perairan Laut Jawa; dan WPPRI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; ketiga, dari 13 jenis alat tangkap Pukat Hela yang dilarang, kini hanya 5 saja alat tangkap ikan yang dilarang.

 

Poin-point penting Permen 71 Tahun 2016 Rancangan Permen
Larangan cantrang Semua ukuran dilarang Diperbolehkan Ukuran 5 – 30 GT untuk beroperasi
Kawasan operasi cantrang Dilarang di semua WPP RI Di perbolehkan di WPP 711, 712, dan 713 yang meliputi: Selat Karimata, Laut Natuna, Laut China Selatan, perairan Laut Jawa, perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali

 

Pukat hela 13 alat dilarang Hanya 5 alat yang dilarang.  7 lainnya diperbolehkan untuk digunakan

 

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (2020)

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyampaikan bahwa pihak yang paling diuntungkan oleh pencabutan larangan cantrang melalui Rancangan Permen baru ini adalah para pengusaha cantrang. Lebih jauh, ia mengkhawatirkan kebijakan baru ini akan memicu kembali konflik horizontal, khususnya sesama nelayan.

“Pasalnya, sampai hari ini nelayan kecil, perempuan nelayan, dan juga nelayan tradisional adalah tiga kelompok yang paling terdampak dari penggunaan cantrang selama ini. Mereka melakukan perlawanan selama ini,” tutur Susan.

Susan menilai, langkah Edhy Prabowo yang ingin merevisi Permen 71 Tahun 2016 sebagai langkah mundur dalam menjaga kedaulatan dan keberlanjutan sumber daya perikanan Indonesia. Tak hanya itu, Susan menyebut Menteri KP lebih tunduk pada keinginan pengusaha cantrang. “Ini langkah mundur KKP. Dalam merumuskan kebijakan publik, Edhy lebih tunduk kepada pengusaha cantrang,” katanya.

Bagi KIARA, keberlanjutan sumber daya perikanan yang akan membawa banyak manfaat untuk masyarakat luas lebih utama daripada sekedar hasil tangkapan skala besar yang dinilai banyak tetapi merusak dan menghabiskan sumber daya perikanan Indonesia.

“Kerusakan yang ditimbulkan oleh pengunaan sejumlah alat tangkap merusakan, termasuk cantrang akan bersifat jangka panjang dan sistematis. Padahal sumber daya periakan adalah salah satu kekayaan kita yang tersisa,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

KIARA: RANCANGAN PERMEN TERKAIT LOBSTER HANYA UNTUNGKAN PENGUSAHA

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

  

Jakarta, 13 Februari 2020. Orientasi tata kelola perikanan, khususnya, lobster, kepiting, dan juga rajungan di bawah kepemimpinan Edhy Prabowo dianggap hanya menguntungkan pengusaha. Rapermen disiapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk merevisi Permen KP No. 56 tahun 2016 yang lebih memihak pada pembudidaya. Signifikansi  Rapermen tersebut sesungguhnya hanya berfokus pada pencabutan larangan ekspor benih lobster dan pengubahan ukuran minimal lobster, kepiting, dan rajungan yang menguntungkan pihak tertentu saja.

Usai pertemuan Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan (KP2 KKP) pada Rabu (05/02/2020), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan empat draf rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Kelautan dan Perikanan (KP). Salah satu draf Rapermen yang dimaksud adalah Rapermen yang akan merevisi Permen KP No. 56 tahun 2016. Dari sisi nomenklatur, Rapermen yang disusun oleh Edhy Prabowo ini bernama Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia. Sedangkan Permen 56/2016 bernama Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia.

Menurut Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati perubahan Permen ini menunjukkan perubahan orientasi tata kelola perikanan, khususnya, lobster, kepiting, dan juga rajungan di bawah kepemimpinan Edhy Prabowo menjadi lebih dekat dengan pengusaha. “Di dalam Rapermen yang disusun Edhy Prabowo, tak ada satu kata yang menyebut kata ‘melarang menjual benih lobster’. Ini artinya arah Rapermen sudah ketahuan kemana,” katanya.

Lebih jauh, Susan merincikan sejumlah perbedaan ketentuan yang mengatur ukuran lobster, kepiting, dan juga rajungan untuk ditangkap atau dikeluarkan dari perairan Indonesia. Jika dalam Permen 56/2016 ukuran lobster yang boleh ditangkap atau dikeluarkan hanya boleh di atas 8 cm/200 gram per ekor, maka dalam Rapermen ditetapkan di atas 6 cm atau 150 gram per ekor.

Jika dalam Permen 56/2016 ukuran kepiting yang boleh ditangkap atau dikeluarkan hanya boleh di atas 15 cm/200 gram per ekor, maka dalam Rapermen ditetapkan di atas 12 cm atau 150  gram per ekor. Selanjutnya,  jika dalam Permen 56/2016 ukuran rajungan yang boleh ditangkap atau dikeluarkan hanya boleh di atas 10 cm/60 gram per ekor, maka dalam Rapermen ditetapkan di atas 10 cm atau 60 gram per ekor.

Tabel 1. Perbedaan substansi dalam Permen KP No. 56 tahun 2016 dengan Rapermen yang sedang dibahas

 

 

Poin krusial Permen KP No. 56/2016 Rapermen
Nomenklatur “Larangan” “pengelolaan”
Izin menjual benih lobster Dilarang di Pasal 7 Tidak ada pasal larangan
Batas minimal Lobster yang boleh ditangkap  8 cm atau 200 gram per ekor 6 cm atau 150 gram per ekor
Batas minimal kepiting yang boleh ditangkap 15 cm atau 200 gram per ekor 12 cm atau 200 gram per ekor
Batas rajungan yang boleh ditangkap 10 cm atau 60 gram per ekor 10 cm atau 60 gram per ekor

 

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (2020)

“Jika dilihat dari isinya, rancangan Permen ini  tak punya signifikansi apa-apa kecuali pencabutan larangan ekspor benih lobster dan pengubahan ukuran minimal lobster, kepiting, dan rajungan. Dengan kata lain, aroma Permen ini mengeksploitasi lobster, kepiting, dan rajungan untuk kepentingan kelompok tertentu,” tegas Susan.

Susan mendesak Edhy Prabowo untuk menghentikan rencana penerbitan Permen yang akan mencabut larangan ekspor lobster ini.

KKP diharapkan untuk membangun sistem budidaya lobster atau penangkapan lobster yang berbasis masyarakat, keberlanjutan lingkungan, dan juga menguntungkan.

“Masuknya modal besar akan dipastikan menutup kemugkinan pembudidaya dari masyarakat yang umumnya bermodal kecil akan tumbang. Harusnya mereka yang mendapat dukungan dan perlindungan dari pemerintah.” Tutup Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

 

 

 

PN JAKARTA UTARA BEBASKAN NELAYAN, KIARA: SELURUH IZIN REKLAMASI HARUS DICABUT

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 4 Februari 2020 – Pada Senin 3 Februari 2020 Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah memutus bebas dua nelayan Jakarta yang dikriminalisasi pihak pengembang karena berupaya menolak reklamasi Teluk Jakarta. Dua nelayan tersebut adalah Ade Sukanda dan Muhammad Alwi. Di dalam putusannya, majelis hakim menilai bahwa jaksa telah menggunakan pasal yang inkonstiusional, yaitu Pasal 335 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP yang isinya adalah “Perbuatan Tidak Menyenangkan”. Sebelumnya, satu orang nelayan bernama Waisul juga pernah ditahan oleh pihak kepolisian karena menolak proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Kasus kriminalisasi Ade dan Alwi berawal ketika memprotes pengembang reklamasi yang dilakukan oleh PT Kapuk Naga Indah. Protes yang dilakukan karena aktivitas kapal tongkang batu merah dan/atau kapal penyedot pasir di wilayah perairan Kamal Muara dan Pulau C. Aktivitas kapal tongkang tersebut merusak bagan/tambak kerang hijau milik nelayan. Akibat dari protes tersebut, kedua nelayan dikriminalisasi oleh PT Kukuh Mandiri Lestari (dibawah payung Agung Sedayu Grup dan Salim Grup dengan porsi kepemilikan 50:50).

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengatakan bahwa tiga orang nelayan yang telah dikriminalisasi oleh pihak pengembang membuktikan bahwa proyek reklamasi di Teluk Jakarta bukan ditujukan untuk kehidupan nelayan bahkan sebaliknya merampas ruang hidup nelayan. “Dengan adanya kriminalisasi terhadap tiga nelayan yang menolak, klaim bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta untuk kepentingan nelayan jelas-jelas terbantahkan.” katanya.

“KIARA mengapresiasi putusan bebas dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada dua nelayan teluk Jakarta.” imbuh Susan.

Atas dasar itu, KIARA mendesak pemerintah pusat dan Provinsi DKI untuk segera mencabut seluruh izin pulau reklamasi di Teluk Jakarta, khusunya Pulau C dan D, karena telah banyak nelayan yang menjadi korban kriminalisasi.

“Kepada Presiden Jokowi, kami meminta anda untuk segera mencabut sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) untuk Pulau C dan Pulau D yang telah anda keluarkan,” tegas Susan.

Lebih jauh ia memaparkan bahwa sertifikat HPL yang telah dikeluarkan oleh Jokowi ini selanjutnya menjadi dasar penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk Pulau D yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) wilayah Jakarta Utara untuk PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Grup, pada tanggal 24 Agustus 2017 lalu. Luasnya tercatat mencapai 3,12 juta meter persegi atau setara dengan 312 hektare. Begitu pun dengan Pulau C, HGB-nya ada di tangah pengembang yang sama.

KIARA mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencabut Peraturan Gubernur (Pergub) 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta serta Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura. Keduanya terbukti menjadi dasar dikeluarkannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk 932 bangunan di Pulau D.

“Kami juga mendesak Gubernur Jakarta, Anies Baswedan untuk segera mencabut berbagai aturan yang menjadi dasar penerbitan IMB di Pulau D, terutama Pergub No.206 tahun 2016,” ujar Susan.

Susan menilai bahwa proyek reklamasi tidak dibutuhkan oleh puluhan ribu nelayan di Teluk Jakarta, khususnya, serta masyarakat Jakarta, umumnya. Sebaliknya, nelayan dan seluruh masyarakat Jakarta hanya membutuhkan laut yang bersih dan sehat sebagai lumbung pangan laut yang sehat.

“Siapa yang membutuhkan reklamasi di Teluk Jakarta? Jawabannya hanya pengembang properti. Nelayan dan seluruh lapisan masyarakat Jakarta tidak membutuhkannya sama sekali,” ungkap Susan.

Pada masa-masa mendatang, perlawanan nelayan dan masyarakat terhadap proyek reklamasi akan terus berlanjut karena hak-hak mereka terus dirampas.

“Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar segera mengambil langkah untuk mencabut seluruh izin proyek ini,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Tolak Omnibus Law KIARA: Masyarakat Pesisir Wajib Menolak RUU Omnibus Law

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 4 Februari 2020 – Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin kini telah memasuki hari ke-100, terhitung sejak pelantikannya yang dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 2019 lalu. Salah satu hal penting yang didorong oleh Jokowi pada 100 hari pemerintahannya adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengajak masyarakat bahari di Indonesia, yang terdiri dari nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir, untuk menolak RUU Omnibus Law karena akan berdampak buruk terhadap kehidupan mereka.

“RUU ini disusun bukan untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir, tetapi disusun untuk melindungi kepentingan investor beserta segala kepentingannya yang akan mengeruk sumber daya alam, terutama sumber daya kelautan dan perikanan yang berada di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, masyarakat pesisir wajib menolaknya” tegasnya.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2020) mencatat, secara umum RUU Omnibus Law ini memiliki dua kelemahan mendasar, yaitu: pertama, dari sisi partisipasi publik; dan kedua, dari sisi substansi. Dari sisi partisipasi, RUU ini jelas-jelas tidak melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak, khususnya masyarakat pesisir yang terdiri dari nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir. Padahal, di dalam RUU Omnibus Law ‘Cilaka’ terdapat sejumlah pasal yang terkait dengan investasi atau kemudahan berusaha di kawasan laut. Jumlah pasalnya terhitung sebanyak 27 pasal dan 87 ayat, terhitung mulai dari Pasal 94 sampai dengan Pasal 121.

Selain itu, di dalam RUU Omnibus Law Cilaka disebutkan sejumlah kata yang terkait dengan laut, yaitu: kelautan sebanyak 3 kata; perikanan sebanyak 120 kata; pesisir sebanyak 31 kata; dan pulau-pulau kecil sebanyak 30 kata. Pada titik ini, RUU Omnibus Law Cilaka sesungguhnya akan memberikan dampak terhadap masyarakat pesisir, karena kemudahan berusaha yang diberikan untuk investor akan berada di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Sungguh sangat ironis, ketika Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto mengeluarkan Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019 yang menunjuk 127 orang menjadi anggota Satuan Tugas (Satgas) bersama Pemerintah dan Kadin untuk konsultasi publik RUU Omnibus Law. “Komposisi satgas ini, didominasi oleh pengusaha, politikus, dan sedikit akademisi. Dari sisi ini, aspek partisipasi publik dalam RUU Omnibus Law tidak ada karena tidak ada keterlibatan masyarakat pesisir yang akan terdampak,” kata Susan.

Dari sisi substansi, RUU Omnibus Law sangat penting untuk dikritisi karena disusun bukan untuk kepentingan masyarakat pesisir. Apa saja persoalan RUU ini dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir?

KIARA mencatat sejumlah dampak yang akan dialami oleh masyarakat pesisir jika RUU ini disahkan, diantaranya: pertama, nelayan-nelayan kecil maupun nelayan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 gross ton serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, dipaksa harus mengurus perizinan perikanan tangkap. Tak hanya itu, RUU ini menyamakan nelayan kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar, nelayan yang menggunakan perahu di atas 10 GT. “Padahal, nelayan kecil dan nelayan tradisional diperlakukan khusus oleh UU Perikanan, karena mereka ramah lingkungan serta tidak mengeksploitasi sumber daya perikanan,” tutur Susan.

Kedua, RUU ini menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Peisisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Sampai dengan akhir tahun 2019, sebanyak 22 Provinsi di Indonesia telah merampungkan pembahasan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Perda Zonasi). Artinya, ada 12 provinsi lainnya yang belum menyelesaikan pembahasan perda zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.

Fakta-fakta di lapangan membuktikan, dari 22 Perda Zonasi yang telah disahkan, ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak (rights-holder) utama, tak mendapatkan porsi yang adil. Dalam praktiknya, Perda Zonasi yang telah disahkan di 22 provinsi harus ditolak karena sejumlah alasan berikut: 1) Tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan; 2) Alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya; 3) Penyusunan Perda Zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis; 4) Dengan banyaknya mengakomodasi proyek tambang, Perda Zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut; 5) Mencampur-adukan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal-kapal besar.

“Dengan demikian, masa depan masyarakat pesisir, khususnya lebih dari delapan juta rumah tangga perikanan, akan terancam. Lebih jauh, tak ada alasan bagi masyarakat pesisir untuk menerima RUU Omnibus Law,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Evaluasi Tahun 2019 dan Proyeksi Tahun 2020 KIARA: Lima Tahun Poros Maritim Dunia, Perampasan Ruang Hidup Terus Terjadi

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

Jakarta, 28 Januari 2020 – Sejak digaungkan pada kampanye pemilihan Presiden tahun 2014, dan dimasukkan oleh Presiden Joko Widodo ke dalam Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2015-2019, poros maritim dunia menjadi arah baru penataan ruang laut sekaligus kebijakan perikanan nasional. Di dalam konsep poros maritim dunia, nelayan adalah aktor utama dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Namun, apa dampak yang dirasakan oleh masyarakat pesisir sepanjang lima tahun kebijakan poros matirim dunia?

Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, sepanjang lima tahun kebijakan poros maritim dunia, perampasan ruang hidup terus terjadi. Alih-alih menjadi aktor utama dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan, lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan harus berhadapan dengan ekspansi investasi yang terus merangsek ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sejumlah proyek pembangunan pariwisata yang didorong dalam skema Kawasan Strategis Pariwisata Nasional telah berdampak buruk bagi masyarakat yang tinggal di kawasan Mandalika NTB dan Labuan Bajo NTT. “KIARA mencatat lebih dari 4 ribu jiwa terdampak proyek pariwisata di Labuan Bajo. Sementara di Mandalika, lebih dari 45 ribu nelayan kehilangan ruang tangkapnya,” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

Lebih jauh, sebaran proyek reklamasi yang terus bertambah sejak tahun 2016 telah menyebabkan lebih dari 700 ribu keluarga nelayan kehilangan ruang tangkapnya. Proyek ini dipastikan akan terus bertambah pada waktu-waktu yang akan datang, karena pemerintah mendorong kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai lokus investasi baru. Tak hanya itu, proyek pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil telah terbukti merampas ruang hidup lebih dari 35 ribu keluarga nelayan.

Pada saat yang sama, sampai dengan akhir tahun 2019 Pemerintah Indonesia mendorong dan mempercepat penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di 22 Provinsi di Indonesia. Sisanya, ada 12 provinsi lainnya yang belum menyelesaikan pembahasan perda zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.

Namun, dari 22 peraturan zonasi yang telah disahkan, ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak utama tak mendapatkan porsi yang adil. Peraturan zonasi itu harus ditolak karena sejumlah alasan. Pertama. tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kedua, alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya.

Ketiga, penyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis. Keempat, dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek tambang, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut. Kelima, mencampuradukan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal-kapal besar.

“Dampak dari disahkannya RZWP3K adalah perampasan ruang hidup lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan secara sistematis dan dianggap legal. Pada titik ini, poros maritim dunia terbukti gagal melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir,” tegas Susan.

Kini, meski sudah tak menyebut lagi terminologi “Poros Maritim Dunia” pada periode kedua kepemimpinannya, Jokowi sesungguhnya masih melanjutkan semangat poros maritim dunia, yaitu menjadikan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai lokus investasi skala besar. Satu hal yang tidak mengherankan jika muncul gagasan untuk menyusun UU sapu jagad, yang dikenal dengan omnibus law.

Sepanjang 2014-2019 Jokowi menilai arus investasi di Indonesia terhalang oleh banyak serta tumpang-tindihnya aturan. Karena kondisi ini, negara-negara tetangga seperti Vietnam lebih dilirik untuk investasi. Berpijak dari pandangan tersebut, Jokowi akan menyederhanakan berbagai peraturan demi melayani kepentingan investasi. Penyederhanaan aturan demi melayani investasi ini yang menjadi semangat utama ombinus law.

Dalam konteks ini, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil akan menjadi lokus investasi baru. Akan banyak terjadi konflik dan perebutan ruang laut pada masa-masa yang akan datang. “Jika ruang-ruang di daratan telah habis karena telah dijadikan lokus investasi untuk perkebunan skala besar, tambang, properti, dan lain sebagainya, maka ruang laut diasumsikan sebagai wilayah tak bertuan dan oleh karenanya siap untuk diokupasi oleh kepentingan investasi skala besar.” kata Susan.

Pada titik inilah, keberadaan nelayan, perempuan nelayan, dan seluruh masyarakat pesisir lainnya hanya akan menjadi korban pembangunan, sebagaimana terjadi selama ini. Mereka adalah produsen utama perikanan di Indonesia yang membawa ikan dari laut ke meja makan kita, mereka adalah pahlawan protein bangsa, mereka adalah penjaga laut serta berbagai ekosistemnya.

“Jika keberadaan mereka terancam oleh ekspansi investasi, maka kita akan mengalami keterancaman yang sangat serius dalam hal kedaulatan pangan laut. Akhirnya, kita akan terasing dengan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang merupakan identitas penting bangsa ini,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

KIARA: Soal Natuna Sudah Selesai, Saatnya Bicara Kedaulatan Bahari Indonesia

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 16 Januari 2020 – Kapal asing Tiongkok sudah menjauh dari perairan Natuna, Kepulauan Riau. Tensi diplomatik antara Indonesia dan China sudah tidak panas seperti sebelumnya. Namun apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia guna menegakkan kedaulatan di perairan yang berbatasan dengan laut China Selatan itu?

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa kasus yang baru saja terjadi di Perairan Natuna seharusnya dijadikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai momentum penegasan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dimana batas-batas telah ditentukan oleh hukum laut internasional atau United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS).

“Kasus Natuna harus dijadikan momentum penting untuk meneguhkan batas negara kepulauan sekaligus menyatakan perang kembali terhadap praktik IUU Fishing. Point pentingnya bukan pencitraan dan gagah-gagahan.” tegas Susan Herawati.

Menurut Susan, hal ini bisa dijadikan pelajaran dan landasan kebijakan agar ke depan kasus Natuna tidak terluang di kawasan perbatasan Indonesia yang lain.

“Jadi ke depan pemerintah Indonesia harus merumuskan agenda penguatan dan perlindungan nelayan beserta kawasan tangkapnya dari kejahatan IUU Fishing ke dalam konsep pertanahan nasional di laut.” ujar Susan. “Jadikan nelayan sebagai ujung tombak penjaga keamanan dan kedaulatan perairan Indonesia dan lindungi mereka dan ruang tangkapnya.”imbuhnya.

Jika nelayan tidak diperkuat, tambah Susan, saat pihak keamanan laut Indonesia sedang tidak berpatroli di Perairan seperti dalam kasus Natuna, maka kapal-kapal asing akan datang kembali dan mengambil sumber daya alam.

“Di dalam wacana pertahanan, pendekatan keamanan dengan militer saja tidak cukup. Nelayan di Natuna perlu menjadi bagian penting dalam wacana pertahanan, khususnya dalam konteks pemanfaatan sumber daya perikanan yang ada di Natuna” katanya.

Maksimalkan Sumber Daya Laut

Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, setidaknya terdapat 7.066 keluarga nelayan yang sangat tergantung kepada sumber daya perikanan. Pada saat yang sama, potensi sumber daya perikanan di Natuna berdasarkan potensi sumber daya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2011 sebesar 504.212,85 ton per tahun. Berdasarkan catatan BPS Provinsi Kepulauan Riau (2019), Kabupaten Natuna telah memproduksi perikanan tangkap sebanyak 87.248,25 ton dengan nilai ekonomi sebesar Rp1.752.206.424.

“Dengan kata lain, banyak sekali potensi sumber daya perikanan yang tidak termanfaatkan oleh nelayan. Jika potensinya sebesar 504.212,85 ton per tahun, dan hasil tangkapannya sebanyak 87.248,25 ton, maka produksi perikanannya tidak mencapai 50 persen,” jelas Susan.

Salah satu alasan kenapa sumber daya perikanan belum termanfaatkan karena, jumlah kapal penangkap ikan tidak berbanding lurus dengan jumlah keluarga nelayan. Berdasarkan catatan BPS Kabupaten Natuna, jumlah kapal penangkap ikan hanya berjumlah 1.133 perahu tanpa motor, 159 perahu motor tempel, dan 2.921 kapal motor. Dengan demikian totalnya, terdapat 4.213 perahu penangkap ikan yang beroperasi di perairan Natuna. “Pemerintah harus memastikan setiap keluarga nelayan memiliki alat produksi, berupa perahu penangkap ikan untuk memanfaatkan sumber daya perikanan di perairan Natuna,” desak Susan.

Jika nelayan di Natuna dapat memanfaatkan sumber daya perikanan, maka mereka akan menjadi bagian penting dalam upaya menegakan kedaulatan laut.

“Tak hanya itu, nelayan juga akan menjadi penjaga kawasan perairan tangkapnya dari kapal-kapal asing yang setiap saat bisa mencuri kekayaan sumber daya perikanan Indonesia di Natuna,” pungkasnya. (*)

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

KIARA: MASYARAKAT PESISIR JAKARTA TERDAMPAK BANJIR PALING PARAH

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 4 Januari 2020 – Memasuki pergantian tahun 2019 ke tahun 2020, masyarakat Indonesia khususnya yang berada di bagian barat Pulau Jawa, harus berhadapan curah hujan yang sangat deras.

Curah hujan sangat deras di penghujung tahun 2019 melanda terutama di bagian barat Pulau Jawa. Akibatnya lebih dari 30 juta orang yang tinggal di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya harus merasakan dampak buruk banjir dan longsor di sejumlah titik.

Kerusakan Alam

Dampak buruk banjir di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya tidak serta merta alamiah. Pola pembangunan yang eksploitatif dan mengabaikan ekosistem menjadi pemicu utama terciptanya banjir di beberapa kawasan.

Di kawasan Bogor, khususnya di kawasan Puncak, lebih dari 5700 hektar hutan telah hilang dalam 16 tahun terakhir. Bersamaan di wilayah Jakarta, pembangunan gedung-gedung tinggi kian masif dan merampas ruang terbuka hijau, mengekstraksi air tanah, sehingga ikut memperburuk dampak banjir.

Eksploitasi Pesisir

Dampak banjir menjadi tak terkendali dengan buruknya kondisi alam kawasan pesisir Jakarta yang diakibatkan eksploitasi sumber daya pesisir Jakarta sejak lama.

Sekjend KIARA, Susan Herawati menyebut salah satu bentuk pembangunan kota yang eksploitatif tersebut adalah deforestasi ekosistem hutan mangrove untuk kepentingan proyek reklamasi dan pembangunan proyek perumahan elit.

Masih menurut Susan, dampak buruk banjir paling dirasakan oleh lebih dari 25.000 masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir Teluk Jakarta.

“Masyarakat pesisir di Teluk Jakarta, khususnya nelayan, harus menerima banjir kiriman dari kawasan Bogor dan daratan Kota Jakarta. Selain itu, mereka juga harus menghadapi banjir air rob dari laut,” ungkapnya.

Tidak Ada Perhatian Layak

Meski masyarakat pesisir Jakarta paling menderita akibat banjir, namun kondisi mereka tak mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah.

“Pemerintah harus memastikan masyarakat pesisir Jakarta mendapatkan pelayanan yang baik pasca banjir,” harap Susan.

KIARA mendesak pemerintah, baik Provinsi Jakarta maupun Nasional, kedepannya untuk tidak terjebak pada penyelesaian masalah banjir yang bersifat sloganistik seperti naturalisasi atau normalisasi.

“Harus menyelesaikan akar persoalannya, jangan lagi mengabaikan dampak buruk eksploitasi ekosistem yang dibutuhkan untuk menahan dampak lebih parah dari tiap musim banjir tiba.” tegas Susan.

Susan memaparkan masalah banjir terutama harus diselesaikan dengan meninggalkan pola pembangunan yang ekstraktif, yaitu: pertama, menyelesaikan masalah deforestasi di kawasan Bogor; kedua, melakukan moratorium permanen terhadap pembangunan gedung-gedung tinggi di daratan Jakarta sekaligus memperbaiki tata ruang dengan memprioritaskan ruang terbuka hijau; dan ketiga, menghentikan eksploitasi di kawasan pesisir Jakarta dengan cara menghentikan deforestasi ekosistem mangrove yang kini luasannya hanya 25 hektar saja. Tak hanya itu, Pemerintah diminta didesak untuk menghentikan proyek reklamasi karena tak sedikit pun berdampak mengantisipasi banjir.

“Jakarta adalah kota pesisir. Pembangunan wilayah ini wajib melihat daya tampung, daya dukung serta beban ekologis kota ini, termasuk di kawasan pesisirnya. Jika tidak diperhatikan, maka banjir dan berbagai bencana ekologis lainnya akan terus datang dengan tingkat ancaman yang semakin besar,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 821-1172-7050

KIARA: Wacana Ekspor Benih Lobster Berdampak Negatif Bagi Perekonomian Nasional

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

Jakarta, 18 Desember 2019 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo untuk menghentikan wacana ekspor benih lobster yang berasal dari Indonesia ke luar negeri. Alasannya, hal itu akan mendorong eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Indonesia semakin tidak terkendali.

Pada saat bersamaan KIARA juga menilai KKP belum menjalankan mandat UndangUndang No 7 tahun 2016 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan,
Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

“Wacana kebijakan ekspor benih lobster tidak masuk akal dan tidak strategis di tengah maraknya penyelundupan.” Ujar Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati.

Susan menerangkan, guna memuluskan kebijakan rencana ekspor lobster, Edhy Prabowo juga mewacakan akan merevisi Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia alih-alih menambal skema transisi pemberdayaan ekonomi paska larangan ekspor lobster.

“Seharusnya Menteri KP tegas memberantas praktik penyelundupan benih-benih lobster Indonesia sampai ke akar-akarnya. Membuka wacana ekspor benih lobster hanya akan semakin membuat suasana di masyarakat kontraproduktif,” tegas Susan.

Susan menilai, larangan ekspor benih lobster yang selama ini telah dijalankan oleh KKP patut diapresiasi karena berhasil menyelamatkan devisa negara dalam jumlah yang sangat besar. Berdasarkan catatan Pusat Data dan Informasi KIARA (2019), KKP telah menyelamatkan benih lobster sebanyak 6.669.134 ekor, terhitung sejak tahun 2014-2018. Adapun jumlah uang yang diselamatkan hampir mencapai nilai
635,59 miliar Rupiah (tabel 1).

Tabel 1. Data pencegahan ekspor benih lobster dan jumlah uang yang diselamatkan

Tahun

  2014 2015 2016 2017 2018 Jumlah
Ekor 140 545.935 1.346.484 2.237.240 2.539.317 6.669.134
Nilai (miliar) 0,02 27,3 71,7 71,7 464,87 635,59

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (2019), diolah dari data Pencegahan masuk dan keluarnya Sumber Daya Ikan illegal tahun 2014-2018 KKP

Namun pada saat bersamaan, pasca diterbitkannya larangan ekspor benih lobster melalui Permen No 56 tahun 2016, KKP tidak memiliki skema transisi yang jelas.
Hal ini menimbulkan sebagian besar pembudidaya lobster harus beralih profesi dari nelayan ke profesi lain.

KIARA menilai dalam membangun keberlanjutan sumberdaya perikanan harus memastikan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk perekonomian Indonesia,
khususnya untuk masyarakat bahari sebagai aktor utama perikanan. Bukan justeru sebaliknya membuka keran ekspor benih lobster yang jelas akan berdampak bagi
keberlanjutan sumberdaya perikanan sekaligus perekonomian Indonesia.

“Daripada terus membangun wacana ekspor benih lobster yang kontraproduktif, seharusnya dalam tiga bulan pertama masa kerjanya, Edhy Prabowo memastikan
keberlanjutan sumberdaya perikanan Indonesia terpelihara, baik ketegasan hukum dalam pemberantasan penyelundupan mau pun pemberdayaan ekonomi nelayan.”
pungkas Susan Herawati. (*)

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

 

 

 

TEMUI KKP, KIARA BERSAMA NELAYAN TRADISIONAL MENOLAK LAUT INDONESIA DIRUSAK

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

Jakarta, 16 Desember 2019 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bersama dengan Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), Aliansi Nelayan Sumatera Utara (ANSU), Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke menemui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia untuk menyampaikan penolakan atas wacana revisi atau pun pencabutan dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan Dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

KIARA menilai Menteri Kelautan dan Perikanan Bapak Edhy Prabowo seharusnya fokus menyiapkan skema transisi sebagai bagian dari upaya implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan Dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Permen KP No. 71 Tahun 2016 merupakan penyempurnaan dari Permen KP No. 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). Salah satu poin penting yang diatur dalam Permen ini adalah jenis alat tangkap yang dilarang karena terbukti merusak biota laut serta mengakibatkan kehancuran habitat ikan di perairan Indonesia.

“Kami bersama dengan KIARA mendukung implementasi Permen KP ini karena berpihak kepada nelayan tradisional dan nelayan skala kecil sebagai aktor perikanan utama di Indonesia. Tak hanya itu, Permen ini pada sangat mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya perikanan,” ungkap Sutrisno, Ketua FSNN sekaligus Koordinator dari ANSU.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, berdasarkan Permen KP No. 71 Tahun 2016, khususnya Pasal 21 ayat (2) alat tangkap yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan terdiri dari: a. pukat tarik (seine nets), yang meliputi dogol (danish seines), scottish seines, pair seines, cantrang, dan lampara dasar; b. pukat hela (trawls), yang meliputi pukat hela dasar (bottom trawls), pukat hela dasar berpalang (beam trawls), pukat hela dasar berpapan (otter trawls), pukat hela dasar dua kapal (pair trawls), nephrops trawl, pukat hela dasar udang (shrimp trawls), pukat udang, pukat hela pertengahan (midwater trawls), pukat hela pertengahan berpapan (otter trawls), pukat ikan, pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawls), pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls), dan pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls); dan c. perangkap, yang meliputi Perangkap ikan peloncat (Aerial traps) dan Muro ami. Seluruh alat tangkap yang disebut terbukti menyebabkan kepunahan biota, mengakibatkan kehancuran habitat, dan membahayakan keselamatan pengguna.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menggarisbawahi, keberadaan Permen KP tersebut berada dalam ancaman, karena di bawah kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, aturan ini akan dicabut atau direvisi.
“Pemerintah tidak boleh mempertaruhkan keberlanjutan sumber daya perikanan Indonesia hanya untuk kepentingan sesaat serta untuk segelintir orang saja. Permen KP No. 71 Tahun 2016 tidak boleh direvisi atau dicabut tapi harus tetap diimplementasikan dengan melibatkan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil sebagai pemegang hak utama (rightholder),” tegasnya.

Susan menyatakan, seluruh nelayan tradisional dan nelayan skala kecil di Indonesia siap untuk mengawal impelementasi Permen KP No. 71 Tahun 2016 di lapangan sekaligus memberikan evaluasinya terhadap implementasinya. Ia juga mendesak Menteri KP. Edhy Prabowo, agar tidak melakukan langkah mundur, dalam bentuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang akan merugikan nelayan dan tidak mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya perikanan.

“Kami menuntut Menteri Edhy Prabowo supaya konsisten menyiapkan skema transisi dari penggunaan alat tangkap yang merusak dan tentu berangkat dari kepentingan nelayan tradisional dan kecil serta masyarakat pesisir umumnya, terpenting tidak menjadikan KKP sebagai makelar investasi. Nelayan dan elemen masyarakat pesisir lainnya, akan terus mengawasi kinerja KKP di bawah kepemimpinan anda,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Ranperda Zonasi Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Kalimantan Timur Akan Rampas Ruang Hidup Nelayan

Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan (AMUK) Bahari
Rancangan Perda RZWP3K Kalimantan Timur

Siaran Pers

 

Jakarta, 27 November 2019 – Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan (AMUK) Bahari menyampaikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Kalimantan Timur yang dibahas di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 27 November 2019. Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Timur wajib ditolak karena dirumuskan bukan untuk kepentingan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Sebaliknya, Ranperda ini disusun melayani kepentingan investasi pertambangan migas dan batu bara, reklamasi untuk properti dan terminal khusus eksploitasi industri kayu dan perkebunan skala luas.

AMUK Bahari mencatat, dokumen rancangan Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Timur disusun untuk mengakomodasi kepentingan investasi. Di dalam dokumen tersebut dicatat sejumlah proyek sebagai berikut: yaitu pertama, reklamasi seluas 752,180 ha. Proyek reklamasi berada di dalam zona jasa/perdagangan untuk pembangunan coastal road di pesisir Balikpapan dengan luas sekitar 528,91 ha, lalu reklamasi Kilang Minyak Kecamatan Bontang Selatan Kota Bontang seluas 41,72 ha dan 181,55 hektar; kedua, proyek pertambangan di wilayah pesisir dan Pulau-Pulau kecil meliputi pertambangan minyak dan gas bumi seluas 46.758,21 ha; ketiga, zona pelabuhan yang berkaitan dengan keberadaan Terminal Khusus (Tersus) dan aktivitas pelayanan untuk kegiatan industri pertambangan migas dan batu bara serta industri perkebunan. Terminal khusus yang tersebar disepanjang pesisir ini juga menyasar Kawasan cagar alam Teluk Apar dengan luas sekitar 3.372,67 ha dan Teluk Adang di Kabupaten Paser dengan luas sekitar 19.864,01 ha, juga wilayah ekosistem penting Teluk Balikpapan dengan luas sekitar 46.153,91 ha.

Keempat, Kawasan bentang alam Karst Pesisir Kaltim juga tak luput dari ancaman Industri Tambang. Ekosistem Karst yang menjadi sumber bagi pasokan Air Tawar masyarakat pesisir di kawasan Utara Provinsi Kaltim kedepannya akan mendapatkan gangguan besar dengan telah terkaplingnya 65.460 Ha Izin Tambang di atas Kawasan Karst pesisir Kaltim. Kawasan ekosistem karst yang harusnya mendapatkan perlindungan adalah Kawasan Ekosistem Karst yang membentang dari Sangkulirang-Mangkalihat. Kawasan tersebut masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Berau dan Kutai Timur yang memiliki garis pantai dengan panjang 1,125 km, disana terdapat Bentang ekosistem kawasan karst di Kawasan Sangkulirang Mangkalihat dengan 1,9 juta hektar dari total 3,3 juta berada di kawasan pesisir (P3EK, 2016);

kelima, Ancaman ini tidak hanya di daratan pesisir tapi juga di perairan sepanjang utara Kaltim hingga menyusuri wilayah selatan. Dari 3,7 Juta Ha luas perairan Kaltim (12 Mil Laut), sebanyak 1,3 juta telah dikapling penambangan Minyak dan Gas. Ironisnya dari luasan tersebut sebanyak 719 Ribu Ha menyerobot wilayah tangkapan nelayan Tradisional Kaltim.

Keenam, Rancangan Perda RZWP3K Kalimantan Timur banyak mengakomodasi rancangan pembangunan terminal khusus untuk kepentingan industri, perdagangan energi, pertambangan, pertanian, perikanan terdapat di perairan. Di dalam lampiran Perda, terminal khusus tercatat sebanyak 121 lokasi. Namun dalam batang tubuh Perda, jumlah terminal khusus tidak banyak dicantumkan. Dengan demikian, ada pertentangan substansi di dalam Ranperda ini.

Atas dasar itu, Seny Sebastian, Divisi Simpul Perlawanan JATAM, sekaligus anggota juru bicara Amuk Bahari mempertanyakan dengan sangat serius Ranperda ini. “Apakah RZWP3K menjawab dan mengkoreksi persoalan Kaltim? Jika tidak maka sebaiknya pembahasan ini mesti dibatalkan dan ditolak,” katanya.

Pada saat yang sama, kawasan permukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 25,22 ha saja. Padahal jumlah nelayan di Kalimantan Timur tercatat sebanyak 137.553‬ keluarga, yang terdiri dari 47.477 keluarga nelayan tangkap dan 90.076 keluarga nelayan budidaya.

Tak hanya itu, meski luasan kawasan perikanan tangkap dialokasikan seluas 2.605.046,40 ha, namun keberadaan kawasan tangkap tersebut berada jauh dari jangkauan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil. Dengan demikian, nelayan akan kesulitan karena harus bersaing dengan kapal-kapal besar pengangkut batu bara. “Ini merupakan bentuk ketidakadilan yang akan dilanggengkan oleh Perda Zonasi Kalimantan Timur,” tegas Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, sekaligus anggota juru bicara Amuk Bahari.

Tak Hanya itu, Rancangan Perda Zonasi Kalimantan juga tidak membahas kawasan darat atau kecamatan pesisir sebagaimana dimandatkan oleh Peraturan Menteri KP No. 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil. “Dampaknya, keberadaan ekosistem mangrove primer sebagaimana terdapat di kawasan Teluk Balikpapan akan terancam hilang karena ekspansi industri serta pengembangan untuk kawasan Ibu Kota baru,” kata Susan.

“Dalam konteks pengelolaan hutan mangrove, KIARA mendesak pemerintah untuk menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai area konservasi berbasis masyarakat yang berwawasan berkelanjutan,” tambah Susan.

Kerusakan akibat operasi industri keruk dan industri lapar-lahan lainnya terus membesar, di daratan hingga sabuk pesisir. Perusakan secara legal oleh pengurus publik ini kembali dihadirkan melalui instrumen RZWP3K Kalimantan Timur. AMUK Bahari menilai jelas mengabdi dan melayani kepentingan Investasi Pertambangan Migas, Mineral dan Batubara bahkan reklamasi untuk bisnis properti bukan untuk melindungi kepentingan masyarakat rakyat serta eksositem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Pungkas Seny Sebastian dari JATAM (*)

Informasi lebih lanjut:
Seny Sebastian (Divisi Simpul Perlawanan JATAM) ; 0853 87333 124
Susan Herawati, (Sekretaris Jenderal KIARA) ; 0821 1172 7050
Pradarma Rupang (Jatam Kaltim) ; 0852 5050 9899
Husein Suwarno (POKJA Pesisir dan Nelayan Balikpapan) ; 0813 5050 1433