Pemerintah Didesak Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

Pemerintah Didesak Lindungi Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Masyarakat nelayan di dunia kembali merayakan Hari Perikanan Sedunia pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Hari Perikanan Sedunia ini bermula pada keprihatinan masyarakat perikanan dunia yang berkumpul yang dimulai New Delhi India 17 tahun lalu. Keprihatinan ini didasari atas keberlanjutan sumber daya ikan yang memasuki titik eksploitasi berlebih serta upaya menyejahterakan nelayan.

Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Slamet Daroyni mengatakan, perikanan sebagai sektor pangan memerlukan pendekatan ekologis yang tidak hanya sekedar didasarkan stok sumber daya ikan sebagai komoditas yang akan eksploitatif.

“Tetapi, juga bagaimana perikanan dapat menyejahterakan nelayan, masyarakat pesisir laki-laki dan perempuan serta menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan pulau-pulau kecil. Ekosistem tersebut akan mempengaruhi sumber daya perikanan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Sabtu (22/11).

KIARA mendata, setidaknya pada tahun ini, terdapat empat isu strategis yang penting untuk digarisbawahi oleh pemerintahan hari ini. Pertama terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan dan petambak tradisional baik Laki-Laki dan Perempuan.

Aktivis Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Taher mengatakan, pengakuan nelayan dan petambak akan terkait erat dengan bagaimana negara memenuhi hak-hak asasi. Baik haknya sebagai warga negara Indonesia yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 serta aturan lain yang menegaskan hak-hak dasarnya sebagai warga negara.

“Serta juga haknya sebagai bagian dari pekerjaannya selama ini dalam perikanan yang meliputi dukungan dan perlindungan pemerintah dalam tahap pra produksi, saat produksi dan pasca produksi,” ujarnya.

Kedua, nelayan menjadi korban pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dapat dilihat dari proyek PLTU Batang serta Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Sedikitnya10.961 nelayan tradisional Batang terancam kehilangan penghasilan dan 16.855 nelayan akan tergusur karena proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) proyek senilai Rp600 triliun.

Begitu pula pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil tidak pernah ada upaya untuk menghentikan eksploitasi. Sebaliknya kriminalisasi berjalan dengan mudah sebagaimana yang dihadapi nelayan nelayan di Taman Nasional Ujung Kulon yang terancam 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta hanya karena menangkap ikan dan kepiting.

Ketiga, BBM Subsidi untuk Nelayan Tradisional yang baru saja dinaikkan dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Nelayan tradisional dan petambak adalah sektor yang paling terpukul ketika ada pencabutan subsidi namun tidak ada upaya negara sebagai kompensasi untuk mengantisipasi dampak dari pengurangan subsidi BBM.

Masalah distribusi bbm tidak pernah transparan, tidak terbuka dan terjadi kolusi dan nepotisme tidak pernah diselesaikan. Terlebih BBM subsidi dibuka aksesnya kepada kapal dengan ukuran di atas 30 GT dengan maksimal 25 kilo liter/bulan. Yang sangat gamblang menggambarkan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha perikanan.

Keempat terkait dengan Pencurian Ikan dengan Lima agenda prioritas yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih pengawasan. Kedua, memastikan sanksi pelanggaran kewajiban mempekerjakan nakhoda dan anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia di dalam kapal berbendera Indonesia.

Ketiga, mewajibkan adanya peningkatan nilai hasil tangkapan dengan mewajibkan usaha perikanan skala besar membuat sarana unit pengolahan ikan. Keempat, menegaskan pelarangan jaring pukat trawl di seluruh perairan Indonesia. Kelima, memastikan hak partisipasi nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan.

Terkait kasus pencurian ikan sendiri, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti mengatakan pihaknya akan melakukan pengawasan intensif melalui berbagai cara. Selain dengan kewajiban memasang VMS (Vessel Monitoring System), pencurian ikan juga dilacak via satelit.

“Kita itu tahu apa yang mereka lakukan, selama ini dipikir oleh mereka, kita tidak melihat ini. Pemain pemain ini pikir kita tidak tahu, mereka pikir kita yang tahu hanya VMS (Vessel Monitoring System) saja,” kata Susi di kantor KKP, Jakarta, Jumat (21/11) kemarin.

KKP memiliki alat pendeteksi atau sistem monitoring data (VMS) dan citra satelit radar. Sehingga bisa mengetahui berapa banyak kapal asing yang berada di perairan. “Kita bisa melihat orang yang kita lakukan di laut kita,” sebutnya.

Ia mengakui segala keterbatasan untuk menindaklanjuti aktivitas pencurian ikan di laut Indonesia. “Cuma kita nggak punya kemampuan untuk menangkap semuanya. Itu persoalannya,” tegasnya.

Menurutnya persoalan ini harus segera diakhir, ia optimistis dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Apakah kita akan diam dengan gambar-gambar ini? Kan tidak. Makanya kalau Perintah Presiden seperti itu, ya kita harus laksanakan. Kalau kita harus terus menerus menanggapi dan mengawasi itu tidak mungkin. Paling hebat makanya efek jera, dan itu UU,” papar Susi. (dtc)

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/detail-print.php?seo=1402211-pemerintah-didesak-nelayan-dan-perempuan-nelayan-tradisional