Masyarakat Pesisir Sambut Temu Akbar Masyarakat Pesisir

Jakarta, 7 Agustus 2024 – Sebanyak 200 masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia, yang hingga kini masih berjuang dalam mempertahankan ruang hidupnya, menyambut baik adanya even yang mereka nantikan, Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024 yang digelar oleh KIARA. Kegiatan yang mengambil tema, “Memperjuangkan Kebaharian Indonesia,” dan dilakukan pada 8-10 Oktober, di Jakarta.

Salah seorang nelayan perempuan yang berasal Palu, Sulawesi Tengah, Mardia, menganggap acara ini menjadi ruang bagi para nelayan guna memperjuangkan keadilan kebaharian. Menurutnya, hari ini rakyat sudah tidak menerima keadilan dan mengakibatkan ruang hidup nelayan semakin dirampas oleh negara.

“Sudah tidak ada lagi keadilan dari pemerintah untuk rakyat sehingga ruang kehidupan nelayan semakin sempit,” jelas Ketua Koperasi Nelayan Palu, Mardia.

Tak hanya Mardia, seorang nelayan dari Pulau Haruku, Maluku, Cliff J Kissya, melihat dalam acara ini, para nelayan dapat saling berdiskusi mengenai persoalan kebaharian yang akan dihadapi mereka setelah pergantian rezim. Ia memandang rezim selanjutnya harus mencermati beberapa kebijakan demi kehidupan para nelayan, terutama di bagian Indonesia Timur.

Baginya, untuk membuat suatu kebijakan pemerintah harus berdiskusi bersama organisasi-organisasi nelayan. Dalam beberapa kebijakan, misalnya terkait larangan penangkapan ikan secara masif di wilayah penangkapan tradisional, penguatan konservasi ala rakyat di wilayah Maluku, memberikan bantuan tepat sasaran kepada nelayan tradisional, dan lainnya.

“Melibatkan organisasi nelayan terutama nelayan tradisional dalam mendiskusikan berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan mereka,” tuturnya.

Di samping itu, ia juga menceritakan kondisi para nelayan di Pulau Haruku. Sebagian besar masyarakat sudah meninggalkan pekerjaan mereka sebagai nelayan karena penurunan hasil tangkap. Hal ini disebabkan pemasangan rumpon di kawasan yang cukup jauh dari pulau sehingga ikan-ikan berkumpul di rumpon dan menjauhi wilayah pulau.

Lebih lanjut, kehadiran rumpon-rumpon membuat para nelayan harus mengeluarkan modal lebih untuk tambahan biaya operasional. Maka dari itu, keterbatasan dana menyebabkan sebagian besar nelayan beralih profesi menjadi buruh bangunan, petani, dan lain-lain.

“Jadi buruh bangunan ataupun proyek pemerintah di kota Ambon dan sekitarnya. Sebagian juga lebih berfokus di pertanian,” ucap Cliff.

Di samping itu, Cliff menyimpan banyak harapan terhadap acara Temu Akbar nanti. Ia berharap adanya penyadaran mengenai ketimpangan terhadap para nelayan, mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap nelayan tradisional, dan meminimalisir perampasan ruang hidup nelayan.

Kendati demikian, pada tingkatan nelayan, ia berharap para nelayan dapat mengorganisir diri dan meningkatkan kesadaran atas ketertindasannya. Hal itu perlu diperhatikan guna memperjuangkan hak-hak dan ruang hidup kelautan tanpa adanya kriminalisasi.

“Nelayan harus mengorganisir diri atas kesadaran suapaya bisa memperjuangkan hak-haknya tetap bisa melaut tanpa dikriminalisasi,” harapnya.

Penulis: Machika Salsabila

Editor: Musfarayani

Dari Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Dari Ekonomi Biru Membatasi Ruang Nelayan Hingga Sebuah Kampung Tenggelam

Jakarta, 8 Oktober 2024 –  Kondisi pesisir Indonesia kian memburuk. Pemerintah dianggap semakin menjauh dari tanggung jawab untuk melindungi ruang hidup masyarakat pesisir, sementara program-program kebaharian yang dijanjikan kerap kali tidak konsisten dan lebih mengutamakan kepentingan investor. Akibatnya, ekosistem pesisir rusak dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut justru semakin terpinggirkan dan dimiskinkan.

Demikian hasil diskusi hari pertama Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Memperjuangkan Kebaharian Indonesia, Senin, 8 Oktober 2024, di Jakarta. Temu Akbar ini sendiri dihadiri 200 masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia, yang kebanyakan dari mereka masih berjuang dan bahkan ada juga yang pernah dikriminalisasikan karena berjuang mendapatkan kembali ruang hidup mereka, dan mempertahankan ekosistem pesisir tempat mereka hidup.

“Pemerintah merasa memiliki hak berkuasa penuh dalam mengatur pengelolaan laut dan pesisir. Menganggap laut itu tidak bertuan. Menerapkan Rezim ijin karena apa-apa harus izin. Memiliki sertifikat tidak menjamin warga tidak digusur. Negara hadir untuk merampas dan memberikan ijin pada pemilik modal demi kepentingan kapitalis,” tandas Dianto Bachriadi, Peneliti Senior Agrarian Resources Center, pada sesi “pencerahan” dan “pengayaan,” kepada para peserta Temu Akbar.

Selain Dianto, hadir sebagai pembicara  Abdi Suhufan,  Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan, Daniel Johan, Purna Komisi IV DPR RI,  Ivanovich Agusta,  Kepala BPI Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal. Didampingi oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA, Susan Herawati.

Dianto menambahkan terkait program Ekonomi Biru yang kini tengah digaungkan oleh pemerintah hanya menjadikan laut sebagai komoditas, dan tidak terdampak menyejahterakan masyarakat pesisir.

“Kita belum pernah punya rezim yang benar-benar berpihak pada rakyat. Bahkan birokrat orang kementriaan pun kalah powerful dari pemilik modal. Membiarkan mereka mengelola laut yang alih-alih memporakporandakan ekosistem pesisir.  Sebenarnya omong kosong jika masyarakat tidak bisa mengelola lautnya. Karena pada praktiknya mereka mampu mengelola bahkan yang bersifat berkelanjutan. Seperti pembagian wilayah Kelola laut oleh Masyarakat dengan peraturan lokal yang ada berjalan di wilayah mereka,” tandas Dianto.

Sementara Susan Herawati menilai ekonomi biru dan turunannya menekankan pada jual beli karbon. Namun pada realita di lapangan hal yang paling tragis adalah banyak nelayan menjual ikan untuk membeli mie instan.

“Kita dipersulit dengan skema-skema. Biru, hijau, apalah itu, terpenting adalah ekonomi kerakyatan yang harus didorong. Banyak kawan-kawan nelayan berjuang dengan mengokupasi lahan, membangun jalan mandiri, dan tetap melaut, karena melaut adalah kedaulatan. Hal semacam ini harusnya lebih diperhatikan,” jelas Susan.

Senada juga diungkan Abdi Suhufan, mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir jauh agar lebih sejahtera menjadi penting. Jangan sampai ekonomi biru menyulitkan nelayan, dan hanya melakukan ini demi  agenda internasional.

“Kita harusnya menaik kelaskan nelayan kecil, agar tidak lagi bertempur di wilayah yang sudah sempit padat dengan meng-upgrade mereka sehingga bisa melaut ke wilayah yang luas dan berpotensi ikan yang melimpah, karena kapasitas penangkapan segaris dengan kesejahteraan nelayan,” jelasnya.

Suhufan menambahkan, dari KPP dia menilai sudah banyak program pengelolaan laut yang direncanakan, namun ada faktor-faktor lain yang membuat perjalanannya tidak konsisten.

Sementara Daniel Johan juga menjelaskan bagaimana di legislatif seringkali isu pesisir terpinggirkan. Hingga saat ini RUU Masyarakat Adat masih belum disahkan. Masyarakat adat biasanya juga ada di wilayah pesisir, nelayan di dalamnya.

“Saya di Komisi IV perlu sekali forum-forum semacam ini, karena bisa melakukan pengawalan dan koreksi. Termasuk peraturan ekspor sedimen pasir, lalu bagaimana dampaknya bagi masyarakat. Jangan sampe hal itu merontokkan kehidupan pesisir. Terutama di tuju titik lokasi sumber ekspor. Termasuk dalam konteks budidaya. Sebenarnya saya di sini justru untuk menerima masukan dan informasi dari kawan-kawan nelayan yang lebih memahami bahari. Tapi kami akan  mengawal Undnag-Undang  yang afirmatif bagi kepentingan rakyat,” tambahnya.

Sementara Ivan menjelaskan peran institusinya mengumpulkan data mikro dan makro untuk bisa memastikan ruang dan kebijakan laut. Dia mengakui “duduk bersama” dengan berbagai pihak terkait termasuk masyarakat pesisir menjadi penting.

Suara para masyarakat pesisir

Dalam diskusi tersebut para masyarakat pesisir pun ikut berbagi pengalaman terkait ketidakadilan yang sering mereka hadapi. Nelayan di Pulau Masalembo misalnya, Mereka menilai pemerintah seringkali mempermainkan nelayan. Pada saat Menteri KPP Susi melarang penggunaan cantrang, menteri berikutnya mengijinkan. Mereka menginginkan pemerintah serius dalam menjaga laut Indonesia. Terkait kesejahteraan masyarakat pesisir, dia menjelaskan suasana pulau tempat dia tinggal hingga kini belum mendapatkan listrik, dan dana desa pun tidak pernah mereka nikmati.

Sementara Amir, nelayan dari Pulau Wawoni, Sulawesi Tenggara menjelaskan, pulau tempatnya tinggal baru saja merasakan “kemenangan” kecil saat perjuangan panjang mereka melawan perusahaan nikel dimenangkan oleh MK. Kini dia dan masyarakat di pulau tersebut masih merasa was-was karena mereka harus terus berjuang menjaga laut dan pulau mereka jangan sampai terampas lagi.

Di Jepara, nelayan Eko Prasetyo, kini masih berjuang melawan penambangan pasir laut yang dilakukan PT Alam Lestari. Di sisi lain mereka juga masih dihadapi penambakan udang, yang membuat beberapa warganya dikriminalisasi. Sementara di pesisir Surabaya,  Rosidah Surabaya, memimpin gerakan para ibu menolak  menolak reklamasi tanpa kompensasi. Pertambangan pasir di Suramadu membuat kehilangan mata pencahariannya. Bahkan di Demak di Jawa Tengah, beberapa desa kini tenggelam karena kegiatan penambangan pasir laut, dan ironisnya pemerintah setempat menjadikannya sebagai “desa wisata” yang terapung.

Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi

Editor: Musfarayani

 

Pres Release-1: Temu Akbar Masyarakat Pesisir Perkuat Advokasi Krisis Pesisir

Press Release

(Untuk disiarkan segera)

 

 

Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024:

Memperkuat Masyarakat Pesisir dan Keadilan Ekosistem Pesisir yang Makin Tersingkir

 

Jakarta, 8 Oktober 2024 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dengan bangga menggelar Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Memperjuangkan Kebaharian Indonesia, yang akan berlangsung 8-10 Oktober 2024, di Jakarta. Acara ini menjadi momentum penting untuk memperkuat solidaritas masyarakat pesisir Indonesia yang terus memperjuangkan hak-haknya di tengah kebijakan pemerintah yang sering kali tidak berpihak pada keberlanjutan kehidupan mereka.

“Kondisi saudara-saudara kita, masyarakat pesisir, terutama nelayan kecil, perempuan nelayan, bahkan ekosistem pesisir kita semakin terancam  justru dalam 10 tahun terakhir kepemimpinan regim Jokowi Widodo (Presiden Indonesia). Keputusan-keputusan regim ini sering kali mengutamakan kepentingan investor, sementara hak-hak konstitusional masyarakat pesisir yang telah dijamin oleh MK No. 3 Tahun 2010 terabaikan,” jelas  Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati.

Putusan MK ini menegaskan bahwa masyarakat pesisir memiliki hak konstitusional dalam mengakses laut secara bebas; berhak mengelola wilayah pesisir berdasarkan pengetahuan lokal dan kearifan komunitasnya; masyarakat juga berhak mendapatkan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir; serta bisa menikmati perairan yang bersih dan sehat. Selain itu, tambah Susan lagi,  putusan tersebut sesungguhnya telah memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap hak-hak masyarakat pesisir dan menghalangi privatisasi wilayah pesisir yang mengancam kelangsungan hidup mereka.

Karena itu urgensi kegiatan Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024, jelas Susan lagi, menjadi strategis dalam dalam menghadapi tantangan-tantangan yang kian menekan masyarakat pesisir dan keadilan ekosistem pesisir Indonesia.

Dalam Temu Akbar ini, lebih dari 200 perwakilan masyarakat pesisir dari seluruh Indonesia hadir untuk berbagi pengalaman, menguatkan solidaritas, dan merumuskan langkah-langkah konkret untuk memperjuangkan hak mereka. Susan Herawati menyoroti beberapa isu kritis, termasuk eksploitasi wilayah pesisir oleh industri ekstraktif, kriminalisasi nelayan kecil, dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata.

Pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah pertama yang terancam tenggelam akibat naiknya permukaan laut. Langkah mitigasi yang dilakukan pemerintah belum memadai untuk mengatasi ancaman ini. Kami menuntut pemerintah untuk serius melakukan restorasi ekosistem pesisir, seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang, yang menjadi benteng alamiah kita,” tambah Susan.

Acara yang dihadiri oleh berbagai komunitas nelayan, organisasi masyarakat sipil, dan perwakilan dari kementerian terkait ini juga akan membahas pentingnya partisipasi bermakna dalam penyusunan kebijakan yang berdampak langsung pada masyarakat pesisir. Salah satu topik utama adalah ketidakpastian perlindungan wilayah penangkapan tradisional yang selama ini menjadi ruang hidup bagi nelayan kecil.

Temu Akbar 2024 juga bertujuan untuk menghimpun rekomendasi kolektif yang akan disampaikan langsung kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa, serta Komisi IV DPR RI. Dalam sesi dialog dengan kementerian terkait, peserta akan mendiskusikan solusi nyata untuk melindungi hak-hak masyarakat pesisir serta meningkatkan kesejahteraan mereka.

“Selama ini, masyarakat pesisir telah berjuang sendiri menghadapi ketidakpastian. Melalui Temu Akbar ini, kami berharap bisa membangun kekuatan kolektif yang lebih besar dan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam melindungi kami, nelayan kecil, perempuan nelayan, dan pembudidaya,” pungkas Susan Herawati.

KIARA mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus mendukung perjuangan masyarakat pesisir yang menjadi garda terdepan dalam melawan perubahan iklim dan menjaga kekayaan laut Indonesia. Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024 adalah bukti nyata bahwa perjuangan mereka belum selesai. (*)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Sekretariat Nasional KIARA
Whatsapp: +62-857-1017-0502
Website:
www.kiara.or.id

Catatan untuk Media:

Putusan MK No. 3 Tahun 2010 adalah putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Putusan ini dikeluarkan karena UU tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945, khususnya dalam hal perlindungan hak-hak masyarakat pesisir.

Inti dari Putusan MK No. 3/2010 adalah pembatalan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang diatur dalam UU No. 27/2007. HP-3 dianggap memberikan hak eksklusif kepada perusahaan atau pihak swasta untuk mengelola wilayah pesisir, sehingga merugikan masyarakat pesisir, terutama nelayan kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat adat pesisir. Ketentuan ini dikhawatirkan menghilangkan akses mereka terhadap sumber daya pesisir yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak masyarakat pesisir dan kelautan di Indonesia. KIARA berkomitmen untuk mewujudkan kedaulatan masyarakat pesisir melalui advokasi, penelitian, dan pemberdayaan komunitas.

Kabar Bahari : Berlayar di Negeri Rentan Bencana

Sepanjang 2018, Indonesia berduka. Rentetan bencana alam terjadi

dan memakan korban yang tidak sedikit. Tidak terhindarkan, Indonesia terletak di Lingkaran Api Pasifik dimana bencana berada tepat di hadapan masyarakat Indonesia. Gempa dan tsunami yang terjadi di Palu dan Donggala sepatutnya menjadi pengingat bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Kita perlu menyadari kenyataan jika Indonesia sendiri berada di atas lempeng tektonik yang berpotensi menghasilkan gempa. Data dari Pusat Studi Gempa Nasional menyebutkan jumlah sesar aktif di Indonesia pun bertambah, pada tahun 2010 tercatat 81 sesar dan di tahun 2017 menjadi 295 sesar aktif. Lalu bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan potensi bencana yang tinggi. Ada beberapa hal yang menjadi fokus antisipasi bagi kita bersama. Pertama, negara harus menghentikan segala bentuk pembangunan yang bisa meningkatkan kerentanan seperti proyek reklamasi, tambang di pesisir, ekspansi lahan mangrove menjadi wilayah sawit atau tambak udang. Proyek Esktraktif dan Eksploitatif meningkatkan kerentanan bencana dan menempatkan masyarakat sebagai korban. Kedua, struktur bangunan yang ramah terhadap bencana. Ketiga, pemerintah perlu untuk membangun hutan mangrove di pesisir Indonesia. Keempat, sosialisasi tentang bencana dan jalur evakuasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat.

 Ikuti Infomasi Terkait Kabar Bahari >>

 

Kabar Bahari: Perempuan Nelayan dan Hak Atas Tanah

Pada masyarakat pesisir masih terdapat ketimpangan kesempatan antara lakilaki dengan perempuan khususnya hak
menyuarakan pendapat dan akses terlibat dalam pengambilan keputusan. Kehadiran perempuan nelayan selalu dianggap sudah diwakili dan diwakilkan oleh suaminya. Hal inilah yang menyebabkan kebijakan pemerintah di tingkat lokal hingga nasional tidak ramah terhadap perempuan.

Sebagai contoh dalam rapat desa. Kehadiran perempuan selalu minim karena sudah diasumsikan sebagai bagian dari ‘keterwakilan’. Padahal perempuan nelayan memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi keluarga nelayan. Sayangnya hingga hari ini keterlibatan perempuan nelayan masih jauh dari maksimal dalam perumusan kebijakan di semua level.

Ikuti informasi terkait buletin kabar bahari >>

Kabar Bahari: Reklamasi Teluk Benoa

kb-21jpg_page1Petisi daring berjudul “Pak Jokowi, Segera Batalkan Perpres 51 Tahun 2014” yang digagas oleh musisi Superman Is Dead, Navicula, dan Nosstress dari Denpasar, Bali, resmi didukung oleh 49.875 pendukung saat penutupannya. Petisi ini diperluas melalui laman https://www.change.org/p/pak-jokowi-tolak-reklamasi-teluk-benoa-batalkan-dan-cabut-perpres-51-2014.

Seperti diketahui, petisi ini dilatarbelakangi oleh penolakan masyarakat Bali mengenai rencana kegiatan revitalisasi Teluk Benoa. Pemakaian kata “revitalisasi” nyatanya hanya kedok untuk mengaburkan makna sesungguhnya, yakni “reklamasi”.

Ada 13 alasan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa (selengkapnya lihat Tabel 1), yakni (1) hilangnya fungsi konservasi; (2) banjir; (3) rentan bencana; (4) terumbu karang rusak; (5) mengancam ekosistem mangrove; (6) abrasi; (7) bencana ekologis meluas; (8) tanah murah untuk investor; (9) kebijakan pro investor rakus; (10) pembangunan tidak berimbang; (11) terbuai janji investor; dan (12) mengingkari komitmen pelestarian terumbu karang; dan (13) kebangkrutan pariwisata.

 

Ikuti informasi terkait kabar bahari >>KLIK DISINI<<

Kabar Bahari: Reklamasi 17 Pulau Buatan di Teluk Jakarta

KB 20Ahok keukeuh megaproyek reklamasi pantai di Teluk Jakarta akan terus dilanjutkan meski pelbagai penolakan berdasarkan fakta lapangan, akademis, dan bahkan kewarasan spiritualitas telah disampaikan oleh warga ibukota.

Fakta lapangan menunjukkan bahwa: pertama, megaproyek reklamasi pantai di Teluk Jakarta, termasuk pembangunan 17 pulau buatan dan tanggul laut raksasa, bertolak belakang dengan spirit poros maritim dunia yang diresonansikan oleh duet Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Kedua, sedikitnya 52 ribu rumah tangga nelayan di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang dipastikan bakal tergusur oleh proyek properti berinvestasi dalam dan luar negeri ini.

Ketiga, dihilangkannya hak konstitusional warga Jabodetabek sekadar untuk menikmati ombak di Teluk Jakarta dengan membayar ratusan ribu rupiah kepada pengusaha wisata.

Tiga pelanggaran megaproyek (properti) Ahok juga dipertegas dengan adanya pengabaian terhadap ketentuan perundang-undangan. Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010 mengenai Uji Materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia 1945.

Ikuti informasi terkait buletin kabar bahari >> KLIK DISINI <<

Kabar Bahari: Memanusiakan Awak Kapal Perikanan

100% ABK di Asia Tenggara yang bekerja di atas kapal perikanan lintas batas negara ini tidak memiliki informasi yang memadai mengenai pekerjaannya, termasuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi, baik oleh ABK sebagai pekerja maupun perusahaan/pemberi kerja.

Apa yang terjadi di dalam PT. Charoen Phokpand Foods di Thailand dan PT. Pusaka Benjina Resources di Indonesia membelalakkan mata penikmat makanan laut di seluruh dunia. Ternyata, di dalam rantai nilai produk perikanan terdapat praktek-praktek penindasan manusia atas manusia lainnya atau dalam bahasa beken belakangan ini disebut sebagai perbudakan.

ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) merespons kasus perbudakan yang terjadi di kawasan berpenduduk lebih dari 600 juta orang ini. Seperti diketahui, ABK yang mengalami praktek perbudakan berasal dari Myanmar, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Thailand, Laos, dan Vietnam. Untuk itulah, ASEAN tengah membincangkannya dengan 10 negara anggotanya. Harapannya ada kesepakatan bersama untuk memerangi praktek haram ini.

Di Indonesia, setelah terungkapnya kasus perbudakan, PT Pusaka Benjina Resources di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, kini dinilai tersangkut kasus tunggakan pajak sejak 2013 sebesar Rp11 miliar. Perusahaan itu dinilai tidak mempunyai itikad baik untuk melunasi pajak. Fakta ini ditemukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sementara di Thailand, di banyak kesempatan publik, PT. Charoen Phokpand Foods mengklaim telah melakukan berbagai langkah maju untuk mengatasi praktek perbudakan di dalam perusahaan mereka. Pun demikian dengan Pemerintah Thailand. Mereka berjibaku menciptakan citra positif produk perikanan negeri 1.000 kuil ini setelah didera persoalan perbudakan.

Di dalam KABAR BAHARI edisi Januari-Februari 2016 ini, sajian utama yang disiapkan adalah mengupas tuntas praktek perbudakan dan tantangan pemenuhan hak-hak pekerja perikanan, baik di atas kapal maupun di pabrik-pabrik perikanan.

Tak hanya itu, buletin ini ingin berbagi kepada para pembaca bahwa perempuan nelayan terbukti memainkan peranan penting di dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Kali ini kami bercerita tentang perempuan nelayan di Kamboja. Selamat membaca dan semoga memberi manfaat.

 

Ikuti informasi terkait Kabar Bahari edisi Memanusiakan Awak Kapal Perikanan >> KLIK DISINI <<

Kabar Bahari: ASEAN Mesti Beri Pengakuan Politik kepada Perempuan Nelayan

Ada 9 janji Presiden Jokowi yang lazim dikenal dengan istilah Nawacita. Sembilan janji ini sudah dijalankan selama 1,5 tahun.

Di dalam Kabinet Kerja, Presiden Jokowi memandatkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk memerangi praktek pencurian ikan dan mengembalikan uang negara dari tangan mafia perikanan. Hasilnya, kebijakan moratorium menemukan sedikitnya 1.300an kapal terindikasi melakukan pelanggaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Tidak hanya itu, Presiden Jokowi juga menargetkan adanya kenaikan produksi hingga 19 juta ton, baik dari perikanan tangkap maupun budidaya. Pun demikian dengan garam, ia meminta kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menaikkan produksi barang asing ini sebanyak 3,2 juta ton. Bahkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, ditekankan keharusan untuk menghilangkan ketergantungan terhadap produk pangan impor.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2015) mencatat, kenaikan produksi perikanan sejak tahun 2010-2015 tidak memberikan peningkatan kesejahteraan kepada petambak garam. Setali tiga uang, panen garam rakyat justru dihargai Rp250 per kilogram, sementara ekspor garam terus bertambah. Anehnya, salah satu indikator keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan menggunakan Nilai Tukar Nelayan dan Nilai Tukar Pembudidaya.

Mengapa Nilai Tukar ini tidak relevan? Karena model ini hanya mempertentangkan penghasilan dan pengeluaran. Padahal, terdapat banyak aspek yang luput dari pola ini, yakni ancaman hilangnya wilayah tangkap, adanya dampak perubahan iklim, dan sistem permodalan yang dimonopoli tengkulak/toke.

KABAR BAHARI edisi November-Desember 2015 mengetengahkan Simposium dan Festival Perempuan Nelayan di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh KIARA bekerjasama dengan SEAFish for Justice di Jakarta, Indonesia, pada tanggal 29-30 Desember.

Selain itu, juga disajikan profil Dr. Dedi Supriadi Adhuri, pakar Antropologi di LIPI, yang aktif menyuarakan kepentingan masyarakat pesisir dan perempuan nelayan dari Malaysia dan Kamboja. Tak ketinggalan, juga disediakan resep masak ala pesisir. Selamat membaca dan semoga memberi manfaat

Ikuti informasi terkait Kabar Bahari edisi ASEAN mesti beri pengakuan politik kepada perempuan nelayan >>KLIK DISINI<<