MENGHADIRKAN KEBAHAGIAAN NELAYAN

MENGHADIRKAN KEBAHAGIAAN NELAYAN

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan);

Koordinator Regional SEAFish (Southeast Asia Fisheries for Justice Network)

Gelaran Piala Dunia 2014 menerbitkan Jerman sebagai kampiun setelah menang tipis atas Argentina. Kemenangan ini memberikan kebaikan tersendiri bagi 82 juta jiwa penduduknya. Tak hanya mereka, Caio Ferraz (45), seorang warga Brasil juga merasa terhindar dari keburukan, “Terima kasih Tuhan. Terima kasih Tuhan Jerman menang. Jika saja Argentina menang, mereka akan mengolok-olok kami selama bertahun-tahun”.

Abu Ali Ahmad ibn Miskawaih (330-421 Hijriah/932-1030 Masehi) dalam kitabnyaTahdzib Al-Akhlaq mengatakan bahwa kebaikan (al-khair) adalah tujuan tiap sesuatu dan kebahagiaan (al-sa’adah) merupakan kesempurnaan dan akhir dari kebaikan. Dalam konteks kebaikan dan kebahagiaan, masyarakat nelayan mengetengahkan teladan yang patut ditularkan.

Pertama, guna menghindari hutang menumpuk yang berujung ketergantungan kepada tengkulak di kala cuaca ekstrem, perempuan nelayan memproduksi ide tabungan komunitas. Berbekal simpanan inilah, keluarga nelayan tak lagi kebingungan.

Kedua, pemakaian alat tangkap ikan yang merusak mengganggu ketenteraman nelayan tradisional. Untuk menertibkannya, bertumpuk-tumpuk laporan nelayan di meja birokrasi tak berbalas tindakan tegas. Kebuntuan ini memotivasi nelayan untuk berkelompok dan menyusun aturan penangkapan ikan di wilayah pesisir (1-12 mil) yang terang melarang alat tangkap merusak.

Ketiga, perebutan dan pelestarian hutan mangrove oleh nelayan dan perempuan nelayan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit dan industri pertambakan udang mengembalikan ikan, udang, dan kepiting, kepada keluarga nelayan. Mereka tak perlu pergi jauh ke tengah laut untuk memberi nafkah dan menyekolahkan anak. Apalagi saat cuaca ekstrem datang.

Keempat, tren olahan ikan dunia nyatanya telah dimulai terlebih dahulu oleh komunitas perempuan nelayan di Nusantara. Kerupuk jeruju, sirup, teh, dan urap mangrove dihidangkan untuk menambal kekurangan konsumsi gizi yang bersumber dari protein ikan dan tetumbuhan khas pesisir. Fakta ini mendorong komunitas perempuan nelayan di Asia Tenggara dan Amerika Latin tertarik untuk belajar.

Keempat hal di atas adalah sederet kebaikan yang pada akhirnya memproduksi kebahagiaan bagi pelaku perikanan skala kecil/tradisional, seperti nelayan, perempuan dan pembudidaya skala kecil.

Dalam kacamata nelayan, laut adalah ruang hidup mereka. Saat ganggungan hadir yang mengancam keberadaan mereka, maka di situlah lawan kebaikan dan kebahagiaan menjemput: keburukan dan kesedihan.

FAO (2014) menyajikan data bahwa Indonesia naik peringkat sebagai produsen perikanan tangkap dunia: dari urutan 3 menjadi 2. Sayangnya, dalam 10 tahun terakhir pengelolaan sumber daya perikanan tak memberi bekas kebaikan dan kebahagiaan kepada nelayan.

Kekeliruan di atas mestilah dikoreksi. Dengan jalan korektif inilah, gerak maju Republik Indonesia kian progresif. Ingat pesan Presiden Soekarno, “Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan…. yaitu prinsip kesejahteraan, tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”.

Dalam suatu pamflet berjudul “Menuju Indonesia Merdeka” (1932, 1998), Bung Hatta menulis, “Di atas sendi [cita-cita tolong-menolong] dapat didirikan tonggak demokrasi.  Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan”.

Cita-cita keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir dari revolusi Indonesia hendak diwujudkan dengan jalan mensinergikan demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi melalui pengembangan dan pengintegrasian pranata-kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan. Keadilan ekonomi dan jaminan sosial diupayakan tanpa mengorbankan hak milik dan usaha swasta (pasar). Daulat pasar dihormati dalam kerangka penguatan daulat rakyat/keadilan sosial (Latif, 2011: 492).

Dalam perdebatan BPUPKI, terdapat 2 istilah berbeda yang diajukan oleh tokoh pendiri bangsa, yakni Muhammad Yamin dengan negara kesejahteraan dan negara pengurus  ala Muhammad Hatta. Keduanya mengarahkan model pengelolaan Republik pada konseptualisasi: menghadirkan kebahagiaan nelayan.

Cara terbaik mengejawantahkan kebahagiaan nelayan adalah memproduksi kebajikan: menyegerakan pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang tertunda sejak tahun 2010. Dengan kebaikan inilah, pemerintah memastikan produk politik disertai alokasi anggarannya untuk keluarga pelaku perikanan skala kecil/tradisional.

Untuk mencapai kemakmuran dan keadilan, syarat-syarat badaniah dan ruhaniah, syarat-syarat material dan spiritual mental ada di dalam bumi Indonesia, di dalam kalbu rakyat Indonesia (Soekarno, 1959; 2002: 2014). (R)UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan adalah jalan prasyarat itu.

Sumber: Majalah Samudra Edisi 136, Tahun XII, Agustus 2014