Nelayan Terdiskriminasi Keberpihakan Pemerintah Masih Lemah

Kompas, Senin, 07 April 2014

Nelayan Terdiskriminasi

Keberpihakan Pemerintah Masih Lemah

Jakarta, Kompas – Hari Nelayan Indonesia diperingati aktivis Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan dan kelompok nelayan, minggu (6/4), di Jakarta. Mereka mengangkat tema “Sejahterakan Nelayan! Kami Bukan Turis di laut Indonesia”.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengemukakan, nelayan masih menghadapi praktik diskriminasi. Kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional mengarah pada praktik liberalisasi yang menyingkirkan nelayan tradisional.

Dia mencontohkan, Pasal 26A Ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, membuka ruang keleluasaan bagi asing untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.

Kedua, proyek Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai membebani hutang negara dengan berutang sebesar 47,38 Juta dollar AS atau setara Rp. 534,162 milliar kepada Bank Dunia untuk Program Rehabilitasi dan Manajemen Terumbu Karang periode Juli 2014 – Maret 2019.

Paadahal, Laporan Hasil Pemerikasaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tentang kinerja atas Perlindungan Ekosistem Terumbu Karang Tahun 2011-2012 pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa program rehabilitasi itu tidak efektif dan terjadi kebocoran dana.

“Beban utang yang tinggi dan keterpurukan nelayan dalam pengelolaan laut nasional telah menempatkan nelayan dan perempuan nelayan sebagai turis di laut Nusantara dan berujung pada konflik,” Kata Halim.

Senada dengan itu, anggota Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mengingatkan, banyak persoalan hulu-hilir yang belum terselesaikan dan menghambat pembangunan kelautan dan perikanan.

Di level produksi, sekitar 70 persen alokasi bahan bakar minyak (BBM) nelayan diselewengkan. Sebanyak 4 dari 10 bantuan kapal Inka Mina tidak tepat sasaran. Sementara itu, realisasi modal usaha perikanan dari perbankan masih kurang dari 1 persen. Di level konsumsi, sekitar 50 kabupaten/kota rawan kelangkaan ikan dan lonjakan harga ikan. Sementara itu, separuh dari komoditas ikan impor merupakan jenis konsumsi.

Pihaknya menyerukan kepada pimpinan dan partai politik untuk segera memperbarui komitmen partai dan memastikan kadernya  di legislatif mendorong akselerasi perlindungan nelayan dan petambak. Komitmen itu antara lain diwujudkan dalam penyediaan skim kredit usaha dengan kemudahan akses dan sistem pembayaran. Selain itu, mendorong peningkatan pengetahuan dan keterampilan nelayan dalam penangkapan, pembudidayaan, pengolahan, hingga pemasaran; penguatan organisasi dan koperasi nelayan, serta pemberian jaminan dan perlindungan nelayan agar dapat menangkap ikan di seluruh Indonesia.

Upaya lain yang harus dibuktikan oleh pemerintah mendatang adalah alokasi dana pemberdayaan nelayan, penciptaan kemitraan usaha yang adil dan menguntungkan, pemberantasan praktik korupsi, dan lain-lain.

Akhir pekan lalu, KNTI melayangkan laporan resmi kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Komisi Informasi Publik, dan Ombudsman, atas dugaan manipulasi dan penyesatan informasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada publik terkait angka produksi perikanan budidaya tahun 2013. (LKT)

Sumber: Kompas (7 April 2014), Halaman 18