RUU Pesisir Mendesak Dibenahi

KELAUTAN

RUU Pesisir Mendesak Dibenahi

JAKARTA, KOMPAS – Rancangan revisi undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dinilai mengandung sejumlah kejanggalan yang memicu kriminalisasi terhadap nelayan dan masyarakat adat. Sejumlah pembenahan diperlukan agar revisi undang-undang tidak memukul rasa keadilan rakyat.

Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat umum komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan delapan organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka membahas rancangan revisi undang-undang (UU) No 27/2007, di Jakarta, senin (16/9).

Delapan organisasi itu yakni Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, dan Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI).

Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, mengungkapkan bahwa terjadi aturan yang tumpang tindih dalam revisi RUU No 27/2007, yakni antara pasal 18 dengan pasal 23 ayat (4). Pada pasal 18 disebutkan, pemberian izin lokasi dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir diberikan kepada orang perseorangan warga Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.

Akan tetapi, dalam pasal 23 ayat (4), pemerintah membuka peluang orang asing untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.

“Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh orang asing akan memukul keadilan masyarakat local dan menggerus hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya perairan dan pesisir,” ujar Halim.

Tumpang tindih juga berpotensi terjadi pada undang-undang lain yang terkait pengelolaan perairan dan pulau-pulau kecil, yakni UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, dan UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria.

Selain tumpang tindih kebijakan, ujar Halim, revisi UU No 27/2007 juga memunculkan potensi kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan nelayan yang telah menetap secara turun-temurun di perairan dan pesisir. Kriminalisasi itu antara lain tercermin dari ketentuan bahwa setiap pemanfaatan perairan pesisir wajib memiliki izin lokasi (pasal 16 ayat(1)) . pasal 71 ayat (1) menyebutkan, pemanfaatan sumber daya perairan pesisir yang tidak sesuai dengan izin lokasi yang diberikan sebagai mana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1), dikenai sanksi administratif.

Selain itu, terdapat ketentuan bahwa izin pemanfaatan ruang perairan pesisir dan izin pengusahaan perairan pesisir bisa dikeluarkan jika ada persetujuan masyarakat. Akan tetapi, tidak dijelaskan seperti apa mekanisme persetujuan masyarakat.

“faktanya, masyarakat lokal disekitar lokasi usaha kerap disalahkan karena menghambat usaha dan investasi di suatu wilayah,” ujarnya.

Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar Siswono Yudo Husodo mengemukakan, ketentuan mengenai pemberian izin kepada asing untuk mengelola sumber daya perairan dan pesisir membuka celah bagi penjajahan bentuk baru.

“Sumber daya perairan dan pesisir harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Begitu Indonesia membuka lebar izin kepada asing, maka pulau-pulau kita akan habis. Apa bedanya dengan penjajahan,” ujar Siswono.

Siswono berjanji akan mengawal agar revisi UU No 27/2007 yang diusulkan pemerintah mengarah pada tujuan pembangunan masyarakat, kelestarian sumber daya, dan ekologi.(LKT)

Sumber : Kompas, Selasa, 17 September 2013 hal. 19